Terdapat beragam klasifikasi dalam tatanan masyarakta Arab, di mana antara sattu dengan yang lainnya, kondisinya berbeda-beda. Hubungan seorang laki-laki dengan keluarganya di lapisan kaum bangsawan mendapat kedudukan yang amat terpandang dan tinggi, kemerdekaan berkehendak dan pendapat yang mesti didengar mendapatkan porsi terbesar. Hubungan ini selalu dihormati dan dijaga sekalipun dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah.
Jika seorang laki-laki yang ingin dipuji karena kemurahan hati dan keberaniannya di mata orang Arab, hendaklah waktunya yang banyak hanya dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Jika seorang wanita menghendaki, dia dapat mengumpulkan suku-suku untuk kepentingan perdamaian, namun juga dapat menyulut api peperangan di antara mereka. Meskipun demikian, tak dapat disangkal lagi bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga dan yang menentukan sikap di dalamnnya. Hubungan antara laki-laki dan wanita yang berlangsung melalui akad nikah dan diawasi oleh para walinya (wanita). Seorang wanita tidak memiliki hak untuk menggurui mereka.
Sementara kondisi kaum bangsawan demikian, kondisi yang dialami oleh lapisan masyarakat lainnya amat berbeda. Terdapat beragam gaya hidup yang bercampar baur antara kaum laki-laki dan wanita. Kami hanya bisa mengatakan bahwa semuanya adalah berupa pelacuran, gila-gilaan, pertumpahan darah, dan perbuatan keji.
Imam Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa pernikahan pada masa Jahiliyah terdiri dari empat macam:
1. Pernikahan seperti pernikahan orang sekarang; yaitu seorang laki-laki mendatangi laki-laki yang lain dan melamar wanita yang di bawah perwaliannya atau anank perempuannya, kemudian dia menentukan maharnya dan menikahkannya.
2. Seorang laki-laki berkata kepada istrinya ketika ia sudah suci dari haidnya, "Pergilah kepada si fulan dan bersenggamalah dengannya", kemudian setelah itu, istrinya ini ia tinggalkan dan tidak ia sentuh selamanya hingga tampak tanda kehamilannya dari laki-laki tersebut. Dan bila tampak tanda kehamilannya, bila si suaminya masih berselera kepadanya, maka dia akan menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin mendapatkan anak yang pintar. Pernikahan ini dinamakan dengan nikah istibdha.'
3. Sekelompok orang dalam jumlah yang kurang dari sepuluh berkumpul, kemudian mendatangi seorang wanita dan masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan melahirkan, kemudian setelah berlalu beberapa malam dari melahirkan, dia mengutus kepada mereka (sekelompok orang tadi), maka ketika itu tak seorang pun dari mereka yang dapat mengelak hingga semuanya berkumpul kembali dengannya, lalu si wanita ini berkata kepada mereka, "Kalian telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan, dan dia ini adalah anakmu, wahai si fulan!" Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi dari mereka, maka anaknya dinasabkan kepadanya.
4. Banyak laki-laki mendatangi seorang wanita sedangkan si wanitia ini tidak menolak sedikit pun kepada siapapun yang mendatanginya. Mereka ini adalah para pelacur. Di pintu-pintu rumah mereka ditancapkan bendera yang menjadi simbol mereka dan siapapun yang menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan, laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut lalu mengundang ahli pelacak (Al-Qafah) kemudian si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut kepada siapa yang mereka cocokkan ada kemiripannya dengan si anak lantas dipanggillah si anak tersebut sebagai anaknya. Dalam hal ini, si laki-laki yang ditunjuk ini tidak boleh menyangkal.
Ketika Allah Mengutus Nabi Muhammad, beliau menghapus semua bentuk pernikahan kaum Jahiliyah tersebut dan menggantikannya dengan pernikahan cara Islam yang berlaku saat ini. Dalam tradisi mereka, antara laki-laki dan wanita harus selalu berkumpul bersama dan diadakan di bawah kilauan ketajaman mata pedang dan hulu-hulu tombak. Pemenang dalam perang antarsuku berhak menyandera wanita-wanita suku yang kalah dan menghalalkannya. Anak-anak yang ibunya mendapat perlakuan semacam ini akan mendapatkan kehinaan semasa hidupnya.
Kaum Jahiliyah terkenal dengan kehidupan dengan banyak istri tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara, mereka juga mengawini istri bapak-bapak mereka bila telah ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka. Hak menalak ada pada kaum laki-laki dan tidak ada batasan tertentu serta diperbolehkan rujuk meski istri telah ditalak lebih dari tiga kali.
Perbuatan zina merata pada setiap lapisan masyarakat. Tidak dapat kita mengkhususkan hal itu kepada satu lapisan tanpa menyentuh lapisan yang lainnya. Ada sekelompok laki-laki dan wanita yang terkecuali dari hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa besar dan menolak keterjurumusan dalam lumpur kehinaan. Wanita-wanita merdeka kondisinya lebih bagus dari kondisi para budak wanita. Kondisi mereka (budak wanita) sangat parah.
Mayoritas kaum Jahiliyah sepertinya tidak merasakan keteerjerumusan dalam perbuatan keji semacam itu menjadi suatu aib bagi mereka.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Amru bin Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: Seorang laki-laki berdiri sembari berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan anakku dari hasil perzinaankku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyah. Rasulullah saw, kemudian bersabda:
"Tidak ada dakwaan dalam islam (yang berkaitan dengan masa Jahiliyah). Urusan yang terkait dengan masa Jahiliyah telah lenyap. Seorang anak adalah dari hasil ranjang (dinasabkan kepada orang yang menidurinya), sedangkan kehinaan adalah hanya bagi wanita pezina."
Tentang hal ini ada kisah yang amat terkenal yang terjadi antara Sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdu bin Zam'ah dalam mempersoalkan nasab anak dari budak wanita Zam'ah, yaitu 'Abdur Rahman bin Zam'ah.
Adapun hubungan antara seorang bapak dan anak-anaknya, amat berbeda-beda; di antara mereka ada yang menguraikan rangkaian bait:
Sungguh kehadiran anak-anak di tengah kami
Merupakan jantung-jantung kami yang berjalan di atas bumi
Di antara mereka, ada yang mengubur hidup-hidup anak-anak wanita mereka karena takut malu dan enggan menafkahinya. Anak laki-laki dibunuh lantaran takut menjadi fakir dan melarat. (Lihat: Al-An'am: 151, An-Nahl: 58-59, Al-Isra': 31, dan At-Takwir: 8).
Namun kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang termaktub dalam ayat-ayat di atas telah mencerminkan moral yang berlaku umum di masyarakat. Di sisi lain, mereka justru sangat mengharapkan anak laki-laki untuk dapat membentengi diri mereka dari serangan musuh.
Adapun pergaulan antara seorang laki-laki dengan saudaranya, anak-anak paman dan kerabatnya sangat kental dan kuat. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kesukuan. Semangat untuk bersatu begitu menbudaya antar sesama suku yang menambah rasa fanatisme tersebut. Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem sosial adalah fanatisme rasial dan hubungan tali rahim. Mereka hidup di bawah semboyan yang bertutur, "Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zalim ataupun dizalimi."
Mereka menerapkan semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti arti yang sudah diralat oleh Islam yaitu menolong orang yang berbuat zalim maksdunya mencegahnya melakukan perbuatan itu. Meskipun begitu, perseteruan dan persaingan dalam memperebutkan martabat dan kepemimpinan sering kali mengakibatkan perang antar suku yang masih memiliki hubungan sebapak. Kita dapat melihat fenomena tersebut pada apa yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj, 'Abs dan Dzibyam, Bakar dan Taghlib, dan lain-lain.
Di sisi lain, hubungan yang terjadi antar suku yang berbeda-beda benar-benar berantakan. Kekuatan yang ada mereka gunakan untuk berjibaku dalam peperangan. Hanya saja, adakalanya rasa sungkan serta rasa takut mereka terhadap sebagian tradisi dan kebiasaan bersama yang sudah ada dan berlaku antara ajaran agama dan khurafat sedikit mengurangi deras dan kerasnya genderang perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi tertentu, loyalitas, persekutuan, dan subordinasi yang terjalin menyebabkan antar suku yang berbeda berangkul dan bersatu. Dan satu-satunya yang merupakan rahmat dan penolong bagi mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang, sehingga mereka dapat menghirup kehidupan dan mencari rezeki guna kebutuhan sehari-hari.
Ringkasnya, kondisi sosial yang berlaku di masyarakat Jahiliyah benar-benar rapuh dan dalam kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela di mana-mana. Orang-orang hidup layaknya binatang ternak. Wanita diperjual-belikan bahkan kadang-kadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar umat sangat lemah, sementara setiap ada pemerintahan maka ujung-ujungnya hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.
Bersambung ke Part 2
Tekan👇
Tidak ada komentar:
Posting Komentar