Iklan

Sabtu, 15 Juni 2024

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad menjadi Rasul



Ketika usia Rasulullah telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan diri. Itu beliau lakukan setelah melalui perenungan yang lama dan telah menjadi jurang pemisah antara pemikiran beliau dan kaumnya. Dengan membawa roti dari gandum dan air, beliau pergi ke gua Hira di Jabal Nur, yang jaraknya kira-kira 2 mil dari kota Makkah, suatu gua yang tidak terlalu besar, yang panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran Zira Al-Hadid (hasta ukuran besi).

Keluarga beliau kadang-kadang menyertai ke sana. Selama bulan Ramadhan beliau berada di gua ini, dan tidak lupa memberikan makanan kepada setiap orang miskin yang juga datang ke sana. Beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah, memikirkan keagungan alam di sekitarnya dan kekuatan tidak terhingga dibalik alam. Beliau tidak pernah merasa puas melihat keyakinan umatnya yang penuh dengan kemusyrikan dan segala persepsi mereka yang tidak pernah lepas dari takhayul. Sementara itu, di hadapan beliau juga tidak ada jalan yang jelas dan mempunyai batasan-batasan tertentu, yang bisa menghantarkan kepada keridhaan dan kepuasan hati beliau.

Pilihan beliau untuk mengasingkan diri ini termasuk satu sisi dari ketentuan Allah atas diri beliau, sebagai langkah persiapan untuk menerima urusan besar yang sedang ditunggunya. Ruh manusia manapun yang realitas kehidupannya akan disusupi suatu pengaruh dan dibawa ke arah lain, maka ruh itu harus dibuat kosong dan mengasingkan diri untuk beberapa saat, dipisahkan dari berbagai kesibukan duniawi dan gejolak kehidupan serta kebisingan manusia yang membuatnya sibuk pada urusan kehidupan.

Begitulah Allah mengatur dan mempersiapkan kehidupan Rasulullah untuk mengemban amanat yang besar, mengubah wajah dunia dan meluruskan garis sejarah. Allah telah mengatur pengasingan ini selama tiga tahun bagi Rasulullah sebelum membebaninya dengan risalah. Beliau pergi untuk mengasingkan diri ini selama jangka waktu sebulan, dengan disertai ruh yang suci sambil mengamati kegaiban yang tersembunyi dibalik alam nyata, hingga tiba saatnya untuk berhubungan dengan keajaiban itu tatkala Allah telah mengizinkannya.

 

Kedatangan Jibril Membawa Wahyu

Tatkala usia beliau genap 40 tahun—yang merupakan awal usia kematangan, dan ada riwayat yang menyatakan bahwa pada usia inilah para Rasul di utus—tanda-tanda Nubuwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka. Di antaranya, ada sebuah batu di Makkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar subuh yang menyingsing. Tanda ini berlangsung hingga enam bulan—masa kenabian berlangsung selama 23 tahun—dan ru’ya shadiqah ini merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki tahun ketiga dari pengasingan dirinya di gua Hira, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmatnya dilimpahkan kepada penduduk bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai nabi dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat Al-Qur’an.

Setelah melalui pengamatan dan perenungan terhadap beberapa bukti-bukti dan tanda-tanda akurat, dapat ditentukan persisnya pengangkatan tersebut, itu hari Senin, tanggal 17 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan 6 Agustus tahun 610 M. Tepatnya usia beliau saat itu 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut penanggalan Qamariyah dan sekitar 39 tahun 3 bulan 16 hari menurut penanggalan Syamsiyah.

Dalam sebuah hadis, Aisyah r.a menuturkan kisahnya kepada kita mengenai peristiwa yang merupakan permulaan Nubuwah tersebut dan yang mulai membuka tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan, sehingga dapat mengubah alur kehidupan dan meluruskan garis sejarah.

Aisyah berkata: “Wahyu yang mula pertama dialami oleh Rasulullah adalah berupa ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) dalam tidur dan mimpi itu hanya berbentuk fajar subuh yang menyingsing, kemudian beliau lebih menyenangi penyendirian dan melakukannya di Gua Hira. Beliau beribadah di dalamnya beberapa malam sebelum kembali ke rumah keluarganya. Dalam melakukan itu, beliau mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah untuk mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di Gua Hira tersebut, seorang malaikat datang menghampiri sembari berkata, “Bacalah!”

Rasulullah menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”

Kemudian Jibril memegang dan merengkuhnya hingga beliau kehabisan tenaga, lalu setelah itu melepaskannya sembari berkata lagi, “Bacalah!”

Beliau tetap menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”

Jibril memegang dan merangkul sampai ketiga kalinya hingga beliau merasa sesak, kemudian melepaskannya, lalu berkata:

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, Tuhanmulah yang maha mulia. yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-‘Alaq: 1-5).

Setelah itu Rasulullah pulang dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid sembari berucap, “Selimutilah aku, selimutilah aku!” Maka beliau diselimuti hingga badan beliau tidak lagi menggigil layaknya terkena demam.

“Apa yang terjadi padaku?” Beliau bertanya kepada Khadijah. Lalu memberitahukan apa yang baru saja terjadi, kemudian bersabda, “Aku kuatir terhadap keadaan diriku sendiri.”

Khadijah berkata, “Tidak demi Tuhan, Tuhan tidak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau suka menyambung tali persaudaraan, membantu meringankan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.”

Selanjutnya Khadijah binti Khuwailid membawa beliau pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani semasa Jahiliyah. Dia menulis buku dalam bahasa Ibrani dan juga menulis Injil dalam bahasa Ibrani seperti yang dikehendaki Allah. Dia sudah tua dan buta. Khadijah binti Khuwailid berkata kepada Waraqah, “Wahai putra pamanku, dengarkanlah kisah dari anak saudara mu (Rasulullah).”

Waraqah berkata kepada beliau, “ Apa yang pernah engkau lihat, wahai putra saudaraku?” Kemudian Rasulullah mengabarkan apa saja yang pernah dilihat dan dialaminya. Akhirnya Waraqah berkata, “Ini adalah Namus yang diturunkan Allah kepada Musa. Andaikan saja aku masih muda pada saat itu. Andaikan saja aku masih hidup tatkala kaummu mengusirmu.”

Beliau bertanya, “Benarkah mereka akan mengusirku?”

“Benar. Tidak seorang pun yang membawa seperti yang kau bawa melainkan akan dimusuhi. Andaikan aku masih hidup pada masanya nanti, tentu aku akan membantumu dengan sungguh-sungguh,” jawab Waraqah. Waraqah meninggal dunia pada masa-masa awal turun Wahyu.

At-Thabari dan Ibnu Hisyam meriwayatkan, yang intinya menjelaskan bahwa beliau pergi meninggalkan Gua Hira setelah mendapat wahyu, lalu menemui istri beliau dan pulang ke Makkah. Adapun riwayat At-Thabari menyebutkan secara sekilas sebab keluarnya beliau dari gua Hira. Inilah riwayatnya:

Rasulullah bersabda, “Tidak ada makhluk Allah yang paling kubenci selain dari penyair atau orang yang tidak waras. Aku tidak kuat untuk memandang keduanya.”

Beliau juga bersabda, “Yang paling ingin aku jauhi adalah penyair atau orang yang tidak waras. Sebab, orang-orang Quraisy senantiasa berbicara tentang diriku dengan syair itu. Rasanya ingin aku mendaki gunung yang tinggi, lalu menerjunkan diri dari sana agar aku mati saja, sehingga aku bisa istirahat dengan tenang.”

Beliau bersabda lagi, “Aku pun pergi dan hendak melakukan hal itu. Namun, di tengah gunung, tiba-tiba aku mendengar suara yang datangnya dari langit, berkata, Wahai Muhammad, engkau adalah rasul Allah dan aku Jibril.”Aku berdiam diri sambil memandang nya, bingung apa yang hendak aku kerjakan, tidak berani melangkah maju atau mundur. Aku memalingkan wajah dari arah yang ditempati Jibril di ufuk langit. Tetapi, setiap kali aku memandang arah langit yang lain, di sana tetap ada Jibril yang kulihat. Aku tetap diam, tidak selangkah kaki pun maju ke depan atau surut ke belakang, hingga akhirnya Khadijah binti Khuwailid mengirim beberapa orang untuk mencariku. Bahkan, mereka sampai ke Makkah dan kembali lagi menemui Khadijah tanpa hasil, padahal aku tetap berdiri seperti semula di tempatku berdiri. Kemudian Jibril pergi dariku dan aku pun pulang kembali menemui keluargaku.

Sesampainya di rumah aku langsung duduk di atas paha Khadijah sambil bersandar kepadanya. Khadijah berkata, “Wahai Abul Qasim, ke mana saja kau tadi? Demi Tuhan, aku telah mengirim beberapa orang untuk mencarimu hingga mereka kembali lagi ke Makkah, namun kembali tanpa hasil.” Kemudian aku memberitahukan apa yang telah kulihat.

Dia berkata, “Bergembiralah, wahai anak pamanku, dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang ada di Tangan-Nya, aku benar benar sangat berharap engkau menjadi nabi umat ini.”

Setelah itu Khadijah beranjak pergi untuk menemui Waraqah dan mengabarkan kepadanya. Waraqah berkata, “Mahasuci, Mahasuci. Demi diri Waraqah ya ada di Tangan-Nya, Namus yang besar, yang pernah datang kepada Musa, kini telah datang kepadanya. Dia adalah benar-benar nabi umat ini. Katakanlah kepadanya agar dia berteguh hati.

Khadijah pulang lalu mengabarkan apa yang dikatakan Waraqah kepadanya. Tatkala Rasulullah meninggalkan istrinya dan pergi ke Makkah, beliau bertemu Waraqah. Setelah mendengar penuturan langsung dari beliau, Waraqah berkata, “Demi diriku yang ada di Tangan-Nya engkau adalah benar-benar nabi umat ini. Namus yang besar telah datang kepadamu, seperti yang pernah datang kepada Musa.”

 

Masa Terputusnya Wahyu

Diriwayatkan oleh Ibnu Saad dari Ibnu Abbas yang intinya menyatakan bahwa masa terputusnya wahyu berlangsung selama beberapa hari. Pendapat inilah yang lebih kuat bahkan setelah melalui penelitian dari segala aspeknya secara terfokus harus menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal itu berlangsung selama 3 tahun atau 2,5 tahun tidaklah shahih sama sekali, namun di sini bukan pada tempatnya untuk membantah hal itu secara detail.

Pada masa-masa terputusnya wahyu itu, Rasulullah hanya diam dalam keadaan termenung sedih. Kegelisahan melingkupi diri beliau. Dalam kitab At-Ta’bir, Imam Al-Bukhari meriwayatkan naskah sebagai berikut:

Menurut berita yang sampai kepada kami, wahyu berhenti turun hingga membuat nabi sedih dan berkali-kali berlari ke gunung dan ingin menjatuhkan diri dari jurang, namun setiap beliau mencapai puncak gunung untuk mencampakan dirinya, malaikat Jibril menampakkan wujudnya sembari berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau benar benar utusan Allah!” Motivasi ini dapat menenangkan dan memantapkan kembali jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah, namun ketika wahyu tidak kunjung turun, beliau pun mengulangi tindakan sebagaimana sebelumnya dan ketika dia mencapai puncak gunung, malaikat Jibril menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti sebelumnya.

Ibu Hajar menuturkan, “Selama wahyu terputus untuk beberapa hari lamanya, beliau ingin ketakutan dan kedukaannya segera sirna dan kembali seperti sebelumnya. Tatkala bayang-bayang kebingungan mulai surut, dan beliau kembali menunggu-nunggu turunnya wahyu, Allah muliakan beliau dengan wahyu untuk kedua kalinya.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa dia pernah mendengar Rasulullah menuturkan masa turunnya wahyu. Beliau bersabda, “Tatkala aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang berasal dari langit. Aku mendongakkan pandangan ke arah langit. Ternyata di sana ada malaikat yang mendatangiku di gua Hira, sedang duduk di sebuah kursi, menggantung di antara langit dan bumi. Aku mendekatinya hingga tiba tiba aku terjerembab ke atas tanah. Kemudian aku menemui keluarga aku dan kukatakan, “selimutilah aku, selimutilah aku!” Lalu Allah menurunkan surat al Muddassir ayat 1-5. Setelah turunnya ayat tersebut, maka wahyu datang secara berturut-turut.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...