MAKALAH
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (SKI)
PERADABAN BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM
Logo Sekolah
Oleh
Joko Subianto
Kelas X-1
Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota New York
2024
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji serta rasa syukur yang menjadi penolak
kesombongan dan sebagai kerendahan diri seorang hamba, marilah kita haturkan
kehadirah Allahﷻ yang telah memberikan
segala macam kenikmatan kepada kita semua termasuk kepada penulis, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurah limpahkan
kepada Rasulullah Muhammadﷺ; keluarganya; para
sahabat; seluruh umatnya hingga akhir zaman. Makalah yang berjudul “Peradaban
Bangsa Arab Sebelum Islam,” bertujuan untuk menemukan penjelasan sejarah,
informasi, dan hikmah dari peradaban masyarakat Arab khususnya Mekkah sebelum
kedatangan agama Islam.
Makalah in disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran
Sejarah Kebudayaan Islam. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada guru fiqih
MAN 1 New York yaitu Bapak Stephen Einstein yang telah membimbing penyusun agar
dapat mengerti tentang bagaimana cara menyusun karya tulis ilmiah yang baik dan
sesuai kaidah.
Pada makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan segala kerendahan
hati membuka kritik dan saran agar penelitian ini dapat bermanfaat untuk semua
pihak.
New York, 30 Februari 2024
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
Penulisan
D.
Manfaat
Penulisan
E.
Sistematika
Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Letak
Geografis Jazirah Arab
B.
Asal-Usul
Bangsa Arab
C.
Kondisi
Politik Bangsa Arab Sebelum Islam
D.
Keadaan
Sosial, Ekonomi, dan Moral Bangsa Arab Sebelum Islam
E.
Agama
dan Kepercayaan Bangsa Arab Sebelum Islam
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Kritik
dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Peradaban kehidupan manusia
senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini dapat dilacak melalui
histori atau sejarah peradaban manusia itu sendiri. Sejarah merupakan peristiwa
masa lalu yang tejadi dan dapat di ketahui melalui peninggalan-peninggalan dari
peristiwa tersebut. Sejarah senantiasa berkaitan dengan waktu dan peristiwa.
Perkembangan zaman menjadi faktor
penting terhadap perubahan pola pokir dan cara pandang manusia terhadap
kehidupan. Maka seiring dengan perkembangan zaman itu pulalah peradaban manusia
mengalami perubahan, baik menuju kemajuan ataupun kemunduranya.
Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammadﷺ dikenal sebagai
bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup
strategis membuat Islam yang diturunkan di Makkah menjadi cepat disebarluaskan
ke berbagai wilayah. Di samping juga didorong oleh faktor cepatnya laju
perluasan wilayah yang dilakukan umat Islam dan bahkan bangsa Arab telah dapat
mendirikan kerajaan di antaranya Saba’, Ma’in, dan Qutban serta Himyar yang
semuanya berada di wilayah Yaman.
Di sisi lain, masyarakat Arab pada
saat itu sangat identik dengan sebutan masyarakat jahiliyah. Sebutan jahiliyah
diberikan kepada masyarakat Arab dikarenakan pola kehidupan mereka yang
bersifat keterbelakangan moral. Dalam Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai
suatu kemunduran dalam kehidupan beragama. Pada saat itu masarakat Arab
jahiliyah mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk seperti menyembah berhala,
mengubur bayi perempuan hidup-hidup, berperang, berjudi, bermabuk-mabukan, dan
segala bentuk dari kemaksiatan dan kejahatan manusia.
Kenyataan bahwa al-Qur‟an diturunkan
kepada Nabi Muhammadﷺ dan diturunkan dalam
konteks geografis Arab, mengimplikasikan sebuah asumsi bahwa suatu pemahaman
yang komprehensif terhadap al-Qur’an hanya mungkin dilakukan dengan sekaligus
melacak pemaknaan dan pemahaman pribadi, masyarakat dan lingkungan mereka yang
menjadi audiens pertama al-Qur’an, yaitu Muhammad dan masyarakat Arab saat itu
dengan segala kultur dan tradisinya. Dan untuk memiliki pengertian yang
sebenar-benarnya tentang asal mula Islam, maka satu hal yang perlu diketahui
adalah bagaimana keadaan Arab sebelum adanya Islam, Muhammad, dan sejarah Islam
terdahulu.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
letak geografis jazirah Arab?
2.
Bagaimana
asal-usul bangsa Arab?
3.
Bagaimana
kondisi politik bangsa Arab sebelum Islam?
4.
Bagaimana
keadaan sosial, ekonomi, dan moral bangsa Arab sebelum Islam?
5.
Bagaimana
agama dan kepercayaan bangsa Arab sebelum Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
Secara umum tujuan penulisan ini
adalah untuk mengetahui bagaimana peradaban bangsa Arab sebelum Islam.
Tujuan khusus:
1.
Untuk
mengetahui letak geografis jazirah Arab
2.
Untuk
mengetahui asal-usul bangsa Arab
3.
Untuk
mengetahui kondisi politik bangsa Arab sebelum Islam
4.
Untuk
mengetahui keadaan sosial, ekonomi, dan moral bangsa Arab sebelum Islam
5.
Untuk
mengetahui agama dan kepercayaan bangsa Arab sebelum Islam
D.
Manfaat
Penulisan
Manfaat yang ingin dicapai dalam
penelitian ini mencakup manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1.
Secara
teoritis hasil penulisan ini dapat menambah wawasan dalam rangka memperkaya
literatur bacaan dan khasanah, tekhusus sejarah pradaban bangsa Arab sebelum
Islam.
2.
Secara
praktis, penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman terkait sejarah tentang kondisi masyarakat Arab sebelum Islam.
E.
Sistematika
Penulisan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
E. Sistematika
Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Letak Geografis
Jazirah Arab
B. Asal-Usul Bangsa
Arab
C. Kondisi Politik
Bangsa Arab Sebelum Islam
D. Keadaan Sosial-Moral,
Ekonomi, dan Sisi Positif Bangsa Arab Sebelum Islam
E. Agama dan
Kepercayaan Bangsa Arab Sebelum Islam
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Letak
Geografis Jazirah Arab
Dari segi bahasa, Arab artinya
padang pasir, tanah yang gundul, dan gersang tidak memiliki tanaman dan air.
Penyebutan ini telah lama disematkan dari dulu untuk jazirah Arab. Seperti
sebutannya yang diberi untuk kaumnya yang disesuaikan kepada suatu daerah,
setelahnya mereka menjadikan itu sebagai tempat mereka tinggal. Bangsa Arab
sebelum lahirnya Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. dikenal sebagai bangsa
yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis
membuat Islam yang diturunkan di Makkah menjadi cepat menyebar ke berbagai
wilayah. Di samping juga didorong oleh faktor cepatnya laju perluasan wilayah
yang dilakukan umat Islam, dan bahkan bangsa Arab dapat mendirikan kerajaan di
antaranya Saba’, Ma’in dan Qutban serta Himyar yang semuanya berada di wilayah
Yaman.
Di sisi lain, kenyataan bahwa
al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan dalam konteks geografis
Arab, mengimplikasikan sebuah asumsi bahwa suatu pemahaman yang komprehensif
terhadap al-Qur‟an hanya mungkin dilakukan dengan melacak pemaknaan. Bangsa
Arab bertempat tinggal dan mendiami semenanjung terbesar di dunia, yaitu
Semenanjung Arabia. Terletak di Asia Barat Daya, luasnya 1.027.000 mil persegi,
sebagian besar ditutupi padang pasir dan merupakan salah satu tempat terpanas
di dunia. Tidak terdapat sungai yang dapat dilayari atau airnya yang terus
menerus mengalir ke laut, yang ada hanya lembah- lembah yang digenangi air di
waktu musim hujan.
Jazirah Arab memiliki peranan yang
sangat besar karena kondisi alam dan letak geografisnya. Sedangkan jika dilihat
dari kondisi internalnya, Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di
segala sudutnya. Karena kondisi seperti inilah yang membuta Jazirah Arab
seperti benteng pertahanan alami yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa
asing untuk menjajah, mencaplok, dan menguasai bangsa Arab. Oleh karena itu,
kita dapat melihat penduduk Jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dalam
segala urusan sejak zaman dahulu. Padahal, pada waktu itu mereka hidup
bertetangga dengan dua imperium besar saat itu (Romawi dan Persia), yang
serangannya tidak mungkin bisa diadang andaikan tidak ada benteng pertahanan
yang seperti itu.
Hubungannya dengan dunia luar,
Jazirah Arab terletak di benua yang sudah dikenal sejak dahulu kala, yang
mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat laut merupakan pintu masuk ke
Benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke Benua Eropa dan
sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab, Timur Tengah
dan Timur Dekat, terus membentang ke India dan Cina. Setiap benua mempertemukan
lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut yang berlayar pasti akan
bersandar di pinggiran wilayahnya. Karena letak geografisnya yang demikian,
sebelah utara dan selatan Jazirah Arab menjadi tempat berlabuh berbagai bangsa
untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama, dan seni serta budaya.
B.
Asal-Usul
Bangsa Arab
Merujuk kepada silsilah dan
asal-usulnya, para sejarawan membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Arab
Ba’idah
Arab Ba’idah adalah kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak
bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti kaum Ad, Tsamud, Thasm, Judais,
Imlaq, Umain, Jurhum, Hadhur, Wabar, Abis, Jasim, Hadramaut, dan lain-lainnya.
2.
Arab
Aribah
Bangsa Arab Aribah berasal dari keturunan Yasyjub bin Ya’rub bin
Qahthan. Suku bangsa Arab ini dikenal dengan sebutan Arab Qahthaniyah. Tempat
asal-usulnya adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan
suku. Terdapat dua kabilah yang terkenal yaitu:
a.
Kabilah
Himyar
Terdiri dari
beberapa suku terkenal, yaitu Zaid al-Jumhur, Qudha’ah, dan Sakasik
b.
Kabilah
Kahlan
Terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Hamadan, Anmar, Thayyi’,
Madzhaj, Kindah, Judzam, Azad, Aus, Khazraj, dan anak keturunan Jafnah, Raja
Syam. Suku-suku Kahlan banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke
penjuru Jazirah Arab menjelang terjadinya banjir besar saat mereka mengalami
kegagalan dalam perdagangan. Hal ini sebagai akibat dari tekanan bangsa Romawi
dan tindakan mereka menguasai jalur perdagangan laut dan setelah mereka
menghancurkan jalur darat serta berhasil menguasai Mesir dan Syam.
Suku-suku
Kahlan yang berhijrah dapat dibagi menjadi empat golongan:
1)
Azad
Perpindahan mereka dipimpin oleh pemuka sekaligus pemimpin mereka,
Imran bin Amru Muzaiqiya. Mereka berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim
para pemandu lalu berjalan ke arah utara dan timur. Saudaranya, Tsa’labah bin
Amru pindah dari Azad menuju Hijaz, lalu menetap di antara Tsa’labiyah dan Dzi
Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia pindah ke Yatsrib (Madinah) dan
menetap di sana. Di antara keturunan Tsa’labah ini adalah Aus dan Khazraj,
yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa’labah.
Di antara keturunan mereka yang bernama Haritsah bin Amru (atau
yang dikenal dengan Khuza’ah) dan anak keturunannya berpindah ke Hijaz, hingga
mereka singgah di Murr Azh Zhahran yang selanjutnya membuka Tanah Suci dan
mendiami Mekkah serta mengusir penduduk aslinya, Al-Jarahimah. Sedangkan Imran
bin Amru singgah di Oman lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya,
yang disebut Azad Oman, sedangkan kabilah-kabilah Nashr bin Al-Azad menetap di
Tihamah, yang disebut Azad Syanuah. Jafnah bin Amru pergi ke Syyam dan menetap
di sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Bapak para Raja al-Ghassasinah,
yang dinisbatkan kepada mata air di Hijaz, yang dikenal dengan nama Ghassan,
yang telah mereka singgahi sebelum akhirnya pindah ke Syam.
2)
Lakham
dan Judzam
Mereka pindah ke timur dan utara. Tokoh di kalangan mereka adalah
Nashr bin Rabi’ah, pemimpin raja-raja Al-Mundzir di Hirah.
3)
Thayyi’
Setelah Azad berpindah, mereka berpindah ke arah utara hingga
singgah di antara dua gunung, ‘Aja dan Salma. Mereka menetap di sana, hingga
mereka dikenal dengan sebutan Al-Jabalani (dua gunung) di Gunung Thayyi’.
4)
Kindah
Mereka singgah di Bahrain, lalu terpaksa meninggalkannya dan
singgah di Hadramaut. Namun, nasib mereka tidak jauh berbeda saat berada di
Bahrain, hingga mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan
pemerintahan yang besar dan kuat, tetapi secepat itu pula mereka punah dan
tidak meninggalkan jejak. Di sana masih ada satu kabilah dari Himyar yang
diperselisihkan asal keturunannya, yaitu Qudha’ah. Mereka hijrah meninggalkan
Yaman dan menetap di pinggiran Irak.
3.
Arab
Musta’ribah
Adapun Arab Musta’ribah adalah kaum-kaum
Arab yang berasal dari keturunan Nabi Ismail, yang disebut juga Arab Adnaniyah.
Moyang mereka yang tertua adalah Nabi Ibrahim yang berasal dari negeri Irak,
dari sebuah daerah yang disebut Ur. Kota ini berada di pinggir barat sungai
Eufrat, berdekatan dengan Kuffah. Cukup banyak penelusuran dan penelitian yang
luas mengenai negeri ini, selain tentang keluarga Ibrahim, kondisi keagamaan
dan sosial di negeri tersebut
C.
Kondisi
Politik Bangsa Arab Sebelum Islam
Kondisi politik di Jazirah Arab
merupakan politik yang lemah dan menurun, tidak ada lebihnya. Manusia bisa
dibedakan antara tuan dan budak, pemimpin dan rakyat. Pada tuan, terutama tuan
yang terhormat, berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan, sedangkan
bawahan mereka dikenai segala macam upeti. Dengan istilah lain yang lebih
jelas, rakyat bisa diumpamakan ladang yang harus mendatangkan hasil lalu
diserahkan kepada pemerintah. Selanjutnya, para pemimpin menggunakan kekayaan
itu untuk foya-foya dan mengumbar syahwat. Sedangkan rakyat dengan kebutaannya
semakin terpuruk dan mendapatkan kezaliman dari segala sisi. Mereka hanya bisa
merintih dan mengeluh. Tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan mereka masih
harus menahan rasa lapar, ditekan dan mendapat berbagai macam penyiksaan dengan
sikap diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.
Kekuasaan yang berlaku saat itu
adalah sistem diktator. Banyak yang hilang dan terabaikan. Sementara itu,
Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan wilayah-wilayah ini tak pernah merasa
tentram, karena mereka juga menjadi mangsa nafsu dan berbagai kepentingan.
Karena itu, mereka kadang kan harus masuk wilayah Irak dan Syam.
Kabilah-kabilah di Jazirah Arab tidak pernah rukun. Mereka lebih sering
diwarnai permusuhan antar kabilah, perselisihan rasial dan agama.
Kabilah atau suku sebagai ikatan
darah (keturunan) atau ikatan kesukuan, berkewajiban melindungi warganya dan
orang orang yang menggabungkan diri atau meminta perlindungan. Sebuah kabilah
dipimpin oleh seorang Syaikh al-Qabilah, yang biasanya dipilih dari salah
seorang anggota yang usianya paling tua. Apabila salah seorang warga atau
pengikutnya dianiaya atau dilanggar haknya maka kewajiban kabilah adalah
menuntut bela. Karenanya sering terjadi peperangan antar suku yang
kadang-kadang berkelanjutan sampai beberapa turunan.
Di Yaman, yang berada di sebelah
selatan Jazirah Arab berdiri beberapa kerajaan seperti kerajaan Ma’in (berdiri
tahun 1200 SM), kerajaan Qutban (berdiri tahun 1000 SM), Kerajaan Saba’
(berdiri tahun 950 sampai 115 SM), Kerajaan Himyar (berdiri tahun 115 SM - 5
M).
Hirah dan Ghassan, dua kerajaan yang
berada di sebelah utara Jazirah Arab, Merupakan kerajaan Protektorat yang
didirikan untuk kepentingan kerajaan Romawi dan Persia. Hal ini disebabkan
karena kafilah-kafilah Romawi dan Persia sering diganggu oleh suku-suku Arab
yang memeras dan merampoknya. Kerajaan Hirah berada di bawah perlindungan
Persia dan kerajaan Ghassan di bawah perlindungan Romawi. Apabila kerajaan
Persia dan kerajaan Romawi berperang, kerajaan Hirah memihak kerajaan Persia
dan kerajaan Ghassan memihak kerajaan Romawi. Raja-raja kedua kerajaan itu
berasal dari keturunan Arab Yaman.
Adapun kekuasaan di Hijaz (Makkah,
Yastrib-, Thaif, dan lain-lain) di mata bangsa Arab memiliki kehormatan
tersendiri. Mereka melihat kekuasaan di Hijaz sebagai pusat kekuasaan agama.
Sebenarnya, kekuasaan itu merupakan campuran antara unsur keduniaan,
pemerintahan dan agama, yang berlaku di kalangan bangsa, dengan istilah
kepemimpinan agama. Mereka berkuasa di tanah suci dengan sifat sebagai
kekuasaan yang mengurus para peziarah Ka’bah dan pelaksanaan syariat nabi
Ibrahim. Mereka mempunyai aturan tentang masa jabatan dan bentuk-bentuk
pemerintahan yang menyerupai sistem parlemen pada zaman sekarang, kekuasaan ini
sangat lemah dan tidak mampu mengemban beban, sebagaimana yang terjadi saat
peperangan melawan orang-orang Habasyah.
D.
Keadaan
Sosial-Moral, Ekonomi, dan Sisi Positif Bangsa Arab Sebelum Islam
1.
Keadaan
Sosial dan Moral
Terdapat beragam klasifikasi dalam tatanan masyarakta Arab, di mana
antara sattu dengan yang lainnya, kondisinya berbeda-beda. Hubungan seorang
laki-laki dengan keluarganya di lapisan kaum bangsawan mendapat kedudukan yang
amat terpandang dan tinggi, kemerdekaan berkehendak dan pendapat yang mesti
didengar mendapatkan porsi terbesar. Hubungan ini selalu dihormati dan dijaga
sekalipun dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah.
Jika seorang laki-laki yang ingin dipuji karena kemurahan hati dan
keberaniannya di mata orang Arab, hendaklah waktunya yang banyak hanya
dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Jika seorang wanita menghendaki,
dia dapat mengumpulkan suku-suku untuk kepentingan perdamaian, namun juga dapat
menyulut api peperangan di antara mereka. Meskipun demikian, tak dapat
disangkal lagi bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga dan yang
menentukan sikap di dalamnnya. Hubungan antara laki-laki dan wanita yang
berlangsung melalui akad nikah dan diawasi oleh para walinya (wanita). Seorang
wanita tidak memiliki hak untuk menggurui mereka.
Sementara kondisi kaum bangsawan demikian, kondisi yang dialami
oleh lapisan masyarakat lainnya amat berbeda. Terdapat beragam gaya hidup yang
bercampar baur antara kaum laki-laki dan wanita. Kami hanya bisa mengatakan
bahwa semuanya adalah berupa pelacuran, gila-gilaan, pertumpahan darah, dan
perbuatan keji.
Imam Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa
pernikahan pada masa Jahiliyah terdiri dari empat macam:
a.
Pernikahan
seperti pernikahan orang sekarang; yaitu seorang laki-laki mendatangi laki-laki
yang lain dan melamar wanita yang di bawah perwaliannya atau anank
perempuannya, kemudian dia menentukan maharnya dan menikahkannya.
b.
Seorang
laki-laki berkata kepada istrinya ketika ia sudah suci dari haidnya,
"Pergilah kepada si fulan dan bersenggamalah dengannya", kemudian
setelah itu, istrinya ini ia tinggalkan dan tidak ia sentuh selamanya hingga
tampak tanda kehamilannya dari laki-laki tersebut. Dan bila tampak tanda
kehamilannya, bila si suaminya masih berselera kepadanya, maka dia akan
menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin mendapatkan anak
yang pintar. Pernikahan ini dinamakan dengan nikah istibdha.'
c.
Sekelompok
orang dalam jumlah yang kurang dari sepuluh berkumpul, kemudian mendatangi
seorang wanita dan masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan
melahirkan, kemudian setelah berlalu beberapa malam dari melahirkan, dia
mengutus kepada mereka (sekelompok orang tadi), maka ketika itu tak seorang pun
dari mereka yang dapat mengelak hingga semuanya berkumpul kembali dengannya,
lalu si wanita ini berkata kepada mereka, "Kalian telah mengetahui apa
yang telah kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan, dan dia ini adalah
anakmu, wahai si fulan!" Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi
dari mereka, maka anaknya dinasabkan kepadanya.
d.
Banyak
laki-laki mendatangi seorang wanita sedangkan si wanitia ini tidak menolak
sedikit pun kepada siapapun yang mendatanginya. Mereka ini adalah para pelacur.
Di pintu-pintu rumah mereka ditancapkan bendera yang menjadi simbol mereka dan
siapapun yang menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan
melahirkan, laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut lalu mengundang ahli
pelacak (Al-Qafah) kemudian si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut
kepada siapa yang mereka cocokkan ada kemiripannya dengan si anak lantas
dipanggillah si anak tersebut sebagai anaknya. Dalam hal ini, si laki-laki yang
ditunjuk ini tidak boleh menyangkal.
Ketika Allah Mengutus Nabi Muhammad,
beliau menghapus semua bentuk pernikahan kaum Jahiliyah tersebut dan
menggantikannya dengan pernikahan cara Islam yang berlaku saat ini. Dalam
tradisi mereka, antara laki-laki dan wanita harus selalu berkumpul bersama dan
diadakan di bawah kilauan ketajaman mata pedang dan hulu-hulu tombak. Pemenang
dalam perang antarsuku berhak menyandera wanita-wanita suku yang kalah dan
menghalalkannya. Anak-anak yang ibunya mendapat perlakuan semacam ini akan
mendapatkan kehinaan semasa hidupnya.
Kaum Jahiliyah terkenal dengan
kehidupan dengan banyak istri tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua
bersaudara, mereka juga mengawini istri bapak-bapak mereka bila telah ditalak
atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka. Hak menalak ada pada kaum
laki-laki dan tidak ada batasan tertentu serta diperbolehkan rujuk meski istri
telah ditalak lebih dari tiga kali.
Perbuatan zina merata pada setiap
lapisan masyarakat. Tidak dapat kita mengkhususkan hal itu kepada satu lapisan
tanpa menyentuh lapisan yang lainnya. Ada sekelompok laki-laki dan wanita yang
terkecuali dari hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa
besar dan menolak keterjurumusan dalam lumpur kehinaan. Wanita-wanita merdeka
kondisinya lebih bagus dari kondisi para budak wanita. Kondisi mereka (budak
wanita) sangat parah.
Mayoritas kaum Jahiliyah sepertinya
tidak merasakan keteerjerumusan dalam perbuatan keji semacam itu menjadi suatu
aib bagi mereka.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari
Amru bin Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: Seorang laki-laki
berdiri sembari berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan anakku dari
hasil perzinaankku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyah. Rasulullah
saw, kemudian bersabda:
"Tidak ada dakwaan dalam islam (yang berkaitan dengan masa
Jahiliyah). Urusan yang terkait dengan masa Jahiliyah telah lenyap. Seorang
anak adalah dari hasil ranjang (dinasabkan kepada orang yang menidurinya),
sedangkan kehinaan adalah hanya bagi wanita pezina."
Tentang hal ini ada kisah yang amat
terkenal yang terjadi antara Sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdu bin Zam'ah dalam
mempersoalkan nasab anak dari budak wanita Zam'ah, yaitu 'Abdur Rahman bin
Zam'ah.
Adapun hubungan antara seorang bapak
dan anak-anaknya, amat berbeda-beda; di antara mereka ada yang menguraikan
rangkaian bait:
Sungguh
kehadiran anak-anak di tengah kami
Merupakan
jantung-jantung kami yang berjalan di atas bumi
Di antara mereka, ada yang mengubur hidup-hidup anak-anak wanita mereka
karena takut malu dan enggan menafkahinya. Anak laki-laki dibunuh lantaran
takut menjadi fakir dan melarat. (Lihat: Al-An'am: 151, An-Nahl: 58-59,
Al-Isra': 31, dan At-Takwir: 8).
Namun kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang termaktub dalam
ayat-ayat di atas telah mencerminkan moral yang berlaku umum di masyarakat. Di
sisi lain, mereka justru sangat mengharapkan anak laki-laki untuk dapat
membentengi diri mereka dari serangan musuh.
Adapun pergaulan antara seorang laki-laki dengan saudaranya, anak-anak
paman dan kerabatnya sangat kental dan kuat. Mereka hidup dan mati demi
fanatisme kesukuan. Semangat untuk bersatu begitu menbudaya antar sesama suku
yang menambah rasa fanatisme tersebut. Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem
sosial adalah fanatisme rasial dan hubungan tali rahim. Mereka hidup di bawah
semboyan yang bertutur, "Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zalim
ataupun dizalimi."
Mereka menerapkan semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti
arti yang sudah diralat oleh Islam yaitu menolong orang yang berbuat zalim
maksdunya mencegahnya melakukan perbuatan itu. Meskipun begitu, perseteruan dan
persaingan dalam memperebutkan martabat dan kepemimpinan sering kali
mengakibatkan perang antar suku yang masih memiliki hubungan sebapak. Kita dapat
melihat fenomena tersebut pada apa yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj,
'Abs dan Dzibyam, Bakar dan Taghlib, dan lain-lain.
Di sisi lain, hubungan yang terjadi antar suku yang berbeda-beda
benar-benar berantakan. Kekuatan yang ada mereka gunakan untuk berjibaku dalam
peperangan. Hanya saja, adakalanya rasa sungkan serta rasa takut mereka
terhadap sebagian tradisi dan kebiasaan bersama yang sudah ada dan berlaku
antara ajaran agama dan khurafat sedikit mengurangi deras dan kerasnya
genderang perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi tertentu, loyalitas,
persekutuan, dan subordinasi yang terjalin menyebabkan antar suku yang berbeda
berangkul dan bersatu. Dan satu-satunya yang merupakan rahmat dan penolong bagi
mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang, sehingga mereka
dapat menghirup kehidupan dan mencari rezeki guna kebutuhan sehari-hari.
Ringkasnya, kondisi sosial yang berlaku di masyarakat Jahiliyah
benar-benar rapuh dan dalam kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat
merajalela di mana-mana. Orang-orang hidup layaknya binatang ternak. Wanita
diperjual-belikan bahkan kadang-kadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan
antar umat sangat lemah, sementara setiap ada pemerintahan maka ujung-ujungnya
hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau
menggiring mereka untuk berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan
mereka.
2.
Kondisi
Ekonomi
Kondisi sosial di atas berimbas kepada kondisi ekonomi. Hal ini
diperjelas dengan melihat cara dan gaya hidup bagsa Arab. Berniaga merupakan
sarana terbesar mereka dalam menggapai kebutuhan hidup, namu begitu, roda
perniagaan tidak akan setabil kecuali jika keamanaan dan kedamaian
membarenginya. Tetapi, kedua situasi tersebut lenyap dari Jazirah Arab kecuali
pada bulan-bulan haram saja. Dalam bulan-bulan inilah pasar-pasar Arab terkenal
seperti Ukazh, Dzul Majaz, Majinnah, dan lainnya beroperasi.
Dalam kegiatan industri, mereka termasuk bangsa yang amat jauh
jangkauannya dalam hal itu. Sebagian besar hasil perindustrian yang ada di
kalangan bangsa Arab hanyalah berupa tenunan, samak kulit binatang, dan
lainnya. Kegiatan ini ada pada masyarakat Yaman, Hirah, dan pinggiran kota
Syam. Benar, di kawasan domestik Jazirah ada sedikit industri bercocok tanam,
menbajak sawah, dan beternak kambing, sapi serta unta. Kaum wanita rata-rata
menekuni seni memintal. Namun, barang-barang tersebut sewaktu-waktu dapat
menjadi sasaran peperangan. Kemiskinan, kelaparan, serta kehidupan papa
menyelimuti masyarakat.
3.
Sisi
Positif Masyarakat Arab Sebelum Islam
Kita tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat Jahiliyah identik
dengan kehidupan nista, pelacuran, dan hal-hal lain yang tidak dapat diterima
oleh akal sehat dan ditolak oleh perasaan. Namun, mereka juga mempunyai akhlak
mulia dan terpuji yang amat menawan siapa saja dan membuatnya terkesima dan
takjub. Di antara akhlak tersebut adalah :
a.
Kemurahan
hati
Mereka berlomba-berlomba dalam sifat ini dan
membangga-banggakannya. Setengah dari bait-bait syair mereka penuuh denagn
ungkapan tentang sifat ini antara pujian kepada diri sendiri dan kepada orang
lain yang memiliki sifat yang sama. Seseorang terkadang kedatangan tamu di
musim dingin yang membeku, kelaparan yang menggelayut serta dalam kondisi tidak
memiliki harta apa-apa selain unta betina yang merupakan satu-satunya sumber
hidupnya dan keluarganya, tetapi getaran kemurahan hati yang menggema di dada
membuat mereka tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan suguhan istimewa buat
tamunya, lantas disembelihlah unta satu-satunya tersebut. Diantara pengaruh
sifat murah hati tersebut; mereka sampai-sampai rela menanggung denda yang
berlipat dan beban-beban berat demi upaya mencegah pertumpahan darah san
lenyapnya jiwa. Mereka berbangga dengan hal itu dan memuji-muji diri dihadapan
para tokoh dan pemuka.
Pengaruh lain dari sifat tersebut, mereka memuji-muji diri karena
minuman khamar. Hal ini sebenarnya bukanlah lantaran bangga dengan esensi
minum-minum itu, tetapi lantaran hal itu merupakan sarana menuju
tertanamnyasifat murah hati tersebut, dan juga sarana yang memudahkan tumbuhnya
jiwa yang boros. Lantaran itu pula, mereka menamakan pohon anggur dengan
Al-Karam, sedangkan arak yang terbuat dari anggur itu mereka namakan Bintul
Karam.
Pengaruh lainnya dari sifat Al-Karam adalah mereka menyibukkan diri
dalam bermain judi. Mereka menganggap hal itu sebagai sarana menuju sifat
tersebut karena dari keuntunngan byang
diraih dalam berjudi tersebut, mereka persembahkan untuk memberi makan fakir
miskin. Oleh karena itu, Anda lihat dalam Al-Quran tidak menyetujui manfaat
khamar dan judi itu, akan tetapi sebaliknya menyatakan, "Dan dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya." (Al-Baqarah:219).
b.
Menepati
janji
Janji dalam tradisi mereka adalah laksana agama yang harus dipegang
teguh meskipun untuk mendapatkannya mereka menganggap enteng membunuh anak-anak
mereka dan menghancurkan tempat tinggal mereka sendiri. Untuk mengetahui hal
itu, cukup dengan membaca kisah Hani' bin Mas'ud Asy-Syaibani, As-Samu'al bin
Adiya dan Hajib bin Zurarah At-Tamimi.
c.
Kebanggaan
pada diri sendiri dan sifat pantang menerima pelecehan dan kezaliman
Implikasi dari sifat ini, tumbuhnya pada diri mereka keberanian
yang amat berlebihan, cemburu buta dan cepatnya emosi meluap. Mereka adalah
orang-orang yang tidak akan pernah mau mendengar ucapan yang mereka rasa berbau
penghinaan dan pelecehan.Dan apabila hal itu sampai terjadi, mereka tak
segan-segan menghunus pedang dan mengacungkan tombak, dan mengobarkan
peperangan yang panjang . Mereka juga tidak peduli bila nyawa mereka menjadi
taruhannya demi mempertahankan sifat tersebut.
d.
Tekad
yang tak pernah pudar
Bila mereka telah bertekad untuk melakukan sesuatu yang mereka
anggap suatu kemuliaan dan kebanggaan, maka tak ada satupun yang dapat
menyurutkan tekad mereka tersebut, bahkan mereka akan nekat menerjang bahaya
demi hal itu.
e.
Lemah
lembut, tenang, dan waspada
Mereka menyanjung sifat-sifat semacam ini. Hanya saja keberadaannya
seakan terhalangi oleh amat berlebihannya sifat pemberani dan ketergesaan
mereka dalam mengambil sikap untuk berperang.
E.
Agama
dan Kepercayaan Bangsa Arab Sebelum Islam
1.
Awal
Munculnya Penyembahan Berhala
Mayoritas bangsa Arab mengikuti dakwah Ismail, yaitu tatkala beliau
menyeru kepada agama bapaknya, Ibrahim. Inti ajarannya menyembah kepada Allah,
mengesakan-Nya dan memeluk agama-Nya. Waktu bergulir sekian lama, hingga banyak
di antara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka.
Meskipun demikian, masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama
Ibrahim, hingga muncul Amru bin Luhay, pemimpin Bani Khuza’ah. Dia tumbuh
sebagai orang yang dikenal suka berbuat kebajikan, mengeluarkan sedekah dan
peka terhadap urusan urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan
hampir-hampir menganggapnya sebagai salah seorang pemuka agama dan wali yang
disegani.
Suatu saat dia mengadakan perjalanan ke Syam. Di sana dia melihat
penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu
yang baik serta benar. Sebab, menurutnya Syam adalah tempat para rasul dan
kitab. Karena itulah, dia pulang sambil membawa berhala Hubal dan meletakannya
di dalam Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Makkah untuk membuat
kesyirikan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pada akhirnya banyak yang
mengikuti penduduk Makkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan
penduduk tanah suci.
Berhala mereka yang tertua adalah Manat, yang ditempatkan di
Musyallal di tepi laut merah di dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Latta di
Tha’if dan Uzza di Wadi Nakhlah. Inilah tiga berhala yang paling besar. Setelah
itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran
di setiap tempat di Hijaz. Dikisahkan bahwa Amru bin Luhay mempunyai pembantu
dari jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Nuh
(Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) terpendam di Jeddah. Maka dia datang ke
sana dan mengangkatnya, lalu membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji,
dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah.
Akhirnya berhala-berhala itu kembali ke tempat asalnya masing
masing. Dengan demikian, di setiap kabilah dan di setiap rumah hampir bisa
dipastikan ada berhala lainnya. Selain itu, mereka memenuhi Al-Masjid Al-Haram
dengan berbagai macam berhala dan patung. Ketika Rasulullah menaklukkan mereka,
di sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala. Rasulullah menghancurkan
berhala-berhala itu hingga runtuh semua. Selanjutnya beliau memerintahkan agar
berhala-berhala tersebut dikeluarkan dari masjid dan dibakar.
Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala yang
menjadi fenomena terbesar dari agama orang-orang Jahiliyah, yang menganggap
dirinya berada pada agama Ibrahim. Mereka juga mempunyai beberapa tradisi dan
upacara penyembahan berhala, yang mayoritas diciptakan oleh Amru bin Luhay.
Orang orang mengira apa yang diciptakan Amru itu merupakan sesuatu yang baru
dan baik, serta tidak mengubah agama Ibrahim. Diantar upacara penyembahan
berhala yang mereka lakukan adalah:
a.
Mereka
mengelilingi berhala dan mendatanginya sambil berkomat-kamit dihadapannya.
Mereka meminta pertolongan kepadanya tatkala menghadapi kesulitan, berdoa untuk
memenuhi kebutuhan, dan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa
memberikan Syafa’at di sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
b.
Mereka
menunaikan haji dan thawaf di sekeliling berhala, merunduk dan sujud
dihadapannya.
c.
Mereka
mengadakan penyembahan dengan menyajikan berbagai macam korban, menyembelih
hewan piaraan dan hewan kurban demi berhala dan menyebut namanya. Dua jenis
penyembelihan ini telah disebutkan Allah di dalam firman-Nya surat Al-Maidah
ayat 3 dan Al-An’am ayat 121.
d.
Bentuk
peribadatan yang lain, mereka mengkhususkan sebagian dari makanan minuman yang
mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian
tertentu dari hasil panen dan binatang piaraan mereka. Ada juga orang orang
tertentu yang mengkhususkan sebagian lain bagi Allah. Yang pasti, mereka
mempunyai banyak sebab untuk memberikan sesaji kepada berhala yang tidak akan
sampai kepada Allah. Apa yang mereka sajikan kepada Allah hanya sampai kepada
berhala-berhala mereka. Lihat surat Al-An’am ayat 136.
e.
Di
antara jenis peribadatan yang mereka lakukan ialah dengan bernazar menyajikan
sebagian hasil tanaman dan ternak untuk berhala-berhala itu. Lihat surat
Al-An’am ayat 138.
f.
Beberapa
jenis unta yang dijuluki Bahirah, Sa’ibah, Washilah, dan Hami juga diperlakukan
sedemikian rupa. Ibnu Ishaq mengisahkan,“Bahirah ialah anak Sa’ibah, unta
betina yang telah beranak 10, yang semuanya betina dan sama sekali tidak
mempunyai anak jantan. Unta ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil
bulunya, dan susu nya tidak boleh diminum kecuali oleh tamu. Jika kemudian
melahirkan lagi anak betina, maka telinganya harus dibelah. Setelah itu ia
harus dilepaskan secara bebas bersama induknya, dan harus mendapat perlakuan
seperti induknya. Washilah adalah domba betina yang selalu melahirkan anak
kembar betina selama lima kali secara berturut-turut, tidak diselingi kelahiran
anak jantan sama sekali. Domba ini dijadikan sebagai perantara untuk
peribadatan. Oleh karena itu mereka berkata, “Aku mendekatkan diri dengan domba
ini”. Tetapi, bila setelah itu domba
tersebut melahirkan anak jantan dan tidak ada yang mati, maka domba ini boleh
disembelih dan dagingnya dimakan. Hami adalah unta jantan yang sudah membuntingi
10 betina yang melahirkan 10 anak betina secara berturut-turut tanpa ada
jantannya. Unta seperti ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil
bulunya, harus dibiarkan lepas, dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan
apapun. Karena hal ini Allah menurunkan surat al Maidah ayat 103.
Sa’id bin al-Musayyab telah
menegaskan bahwa binatang-binatang ternak dipersembahkan untuk thagut-thagut
mereka. Di dalam Ash-Shahih disebutkan secara Marfu’ bahwa Amru bin Luhay
adalah orang pertama yang persembahkan unta untuk berhala.
Bangsa Arab berbuat seperti itu
terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa
mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya serta
memberikan manfaat disisi-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an
surah Az-Zumar ayat 3 dan surah Yunus ayat 18.
2.
Kepercayaan
Mengundi Nasib
Orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan menggunakan anak panah
yang tidak ada bulunya. Anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib tersebut
diberi tiga tanda: anak panah pertama diberi tanda “Ya”, dan anak panah kedua
diberi tanda “Tidak”, dan anak panah ketiga tidak diberi tanda apa-apa. Mereka
mengundi nasib untuk memastikan pelaksanaan suatu keinginan atau rencana,
seperti berpergian atau lain-lainnya dengan menggunakan anak panah itu. Jika
yang keluar panah bertanda “Ya”, mereka melaksanakan nya, dan jika yang keluar
tanda panah “Tidak”, mereka menangguhkannya hingga tahun depan dan berbuat hal
serupa sekali lagi. Bila yang keluar anak panah yang tidak diberi tanda, mereka
mengulanginya lagi.
Selain tiga anak panah bertanda seperti itu, ada jenis lain lagi
yang diberi tanda air dan tembusan. Ada juga anak panah bertanda “dari golongan
kalian” atau “bukan dari golongan kalian” atau “anak angkat”. Jika mereka
memerkarakan nasab seseorang, mereka membawa orang itu ke hadapan Hubal, sambil
membawa 100 hewan Kurban dan diserahkan kepada pengundi anak panah.
Jika yang keluar tanda “Dari golongan kalian”, maka orang tersebut
merupakan golongan mereka, dan jika yang keluar tanda “Bukan dari golongan
kalian”, maka orang tersebut hanya sebagai rekan persekutuan, dan jika yang
keluar tanda “anak angkat”, maka orang tersebut tak ubahnya anak angkat, bukan
termasuk dari golongan mereka dan juga tidak bisa didudukan sebagai rekan
persekutuan.
Perjudian dan undian tidak berbeda jauh dengan hal tersebut. Mereka
membagi daging Kurban yang telah disembelih berdasarkan undian itu.
3.
Kepercayaan
terhadap Peramal dan Ahli Nujum
Mereka juga percaya kepada perkataan peramal, orang pintar dan ahli
nujum. Peramal adalah orang yang mengabarkan sesuatu yang bakal terjadi di
kemudian hari. Ia mengaku bisa mengetahui rahasia gaib pada masa mendatang. Di
antara peramal ini ada yang mengaku memiliki pengikut dari golongan jin yang
memberinya suatu pengabaran. Di antara mereka yang mengaku bisa mengetahui
hal-hal gaib lewat suatu pemahaman yang dimilikinya. Di antara mereka mengaku
bisa mengetahui berbagai masalah lewat isyarat atau sebab yang memberinya
petunjuk, dari perkataan, perbuatan atau keadaan orang yang bertanya kepadanya.
Orang semacam ini disebut paranormal atau orang pintar. Ada pula yang mengaku
bisa mengetahui orang yang kecurian dan tempat di mana mereka kecurian serta
orang tersesat dan lain-lain.
Selain peramal, ada ahli nujum. Mereka adalah orang yang
memperhatikan keadaan bintang dan planet, lalu dia menghitung perjalanan dan
waktu peredaran nya, agar dengan begitu dia bisa mengetahui berbagai keadaan di
dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang.
Pembenaran terhadap pengabaran ahli nujum pada hakikatnya merupakan keyakinan
terhadap bintang-bintang. Sedangkan keyakinan mereka terhadap bintang-bintang
merupakan keyakinan terhadap hujan. Maka mereka berkata, “hujan yang turun
kepada kami berdasarkan bintang ini dan itu.”
Di kalangan mereka juga ada tradisi thiyarah, yakni pesimis
terhadap sesuatu. Pada mulanya mereka mendatangkan seekor burung atau
biri-biri, lalu melepasnya. Jika burung atau biri-biri itu pergi ke arah kanan,
mereka jadi berpergian ke tempat yang hendak dituju dan hal itu dianggap
sebagai pertanda baik. Jika burung atau biri-biri tersebut berjalan ke kiri,
mereka mengurungkan niatnya untuk berpergian dan menganggapnya sebagai tanda
kesialan. Mereka juga meramal di tengah perjalanan bila bertemu burung atau
hewan tertentu.
Tidak berbeda jauh dengan hal tersebut adalah kebiasaan mereka
menggantungkan ruas tulang kelinci. Mereka juga meramal kesialan dengan
sebagian hari, bulan, hewan atau wanita. Mereka percaya bahwa bila ada orang
mati terbunuh, jiwanya tidak tentram bila dendamnya tidak dibalas kan. Ruhnya
bisa menjadi burung hantu yang berterbangan di padang pasir seraya berkata,
“Berilah aku minum, berilah aku minum!” Jika dendamnya sudah dibalas kan, maka
ruhnya menjadi tentram.
4.
Agama
Ibrahim yang Direvisi
Sekalipun masyarakat Arab sangat bodoh seperti itu, sisa sisa agama
Ibrahim tetap ada di kalangan mereka dan mereka sama sekali tidak
meninggalkannya. Seperti pengagungan terhadap Ka’bah, tawaf, haji, umrah, wukuf
di Arafah dan Musdalifah. Meskipun ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya.
Di antara orang-orang Quraisy, tetap ada yang mengatakan,”Kami
adalah anak keturunan Ibrahim dan penduduk Tanah Suci, Penguasa Ka’bah dan
penghuni Makkah. Tidak ada seorang pun dari bangsa Arab yang mempunyai hak dan
kedudukan seperti kami. Maka tidak layak bagi kami keluar dari tanah suci ini
ke tempat lain.” Karena itu, mereka tidak melaksanakan wukuf di Arafah dan
tidak ifadhah dah dari sana, tetapi ifadhah dari Musdalifah.
Hal-hal baru lainnya, mereka berkata, “Tidak selayaknya bagi
orang-orang Quraisy untuk memberi makan keju dan meminta minyak samin ketika
mereka sedang ihram. Mereka tidak boleh masuk Baitul Haram dengan mengenakan
kain wol dan tidak boleh bertedu. Jika ingin berteduh kecuali di rumah-rumah
pemimpin selama mereka sedang ihram.” Mereka juga berkata, “Penduduk di luar
Tanah Suci tidak boleh memakan makanan yang mereka bawa dari luar Tanah Suci ke
Tanah Suci bila kedatangan mereka untuk haji atau Umrah.”
Mereka juga menyuruh penduduk di luar tanah suci untuk tetap
mengenakan ciri pakaiannya sebagai penduduk bukan tanah suci pada awal
kedatangan mereka untuk melakukan tawaf awal. Jika tidak memiliki ciri
pakaiannya sebagai penduduk luar tanah suci, mereka harus thawaf dalam keadaan
telanjang. Ini berlaku untuk kaum laki-laki, sedangkan untuk wanita harus
melepaskan semua pakaiannya, kecuali baju rumahnya yang longgar. Saat itu
mereka berkata:
Hari ini tampak sebagian atau semuanya
Apa yang tiada tampak tiada diperkenankan nya.
Pakaian yang dikenakan penduduk luar tanah suci harus dibuang
setelah melakukan tawaf awal, dan tak seorang pun boleh mengambil nya lagi,
begitu pula orang yang bersangkutan. Hal baru lainnya, mereka tidak memasuki
rumah dari pintunya selama dalam keadaan ihram. Mereka membuat lubang di bagian
belakang rumah, dan dari lubang itulah mereka keluar masuk rumahnya. Mereka
menganggap hal itu sebagai perbuatan yang baik. Namun, Al-Qur’an melarangnya
dalam surat Al-Baqarah ayat 189.
5.
Agama
Yahudi
Orang-orang Yahudi mempunyai dua latar belakang, sehingga mereka
berada di Jazirah Arab, yang tidak-tidaknya digambarkan dalam dua hal berikut
ini:
a. Kepindahan mereka pada masa penaklukan bangsa Babilon dan Asyur di
Palestina, yang mengakibatkan tekanan terhadap orang-orang Yahudi, penghancuran
negeri mereka dan pemusnahan mereka di tangan Nebukadnezar pada tahun 887 SM.
Di antara mereka banyak yang ditawan dan dibawa ke Babilonia. Sebagian di
antara mereka juga ada yang meninggalkan Palestina dan pindah ke Hijaz. Mereka
menempati Hijaz bagian utara.
b. Dimulai dari pencaplokan bangsa Romawi terhadap Palestina pada
tahun 70 M, yang disertai dengan tekanan terhadap orang-orang Yahudi dan
penghancuran Haikal Haikal (kuil kuil) mereka, sehingga kabilah-kabilah mereka
berpindah ke Hijaz, lalu menetap di Yatsrib, Khaibar dan Taima’. Di sana mereka
mendirikan perkampungan Yahudi dan benteng pertahanan. Maka agama Yahudi
menyebar di sebagian masyarakat Arab melalui para imigran Yahudi tersebut.
Mereka selanjutnya memiliki beberapa peran yang bisa dicatat dari beberapa
peristiwa yang bersifat politis, sebelum munculnya Islam. Saat Islam datang,
Kabila-kabilah Yahudi yang terkenal adalah Yahudi Khaibar, Bani Nadhir, Bani
Quraizhah, dan Bani Qainuqa. As-Samhudi menyebutkan di dalam Wafaul Wafa halaman
116 bahwa jumlah kabilah Yahudi saat itu lebih dari 20.
Agama Yahudi masuk ke Yaman karena
dibawa oleh penjual jerami yang bernama As’ad Abu Karb. Awal mulanya dia pergi
untuk berperang ke Yastrib dan memeluk agama Yahudi di sana. Sepulangnya dari
Yastrib ke Yaman dia membawa dua pembuka Yahudi dari Bani Quraizhah, sehingga
agama Yahudi menyebar di sana. Setelah As’ad meninggal dunia dan digantikan
anaknya, Yusuf Dzu Nuwas, dia memerangi orang orang Kristen dari penduduk
Najran dan memaksa mereka untuk masuk agama Yahudi. Karena mereka menolak nya,
maka dia menggali parit dan membakar mereka di dalam parit itu. Tak seorang pun
yang tersisa, laki-laki maupun wanita, tua maupun muda. Ada yang mengisahkan
bahwa korban yang dibunuhnya mencapai 20-40 ribu. Peristiwa ini terjadi pada
bulan Oktober 523 M. Al-Qur’an telah membuat sebagian kisah ini di dalam surat
Al-Buruj.
6.
Agama
Nasrani
Sementara itu, agama Nasrani masuk ke Jazirah Arab melalui
pendudukan orang orang Habasyah dan Romawi. Pendudukan orang-orang Habasyah
yang pertama kali diaman pada tahun 340 M dan terus berlanjut hingga tahun 378
M. Pada masa itu misionaris Nasrani menyusup ke berbagai tempat di Yaman. Tidak
lama kemudian, ada seseorang yang Zuhud, yang doanya senantiasa dikabulkan dan
memiliki Karomah, datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk
agama Nasrani. Mereka melihat garis garis kejujuran dirinya dan kebenaran
agamanya. Oleh karena itu, mereka memenuhi ajakan nya untuk memeluk agama
tersebut.
Setelah orang-orang Habasyah menduduki Yaman untuk mengembalikan
kondisi karena tindakan Dzu Nuwas dan Abrahah memegang kekuasaan di sana, maka
agama Nasrani berkembang pesat dan sangat maju. Karena semangatnya dalam
menyebarkan agama ini, Abrahah membangun sebuah gereja di Yaman, yang dinamakan
Ka’bah Yaman. Dia menginginkan agar semua bangsa Arab ‘berhaji’ ke gereja ini
dan hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Namun, Allah membinasakan nya.
Bangsa Arab yang memeluk agama Nasrani adalah dari suku suku
Ghassan, Kabila-kabilah Taghlib, Thayyi’, dan yang berdekatan dengan
orang-orang Romawi. Bahkan sebagian raja Hirah juga memeluk agama Nasrani.
7.
Agama
Majusi dan Shabi’ah
Adapun agama Majusi, lebih banyak berkembang di kalangan bangsa
Arab yang berdekatan dengan orang-orang Persia. Agama ini juga pernah
berkembang di kalangan orang-orang Arab Irak, Bahrain, dan wilayah-wilayah di
pesisir teluk Arab. Ada pula penduduk Yaman yang memeluk agama Majusi ketiga
bangsa Arab menduduki aman.
Sementara
itu, agama Shabiah menurut beberapa kisah dan catatan berkembang di Irak dan
lainnya, yang dianggap sebagai agama kaum Ibrahim Chaldean. Banyak penduduk
Syam dan Yaman pada masa dahulu yang memeluk agama ini. Setelah kedatangan
beberapa agama baru, seperti agama Yahudi dan Nasrani, agama Shabiah mulai
kehilangan eksistensi nya dan surut. Namun, sisa-sisa penganutnya tetap ada dan
bercampur dengan penganut agama Majusi, atau yang berdampingan dengan mereka di
pemukiman masyarakat Arab di Irak dan di pinggiran teluk Arab.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas
kesimpulan yang diperoleh diantaranya adalah bahwa masa sebelum masuknya Islam
di jazirah Arab, masyarakat Arab dikenal dengan nama masyarakat jahiliyah. Yang
berarti bodoh dan terbelakang. Sesuai dengan makna kata dari “Jazirah Arab”,
yang berarti kering dan tandus, jazirah Arab adalah daerah yang kering dan
tandus, dengan hamparan padang pasir yang luas dan bebatuan serta di kelilingi
gugusan pegunungan. Merujuk kepada silsilah dan asal-usulnya, para sejarawan
membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu Arab Ba’idah, Aribah, dan
Musta’ribah. Masyarakat Arab sebagian hidup secara nomaden, yaitu mereka yang
hidup di daerah pedalaman. Mereka yang hidup didaerah pedalaman menggantungkan
kehidupanya dengan berternak. Sedangkan sebagian lagi mereka hidup di daerah
kota menggantungkan hidup dengan berdagang. Sebelum agama Islam diturunkan di
jazirah Arab, penduduk Arab menyembah berhala. Di samping itu ada beberapa
agama yang menjadi anutan bangsa Arab, yaitu Yahudi, Nasrani, Majusi dan
Shabi’ah. Masyarakat Arab hidup berkelompok-lompok sesuai keturunannya
(kabilah). Hal ini seringkali menimbulkan persaingan yang tak sehat sampai
menimbulkan peperangan dikalangan bangsa Arab. Masyarakat Jahiliyah identik
dengan kehidupan nista, pelacuran, dan hal-hal lain yang tidak dapat diterima
oleh akal sehat dan ditolak oleh perasaan. Namun, mereka juga mempunyai akhlak
mulia dan terpuji yang amat menawan siapa saja dan membuatnya terkesima dan
takjub.
B.
Saran
Demikian makalah Sejarah Kebudayaan
Islam tentang peradaban bangsa Arab sebelum Islam yang kami buat, mungkin
inilah yang diwacanakan pada penulisan ini, meskipun penulisan ini masih jauh
dari kata sempurna, minimal kita dapat menambah pemahaman mengenai sejarah.
Selain itu, masih banyak kesalahan dari penulisan kelompok kami, karena kami
manusia yang adalah tempat dan dosa.
Semoga makalah tentang peradaban
bangsa Arab sebelum Islam yang telah kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca.
Kedepannya kami akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah
tersebut dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat
dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mubarakfuri, S.
(2011). Sirah Nabawiyah: Sejarah Hidup Nabi Muhammad. Jakarta: Ummul Qura.
Bakar, A. (2022). Peradaban Masyarakat Sebelum Islam.
Al-Bahru Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 1 No.1.
Rama. (2024, Juni 3). Siapa Bangsa Arab
Sebenarnya? Sejarah dan Asal-Usul Bangsa Arab. Retrieved from Catatan
Pelajar: https://satriasaep.blogspot.com/2024/06/siapa-bangsa-arab-sebenarnya-sejarah.html
Suntiah, R., & Maslani. (2017). Sejarah
Pradaban Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar