Tafsir Al-Quran Surat Al-Alaq Ayat 1-8
BAB I PENDAHULUAN
Al-Qur’an
ialah firman Allahﷻ berupa wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada
Nabi muhammad ﷺ. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan
untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui upaya para pemeluknya dengan
cara ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua
prinsip besar, yaitu dengan masalah yang
berhubungan dengan keimanan yang disebut akidah, dan dengan yang berhubungan
dengan amal yaitu syari’ah.
Surat
Al-‘Alaq yang diturunkan pertama kali. Allahﷻ memberikan gambaran dasar tentang
nilai-nilai kependidikan tentang membaca, menulis, meneliti, mengkaji, menelaah
sesuatu yang belum diketahui, dan harus senantiasa diawali dengan menyertakan
nama Allahﷻ (bismillah). Tetapi, manusia masih banyak yang kurang
mempelajari hal tersebut untuk membekali pengetahuannya. Selain itu, tugas
manusia juga sebagai khalifah di muka bumi ini. Bagaimana menjadi khalifah jika
mempelajari ilmu pengetahuan saja manusia enggan mencarinya. Dalam surat
al-‘Alaq ayat 1 – 8 ini dapat menjadi landasan dalam mencari ilmu untuk menjadi
pendidik yang menjadi teladan.
1. Bagaimana
asbabun nuzul surat Al-‘Alaq ayat 1 – 8?
2. Bagaimana
makna global surat Al-‘Alaq ayat 1 – 8?
3. Bagaimana
pendapat para mufasir mengenai surat Al-‘Alaq 1 – 8?
4. Bagaimana
analisis kandungan ayat surat Al-‘Alaq 1 – 8?
1. Mengetahui
asbabun nuzul surat Al-‘Alaq ayat 1 – 8
2. Mengetahui
makna global surat Al-‘Alaq ayat 1 – 8
3. Mengetahui
pendapat para mufasir mengenai surat Al-‘Alaq 1 – 8
4. Mengetahui
analisis kandungan ayat surat Al-‘Alaq 1 – 8
BAB II PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an
Surat Al-‘Alaq Ayat 1 – 8
ٱقۡرَأۡ
بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَق(َ1) خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ(2) ٱقۡرَأۡ
وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ(3) ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ(4) عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا
لَمۡ يَعۡلَمۡ(5) كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ(6) أَن رَّءَاهُ
ٱسۡتَغۡنَىٰٓ(7) إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلرُّجۡعَىٰٓ(8)
1. Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
ٱقۡرَأۡ
بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ
|
خَلَقَ |
ٱلَّذِي |
رَبِّكَ |
بِٱسۡمِ |
ٱقۡرَأۡ |
|
menciptakan |
yang |
Tuhanmu |
dengan
nama |
bacalah |
2. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah,
خَلَقَ
ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ
|
|
عَلَقٍ |
مِنۡ |
ٱلۡإِنسَٰنَ |
خَلَقَ |
|
|
segumpal
darah |
dari |
manusia |
menciptakan |
3. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
ٱقۡرَأۡ
وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ
|
|
|
ٱلۡأَكۡرَمُ |
وَرَبُّكَ |
ٱقۡرَأۡ |
|
|
|
amat
mulia |
dan
Tuhanmu |
bacalah |
4. Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
ٱلَّذِي
عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ
|
|
|
بِٱلۡقَلَمِ |
عَلَّمَ |
ٱلَّذِي |
|
|
|
dengan
kalam |
Dia
mengajar |
yang |
5. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
عَلَّمَ
ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ
|
يَعۡلَمۡ |
لَمۡ |
مَا |
ٱلۡإِنسَٰنَ |
عَلَّمَ |
|
Dia
ketahui |
tidak |
apa |
manusia |
Dia
mengajarkan |
6. Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
كَلَّآ
إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ
|
|
لَيَطۡغَىٰٓ |
ٱلۡإِنسَٰنَ |
إِنَّ |
كَلَّآ |
|
|
benar-benar
melampui batas |
manusia |
sesungguhnya |
sekali-kali
tidak |
7. karena
dia melihat dirinya serba cukup.
أَن
رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ
|
|
|
ٱسۡتَغۡنَىٰٓ |
رَّءَاهُ |
أَن |
|
|
|
dia
serba cukup |
ia
melihatnya |
bahwa |
8. Sesungguhnya
hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).
إِنَّ
إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلرُّجۡعَىٰٓ
|
|
ٱلرُّجۡعَىٰٓ |
رَبِّكَ |
إِلَىٰ |
إِنَّ |
|
|
tempat
kembali |
Tuhanmu |
kepada |
sesungguhnya |
Dalam
hadist yang di riwayatkan oleh Aisyah r.a, ia berkata bahwa permulaan wahyu
yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ. adalah mimpi yang baik pada waktu tidur.
Biasanya mimpi yang dilihat itu jelas, sebagaimana cuaca di pagi hari.
Kemudian, timbulah pada diri beliau keinginan untuk meninggalkan keramaian.
Untuk itu beliau pergi ke Gua Hira untuk berkhalwat. Beliau melakukannya
beberapa hari. Khadijah sang istri beliau menyediakan beberapa perbekalan untuk
beliau selama di Gua Hira.
Nabi
ﷺ. mendatangi gua Hira untuk tujuan beribadah selama beberapa hari. Beliau
kembali kepada istrinya yaitu Siti Khadijah untuk mengambil bekal secukupnya.
Hingga pada suatu hari di dalam gua, beliau dikejutkan oleh kedatangan malaikat
membawa wahyu Illahi. Malaikat bertanya kepadanya, “Bacalah!” Beliau menjawab,
“Saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa untuk kedua kalinya
malaikat memegang nabi dan menekan-nekannya hingga nabi kepayahan dan setelah
itu dilepaskan. Malaikat berkata lagi kepadanya, “Bacalah!” Nabi menjawab,
“Saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa untuk ketiga kalinya
malaikat memegang nabi dan menekan-nekannya hingga beliau kepayahan. Setelah
itu barulah nabi mengucapkan apa yang diucapkan oleh malaikat, yaitu surat
Al-Alaq ayat 1-5.
Di
dalam kata iqra terkandung makna yang tinggi karena tidak harus dipahami
sebagai sekedar perintah membaca saja. Tetapi lebih dari itu, iqra mempunyai
makna membaca asma dan kemuliaan Allahﷻ, membaca teknologi genetika, membaca
teknologi komunikasi, dan membaca segala yang belum terbaca. Pengetahuan dan
penangkapan tentang fenomena ditempuh dengan rasio, untuk itu diperlukan
aktifitas berfikir. Akan tetapi dalam realitas hidup dan kehidupan banyak
ditemukan fenomena yang tidak dapat dirasionalkan. Istilah-istilah dalam
al-Qur’an seperti yaddabbaru, yatadabbaru, ta‟qilun, dan tafakkur merupakan
anjuran-anjuran untuk mempelajari, mendalami, merenungkan, dan mengambil
kesimpulan dalam memahami al-Qur’an (agama), alam semesta dan diri manusia
sendiri yang semuanya bertujuan untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
kepada Allahﷻ.
Para
perawi hadist mengatakan, bahwa Nabi ﷺ kembali ke rumah Khadijah dalam keadaan
gemetar seraya mengatakan, “Selimutilah aku, selimutilah aku”. Kemudian mereka
menyelimuti beliau hingga rasa takut beliau pun hilang. Setelah itu beliau
menceritakan semuanya kepada Khadijah. Lalu beliau berkata, “Aku merasa khawatir
terhadap diriku”. Khadijah menjawab, “Jangan, bergembiralah! Demi Allahﷻ,
sesungguhnya Allahﷻ tidak akan membuatmu kecewa. Sesungguhnya engkau adalah
orang yang menyambungkan silaturrahmi, benar dalam berkata, menanggung beban,
gemar menyuguhi tamu dan gemar menolong orang yang tertimpa bencana”.
Kemudian
Khadijah mengajak beliau menemui Waraqah ibnu Naufal ibnu ‘Abdil-‘Uzza (anak
paman Khadijah). Beliau adalah pemeluk agama Nasrani di zaman jahiliyah, pandai
menulis Arab dan menguasai bahasa Ibrani, serta pernah menulis Injil dalam
bahasa Arab dari bahasa aslinya, Ibrani. Beliau seorang yang sudah lanjut usia,
dan bulat kedua matanya. Khadijah berkata kepadanya, “Hai anak paman! Dengarkanlah
apa yang dikatakan anak saudaramu ini”. Waraqah bertanya kepada nabi, “Wahai
anak saudaraku, apakah yang engkau saksikan?” Kemudian nabi ﷺ. menceritakan apa
yang dialaminya kepadanya. Waraqah berkata, “Malaikat Namus (pakar ahli yang pandai) inilah yang
pernah datang kepada Nabi ‘Isa. Jika saja aku masih kuat, dan jika saja aku
masih hidup tatkala kaum mu mengusirmu”. Rasulullah ﷺ. Bertanya,”Ya. Tidak
seorang pun datang membawa apa yang kau bawa, melainkan ia akan dimusuhi. Jika
aku masih hidup di masa itu, aku akan menolongmu sekuat tenaga”. Tetapi tidak
lama kemudia ia wafat. Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari dan
Muslim.
Berdasarkan
hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa permulaan surat ini merupakan awal
ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan. Dan merupakan rahmat Allahﷻ pertama yang
diturunkan kepada hamba-hambaNya, serta kitab pertama ditujukan kepada
Rasulullah ﷺ. Akan halnya sisa surat ini diturunkan kemudian, yaitu setelah tersiarnya
berita kerasulan Muhammad ﷺ. dan setelah beliau mengajak kaum Quraisy kepada
keimanan terhadap Allahﷻ. Sebagian mereka beriman kepadanya. Namun sebagian
besar mereka merasa jengkel kepada mereka yang beriman sehingga tidak
henti-hentinya menyakiti mereka. Mereka berupaya mengembalikan kaum mu’minin
kepada keingkaran atas nabinya dan apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya.
Dakwah
Nabi ﷺ. selama di Makkah menghadapi banyak penentang dari pemuka Quraisy.
Diantara yang paling terkemuka adalah Abu Lahab alias Abdul Uzza, Abu Jahal,
Umar bin Khatthab (sebelum memleuk Islam), Abu Sufyan bin Harb (sembelum masuk
Islam), dan Ummu Jami (istri Abu Lahab) yang hingga wafatnya tetap dalam keadaan
kafir. Kebencian Abu Jahal alias Amr bin Hisyam terhadap Rasulullah ﷺ.
begitu masyur. Seperti dikutip dalam Kitab Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
(vol 1). Suatu ketika Abu Jahal melihat Nabi ﷺ. pergi ke Masjid. Tiba-tiba dia
langsung menghardik dan melarang beliau untuk mengerjakan shalat. Itulah sebab
turunnya ayat karena adanya seorang Abu Jahal yang merasa paling hebat, merasa
paling banyak hartanya, dan merasa paling banyak temannya, sehingga dia berani
menantang dan melarang Nabi ﷺ. untuk melakukan shalat di Masjid.
Setelah
datang ayat-ayat memerintahkan Rasulullah menyampaikan dakwah dan seruannya
kepada penduduk Makkah, banyaklah orang yang benci dan marah, diantaranya
orang-orang yang sifatnya dijelaskan dalam ayat enam sampai delapan, yang
merasa dirinya berkecukupan dan hidupnya melanggar dan melampaui batas.
Seseorang diantara mereka yang terkemuka adalah Abu Jahal. Dia benci benar kepada
Rasul, sebab beliau menyerukan menghentikan menyembah berhala, dan supaya orang
hanya menyembah kepada Allahﷻ Yang Esa. Dan Rasulullah dengan tidak peduli
kepada siapapun, pergi sembahyang di Ka’bah menyembah Allahﷻ menurut
keyakinannya dan cara yang telah dipimpinkan Tuhan kepadanya. Menurut sebuah
Hadist dari Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, setelah Abu
Jahal mendengar dari kawan-kawannya bahwa Muhammad telah pernah sembahyang
seperti itu di Ka’bah, sangat murkanya, sampai dia berkata: “Kalau saya
lihat Muhammad itu sembahyang di dekat Ka’bah , akan saya injak-injak
kuduknya”.
Imam
Ibnu Mundzir telah mengetengahkan sebuah hadist melalui Abu Hurairah r.a. yang
telah menceritakan bahwa Abu Jahal telah berkata kepada teman-teman
sekelompoknya: “Apakah kalian menginginkan supaya muka Muhammad dilumuri dengan
pasir di hadapan kalian?” Mereka menjawab: “Ya”. Lalu Abu Jahal melanjutkan
perkataannya: “Demi Lata dan Uzza, jika aku melihat dia sedang melakukan salat,
maka benar-benar aku akan injak lehernya dan menaburkan pasir-pasir pada
mukanya”. Maka Allahﷻ menurunkan firman-Nya:
“Ketahuilah,
sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas”.
(QS. Al-‘Alaq, 6 dan seterusnya)
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu Jahl pernah berkata: “Apakah Muhammad
meletakkan mukanya ke tanah (sujud) di hadapan kamu?” Ketika itu orang
membenarkannya. Selanjutnya Abu Jahal berkata: “Demi al-Lata dan al-‘Uzza,
sekiranya aku melihat dia sedang berbuat demikian, akan aku injak batang
lehernya dan kubenarkan mukanya ke dalam tanah.” Ayat-ayat ini turun
berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Al-Alaq
adalah nama ke-96 yang terdiri atas 19 ayat. Lima ayat pertama merupakan wahyu
pertama yang diterima Nabi Muhammad ﷺ. Kata Al-Alaq umumnya diterjemahkan
sebagai segumpal darah. Makna yang lebih tepat yaitu sesuatu yang tergantung.
Dalam kaitan surat ini bisa dimaksudkan sebagai zigot, benih manusia sebagai
hasil pertemuan nuthfah yang menggantung di rahim perempuan.
Nabi
datang membawa kemajuan. Dan kemajuan umat tidak lepas dari pengembangan ilmu
pengetahuan. Budaya baca adalah syarat untuk kemajuan masyarakat. Nabi
diperintah membaca, dan melalui kegiatan membaca manusia menambah
pengetahuannya tentang alam dan tentang dirinya. Surat ini menegaskan tentang
potensi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang dianugerahkan Tuhan, namun
mereka sering bersikap sombong, merasa tidak memerlukan apa-apa dan tidak
jarang bertindak melampaui batas, mencegah orang lain untuk mengabdi kepada
Tuhan. Mereka menghambat dan menghalangi orang lain melakukan kebaikan. Walau
terbuka jalan bagi mereka untuk memperoleh petunjuk dan berbuat baik pada
sesama namun sering kali mereka memilih sikap membangkang terhadap Tuhan yang
selalu engawasinya. Nabi diingatkan untuk tidak tunduk kepada mereka melainkan
bersujud kepada Tuhan dan berusaha mendekat kepada-Nya.
Surat
Al-Alaq ini merupakan surat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad,
berisi anjuran membaca untuk memahami ilmu pengetahuan.
Dalam
QS. Al-Alaq ayat 1-8 ini menjelaskan perintah membaca dan menerangkan kenyataan
kodrat (kekuasaan) Allahﷻ terhadap manusia. Allahﷻ menjadikan manusia dari
setetes nuthfah, yang secara berangsur-angsur menjadilah manusia yang sempurna
dan dapat menguasai (menundukkan) makhluk-makhluk yang lain. Tuhan memberikan
kemampuan membaca kepada manusia dan menjadikan kalam (alat tulis pada zaman
dahulu) sebagai sarana mengembangkan ilmu dan pengetahuan. Allahﷻ pun berkuasa
menjadikan Muhammad yang ummi (tak bisa membaca dan menulis) sanggup menghafal
Al-Qur’an. Allahﷻ berkuasa mengajari Muhammad menghafal Al-Qur’an tanpa
mempergunakan kalam dan kertas.
Sebagian
manusia mengingkari nikmat yang besar ini, dan merasa cukup dengan kekuatan
(kemampuan) yang ada padanya. Mereka lupa kepada Allahﷻ.
1. Ayat
1
Nabi Muhammad ﷺ. diperintahkan untuk membaca guna
lebih memantapkan lagi hati beliau. Ayat pertama ini menyatakan: Bacalah
wahyu-wahyu Illahi yang sebentar lagi akan banyak engkau terima dan baca juga
alam dan masyarakatmu. Bacalah semua itu tetapi dengan syarat hal tersebut
engkau lakukan dengan atau demi nama Tuhan Yang selalu memelihara
dan membimbingmu dan yang mencipta semua makhluk kapan dan di mana pun.
2. Ayat
2
Memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad ﷺ.
dan yang diperintahkan oleh ayat lalu untuk membaca dengan nama-Nya serta demi
untuk-Nya. Dia adalah Tuhan yang telah menciptakan manusia, yakni semua
manusia kecuali Adam dan Hawa, dari segumpal darah atau sesuatu yang bergantung
di dinding rahim.
3. Ayat
3
Selain memerintahkan membaca dengan meningkatkan
motivasibya, yakni dengan nama Allahﷻ, kini ayat ini memerintahkan membaca
dengan menyampaikan janji Allahﷻ atas manfaat membaca itu. Allahﷻ berfirman: Bacalah
berulang-ulang dan Tuhan Pemelihara dan Pendidik-mu Maha Pemurah sehingga
akan melimpahkan aneka karunia.
4. Ayat
4-5
Ayat ini melanjutkan dengan memberi contoh sebagian
dari kemurahan-Nya itu dengn menyatakan bahwa: Dia Yang Maha Pemurah itu yang
mengajar manusia dengan pena, yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan Dia
juga yang mengajar manusia tanpa alat dan usaha mereka apa yang belum
diketahuinya.
5. Ayat
6-7
Berbicara tentang sikap kaum musyrikin terhadap Nabi
Muhammad ﷺ. dan ajarannya, dapat dipastikan bahwa ayat-ayat sesudah aya kelima
turun setelah Nabi mengumandangkan ajaran-ajaran Islam di hadapan umum, yakni
setelah turunnya perintah berdakwah secara terang-terangan. Pada ayat ini
menggambarkan bahwa tindakan melampaui batas dan kesewenang-wenangan bermula
dari anggapan seseorang bahwa ia berkuasa atau tidak butuh kepada pihak
manapun.
6. Ayat
8
Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. sebagai
hiburan buat beliau yang selama ini diperlakukan sewenang-wenang oleh
masyarakat Mekkah. Ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya ayat ini, walau
menggunakan bentuk persona kedua, ia ditujukan pada pesona ketiga. Jadi, dengan
demikian, seakan-akan ayat di ini berbunyi “Kepada Tuhannya”, dalam arti ia
ditujukan kepada manusia secara umum. Menurut penganut pendapat ini, kata-nya
dialihkan menjadi-mu dengan tujuan menekankan makna yang diamanatkan
oleh kandungan redaksi tersebut.
Bilamana manusia itu merasa dirinya serba cukup, baik
kekuasaan maupun keuangan, dia jadi lupa daratan, lupa diri, dan lupa
segalanya. Dia lupa kepada kewajibannya sebagai anggota masyarakat waktu ia
diminta untuk turun tangan, berpartisipasi menciptakan kesejahteraan dalam
masyarakat, sama seperti ia membutuhkan kesejahteraan itu utnuk dirinya
sendiri. Dia sama sekali lupa pula, bahwa kekuasaan, kekayaan, sampai kepada
diri pribadinya adalah mutlak kepunyaan Allahﷻ.
Namun sudah menjadi kebiasaan umum bagi sebagian orang
yang mempunyai kekuasaan dan kekayaan untuk memanfaatkan kekuasaan dan
kekayaannya itu bagi kepentingannya sendiri. Dengan demikian, cepat atau lambat
terjadilah jurang pemisah antara dia dan masyarakatnya. Dan tidak ustahil pula
jurang itu semakin lama semakin dalam juga. Kesombongan dan ketakaburan mulai
menguasai dirinya, semakin lama semakin meningkat pula, sehingga pada
gilirannya ia telah berani mendurhakai Tuhannya.
1.
Tafsir Al-Qurthubi
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.”
Firman Allahﷻ, اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu.” Yakni, bacalah ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan kepadamu
dan diawali bacaan itu dengan menyebut nama Tuhanmu, yakni dengan menyebut
bismillah pada permulaan setiap surah. Oleh karena itu, Huruf ba’pada kata بِاسْمِ dianggap
menempati tempat nashab karena berposisi sebagai keterangan. Namun ada juga
yang berpendapat bahwa huruf ba’ tersebut bermakna ‘ala (atas), yakni : atas
nama Tuhanmu. Kedua kata bantu tersebut (huruf ba’ dan kata ‘ala) bermakna
hampir sama, terkadang dapat dibaca dengan bi ismillah bacaan itu dengan
menyebut nama Tuhanmu).
Lalu ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud
dari kalimat ismu rabbika pada ayat di atas adalah Al-Quran. Yakni : iqra ‘isma
rabbika atau iqra Al-Quran (bacalah Al-Quran). Ada juga yang berpendapat bahwa
makna dari firman Allahﷻ, اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.” Adalah: sebutlah nama Allahﷻ.
Yakni, Nabi ﷺ diperintahkan untuk mulai membaca dengan menyebut nama Allahﷻ.
خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ
“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Untuk ayat ini, juga hanya dibahas satu masalah saja,
yaitu : Firman Allahﷻ خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah” Yakni, Allahﷻ menciptakan keturunan Nabi Adam yang
dari gumpulan darah.
Kata عَلَقٍ adalah
bentuk jamak dari kata ‘alaqah. Dan makna dari kata ‘alaqah adalah : darah yang
menggumpal, bukan darah yang mengalir, karena darah yang mengalir disebut
dengan damm masfuuh. Para ulama berpendapat : Penyebutan bentuk jamak pada kata
عَلَقٍ maksudnya adalah menerangkan bahwa
kata الْإِنْسٰنَ yang
disebutkan sebelumnya bermakna jamak (kata insan dapat digunakan dalam bentuk
tunggal dan dapat juga digunakan dalam bentuk jamak). Yakni, seluruh
manusia diciptakan dari segumpal darah,
setelah sebelumnya berbentuk mani.
‘Alaqah adalah segumpal darah yang lembut. Dinamakan
‘alaqah karena darah tersebut selalu menjaga (ta’allaqa) kelembutannya pada
setiap waktu, jika itu tidak lagi lembut atau kering maka tidak akan disebut
dengan ‘alaqah.
Adapun penyebutan insan (manusia) pada ayat ini secara
khusus manusia memiliki kehormatan yang lebih dibandingkan makhluk lainnya.
Penyebutan itu adalah penghormatan bagi mereka.
Lalu ada juga yang berpendapat bahwa penyebutannya
adalah untuk menjelaskan kadar nikmat yang diberikan kepada mereka, yakni
mereka diciptakan bermula dari gumpalan darah yang hina, lalu setelah itu
mereka menjadi seorang manusia yang sempurna, yang memiliki akal dan dapat
membedakan segalanya.
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha pemurah”
Untuk ayat ini, juga hanya dibahas satu masalah saja,
yaitu : Firman Allahﷻ, “Bacalah,” Ini adalah penegasan dari kata yang sama yang
disebutkan pada awal surah ini. Kata ini merupakan kalimat yang telah sempurna,
oleh karena itu lebih baik jika diwaqafkan, barulah setelah itu dilanjutkan
kembali dengan kalimat yang baru, yaitu : وَرَبُّكَ الْأَكْرَم “Dan Tuhanmulah yang Maha pemurah.”
Makna dari kata الْأَكْرَمpada ayat ini adalah al Kariim (Yang Maha Pemurah), namun berbeda dengan
pendapat yang disampaikan oleh Al Kalbi, ia mengatakan bahwa makna dari kata
ini adalah Al Haliim (Yang Maha Lembut), yakni lembut terhadap ketidaktahuan
hamba-hamba-Nya, hingga mereka tidak disegerakan hukumannya ketika mereka
melakukan kesalahan. Akan tetapi makna yang pertamalah yang lebih diunggulkan,
atas dasar segala nikmat yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya, hal
itu menunjukkan akan kemurahan-Nya.
Lalu ada juga yang berpendapat bahwa makna dari firman
Allahﷻ,اقْرَأْ وَرَبُّكَ
“Bacalah, dan Tuhanmu” Yakni, wahai Muhammad, bacalah dari Tuhanmu akan
menolongmu dan memberi pemahaman kepadamu, walaupun kamu bukanlah seseorang
yang pandai membaca. Sedangkan makna الْأَكْرَم adalah
memahami akan ketidaktahuan hamba-Nya.
الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
“Yang mengajar (manusia) dengan pena”.
Mengenai ayat ini dibahas tiga masalah : Firman Allahﷻ
“Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam” Yakni, Allahﷻ
mengajarkan manusia menulis dengan menggunakan alat tulis.
Sa’id meriwayatkan, dari Qatadah, ia berpendapat:
Qalam adalah salah satu nikmat Allahﷻ yang paling besar kalau saja Qalam tidak
diperkenalkan kepada manusia maka agama tidak dapat berjalan sesuai dengan yang
semestinya, Hal ini adalah bukti nyata betapa Allahﷻ sangat Pemurah bagi para
hamba-Nya, karena Ia telah mengajarkan kepada mereka apa yang tidak mereka
ketahui, hingga mereka dapat meninggalkan gelapnya kebodohan dan menuju cahaya
ilmu.
Pada ayat ini Allahﷻ mengingatkan kepada manusia akan
fadhilah ilmu menulis, karena di dalam ilmu penulisan terdapat hikmah dan manfaat
yang sangat besar, yang tidak dapat dihasilkan kecuali melalui penulisan,
ilmu-ilmu pun tidak dapat diterbitkan kecuali dengan penulisan, begitu pun
dengan hukum-hukum yang mengikat manusia agar selalu berjalan di jalur yang
benar. Penulisan juga memperlihatkan manfaatnya untuk menjaga kisah kaum-kaum
terdahulu atau sejarah mereka, bahkan kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allahﷻ
mungkin tidak dapat bertahan lama jika tidak ada ilmu penulisan. Pada intinya,
ilmu sangat berguna sekali, jika ilmu itu tidak ada maka segala hal yang
berkaitan dengan agama dan keduniaan tidak akan dapat banyak berguna karena
tidak bertahan lama.
Adapun penyebutan qalam sebagai alat tulis, karena
qalam itu yuqlam (memotong). Di antara maknanya adalah ungkapan taqlim az-zufur
(memotong kuku). Sebuah riwayat dari Abdullah bin Umar menyebutkan, bahwa ia
pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah, apakah aku boleh menulis setiap hadits yang aku dengar darimu?” beliau
menjawab, “Tentu, tuliskanlah, karena Allahﷻ telah mengajarkan manusia untuk
mempergunakan alat tulis.”
Mujahid meriwayatkan, dari Abu Umar, ia berkata : Allahﷻ
menciptakan empat hal langsung dengan Tangan-Nya, kemudian setelah menciptakan
empat hal itu Ia menciptakan hewan-hewan dengan berkata, “Kun” maka terciptalah
hewan-hewan itu. Adapun empat hal yang diciptakan dengan Tangan-Nya adalah :
Qalam, Arsy, surga Adn, dan Adam AS.
Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang
dimaksud oleh ayat ini diajarkan untuk mempergunakan alat tulis. Pendapat pertama
menyebutkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah Nabi Adam, karena memang Nabi
Adam lah manusia yang pertama kali dapat menulis. Pendapat ini disampaikan oleh
Ka’ab Al Ahbar. Pendapat yang kedua menyebutan, bahwa orang yang diajarkan cara
menulis dengan alat tulis adalah Nabi Idris, karena beliau adalah orang yang
pertama yang melakukan penulisan. Pendapat ini disampaikan oleh Adh Dhahhak.
Pendapat yang ketiga menyebutkan, bahwa Allahﷻ
memasukkan ilmu ke dalam kalbu setiap manusia yang ingin menulis dengan
mempergunakan alat tulis, karena manusia tidak mungkin mengetahui ilmu
penulisan itu kecuali dengan pengajaran dari Allahﷻ. Dengan mengajari mereka
ilmu penulisan itu maka lengkaplah nikmat yang diberikan Allahﷻ kepada manusia.
Kemudian pada ayat ini Allahﷻ menjelaskan bahwa ilmu penulisan itu adalah
nikmat dari-Nya, sebagai penyempurna segala
nikmat yang telah diberikan.
Para ulama madzhab kami (Maliki) berpendapat : Qalam
itu terbagi menjadi tiga, qalam yang pertama diciptakan oleh Allahﷻ langsung
dengan Tangan-Nya, qalam ini diperintahnkan oleh Allahﷻ unytuk menulis sendiri
apa yang dikehendaki-Nya. Qalam yang kedua adalah qalamnya para malaikat, qalam
ini diserahkan oleh Allahﷻ kepada para malikat-Nya untuk mencatat seluruh
takdir, kejadian alam semesta, dan amal perbuatan. Sedangkan qalam yang ketiga
adalah qalam manusia, Allahﷻ juga mengajarkan ilmu qalam kepada manusia agar
mereka dapat menuliskan apa yang ingin mereka tuliskan dan meraih apa yang
mereka maksudkan.
Menulis itu memiliki fadhilah yang sangat penting,
menulis juga salah satu cara untuk menjelaskan, dan menjelaskan adalah salah
satu keahlian yang diberikan kepada manusia.Para ulama madzhab kami berpendapat
: Pada saat Nabi ﷺ diutus sebagai seorang Rasul, kala itu kaum Arab adalah kaum
yang paling terbelakang dalam hal penulisan, dan slah satu orang yang tidak
mengetahui ilmu tersebut adalah Nabi ﷺ sendiri, ilmu itu seakan dijauhkan
darinya, agar lebih terbukti kemukjizatan yang diturunkan kepada beliau dan
lebih kuat hujjah yang beliau miliki. Keterangan ini telah kami jelaskan lebih
mendetail pada tafsir surat Al-Ankabut.
Sebuah riwayat dari Hammad bin Salamah, dari Zubair
bin Abdusalam, dari Ayub bin Abdullah al Fahri, dari Abdullah bin Mas’ud,
menyebutan, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda, “Janganlah kamu berikan istri-istrimu
ruangan di atas rumah, dan jangan kamu ajarkan bagaimana cara menulis. Para
ulama madzhab kami (Maliki) berpendapat : Nabi ﷺ memperingatkan hal itu mungkin
karena hal itu dapat memberikan keluasan bagi para istri untuk memperhatikan
para pria yang berjalan di sekeliling rumahnya. Dengan memberikan mereka tempat
khusus di atas rumah akan mengurangi kesucian mereka dan juga mengurangi
kewajiban mereka untuk menutup diri.
Hal ini dikarenakan kaum wanita biasanya tidak mampu
untuk menahan diri dan mudah terpancing oleh kata-kata, lalu terjadilah fitnah
dan berbagai cobaan yang melibatkan rumah tangga. Oleh karena itulah Nabi ﷺ
memberi peringatan kepada suami untuk tidak memberikan ruangan atas untuk para
istri mereka agar tidak terjadi fitnah yang tidak diinginkan. Makna hadis ini
tidak jauh berbed dengan sabda beliau yang lain yang menyebutkan, “Tidak ada
yang lebih baik untuk para istrimu kecuali mencegah mereka untuk melihat lelaki
lain ataupun dilihat oleh lelaki lain.”
Wanita itu diciptakan dari bagian tubuh laki-laki,
tidak aneh jika orintasi dan fokus mereka hanya kepada kaum pria. Sedangkan
kaum pria diberikan syahwat yang besar untu memiliki setiap wanita, dan
menjadian kaum wanita sebagai penenang syahwat itu, oleh karena itu,
masing-masing pasangan tidak dapat memberikan kepercayaan secara penuh atas
pasangannya sendiri.
Begitu pula halnya dengan mengajarkan ilmu menulis
kepada kaum wanita, bisa jadi ilmu itulah yang menimbulkan fitnah di antara
mereka. Hal ini dapat terjadi apabila seorang wanita diajarkan untuk menulis,
maa ia akan menulis apa saja yang ia inginkan kepada siapa saja yang ia mau,
padahal tulisan itu memiliki salah satu fungsi mata, yakni tulisan dapat
dijadikan saksi bisu, karena tulisan memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Dan
tulisan juga dapat menjadi ungkapan perasaan akan sesuatu yang tidak bisa
dikatakan melalui tulisan, bahkan tulisan itu lebih jelas dan lebih nyata
daripada lusan. Oleh karena itu, Nabi ﷺ ingin agar para wanita terbebas dari
segala penyebab yang dapat menimbulan fitnah, sebagai pensucian bagi mereka dan
pembersihan hati mereka.
عَلَّمَ الْإِنْسٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Mengenai ayat ini hanya dibahas satu masalah saja,
yaitu: Firman Allahﷻ, “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”. Para ulama menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan kata الْإِنْسٰنَ (manusia)
pada ayat ini adalah Nabi Adam (seorang), beliaulah yang diajari segala
sesuatu. Tidak ada suatu apapun yang tidak diberitahukan namanya kepada Nabi
Adam, dan segala sesuatu itu diberitahukan kepada Nabi Adam dengan segala
bahasa. Lalu ilmu itu ditunjukkan kepada para malikat untuk membandingkannya,
maka muncul kelebihan yang dimiliki oleh Nabi Adam di atas para malaikat,
jelaslah nilai yang dimilikinya dan terbuktilah kenabiannya.
Pada saat itu tegaklah hujjah Allahﷻ dan juga hujjah
Nabi Adam atas para malaikat yang sebelumnya tidak menyetujui keputusan Allahﷻ menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah di muka
bumi. Maka para malaikat pun akhirnya menyadari kesalahannya, setelah
diperlihatkan keistimewaan yang dimiliki oleh Nabi Adam, setelah melihat
langsung kebesaran kekuasaan Allahﷻ, dan
setelah mendengar betapa agungnya beban yang diemban. Kemudian semua ilmu yang
diberikan kepada Nabi Adam itu diwariskan kepada anak cucunya secara turun
temurun, terbawa ke seluruh pelosok bumi, dari satu kaum ke keum lainnya,
hingga datangnya hari kiamat nanti. Makna ini telah kami sampaikan secara lebih
mendetail pada tafsir surah Al Baqarah.
Makna ini berbeda dengan makna yang disampaikan oleh
beberapa ulama, mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata الْإِنْسٰنَ pada ayat
ini adalah Nabi Muhammad ﷺ, dalilnya adalah firman Allahﷻ pada ayat yang lain,
“Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.”
كَلَّآ إِنَّ الْإِنْسٰنَ لَيَطْغَىٓ )٦( أَنْ رَّءَاهُ اسْتَغْنَىٰ)٧ٓ
“Sekali-kali
tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas. apabila melihat
dirinya serba cukup”.
Untuk kedua ayat ini, dibahs beberapa masalah, yaitu :
كَلَّآ إِنَّ الْإِنْسٰنَ لَيَطْغَى “Ketahuilah
! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas.” Para ulama berpendapat,
dari ayat ini hingga ayat terakhir surah ini semuanya diturunkan pada kisah Abu
Jahal. Namun sebagian ulama ada juga yang berpendapat surah ini secara
keseluruhan diturunkan pada kisah Abu Jahal. Yaitu ketika Abu Jahal melarang
Nabi ﷺ untuk melakukan shalat, maka Allahﷻ memerintahkan beliau untuk
melakukannya di dalam masjid dan membaca Al-Quran dengan menyebut nama Tuhan.
Dengan penafsiran seperti ini maka artinya surah ini
bukanlah surah yang pertama kali diturunkan. Atau, bisa jadi hanya lima ayat
saja yang pertama kali diturunkan, kemudian sisa ayat lainnya diturunkan pada
kisah Abu Jahal. Kemudian setelah itu Nabi diperintahkan untuk menggabungkan
keduanya pada satu surah. Karena memang penggabungan suatu surah atau suatu
ayat sekalipun harus berdasarkan perintah dari Allahﷻ, bukankah banyak sekali
contoh-contoh pada ayat atau surah lainnya yang digabungkan namun tidak
diturunkan secara beriringan.
Ayat ini termasuk ayat-ayat yang diturunan pada akhir
masa kenabian, namun ayat inbi digabungkan dengan ayat-ayat yang diturunkan
jauh sebelum itu. Firman Allahﷻ, كَلَّآ إِنَّ الْإِنْسٰنَ لَيَطْغَىٓ ٦ أَنْ رَّءَاهُ اسْتَغْنَىٰ ٧ٓ
“Ketahuilah ! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena
dia melihat dirinya serba cukup, “Kata كَلَّآ disini bermakna haqqan (sebenar-benarnya),
karena tidak ada kalimat sebelumnya yang menunjukkan harus adanya jawaban كَلَّآ (yang arti sebenarnya adalah “tidak sama
sekali”)
Dan yang dimaksud dengan kata الْإِنْسٰن disini
adalah Abu Jahal (untuk bentuk tunggal). Sedangkan makna dari kata tughyan الْإِنْسٰن adalah
melampaui batas dalam berbuat kemaksiatan. Adapun makna dari firman Allahﷻ, أَنْ رَّءَاهُ اسْتَغْنَىٰ adalah : Abu Jahal telah menganggap dirinya telah tercukupi
segalanya, yakni ia adalah seorang hartawan yang kaya raya.
Abu Shalih meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia berkata :
Setelah diturunkannya ayat ini dan orang-orang musyrik mendengarnya, mereka
segeraa menemui Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Muhammad, engkau mengira Abu Jahal
telah tercukupi namun ia melampaui batas dalam berbuat maksiat, oleh arena itu
ubahlah gunung-gunung yang ada di kota Makkah ini seluruhnya menjadi emas, agar
kami dapat mengambilnya dan merasa berkecukupan. Sesungguhnya kami tidak akan
mengikuti jejak Abu Jahal, kami berjanji akan meninggalkan ajaran kami
sebelumnya dan mengikuti ajaran yang engkau bawa.”
Lalu Nabi ﷺ mengkonsultasikan hal itu kepada malaikat
jibril menjawab, “Wahai Muhammad, jika benar demikian adanya berikanlah mereka
pilihan, jika mereka mau beriman maka kami akan memberikan apa saja yang mereka
inginkan, namun jika mereka menolak maka kami akan menimpakan kepada mereka
adzab yang sama seperti yang kami timpakan pada kisa al-Maidah.” Namun akhirnya
Nabi ﷺ mengetahui bahwa mereka tidak akan pernah menerima keimanan yang
ditawarkan kepada mereka, oleh karena itu beliau tidak melanjutkan penawaran
itu, agar umatnya tidak dibinasakan seperti umat-umat sebelumnya. Beberapa
ulama lain berpendapat bahwa yang dirasakan tercukupi oleh Abu Jahal adalah
keluarga, teman, dan penolongnya, bukan dengan hartanya yang melimpah.
Al Farra mengatakan ; Bukan maksud dari ayat ini
“melihat dirinya sendiri” seperti ungkapan “membunuh dirinya sendiri”, karena
kata “melihat” adalah salah satu kata perbuatan yang membutuhkan isim dan
khabar, seperti halnya zhann (menyangka) atau hisban (mengira). Oleh karena itu
tidak mungkin hanya disebutkan satu maf’ul saja. Dalam bahasa Arab apabila
kata-kata tersebut dimaksudkan untuk diri sendiri maka yang akan dikatakan
adalah : raiaytani kadza (engkau melihatku begini) dan hasibtani kadza (engkau
mengiraku seperti itu), yakni dengan menggunakan dua maf’ul.
Mengenai qira’ah, kata رَّءَاهُ dibaca oleh
Mujahid, Hamid, Qanbil, yang meriwayatkannya dari Ibnu Katsir, dengan tidak
memanjangkan bacaan pada huruf hamzah (an ra’ahu). Sedangkan jumhur ulama
membacanya dengan memanjangkannya (an ra’ aahu), dan bacaan inilah yang lebih
diunggulkan.
إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الرُّجْعَىٰٓ
“Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(mu).”
Mengenai ayat ini hanya dibahas satu masalah saja,
yaitu :
Firman Allahﷻ, إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الرُّجْعَىٰٓ
“Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu). “Yakni, ketahuilah
wahai orang yang memiliki sifat seperti itu, bahwa hanya kepada Allahﷻ lah
tempat kembali mu nanti.
2.
Tafsir Al-Misbah
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”
Kandungan surah ini perintah untuk membaca guna lebih
memantapkan hati. Ayat diatas bagai menyatakan : Bacalah wahyu-wahyu Ilahi yang
sebentar lagi akan banyak engkau terima dan baca juga alam dan masyarakatmu.
Bacalah agar engkau membekali dirimu dengan kekuatan pengetahuan. Bacalah semua
itu tetapi dengan syarat hal tersebut lakukan dengan atau demi nama Tuhan yang
selalu memelihara dan membimbingmu dan yang menciptakan semua makhluk kapan dan
di manapun
Kata اِقْرَأ iqra
terambil dari kata kerja قْرَ qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun.
Apabila anda merangkai huruf atau kata kemudian anda mengucapkan rangkaian
tersebut, anda telah menghimpunnya, yakni membacanya. Dengan demikian realisasi
perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek
bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain.
Karenanya, dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut.
Antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui
ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya yang kesemuanya bermuara pada arti
menghimpun.
Huruf بِ ba pada
kata بِاسْمِ bismi ada juga yang memahaminya sebagai
berfungsi penyertaan atau mulabasah sehingga dengan demikian ayat tersebut
berarti “bacalah disertai dengan nama Tuhanmu.”
Kata رَبِّ rabb seakar
dengan kata Tarbiyah pendidikan, kata ini memiliki arti yang berbeda-beda namun
pada akhirnya arti-arti itu mengacu kepada pengembangan, peningkatan,
ketinggian, kelebihan, serta perbaikan. Kata Rabb maupun tarbiyah berasal dari
kata raba-yarbu yang dari segi pengertian kebahasaan adalah kelebihan.
Kata خَلَقَ khalaqa
dari segi pengertian kebahasaan memiliki sekian banyak arti, anatara lain
menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu),
mengukur, memperhalus, mengatur, membuat, dan sebagainya. Kata ini biasanya
memberikan tekanan tentang kehebatan dan ebesaran Allahﷻ dalam ciptaan-Nya.
“Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah”
Ayat ini dan ayat-ayat berikutnya memperkenalkan Tuhan
yang disembah oleh Nabi Muhammad ﷺ. dan yang diperintahkan oleh ayat yang lalu
untuk membaca dengan nama-Nya. Dia adalah Tuhan yang menciptakan manusia, yakni
semua manusia kecuali Adam dan Hawwa dari segumpal darah atau yang bergantung
di dinding rahim.
Kata al-insani
manusia terambil dari kataunsul senang jinak, dan harmonis, atau dari katanisy
yang berarti lupa. Ada juga yang berpendapat berasal dari katanaus, yakni gerak
atau dinamika.Makna-makna di atas paling tidak memberikan gambaran sepintas
tentang potensi atau sifat makhluk tersebut, yakni bahwa ia memiliki sifat lupa
dan kemampuan bergerak yang melahirkan dinamika. Ia juga adalah makhluk yang
selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme, dan kebahagiaan
kepada pihak-pihak lain.
Kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman
sifatnya. Kata ini berbeda dengan kata basyar yang juga diterjemahkan dengan
“manusia” tetapi maknanya lebih banyak mengacu kepada manusia dari segi fisik
serta nalurinya yang tidak berbeda antara seseorang manusia dan manusia lain.
Kata عَلَقٍ alaq dalam
kamus-kamus bahasa Arab digunakan dalam arti segumpal darah, juga dalam arti
cacing yang terdapat di dalam air bila diminum oleh binatang maka ia tersangkut
di kerongkongannya. Bisa juga dipahami sebagai berbicara tentang sifat manusia
sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung
kepada selainnya.
“Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah”
Ayat tiga di atas mengulangi perintah membaca. Ulama
berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan itu. Ada yang menyatakan bahwa perintah
pertama ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad ﷺ, sedang yang kedua kepada
umatnya, atau yang pertama untuk membaca dalam shalat, sedang yang kedua di
luar shalatnya. Pendapat ketiga menyatakan perintah belajar, sedang yang kedua
adalah perintah mengajar orang lain. Ada lagi yang menyatakan bahwa perintah
kedua berfungsi mengukuhkan guna menanamkan rasa “percaya diri” kepada Nabi
Muhammad ﷺ tentang kemampuan beliau membaca karena tadinya beliau tidak pernah
membaca.
Kata الْأَكْرَمُ al-akram
biasa diterjemahkan dengan yang maha / paling pemurah atau semulia-mulia. Kata
ini terambil dari kata كْرَم karena yang antara lain berarti :
memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia,
setia dan sifat kebangﷺanan. Penyifatan Rabb dengan Karim menunjukkan bahwa
Karam (anugerah kemurahan-Nya dalam berbagai aspek) dikaitkan dengan
Rububiyyah-Nya, yakni pendidikan, pemeliharaan, dan perbaikan makhluk-Nya,
sehingga augerah tersebut dalam kadar dan waktunya selalu berbarengan serta bertujuan
perbaikan dan pemeliharaan.
“Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yang
belum diketahui(nya).”
Ayat-ayat yang lalu menegaskan kemurahan Allahﷻ. Ayat
di atas melanjutkan dengan memberi contoh sebagian dari kemurahan-Nya itu
dengan menyatakan bahwa : Dia Yang Maha Pemurah itu yang mengajarkan manusia
dengan pena, yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan Dia juga yang
mengajarkan manusia tanpa alat dan usaha mereka apa yang belum diketahuinya.
Kata al-qalam terambil dari kata kerja qalama yang berarti memotong ujung sesautu.
Yang berarti hasil dari penggunaan alat tersebut, yakni tulisan. Dari uraian di
atas, kita dapat menyatakan bahwa dua cara yang ditempuh Allahﷻ, dalam
mengajarkan manusia. Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh
manusia dan yang kedua melalui pengajaran langsung tanpa alat.“Hati-hatilah
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas apabila ia melihat dirinya
mampu.”
Ayat diatas menguraikan salah satu sisi potensi
manusia setelah sebelumnya menguraikan potensi kodrati yang lain , yaitu
sebagai makhluk sosial, atau paling tidak menguraikan asal kejadiannya. Allahﷻ
berfirman : Hati-hatilah ! Sesungguhnya manusia secara umum, dan khususnya yang
tidak beriman, benar-benar melampaui batas dan berlaku sewenang-wenang apabila
ia melihat, yakni merasa dan menganggap, dirinya mampu, yakni tida membutuhkan
pihak lain.
Kata kalla
diatas merupakan ancaman bagi manusia yang melampaui batas. Kata la yathgha
digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis atau
membahayakan. Dalam arti yang lebih umum, yakni segala sesuatu yang melampaui
batas, seperti kekufuran, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia
disamping makna di atas. Kata istaghna dalam arti umu lebih baik, yani merasa
memiliki kecukupan yang mengantarnya merasa tidak membutuhkan apa pun, baik
materi, ilmu pengetahuan, kedudukan, dan sebagainya.
“Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(mu).”
Ayat di atas ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. sebagai
hiburan buat beliau yang selam ini diperlakukan sewenang-wenang oleh masyarakat
mekkah. Ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya ayat ini, walau menggunakan
bentuk persona kedua, ia ditujukan pada persona ketiga. Jadi, dengan demikian
seakan-akan ayat di atas berbunyi “Kepada Tuhannya”, pendapat ini kata-nya
dialihkan menjadi-mu dengan tujuan menekankan makna yang diamanatkan oleh
kandungan redaksi tersebut. Kata ar-ruj’a terambil dari kata raja’a yang
berarti kembali. Banyak yang memahaminya dalam arti “kembali kepada Allahﷻ.
Setelah kematian untuk mempertanggungjawabkan segala amal yang telah dilakukan
dalam kehidupan dunia ini”. Menurut sayyid Quthub “kembali kepada Allahﷻ”.
Kembali kepada-Nya dalam segala sesuatu, yakni segala urusan, niat, dan gerak.
Tiada tempat kembali kecuali kepada-Nya
3.
Tafsir Ath-Thabari
Firman-Nya اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu,” maksudnya adalah
Muhammad ﷺ. bacalah hai Muhammad dengan menyebut nama Tuhanmu الَّذِى خَلَقَ “Yang
menciptakan” Kemudian Allahﷻ menjelaskan tentang الَّذِى خَلَقَ “Yang
menciptakan,” yaitu Allahﷻ berfirman, خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ “Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah”, maksudnya adalah min ‘alaqah “dari segumpal darah”, karena
diungkapkan dalam bentuk jamak, seperti ungkapan syarah dan syajar, serta
ashabah dan qashab, demikian juga ‘alaqah dan ‘alaq. Allahﷻ mengatakan dengan
redaksi مِنْ عَلَقٍ , sedangkan lafazh الْإِنْسٰن dalam
bentuk tunggal, karena lafazh ini bermakna jamak walaupun bentuknya tunggal,
karena itulah dikatakan نَ مِنْ عَلَقٍ
4.
Tafsir Al-Aisar
Firman-Nya, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang menciptakan, Dia telah menciptakan, Dia telah menciptakan manusiadari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Mahamulia, yang mengajar (manusia)
dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui.” Inilah kelima
ayat Al-Quran yang pertama kali Allahﷻ turunkan, sebagaimana yang disebutkan di
dalam hadits-hadits shahih. Seperti yang telah sering disebutkan bahwa Nabi ﷺ
sering datang ke gua Hira untuk bertahanus, yaitu menghilangkan kegelisahan dan
menjauhkan diri dari kemungkaran (kesyirikan dan kebathilan) yang ada pada
kaumnya. Ketika beliau sedang di dalam gua Hira, tiba-tiba beliau dikagetkan
oleh malaikat Jibril. Malaikat Jibril berkata, “Wahai Muhammad, aku adalah
Jibril dan kamu adalah utusan Allahﷻ!” Kemudian Jibril berkata, “Bacalah!” Maka
aku (Muhammad) menjawab, “Aku tidak bisa membaca!” Maka Jibril pun mendekati
dan mendekapku sebanyak tiga kali sehingga aku pun merasa sesak. Maka Jibril
kembali berkata, “Iqra Bismi Rabbikalladzii Khalaq” Maka aku pun mengikuti
bacaan Jibril.
Firman-Nya “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu,”Allahﷻ
Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk membaca dan memulai bacaannya dengan
menyebut nama Rabbnya yaitu “bismillahirrahmanirrahim” Allahﷻ Ta’ala berfirman,
“Yang menciptakan ,”maksudnya yang telah menciptakan seluruh makhluk dan
menciptakan Nabi Adam dari tanah. Dia telah menciptakan manusia dan anak
keturunan Nabi Adam “dari segumpal darah” kata “alaq” adalah kata jamak adapun
kata tunggalnya adalah “alaqah” yaitu segumpal darah yang kental.
Empat puluh hari pertama masih dalam bentuk nutfah
(sperma yang telah bercampur dengan ovum), kemudian berubah menjadi “alaqah
yang menempel di dinding rahim. Kemudian empat puluh hari berikutnya menjadi
mudghah (sekerat daging). Kemudian apabila Allahﷻ berkehendak, maka “mudghah”
tersebut akan menjadi makhluk hidup. Akan tetapi, apabila Allahﷻ tidak
berkehendak, maka rahim akan mengeluarkannya dalam bentuk segumpal daging. Allahﷻ
berfirman, “Bacalah dan Tuhanmulah,” Ayat ini merupakan penguat perintah yang
pertama, Karena Rasulullah sangat kesulitan untuk melaksanakan perintah
tersebut dan ditambah jiwa beliau dalam keadaan ketakutan karena dikagetkan
oleh malaikat Jibril. “Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah yang mengajar
(manusia) dengan pena, Allahﷻ yang Mahatinggi telah mengajarkan hamba-hamba-Nya
cara-cara menulis dengan pena. Allahﷻ berfirman, “Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya,” inilah di antara nikmat Allahﷻ yang diberikan
kepada seluruh hamba-Nya dan nikmat-Nya ini tidak bisa dihitung. Yaitu Allahﷻ
telah mengajarkan ilmu pengetahuan yang tidak diketahui manusia melalui pena.
Inilah keutaman pena karena telah menjadi perantara ilmu pengetahuan. Perantara
menjadi mulia ketika tujuan yang dicapainya juga mulia. Sehingga tidak ada yang
lebih mulia di dunia ini dari orang-orang shalih dan ilmu-ilmu Allahﷻ yang ada
di dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Firman-Nya, ketahuilah! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.
Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmu kembali(mu), “ Allahﷻ Ta’ala mengabarkan
tentang tabiat manusia sebelum dididik dengan keimanan dan ilmu Allahﷻ yang mengajarkan
hal-hal yang dicintai dan dibenci oleh Allahﷻ. Ketika ia melihat dirinya telah
merasa cukup (tidak memerlukan Allahﷻ) karena telah memiliki harta, anak, anak
atau kekuasaan dan ia merasa tidak tata krama, keadilan, kebenaran, dan
kebaikan. Sehingga ia akan bersikap sombong, berbuat kezhaliman, tidak
melaksanakan kewajiban, meremahkan orang-orang lemah, dan menghina orang lain.
5.
Tafsir Al-Maragi
Inilah surah yang pertama dari Al-Quran yang dimulai
dengan menyebut nama Allahﷻ, kemudian memberikan pengarahan pertama kepada
Rasulullah ﷺ, pada masa kali pertama berhubungan dengan alam tertinggi, dan
pada langkah pertamanya di jalan dakwah yang dipilihkan untuknya. Diarahkannya
beliau supaya membaca dengan menyebut nama Allahﷻ, “Bacalah dengan (menyebut)
nama Allahﷻ.” اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ
Penyebutan sifat-sifat Tuhan di sini dimulai dengan menyebutkan sifat
yang dengannya dimulai penciptaan dan permulaan manusia, yaitu sifat Tuhan
“Yang Menciptakan”. Kemudian penyebutan secara khusus tentang penciptaan
manusia dan asal usulnya , “Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ”Dari setitik darah beku yang melekat di
dinding rahim, dari benih yang sangat kecil dan sederhana bentuknya.
Hal ini menunjukan betapa Yang Maha Pencipta telah
memuliakan manusia melebihi kodratnya. Di antara kemuliaan yang diberikan Allahﷻ
kepada manusia, ialah Dia telah meningkatkan tingkat darah yang melekat di
dinding ini ke tingkatan sebagai manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui.
Lantas, ia belajar, “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya “ (al-Alaq: 3-5). Ini adalah perpindahan yang sangat jauh
antara asal-usul dan kejadian kelak. Akan tetapi, Allahﷻ Mahakuasa, bahkan Allahﷻ
itu Maha Pemurah. Karena itu, perpindahan ini memusingkan kepala
Di samping hakikat ini, tampak jelas pula hakikat
pengajaran Tuhan kepada manusia dengan perantaraan “kalam” (pena dan segala
sesuatu yang semakna dengannya). Kemudian tampaklah sumber pengajaran dan ilmu
pengetahuan bahwa sumbernya adalah Allahﷻ. Dari-Nya manusia mengembangkan apa
yang telah dan akan diketahuinya. Juga dari-Nyalah manusia mengembangkan apa
yang dibukakan untuknya tentang rahasia-rahasia semesta, kehidupan, dan dirinya
sendiri. Semua itu adalah dari sana, dari sumber satu-satunya itu, yang tidak
ada sumber lain.
Di antara konsekuensi hakikat bahwa Allahﷻ adalah yang
menciptakan, mengajarkan dan memuliakan manusia, maka hendaklah manusia
mengerti dan mengakui yang demikian ini serta mensyukurinya. Akan tetapi, yang
terjadi justru sebaliknya. Sesungguhnya yang memberi nikmat dan kekayaan
kepadanya adalah Allahﷻ, sebagaimana Dia pula yang telah menciptakan, memuliakan
dan mengajarinya. Akan tetapi, manusia secara umum kecuali orang yang
terpelihara oleh imannya, tidak mau bersyukur ketika diberi nikmat. Lantas, dia
merasa dirinya serba cukup dan tidak mengetahui sumber nikmat dan kecukupan
itu. Ketika tampak potret manusia yang melampaui batas asal usul serta bersikap
sombong karena melihat dirinya kaya, maka datanglah ancaman yang menakutkan
“Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).”
(Al-Alaq :8). Hendak kemana pergi orang yang melampaui batas itu?. Kembali
kepada Allahﷻ lah orang yang saleh dan durhaka, kepada Allahﷻ kembali semua
urusan.
Surat Al-Alaq khususnya ayat 1-5 merupakan wahyu
pertama yang diterima Nabi Muhammad ﷺ. Inilah wahyu pertama yang diturunkan
oleh Allahﷻ kepada beliau ﷺ, yang dalam kajian Ibnu Katsir dikatakan sebagai
rahmat dan nikmat pertama yang dianugerahkan Allahﷻ kepada para hamba-Nya.
Surat Ini pula yang menandai penobatan beliau sebagai Rasulullah, utusan Allahﷻ,
kepada seluruh umat manusia. Wahyu inilah yang menjadi tonggak perubahan
peradaban dunia. Dengan turunnya ayat tersebut maka berubahlah garis sejarah
umat manusia. Berubah dari kehidupan jahiliyah nan gelap dalam semua aspek,
termasuk di dalamnya kegelapan ilmu pengetahuian, menjadi terang benderang.
Sejak saat itu, penduduk bumi hidup dalam keharibaan
dan pemeliharaan Allahﷻ secara langsung. Mereka hidup dengan terus memantau
ajaran Allahﷻ yang mengatur semua urusan mereka, besar maupun kecil. Dan
perubahan-perubahan itu ternyata diawali dengan "Iqra"
(bacalah).
Perintah membaca di sini tentu harus dimaknai bukan
sebatas membaca lembaran-lembaran buku, melainkan juga membaca ‘buku’ dunia.
Seperti membaca tanda-tanda kebesaran Allahﷻ. Membaca diri kita, alam semesta
dan lain-lain. Berarti ayat tersebut memerintahkan kita untuk belajar dari
mencari ilmu pengetahuan serta menjauhkan diri kita dari kebodohan.
Namun membaca yang mampu membawa kepada perubahan
positif bagi kehidupan manusia bukanlah sembarang membaca, melainkan “membaca
dengan menyebut nama Allahﷻ Yang Menciptakan.” Dengan
demikian dalam makna yang lebih luas, ayat pertama merupakan perintah untuk
mencari ilmu, ilmu yang bersifat umum baik ilmu yang menyangkut ayat-ayat
qauliyah (ayat Al Qur’an) dan ayat-ayat kauniyah (yang terjadi di alam). Ayat
qauliyah ialah tanda-tanda kebesaran Allahﷻ yang berupa firmanNya, yaitu
Al-Quran. Dan ayat-ayat kauniyah ialah tanda-tanda kebesaran Allahﷻ yang berupa keadaan alam semesta.
Ayat kedua, Allahﷻ menyatakan bahwa manusia diciptakan
dari segumpal darah. Allahﷻ sendiri juga telah menegaskan bahwa manusia dicipta
sebagai sebaik-baik ciptaan dan tidak
ada makhluk yang dianugerahi wujud dan fasilitas hidup yang menyamai manusia. Allahﷻ
menganugerahi manusia berupa akal pikiran, perasaan, dan petunjuk agama. Semua
itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Yang demikian itu,
diharapkan manusia bersyukur kepada Allahﷻ dengan menaati semua perintah dan
menjauhi semua larangan-Nya.
Ayat ketiga, kita harus senantiasa menyebut nama Allahﷻ
setiap kita hendak membaca dan kasih sayang Allahﷻ selalu tercurah kepada kita,
karena sesungguhnya Allahﷻ amat mengasihi dan menyayangi makhluk-Nya. Banyak manusia yang tidak menyadari Allahﷻ selalu
memberikan kemudahan baginya, tetapi kita tidak pernah mengetahui dan
menyadarinya.
Ayat keempat, Allahﷻ mengajar manusia dengan pena.
Maksudnya dengan pena manusia dapat mencatat berbagai cabang ilmu pengetahuan,
dengan pena manusia dapat menyatakan ide, pendapat dan keinginan hatinya dan
dari pena manusia juga mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan baru.
Pada ayat kelima, Allahﷻ mengajar manusia apa yang
belum diketahuinya. Manusia lahir ke dunia dalam keadaan tidak mengetahui
apa-apa. Secara perlahan, Allahﷻ memberikan manusia kemampuan melihat dengan
matanya dan mendengar dengan telinganya, sehingga dengan kemampuannya itu
manusia mampu mencapai cabang ilmu baik ilmu agama maupun ilmu yang lain bahkan
ilmu yang mungkin langsung diberikan oleh Allahﷻ kepada beberapa orang yang
dikehendaki tanpa melalui belajar (ilmu laduni).
Dalam ayat enam dan tujuh, manusia
mempunyai suatu sifat yang buruk yaitu jika dia merasa dirinya telah berkecukupan ia akan
sombong
dan tinggi hati. Manusia itu adalah makhluk yang tak pernah merasa
cukup, manusia selalu merasa kekurangan terutama harta dan benda. Serba cukup
dalam kalimat ini ialah saat dia merasa dirinya lah yang paling kaya dan paling
pintar sehingga dia sama sekali tak mau mendenger nasihat orang lain.
Terakhir pada ayat kedelapan banyak
manusia yang lupa akan kehidupan di akhirat, mereka lupa akan kematian itu
sangatlah dekat dengannya. Kebanyakan manusia hanya mencari keduniawian tanpa
mencari bekal akhiratnya. Mereka melupakan kemana pada akhirnya semua manusia
akan kembali.
BAB III PENUTUP
Surat Al-Alaq ini merupakan wahyu yang diturunkan
pertama kali oleh Allahﷻ kepada Nabi Muhammad ﷺ, melalui perantara malaikat
Jibril di gua Hira. Al-Alaq umumnya diterjemahkan sebagai segumpal darah. Makna
yang lebih tepat yaitu sesuatu yang tergantung. Dalam kaitan surat ini bisa
dimaksudkan sebagai zigot, benih manusia sebagai hasil pertemuan nuthfah yang
menggantung di rahim perempuan. Makna yang terkandung dalam QS. Al-Alaq ini
terdiri dari ayat pertama menjelaskan proses penciptaan manusia dan
penghormatan Allahﷻ kepadanya, ayat kedua menjelaskan sikap manusia terhadap
nikmat Allahﷻ, ayat ke tiga sampai lima menjelaskan membaca dan menulis adalah
kunci pengetahuan, dan ayat ke enam sampai delapan menjelaskan manusia durhaka
karena merasa cukup atas apa yang telah ia miliki.
Ada empat nilai pendidikan akidah dalam surah al-‘Alaq
yaitu diawali dengan membekali diri dengan ilmu yang bermanfaat dengan landasan
menyebut nama Allahﷻ, dilanjutkan dengan menjauhi perbuatan yang melampaui
batas, disusul dengan menjauhi pergaulan dengan orang-orang yang melampaui
batas dan yang terakhir diisi atau dihiasi dengan menegakkan salat, ketaatan
dan ibadah. Ringkasnya, menyinari dengan ilmu, membuang sifat sombong dan
menghiasi dengan salat dan ibadah-ibadah yang lain.
Dengan adanya materi yang dipaparkan oleh penulis,
diharapkan para pembaca memahami betul makna dari QS. Al-Alaq ini, serta dapat
mengamalkannya dalam kehidupan, dan menjadikannya motivasi agar lebih
meningkatkan semangat belajar dan mau mengembangkan penelitian dengan niat atas
ibadah kepada Allahﷻ.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Mahalli, I. J., & As-Suyuti,
I. J. (2009). Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul.
Bandung: Sinar BAru Algesindo .
Al-Maragi, A. M. (1993). Terjemah
Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.
Dahlan, H., & Alfarisi, M.
(2009). Asbabun Nuzul. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Effendi, D. (2012). Pesan-pesan
Al-Qur'an. Jakarta: Serambi.
Hamka. (1985). Tafsir Al-Azhar
Juzu' XXVIII. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hassan, A. (2010). Al-Furqan
Tafsir Qur'an. Jakarta Selatan: Universitas Al-Azhar Indonesia.
Madani. (2018, February 5). Asbabun
Nuzul Surah Al-Alaq. Retrieved from Fimadani Web site:
http://fimadani.com/surah-al-alaq-1-5/
Rasiyambumen. (2019, March 3). Asbabun
Nuzul Surat Al-'Alaq Ayat 6-19. Retrieved from Kajian Islam Web Site:
https://www.rasiyambumen.com/2019/03/asbabun-nuzul-surat-al-alaq-ayat-6-19.html
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir
Al-Misbah. Jakarta: Lentera HAti.
Shiqqieqy, T. M. (2003). Tafsir
Al-Qur'anul Majid An-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Surin, B. (2004). Az-Zikra.
Bandung: Angkasa Bandung.
Syafi', A. (2017). Kajian Tentang Belajar dalam al-Qur’an Surat al-‘Alaq Ayat 1-5. Sumbula, 639.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar