Iklan

Jumat, 07 Juni 2024

Makalah Tafsir Al-Quran Surat Al-Alaq Ayat 1-8

Tafsir Al-Quran Surat Al-Alaq Ayat 1-8


BAB I PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Al-Qur’an ialah firman Allahﷻ berupa wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi muhammad ﷺ. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui upaya para pemeluknya dengan cara ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu dengan  masalah yang berhubungan dengan keimanan yang disebut akidah, dan dengan yang berhubungan dengan amal yaitu syari’ah.

Surat Al-‘Alaq yang diturunkan pertama kali. Allahﷻ memberikan gambaran dasar tentang nilai-nilai kependidikan tentang membaca, menulis, meneliti, mengkaji, menelaah sesuatu yang belum diketahui, dan harus senantiasa diawali dengan menyertakan nama Allahﷻ (bismillah). Tetapi, manusia masih banyak yang kurang mempelajari hal tersebut untuk membekali pengetahuannya. Selain itu, tugas manusia juga sebagai khalifah di muka bumi ini. Bagaimana menjadi khalifah jika mempelajari ilmu pengetahuan saja manusia enggan mencarinya. Dalam surat al-‘Alaq ayat 1 – 8 ini dapat menjadi landasan dalam mencari ilmu untuk menjadi pendidik yang menjadi teladan.

B.      Rumusan Masalah

1.       Bagaimana asbabun nuzul surat Al-‘Alaq ayat 1 – 8?

2.       Bagaimana makna global surat Al-‘Alaq ayat 1 – 8?

3.       Bagaimana pendapat para mufasir mengenai surat Al-‘Alaq 1 – 8?

4.       Bagaimana analisis kandungan ayat surat Al-‘Alaq 1 – 8?

C.      Tujuan Masalah

1.       Mengetahui asbabun nuzul surat Al-‘Alaq ayat 1 – 8

2.       Mengetahui makna global surat Al-‘Alaq ayat 1 – 8

3.       Mengetahui pendapat para mufasir mengenai surat Al-‘Alaq 1 – 8

4.       Mengetahui analisis kandungan ayat surat Al-‘Alaq 1 – 8


BAB II PEMBAHASAN

 

A.     Al-Qur’an Surat Al-‘Alaq Ayat 1 – 8

 

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَق(َ1) خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ(2) ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ(3) ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ(4) عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ(5) كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ(6) أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ(7) إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلرُّجۡعَىٰٓ(8) 

 

B.      Makna Mufradat

1.     Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

 

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ 

 

 

خَلَقَ

ٱلَّذِي

رَبِّكَ

بِٱسۡمِ

ٱقۡرَأۡ

 

menciptakan

yang

Tuhanmu

dengan nama

bacalah

 

2.     Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah,

 

خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ 

 

 

 

عَلَقٍ

مِنۡ

ٱلۡإِنسَٰنَ

خَلَقَ

 

 

segumpal darah

dari

manusia

menciptakan

 

3.     Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,

 

ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ 

 

 

 

 

ٱلۡأَكۡرَمُ

وَرَبُّكَ

ٱقۡرَأۡ

 

 

 

amat mulia

dan Tuhanmu

bacalah

 

4.     Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,

 

ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ

 

 

 

 

بِٱلۡقَلَمِ

عَلَّمَ

ٱلَّذِي

 

 

 

dengan kalam

Dia mengajar

yang

 

5.     Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

 

عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ

 

 

يَعۡلَمۡ

لَمۡ

مَا

ٱلۡإِنسَٰنَ

عَلَّمَ

 

Dia ketahui

tidak

apa

manusia

Dia mengajarkan

 

6.     Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,

 

كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ 

 

 

 

لَيَطۡغَىٰٓ

ٱلۡإِنسَٰنَ

إِنَّ

كَلَّآ

 

 

benar-benar melampui batas

manusia

sesungguhnya

sekali-kali tidak

 

7.     karena dia melihat dirinya serba cukup.

 

أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ

 

 

 

 

ٱسۡتَغۡنَىٰٓ

رَّءَاهُ

أَن

 

 

 

dia serba cukup

ia melihatnya

bahwa

 

8.     Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).

 

إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلرُّجۡعَىٰٓ 

 

 

 

ٱلرُّجۡعَىٰٓ

رَبِّكَ

إِلَىٰ

إِنَّ

 

 

tempat kembali

Tuhanmu

kepada

sesungguhnya

 

C.      Asbab An-Nuzul

Dalam hadist yang di riwayatkan oleh Aisyah r.a, ia berkata bahwa permulaan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ. adalah mimpi yang baik pada waktu tidur. Biasanya mimpi yang dilihat itu jelas, sebagaimana cuaca di pagi hari. Kemudian, timbulah pada diri beliau keinginan untuk meninggalkan keramaian. Untuk itu beliau pergi ke Gua Hira untuk berkhalwat. Beliau melakukannya beberapa hari. Khadijah sang istri beliau menyediakan beberapa perbekalan untuk beliau selama di Gua Hira. (Madani, 2018)

Nabi ﷺ. mendatangi gua Hira untuk tujuan beribadah selama beberapa hari. Beliau kembali kepada istrinya yaitu Siti Khadijah untuk mengambil bekal secukupnya. Hingga pada suatu hari di dalam gua, beliau dikejutkan oleh kedatangan malaikat membawa wahyu Illahi. Malaikat bertanya kepadanya, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa untuk kedua kalinya malaikat memegang nabi dan menekan-nekannya hingga nabi kepayahan dan setelah itu dilepaskan. Malaikat berkata lagi kepadanya, “Bacalah!” Nabi menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa untuk ketiga kalinya malaikat memegang nabi dan menekan-nekannya hingga beliau kepayahan. Setelah itu barulah nabi mengucapkan apa yang diucapkan oleh malaikat, yaitu surat Al-Alaq ayat 1-5. (Al-Maragi, 1993, hal. 344)

Di dalam kata iqra terkandung makna yang tinggi karena tidak harus dipahami sebagai sekedar perintah membaca saja. Tetapi lebih dari itu, iqra mempunyai makna membaca asma dan kemuliaan Allahﷻ, membaca teknologi genetika, membaca teknologi komunikasi, dan membaca segala yang belum terbaca. Pengetahuan dan penangkapan tentang fenomena ditempuh dengan rasio, untuk itu diperlukan aktifitas berfikir. Akan tetapi dalam realitas hidup dan kehidupan banyak ditemukan fenomena yang tidak dapat dirasionalkan. Istilah-istilah dalam al-Qur’an seperti yaddabbaru, yatadabbaru, ta‟qilun, dan tafakkur merupakan anjuran-anjuran untuk mempelajari, mendalami, merenungkan, dan mengambil kesimpulan dalam memahami al-Qur’an (agama), alam semesta dan diri manusia sendiri yang semuanya bertujuan untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allahﷻ. (Syafi', 2017, hal. 639)

Para perawi hadist mengatakan, bahwa Nabi ﷺ kembali ke rumah Khadijah dalam keadaan gemetar seraya mengatakan, “Selimutilah aku, selimutilah aku”. Kemudian mereka menyelimuti beliau hingga rasa takut beliau pun hilang. Setelah itu beliau menceritakan semuanya kepada Khadijah. Lalu beliau berkata, “Aku merasa khawatir terhadap diriku”. Khadijah menjawab, “Jangan, bergembiralah! Demi Allahﷻ, sesungguhnya Allahﷻ tidak akan membuatmu kecewa. Sesungguhnya engkau adalah orang yang menyambungkan silaturrahmi, benar dalam berkata, menanggung beban, gemar menyuguhi tamu dan gemar menolong orang yang  tertimpa bencana”. (Al-Maragi, 1993, hal. 345)

Kemudian Khadijah mengajak beliau menemui Waraqah ibnu Naufal ibnu ‘Abdil-‘Uzza (anak paman Khadijah). Beliau adalah pemeluk agama Nasrani di zaman jahiliyah, pandai menulis Arab dan menguasai bahasa Ibrani, serta pernah menulis Injil dalam bahasa Arab dari bahasa aslinya, Ibrani. Beliau seorang yang sudah lanjut usia, dan bulat kedua matanya. Khadijah berkata kepadanya, “Hai anak paman! Dengarkanlah apa yang dikatakan anak saudaramu ini”. Waraqah bertanya kepada nabi, “Wahai anak saudaraku, apakah yang engkau saksikan?” Kemudian nabi ﷺ. menceritakan apa yang dialaminya kepadanya. Waraqah berkata, “Malaikat  Namus (pakar ahli yang pandai) inilah yang pernah datang kepada Nabi ‘Isa. Jika saja aku masih kuat, dan jika saja aku masih hidup tatkala kaum mu mengusirmu”. Rasulullah ﷺ. Bertanya,”Ya. Tidak seorang pun datang membawa apa yang kau bawa, melainkan ia akan dimusuhi. Jika aku masih hidup di masa itu, aku akan menolongmu sekuat tenaga”. Tetapi tidak lama kemudia ia wafat. Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim. (Al-Maragi, 1993, hal. 345)

Berdasarkan hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa permulaan surat ini merupakan awal ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan. Dan merupakan rahmat Allahﷻ pertama yang diturunkan kepada hamba-hambaNya, serta kitab pertama ditujukan kepada Rasulullah ﷺ. Akan halnya sisa surat ini diturunkan kemudian, yaitu setelah tersiarnya berita kerasulan Muhammad ﷺ. dan setelah beliau mengajak kaum Quraisy kepada keimanan terhadap Allahﷻ. Sebagian mereka beriman kepadanya. Namun sebagian besar mereka merasa jengkel kepada mereka yang beriman sehingga tidak henti-hentinya menyakiti mereka. Mereka berupaya mengembalikan kaum mu’minin kepada keingkaran atas nabinya dan apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. (Al-Maragi, 1993, hal. 246)

Dakwah Nabi ﷺ. selama di Makkah menghadapi banyak penentang dari pemuka Quraisy. Diantara yang paling terkemuka adalah Abu Lahab alias Abdul Uzza, Abu Jahal, Umar bin Khatthab (sebelum memleuk Islam), Abu Sufyan bin Harb (sembelum masuk Islam), dan Ummu Jami (istri Abu Lahab) yang hingga wafatnya tetap dalam keadaan kafir.  Kebencian Abu Jahal alias Amr bin Hisyam terhadap Rasulullah ﷺ. begitu masyur. Seperti dikutip dalam Kitab Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ. (vol 1). Suatu ketika Abu Jahal melihat Nabi ﷺ. pergi ke Masjid. Tiba-tiba dia langsung menghardik dan melarang beliau untuk mengerjakan shalat. Itulah sebab turunnya ayat karena adanya seorang Abu Jahal yang merasa paling hebat, merasa paling banyak hartanya, dan merasa paling banyak temannya, sehingga dia berani menantang dan melarang Nabi ﷺ. untuk melakukan shalat di Masjid. (Rasiyambumen, 2019)

Setelah datang ayat-ayat memerintahkan Rasulullah menyampaikan dakwah dan seruannya kepada penduduk Makkah, banyaklah orang yang benci dan marah, diantaranya orang-orang yang sifatnya dijelaskan dalam ayat enam sampai delapan, yang merasa dirinya berkecukupan dan hidupnya melanggar dan melampaui batas. Seseorang diantara mereka yang terkemuka adalah Abu Jahal. Dia benci benar kepada Rasul, sebab beliau menyerukan menghentikan menyembah berhala, dan supaya orang hanya menyembah kepada Allahﷻ Yang Esa. Dan Rasulullah dengan tidak peduli kepada siapapun, pergi sembahyang di Ka’bah menyembah Allahﷻ menurut keyakinannya dan cara yang telah dipimpinkan Tuhan kepadanya. Menurut sebuah Hadist dari Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, setelah Abu Jahal mendengar dari kawan-kawannya bahwa Muhammad telah pernah sembahyang seperti itu di Ka’bah, sangat murkanya, sampai dia berkata: “Kalau saya lihat Muhammad itu sembahyang di dekat Ka’bah , akan saya injak-injak kuduknya”. (Hamka, 1985, hal. 218)

Imam Ibnu Mundzir telah mengetengahkan sebuah hadist melalui Abu Hurairah r.a. yang telah menceritakan bahwa Abu Jahal telah berkata kepada teman-teman sekelompoknya: “Apakah kalian menginginkan supaya muka Muhammad dilumuri dengan pasir di hadapan kalian?” Mereka menjawab: “Ya”. Lalu Abu Jahal melanjutkan perkataannya: “Demi Lata dan Uzza, jika aku melihat dia sedang melakukan salat, maka benar-benar aku akan injak lehernya dan menaburkan pasir-pasir pada mukanya”. Maka Allahﷻ menurunkan firman-Nya:

“Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas”. (QS. Al-‘Alaq, 6 dan seterusnya) (Al-Mahalli & As-Suyuti, 2009, hal. 1358)

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu Jahl pernah berkata: “Apakah Muhammad meletakkan mukanya ke tanah (sujud) di hadapan kamu?” Ketika itu orang membenarkannya. Selanjutnya Abu Jahal berkata: “Demi al-Lata dan al-‘Uzza, sekiranya aku melihat dia sedang berbuat demikian, akan aku injak batang lehernya dan kubenarkan mukanya ke dalam tanah.” Ayat-ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. (Dahlan & Alfarisi, 2009, hal. 661)

D.     Makna Global

Al-Alaq adalah nama ke-96 yang terdiri atas 19 ayat. Lima ayat pertama merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad ﷺ. Kata Al-Alaq umumnya diterjemahkan sebagai segumpal darah. Makna yang lebih tepat yaitu sesuatu yang tergantung. Dalam kaitan surat ini bisa dimaksudkan sebagai zigot, benih manusia sebagai hasil pertemuan nuthfah yang menggantung di rahim perempuan. (Effendi, 2012, hal. 391)

Nabi datang membawa kemajuan. Dan kemajuan umat tidak lepas dari pengembangan ilmu pengetahuan. Budaya baca adalah syarat untuk kemajuan masyarakat. Nabi diperintah membaca, dan melalui kegiatan membaca manusia menambah pengetahuannya tentang alam dan tentang dirinya. Surat ini menegaskan tentang potensi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang dianugerahkan Tuhan, namun mereka sering bersikap sombong, merasa tidak memerlukan apa-apa dan tidak jarang bertindak melampaui batas, mencegah orang lain untuk mengabdi kepada Tuhan. Mereka menghambat dan menghalangi orang lain melakukan kebaikan. Walau terbuka jalan bagi mereka untuk memperoleh petunjuk dan berbuat baik pada sesama namun sering kali mereka memilih sikap membangkang terhadap Tuhan yang selalu engawasinya. Nabi diingatkan untuk tidak tunduk kepada mereka melainkan bersujud kepada Tuhan dan berusaha mendekat kepada-Nya. (Effendi, 2012, hal. 392)

Surat Al-Alaq ini merupakan surat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, berisi anjuran membaca untuk memahami ilmu pengetahuan. (Hassan, 2010, hal. 1073) penejlasan-penjelasan yang terdapat dapat QS. Al-Alaq ini terdiri dari ayat pertama menjelaskan proses penciptaan manusia dan penghormatan Allahﷻ kepadanya, ayat kedua menjelaskan sikap manusia terhadap nikmat Allahﷻ, ayat ke tiga sampai lima menjelaskan membaca dan menulis adalah kunci pengetahuan, dan ayat ke enam sampai delapan menjelaskan manusia durhaka karena merasa cukup. (Hassan, 2010, hal. 1076)

Dalam QS. Al-Alaq ayat 1-8 ini menjelaskan perintah membaca dan menerangkan kenyataan kodrat (kekuasaan) Allahﷻ terhadap manusia. Allahﷻ menjadikan manusia dari setetes nuthfah, yang secara berangsur-angsur menjadilah manusia yang sempurna dan dapat menguasai (menundukkan) makhluk-makhluk yang lain. Tuhan memberikan kemampuan membaca kepada manusia dan menjadikan kalam (alat tulis pada zaman dahulu) sebagai sarana mengembangkan ilmu dan pengetahuan. Allahﷻ pun berkuasa menjadikan Muhammad yang ummi (tak bisa membaca dan menulis) sanggup menghafal Al-Qur’an. Allahﷻ berkuasa mengajari Muhammad menghafal Al-Qur’an tanpa mempergunakan kalam dan kertas. (Shiqqieqy, 2003, hal. 4641)

Sebagian manusia mengingkari nikmat yang besar ini, dan merasa cukup dengan kekuatan (kemampuan) yang ada padanya. Mereka lupa kepada Allahﷻ. (Shiqqieqy, 2003, hal. 4642)

 

1.     Ayat 1

Nabi Muhammad ﷺ. diperintahkan untuk membaca guna lebih memantapkan lagi hati beliau. Ayat pertama ini menyatakan: Bacalah wahyu-wahyu Illahi yang sebentar lagi akan banyak engkau terima dan baca juga alam dan masyarakatmu. Bacalah semua itu tetapi dengan syarat hal tersebut engkau lakukan dengan atau demi nama Tuhan Yang selalu memelihara dan membimbingmu dan yang mencipta semua makhluk kapan dan di mana pun. (Shihab, 2002, hal. 454)

2.     Ayat 2

Memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad ﷺ. dan yang diperintahkan oleh ayat lalu untuk membaca dengan nama-Nya serta demi untuk-Nya. Dia adalah Tuhan yang telah menciptakan manusia, yakni semua manusia kecuali Adam dan Hawa, dari segumpal darah atau sesuatu yang bergantung di dinding rahim. (Shihab, 2002, hal. 458)

3.     Ayat 3

Selain memerintahkan membaca dengan meningkatkan motivasibya, yakni dengan nama Allahﷻ, kini ayat ini memerintahkan membaca dengan menyampaikan janji Allahﷻ atas manfaat membaca itu. Allahﷻ berfirman: Bacalah berulang-ulang dan Tuhan Pemelihara dan Pendidik-mu Maha Pemurah sehingga akan melimpahkan aneka karunia. (Shihab, 2002, hal. 460)

4.     Ayat 4-5

Ayat ini melanjutkan dengan memberi contoh sebagian dari kemurahan-Nya itu dengn menyatakan bahwa: Dia Yang Maha Pemurah itu yang mengajar manusia dengan pena, yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan Dia juga yang mengajar manusia tanpa alat dan usaha mereka apa yang belum diketahuinya. (Shihab, 2002, hal. 463)

5.     Ayat 6-7

Berbicara tentang sikap kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad ﷺ. dan ajarannya, dapat dipastikan bahwa ayat-ayat sesudah aya kelima turun setelah Nabi mengumandangkan ajaran-ajaran Islam di hadapan umum, yakni setelah turunnya perintah berdakwah secara terang-terangan. Pada ayat ini menggambarkan bahwa tindakan melampaui batas dan kesewenang-wenangan bermula dari anggapan seseorang bahwa ia berkuasa atau tidak butuh kepada pihak manapun. (Shihab, 2002, hal. 465)

6.     Ayat 8

Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. sebagai hiburan buat beliau yang selama ini diperlakukan sewenang-wenang oleh masyarakat Mekkah. Ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya ayat ini, walau menggunakan bentuk persona kedua, ia ditujukan pada pesona ketiga. Jadi, dengan demikian, seakan-akan ayat di ini berbunyi “Kepada Tuhannya”, dalam arti ia ditujukan kepada manusia secara umum. Menurut penganut pendapat ini, kata-nya dialihkan menjadi-mu dengan tujuan menekankan makna yang diamanatkan oleh kandungan redaksi tersebut. (Shihab, 2002, hal. 468)

Bilamana manusia itu merasa dirinya serba cukup, baik kekuasaan maupun keuangan, dia jadi lupa daratan, lupa diri, dan lupa segalanya. Dia lupa kepada kewajibannya sebagai anggota masyarakat waktu ia diminta untuk turun tangan, berpartisipasi menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat, sama seperti ia membutuhkan kesejahteraan itu utnuk dirinya sendiri. Dia sama sekali lupa pula, bahwa kekuasaan, kekayaan, sampai kepada diri pribadinya adalah mutlak kepunyaan Allahﷻ. (Surin, 2004, hal. 2696)

Namun sudah menjadi kebiasaan umum bagi sebagian orang yang mempunyai kekuasaan dan kekayaan untuk memanfaatkan kekuasaan dan kekayaannya itu bagi kepentingannya sendiri. Dengan demikian, cepat atau lambat terjadilah jurang pemisah antara dia dan masyarakatnya. Dan tidak ustahil pula jurang itu semakin lama semakin dalam juga. Kesombongan dan ketakaburan mulai menguasai dirinya, semakin lama semakin meningkat pula, sehingga pada gilirannya ia telah berani mendurhakai Tuhannya. (Surin, 2004, hal. 2697)

E.      Pendapat Para Mufassir

1.     Tafsir Al-Qurthubi

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.”

Firman Allahﷻ, اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu.” Yakni, bacalah ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan kepadamu dan diawali bacaan itu dengan menyebut nama Tuhanmu, yakni dengan menyebut bismillah pada permulaan setiap surah. Oleh karena itu, Huruf ba’pada kata بِاسْمِ dianggap menempati tempat nashab karena berposisi sebagai keterangan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa huruf ba’ tersebut bermakna ‘ala (atas), yakni : atas nama Tuhanmu. Kedua kata bantu tersebut (huruf ba’ dan kata ‘ala) bermakna hampir sama, terkadang dapat dibaca dengan bi ismillah bacaan itu dengan menyebut nama Tuhanmu).

Lalu ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dari kalimat ismu rabbika pada ayat di atas adalah Al-Quran. Yakni : iqra ‘isma rabbika atau iqra Al-Quran (bacalah Al-Quran). Ada juga yang berpendapat bahwa makna dari firman Allahﷻ, اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.” Adalah: sebutlah nama Allahﷻ. Yakni, Nabi ﷺ diperintahkan untuk mulai membaca dengan menyebut nama Allahﷻ.

 خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ

“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”

Untuk ayat ini, juga hanya dibahas satu masalah saja, yaitu : Firman Allahﷻ خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah” Yakni, Allahﷻ menciptakan keturunan Nabi Adam yang dari gumpulan darah.

Kata عَلَقٍ adalah bentuk jamak dari kata ‘alaqah. Dan makna dari kata ‘alaqah adalah : darah yang menggumpal, bukan darah yang mengalir, karena darah yang mengalir disebut dengan damm masfuuh. Para ulama berpendapat : Penyebutan bentuk jamak pada kata عَلَقٍ maksudnya adalah menerangkan bahwa kata  الْإِنْسٰنَ yang disebutkan sebelumnya bermakna jamak (kata insan dapat digunakan dalam bentuk tunggal dan dapat juga digunakan dalam bentuk jamak). Yakni, seluruh manusia  diciptakan dari segumpal darah, setelah sebelumnya berbentuk mani.

‘Alaqah adalah segumpal darah yang lembut. Dinamakan ‘alaqah karena darah tersebut selalu menjaga (ta’allaqa) kelembutannya pada setiap waktu, jika itu tidak lagi lembut atau kering maka tidak akan disebut dengan ‘alaqah.

Adapun penyebutan insan (manusia) pada ayat ini secara khusus manusia memiliki kehormatan yang lebih dibandingkan makhluk lainnya. Penyebutan itu adalah penghormatan bagi mereka.

Lalu ada juga yang berpendapat bahwa penyebutannya adalah untuk menjelaskan kadar nikmat yang diberikan kepada mereka, yakni mereka diciptakan bermula dari gumpalan darah yang hina, lalu setelah itu mereka menjadi seorang manusia yang sempurna, yang memiliki akal dan dapat membedakan segalanya.

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ

“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha pemurah”

Untuk ayat ini, juga hanya dibahas satu masalah saja, yaitu : Firman Allahﷻ, “Bacalah,” Ini adalah penegasan dari kata yang sama yang disebutkan pada awal surah ini. Kata ini merupakan kalimat yang telah sempurna, oleh karena itu lebih baik jika diwaqafkan, barulah setelah itu dilanjutkan kembali dengan kalimat yang baru, yaitu : وَرَبُّكَ الْأَكْرَم  “Dan Tuhanmulah yang Maha pemurah.

Makna dari kata الْأَكْرَمpada ayat ini adalah al Kariim (Yang Maha Pemurah), namun berbeda dengan pendapat yang disampaikan oleh Al Kalbi, ia mengatakan bahwa makna dari kata ini adalah Al Haliim (Yang Maha Lembut), yakni lembut terhadap ketidaktahuan hamba-hamba-Nya, hingga mereka tidak disegerakan hukumannya ketika mereka melakukan kesalahan. Akan tetapi makna yang pertamalah yang lebih diunggulkan, atas dasar segala nikmat yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya, hal itu menunjukkan akan kemurahan-Nya.

Lalu ada juga yang berpendapat bahwa makna dari firman Allahﷻ,اقْرَأْ وَرَبُّكَ  “Bacalah, dan Tuhanmu” Yakni, wahai Muhammad, bacalah dari Tuhanmu akan menolongmu dan memberi pemahaman kepadamu, walaupun kamu bukanlah seseorang yang pandai membaca. Sedangkan makna الْأَكْرَم adalah memahami akan ketidaktahuan hamba-Nya.

الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ

“Yang mengajar (manusia) dengan pena”.

Mengenai ayat ini dibahas tiga masalah : Firman Allahﷻ “Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam” Yakni, Allahﷻ mengajarkan manusia menulis dengan menggunakan alat tulis.

Sa’id meriwayatkan, dari Qatadah, ia berpendapat: Qalam adalah salah satu nikmat Allahﷻ yang paling besar kalau saja Qalam tidak diperkenalkan kepada manusia maka agama tidak dapat berjalan sesuai dengan yang semestinya, Hal ini adalah bukti nyata betapa Allahﷻ sangat Pemurah bagi para hamba-Nya, karena Ia telah mengajarkan kepada mereka apa yang tidak mereka ketahui, hingga mereka dapat meninggalkan gelapnya kebodohan dan menuju cahaya ilmu.

Pada ayat ini Allahﷻ mengingatkan kepada manusia akan fadhilah ilmu menulis, karena di dalam ilmu penulisan terdapat hikmah dan manfaat yang sangat besar, yang tidak dapat dihasilkan kecuali melalui penulisan, ilmu-ilmu pun tidak dapat diterbitkan kecuali dengan penulisan, begitu pun dengan hukum-hukum yang mengikat manusia agar selalu berjalan di jalur yang benar. Penulisan juga memperlihatkan manfaatnya untuk menjaga kisah kaum-kaum terdahulu atau sejarah mereka, bahkan kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allahﷻ mungkin tidak dapat bertahan lama jika tidak ada ilmu penulisan. Pada intinya, ilmu sangat berguna sekali, jika ilmu itu tidak ada maka segala hal yang berkaitan dengan agama dan keduniaan tidak akan dapat banyak berguna karena tidak bertahan lama.

Adapun penyebutan qalam sebagai alat tulis, karena qalam itu yuqlam (memotong). Di antara maknanya adalah ungkapan taqlim az-zufur (memotong kuku). Sebuah riwayat dari Abdullah bin Umar menyebutkan, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah, apakah aku boleh menulis  setiap hadits yang aku dengar darimu?” beliau menjawab, “Tentu, tuliskanlah, karena Allahﷻ telah mengajarkan manusia untuk mempergunakan alat tulis.”

Mujahid meriwayatkan, dari Abu Umar, ia berkata : Allahﷻ menciptakan empat hal langsung dengan Tangan-Nya, kemudian setelah menciptakan empat hal itu Ia menciptakan hewan-hewan dengan berkata, “Kun” maka terciptalah hewan-hewan itu. Adapun empat hal yang diciptakan dengan Tangan-Nya adalah : Qalam, Arsy, surga Adn, dan Adam AS.

Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud oleh ayat ini diajarkan untuk mempergunakan alat tulis. Pendapat pertama menyebutkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah Nabi Adam, karena memang Nabi Adam lah manusia yang pertama kali dapat menulis. Pendapat ini disampaikan oleh Ka’ab Al Ahbar. Pendapat yang kedua menyebutan, bahwa orang yang diajarkan cara menulis dengan alat tulis adalah Nabi Idris, karena beliau adalah orang yang pertama yang melakukan penulisan. Pendapat ini disampaikan oleh Adh Dhahhak.

Pendapat yang ketiga menyebutkan, bahwa Allahﷻ memasukkan ilmu ke dalam kalbu setiap manusia yang ingin menulis dengan mempergunakan alat tulis, karena manusia tidak mungkin mengetahui ilmu penulisan itu kecuali dengan pengajaran dari Allahﷻ. Dengan mengajari mereka ilmu penulisan itu maka lengkaplah nikmat yang diberikan Allahﷻ kepada manusia. Kemudian pada ayat ini Allahﷻ menjelaskan bahwa ilmu penulisan itu adalah nikmat dari-Nya, sebagai penyempurna segala  nikmat yang telah diberikan.

Para ulama madzhab kami (Maliki) berpendapat : Qalam itu terbagi menjadi tiga, qalam yang pertama diciptakan oleh Allahﷻ langsung dengan Tangan-Nya, qalam ini diperintahnkan oleh Allahﷻ unytuk menulis sendiri apa yang dikehendaki-Nya. Qalam yang kedua adalah qalamnya para malaikat, qalam ini diserahkan oleh Allahﷻ kepada para malikat-Nya untuk mencatat seluruh takdir, kejadian alam semesta, dan amal perbuatan. Sedangkan qalam yang ketiga adalah qalam manusia, Allahﷻ juga mengajarkan ilmu qalam kepada manusia agar mereka dapat menuliskan apa yang ingin mereka tuliskan dan meraih apa yang mereka maksudkan.

Menulis itu memiliki fadhilah yang sangat penting, menulis juga salah satu cara untuk menjelaskan, dan menjelaskan adalah salah satu keahlian yang diberikan kepada manusia.Para ulama madzhab kami berpendapat : Pada saat Nabi ﷺ diutus sebagai seorang Rasul, kala itu kaum Arab adalah kaum yang paling terbelakang dalam hal penulisan, dan slah satu orang yang tidak mengetahui ilmu tersebut adalah Nabi ﷺ sendiri, ilmu itu seakan dijauhkan darinya, agar lebih terbukti kemukjizatan yang diturunkan kepada beliau dan lebih kuat hujjah yang beliau miliki. Keterangan ini telah kami jelaskan lebih mendetail pada tafsir surat Al-Ankabut.

Sebuah riwayat dari Hammad bin Salamah, dari Zubair bin Abdusalam, dari Ayub bin Abdullah al Fahri, dari Abdullah bin Mas’ud, menyebutan, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda, “Janganlah kamu berikan istri-istrimu ruangan di atas rumah, dan jangan kamu ajarkan bagaimana cara menulis. Para ulama madzhab kami (Maliki) berpendapat : Nabi ﷺ memperingatkan hal itu mungkin karena hal itu dapat memberikan keluasan bagi para istri untuk memperhatikan para pria yang berjalan di sekeliling rumahnya. Dengan memberikan mereka tempat khusus di atas rumah akan mengurangi kesucian mereka dan juga mengurangi kewajiban mereka untuk menutup diri.

Hal ini dikarenakan kaum wanita biasanya tidak mampu untuk menahan diri dan mudah terpancing oleh kata-kata, lalu terjadilah fitnah dan berbagai cobaan yang melibatkan rumah tangga. Oleh karena itulah Nabi ﷺ memberi peringatan kepada suami untuk tidak memberikan ruangan atas untuk para istri mereka agar tidak terjadi fitnah yang tidak diinginkan. Makna hadis ini tidak jauh berbed dengan sabda beliau yang lain yang menyebutkan, “Tidak ada yang lebih baik untuk para istrimu kecuali mencegah mereka untuk melihat lelaki lain ataupun dilihat oleh lelaki lain.”

Wanita itu diciptakan dari bagian tubuh laki-laki, tidak aneh jika orintasi dan fokus mereka hanya kepada kaum pria. Sedangkan kaum pria diberikan syahwat yang besar untu memiliki setiap wanita, dan menjadian kaum wanita sebagai penenang syahwat itu, oleh karena itu, masing-masing pasangan tidak dapat memberikan kepercayaan secara penuh atas pasangannya sendiri.

Begitu pula halnya dengan mengajarkan ilmu menulis kepada kaum wanita, bisa jadi ilmu itulah yang menimbulkan fitnah di antara mereka. Hal ini dapat terjadi apabila seorang wanita diajarkan untuk menulis, maa ia akan menulis apa saja yang ia inginkan kepada siapa saja yang ia mau, padahal tulisan itu memiliki salah satu fungsi mata, yakni tulisan dapat dijadikan saksi bisu, karena tulisan memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Dan tulisan juga dapat menjadi ungkapan perasaan akan sesuatu yang tidak bisa dikatakan melalui tulisan, bahkan tulisan itu lebih jelas dan lebih nyata daripada lusan. Oleh karena itu, Nabi ﷺ ingin agar para wanita terbebas dari segala penyebab yang dapat menimbulan fitnah, sebagai pensucian bagi mereka dan pembersihan hati mereka.

عَلَّمَ الْإِنْسٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Mengenai ayat ini hanya dibahas satu masalah saja, yaitu: Firman Allahﷻ, “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Para ulama menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan kata الْإِنْسٰنَ (manusia) pada ayat ini adalah Nabi Adam (seorang), beliaulah yang diajari segala sesuatu. Tidak ada suatu apapun yang tidak diberitahukan namanya kepada Nabi Adam, dan segala sesuatu itu diberitahukan kepada Nabi Adam dengan segala bahasa. Lalu ilmu itu ditunjukkan kepada para malikat untuk membandingkannya, maka muncul kelebihan yang dimiliki oleh Nabi Adam di atas para malaikat, jelaslah nilai yang dimilikinya dan terbuktilah kenabiannya.

Pada saat itu tegaklah hujjah Allahﷻ dan juga hujjah Nabi Adam atas para malaikat yang sebelumnya tidak menyetujui  keputusan Allahﷻ  menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah di muka bumi. Maka para malaikat pun akhirnya menyadari kesalahannya, setelah diperlihatkan keistimewaan yang dimiliki oleh Nabi Adam, setelah melihat langsung  kebesaran kekuasaan Allahﷻ, dan setelah mendengar betapa agungnya beban yang diemban. Kemudian semua ilmu yang diberikan kepada Nabi Adam itu diwariskan kepada anak cucunya secara turun temurun, terbawa ke seluruh pelosok bumi, dari satu kaum ke keum lainnya, hingga datangnya hari kiamat nanti. Makna ini telah kami sampaikan secara lebih mendetail pada tafsir surah Al Baqarah.

Makna ini berbeda dengan makna yang disampaikan oleh beberapa ulama, mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata الْإِنْسٰنَ pada ayat ini adalah Nabi Muhammad ﷺ, dalilnya adalah firman Allahﷻ pada ayat yang lain, “Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.”

كَلَّآ إِنَّ الْإِنْسٰنَ لَيَطْغَىٓ )٦( أَنْ رَّءَاهُ اسْتَغْنَىٰ)٧ٓ

 “Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas. apabila melihat dirinya serba cukup”.

Untuk kedua ayat ini, dibahs beberapa masalah, yaitu : كَلَّآ إِنَّ الْإِنْسٰنَ لَيَطْغَى “Ketahuilah ! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas.” Para ulama berpendapat, dari ayat ini hingga ayat terakhir surah ini semuanya diturunkan pada kisah Abu Jahal. Namun sebagian ulama ada juga yang berpendapat surah ini secara keseluruhan diturunkan pada kisah Abu Jahal. Yaitu ketika Abu Jahal melarang Nabi ﷺ untuk melakukan shalat, maka Allahﷻ memerintahkan beliau untuk melakukannya di dalam masjid dan membaca Al-Quran dengan menyebut nama Tuhan.

Dengan penafsiran seperti ini maka artinya surah ini bukanlah surah yang pertama kali diturunkan. Atau, bisa jadi hanya lima ayat saja yang pertama kali diturunkan, kemudian sisa ayat lainnya diturunkan pada kisah Abu Jahal. Kemudian setelah itu Nabi diperintahkan untuk menggabungkan keduanya pada satu surah. Karena memang penggabungan suatu surah atau suatu ayat sekalipun harus berdasarkan perintah dari Allahﷻ, bukankah banyak sekali contoh-contoh pada ayat atau surah lainnya yang digabungkan namun tidak diturunkan secara beriringan.

Ayat ini termasuk ayat-ayat yang diturunan pada akhir masa kenabian, namun ayat inbi digabungkan dengan ayat-ayat yang diturunkan jauh sebelum itu. Firman Allahﷻ, كَلَّآ إِنَّ الْإِنْسٰنَ لَيَطْغَىٓ ٦ أَنْ رَّءَاهُ اسْتَغْنَىٰ ٧ٓ  “Ketahuilah ! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup, “Kata  كَلَّآ  disini bermakna haqqan (sebenar-benarnya), karena tidak ada kalimat sebelumnya yang menunjukkan harus adanya jawaban كَلَّآ  (yang arti sebenarnya adalah “tidak sama sekali”)

Dan yang dimaksud dengan kata الْإِنْسٰن disini adalah Abu Jahal (untuk bentuk tunggal). Sedangkan makna dari kata tughyan الْإِنْسٰن adalah melampaui batas dalam berbuat kemaksiatan. Adapun makna dari firman Allahﷻ, أَنْ رَّءَاهُ اسْتَغْنَىٰ adalah : Abu Jahal telah menganggap dirinya telah tercukupi segalanya, yakni ia adalah seorang hartawan yang kaya raya.

Abu Shalih meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia berkata : Setelah diturunkannya ayat ini dan orang-orang musyrik mendengarnya, mereka segeraa menemui Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Muhammad, engkau mengira Abu Jahal telah tercukupi namun ia melampaui batas dalam berbuat maksiat, oleh arena itu ubahlah gunung-gunung yang ada di kota Makkah ini seluruhnya menjadi emas, agar kami dapat mengambilnya dan merasa berkecukupan. Sesungguhnya kami tidak akan mengikuti jejak Abu Jahal, kami berjanji akan meninggalkan ajaran kami sebelumnya dan mengikuti ajaran yang engkau bawa.”

Lalu Nabi ﷺ mengkonsultasikan hal itu kepada malaikat jibril menjawab, “Wahai Muhammad, jika benar demikian adanya berikanlah mereka pilihan, jika mereka mau beriman maka kami akan memberikan apa saja yang mereka inginkan, namun jika mereka menolak maka kami akan menimpakan kepada mereka adzab yang sama seperti yang kami timpakan pada kisa al-Maidah.” Namun akhirnya Nabi ﷺ mengetahui bahwa mereka tidak akan pernah menerima keimanan yang ditawarkan kepada mereka, oleh karena itu beliau tidak melanjutkan penawaran itu, agar umatnya tidak dibinasakan seperti umat-umat sebelumnya. Beberapa ulama lain berpendapat bahwa yang dirasakan tercukupi oleh Abu Jahal adalah keluarga, teman, dan penolongnya, bukan dengan hartanya yang melimpah.

Al Farra mengatakan ; Bukan maksud dari ayat ini “melihat dirinya sendiri” seperti ungkapan “membunuh dirinya sendiri”, karena kata “melihat” adalah salah satu kata perbuatan yang membutuhkan isim dan khabar, seperti halnya zhann (menyangka) atau hisban (mengira). Oleh karena itu tidak mungkin hanya disebutkan satu maf’ul saja. Dalam bahasa Arab apabila kata-kata tersebut dimaksudkan untuk diri sendiri maka yang akan dikatakan adalah : raiaytani kadza (engkau melihatku begini) dan hasibtani kadza (engkau mengiraku seperti itu), yakni dengan menggunakan dua maf’ul.

Mengenai qira’ah, kata رَّءَاهُ dibaca oleh Mujahid, Hamid, Qanbil, yang meriwayatkannya dari Ibnu Katsir, dengan tidak memanjangkan bacaan pada huruf hamzah (an ra’ahu). Sedangkan jumhur ulama membacanya dengan memanjangkannya (an ra’ aahu), dan bacaan inilah yang lebih diunggulkan.

 

 

إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الرُّجْعَىٰٓ

“Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(mu).”

Mengenai ayat ini hanya dibahas satu masalah saja, yaitu :

Firman Allahﷻ, إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الرُّجْعَىٰٓ  “Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu). “Yakni, ketahuilah wahai orang yang memiliki sifat seperti itu, bahwa hanya kepada Allahﷻ lah tempat kembali mu nanti.

2.     Tafsir Al-Misbah

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”

Kandungan surah ini perintah untuk membaca guna lebih memantapkan hati. Ayat diatas bagai menyatakan : Bacalah wahyu-wahyu Ilahi yang sebentar lagi akan banyak engkau terima dan baca juga alam dan masyarakatmu. Bacalah agar engkau membekali dirimu dengan kekuatan pengetahuan. Bacalah semua itu tetapi dengan syarat hal tersebut lakukan dengan atau demi nama Tuhan yang selalu memelihara dan membimbingmu dan yang menciptakan semua makhluk kapan dan di manapun

Kata اِقْرَأ iqra terambil dari kata kerja قْرَ qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila anda merangkai huruf atau kata kemudian anda mengucapkan rangkaian tersebut, anda telah menghimpunnya, yakni membacanya. Dengan demikian realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut. Antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya yang kesemuanya bermuara pada arti menghimpun.

Huruf بِ ba pada kata بِاسْمِ bismi ada juga yang memahaminya sebagai berfungsi penyertaan atau mulabasah sehingga dengan demikian ayat tersebut berarti “bacalah disertai dengan nama Tuhanmu.”

Kata رَبِّ rabb seakar dengan kata Tarbiyah pendidikan, kata ini memiliki arti yang berbeda-beda namun pada akhirnya arti-arti itu mengacu kepada pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan, serta perbaikan. Kata Rabb maupun tarbiyah berasal dari kata raba-yarbu yang dari segi pengertian kebahasaan adalah kelebihan.

Kata خَلَقَ khalaqa dari segi pengertian kebahasaan memiliki sekian banyak arti, anatara lain menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus, mengatur, membuat, dan sebagainya. Kata ini biasanya memberikan tekanan tentang kehebatan dan ebesaran Allahﷻ dalam ciptaan-Nya.

 

“Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah”

Ayat ini dan ayat-ayat berikutnya memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad ﷺ. dan yang diperintahkan oleh ayat yang lalu untuk membaca dengan nama-Nya. Dia adalah Tuhan yang menciptakan manusia, yakni semua manusia kecuali Adam dan Hawwa dari segumpal darah atau yang bergantung di dinding rahim.

Kata  al-insani manusia terambil dari kataunsul senang jinak, dan harmonis, atau dari katanisy yang berarti lupa. Ada juga yang berpendapat berasal dari katanaus, yakni gerak atau dinamika.Makna-makna di atas paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk tersebut, yakni bahwa ia memiliki sifat lupa dan kemampuan bergerak yang melahirkan dinamika. Ia juga adalah makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme, dan kebahagiaan kepada pihak-pihak lain.

Kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya. Kata ini berbeda dengan kata basyar yang juga diterjemahkan dengan “manusia” tetapi maknanya lebih banyak mengacu kepada manusia dari segi fisik serta nalurinya yang tidak berbeda antara seseorang manusia dan manusia lain.

Kata عَلَقٍ alaq dalam kamus-kamus bahasa Arab digunakan dalam arti segumpal darah, juga dalam arti cacing yang terdapat di dalam air bila diminum oleh binatang maka ia tersangkut di kerongkongannya. Bisa juga dipahami sebagai berbicara tentang sifat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada selainnya.

“Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah”

Ayat tiga di atas mengulangi perintah membaca. Ulama berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan itu. Ada yang menyatakan bahwa perintah pertama ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad ﷺ, sedang yang kedua kepada umatnya, atau yang pertama untuk membaca dalam shalat, sedang yang kedua di luar shalatnya. Pendapat ketiga menyatakan perintah belajar, sedang yang kedua adalah perintah mengajar orang lain. Ada lagi yang menyatakan bahwa perintah kedua berfungsi mengukuhkan guna menanamkan rasa “percaya diri” kepada Nabi Muhammad ﷺ tentang kemampuan beliau membaca karena tadinya beliau tidak pernah membaca.

Kata الْأَكْرَمُ al-akram biasa diterjemahkan dengan yang maha / paling pemurah atau semulia-mulia. Kata ini terambil dari kata كْرَم karena yang antara lain berarti : memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia dan sifat kebangﷺanan. Penyifatan Rabb dengan Karim menunjukkan bahwa Karam (anugerah kemurahan-Nya dalam berbagai aspek) dikaitkan dengan Rububiyyah-Nya, yakni pendidikan, pemeliharaan, dan perbaikan makhluk-Nya, sehingga augerah tersebut dalam kadar dan waktunya selalu berbarengan serta bertujuan perbaikan dan pemeliharaan.

“Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yang belum diketahui(nya).”

Ayat-ayat yang lalu menegaskan kemurahan Allahﷻ. Ayat di atas melanjutkan dengan memberi contoh sebagian dari kemurahan-Nya itu dengan menyatakan bahwa : Dia Yang Maha Pemurah itu yang mengajarkan manusia dengan pena, yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan Dia juga yang mengajarkan manusia tanpa alat dan usaha mereka apa yang belum diketahuinya.

Kata al-qalam terambil dari kata kerja  qalama yang berarti memotong ujung sesautu. Yang berarti hasil dari penggunaan alat tersebut, yakni tulisan. Dari uraian di atas, kita dapat menyatakan bahwa dua cara yang ditempuh Allahﷻ, dalam mengajarkan manusia. Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran langsung tanpa alat.“Hati-hatilah Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas apabila ia melihat dirinya mampu.”

Ayat diatas menguraikan salah satu sisi potensi manusia setelah sebelumnya menguraikan potensi kodrati yang lain , yaitu sebagai makhluk sosial, atau paling tidak menguraikan asal kejadiannya. Allahﷻ berfirman : Hati-hatilah ! Sesungguhnya manusia secara umum, dan khususnya yang tidak beriman, benar-benar melampaui batas dan berlaku sewenang-wenang apabila ia melihat, yakni merasa dan menganggap, dirinya mampu, yakni tida membutuhkan pihak lain.

Kata  kalla diatas merupakan ancaman bagi manusia yang melampaui batas. Kata la yathgha digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan. Dalam arti yang lebih umum, yakni segala sesuatu yang melampaui batas, seperti kekufuran, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia disamping makna di atas. Kata istaghna dalam arti umu lebih baik, yani merasa memiliki kecukupan yang mengantarnya merasa tidak membutuhkan apa pun, baik materi, ilmu pengetahuan, kedudukan, dan sebagainya.

“Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(mu).”

Ayat di atas ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. sebagai hiburan buat beliau yang selam ini diperlakukan sewenang-wenang oleh masyarakat mekkah. Ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya ayat ini, walau menggunakan bentuk persona kedua, ia ditujukan pada persona ketiga. Jadi, dengan demikian seakan-akan ayat di atas berbunyi “Kepada Tuhannya”, pendapat ini kata-nya dialihkan menjadi-mu dengan tujuan menekankan makna yang diamanatkan oleh kandungan redaksi tersebut. Kata ar-ruj’a terambil dari kata raja’a yang berarti kembali. Banyak yang memahaminya dalam arti “kembali kepada Allahﷻ. Setelah kematian untuk mempertanggungjawabkan segala amal yang telah dilakukan dalam kehidupan dunia ini”. Menurut sayyid Quthub “kembali kepada Allahﷻ”. Kembali kepada-Nya dalam segala sesuatu, yakni segala urusan, niat, dan gerak. Tiada tempat kembali kecuali kepada-Nya

3.     Tafsir Ath-Thabari

Firman-Nya اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu,” maksudnya adalah Muhammad ﷺ. bacalah hai Muhammad dengan menyebut nama Tuhanmu الَّذِى خَلَقَ “Yang menciptakan” Kemudian Allahﷻ menjelaskan tentang الَّذِى خَلَقَ “Yang menciptakan,” yaitu Allahﷻ berfirman, خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”, maksudnya adalah min ‘alaqah “dari segumpal darah”, karena diungkapkan dalam bentuk jamak, seperti ungkapan syarah dan syajar, serta ashabah dan qashab, demikian juga ‘alaqah dan ‘alaq. Allahﷻ mengatakan dengan redaksi مِنْ عَلَقٍ , sedangkan lafazh الْإِنْسٰن dalam bentuk tunggal, karena lafazh ini bermakna jamak walaupun bentuknya tunggal, karena itulah dikatakan نَ مِنْ عَلَقٍ

4.     Tafsir Al-Aisar

Firman-Nya, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan, Dia telah menciptakan manusiadari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui.” Inilah kelima ayat Al-Quran yang pertama kali Allahﷻ turunkan, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits-hadits shahih. Seperti yang telah sering disebutkan bahwa Nabi ﷺ sering datang ke gua Hira untuk bertahanus, yaitu menghilangkan kegelisahan dan menjauhkan diri dari kemungkaran (kesyirikan dan kebathilan) yang ada pada kaumnya. Ketika beliau sedang di dalam gua Hira, tiba-tiba beliau dikagetkan oleh malaikat Jibril. Malaikat Jibril berkata, “Wahai Muhammad, aku adalah Jibril dan kamu adalah utusan Allahﷻ!” Kemudian Jibril berkata, “Bacalah!” Maka aku (Muhammad) menjawab, “Aku tidak bisa membaca!” Maka Jibril pun mendekati dan mendekapku sebanyak tiga kali sehingga aku pun merasa sesak. Maka Jibril kembali berkata, “Iqra Bismi Rabbikalladzii Khalaq” Maka aku pun mengikuti bacaan Jibril.

Firman-Nya “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu,”Allahﷻ Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk membaca dan memulai bacaannya dengan menyebut nama Rabbnya yaitu “bismillahirrahmanirrahim” Allahﷻ Ta’ala berfirman, “Yang menciptakan ,”maksudnya yang telah menciptakan seluruh makhluk dan menciptakan Nabi Adam dari tanah. Dia telah menciptakan manusia dan anak keturunan Nabi Adam “dari segumpal darah” kata “alaq” adalah kata jamak adapun kata tunggalnya adalah “alaqah” yaitu segumpal darah yang kental.

Empat puluh hari pertama masih dalam bentuk nutfah (sperma yang telah bercampur dengan ovum), kemudian berubah menjadi “alaqah yang menempel di dinding rahim. Kemudian empat puluh hari berikutnya menjadi mudghah (sekerat daging). Kemudian apabila Allahﷻ berkehendak, maka “mudghah” tersebut akan menjadi makhluk hidup. Akan tetapi, apabila Allahﷻ tidak berkehendak, maka rahim akan mengeluarkannya dalam bentuk segumpal daging. Allahﷻ berfirman, “Bacalah dan Tuhanmulah,” Ayat ini merupakan penguat perintah yang pertama, Karena Rasulullah sangat kesulitan untuk melaksanakan perintah tersebut dan ditambah jiwa beliau dalam keadaan ketakutan karena dikagetkan oleh malaikat Jibril. “Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah yang mengajar (manusia) dengan pena, Allahﷻ yang Mahatinggi telah mengajarkan hamba-hamba-Nya cara-cara menulis dengan pena. Allahﷻ berfirman, “Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya,” inilah di antara nikmat Allahﷻ yang diberikan kepada seluruh hamba-Nya dan nikmat-Nya ini tidak bisa dihitung. Yaitu Allahﷻ telah mengajarkan ilmu pengetahuan yang tidak diketahui manusia melalui pena. Inilah keutaman pena karena telah menjadi perantara ilmu pengetahuan. Perantara menjadi mulia ketika tujuan yang dicapainya juga mulia. Sehingga tidak ada yang lebih mulia di dunia ini dari orang-orang shalih dan ilmu-ilmu Allahﷻ yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

Firman-Nya, ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmu kembali(mu), “ Allahﷻ Ta’ala mengabarkan tentang tabiat manusia sebelum dididik dengan keimanan dan ilmu Allahﷻ yang mengajarkan hal-hal yang dicintai dan dibenci oleh Allahﷻ. Ketika ia melihat dirinya telah merasa cukup (tidak memerlukan Allahﷻ) karena telah memiliki harta, anak, anak atau kekuasaan dan ia merasa tidak tata krama, keadilan, kebenaran, dan kebaikan. Sehingga ia akan bersikap sombong, berbuat kezhaliman, tidak melaksanakan kewajiban, meremahkan orang-orang lemah, dan menghina orang lain.

5.     Tafsir Al-Maragi

Inilah surah yang pertama dari Al-Quran yang dimulai dengan menyebut nama Allahﷻ, kemudian memberikan pengarahan pertama kepada Rasulullah ﷺ, pada masa kali pertama berhubungan dengan alam tertinggi, dan pada langkah pertamanya di jalan dakwah yang dipilihkan untuknya. Diarahkannya beliau supaya membaca dengan menyebut nama Allahﷻ, “Bacalah dengan (menyebut) nama Allahﷻ.” اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ

Penyebutan sifat-sifat Tuhan di sini dimulai dengan menyebutkan sifat yang dengannya dimulai penciptaan dan permulaan manusia, yaitu sifat Tuhan “Yang Menciptakan”. Kemudian penyebutan secara khusus tentang penciptaan manusia dan asal usulnya , “Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ”Dari setitik darah beku yang melekat di dinding rahim, dari benih yang sangat kecil dan sederhana bentuknya.

Hal ini menunjukan betapa Yang Maha Pencipta telah memuliakan manusia melebihi kodratnya. Di antara kemuliaan yang diberikan Allahﷻ kepada manusia, ialah Dia telah meningkatkan tingkat darah yang melekat di dinding ini ke tingkatan sebagai manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui. Lantas, ia belajar, “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya “ (al-Alaq: 3-5). Ini adalah perpindahan yang sangat jauh antara asal-usul dan kejadian kelak. Akan tetapi, Allahﷻ Mahakuasa, bahkan Allahﷻ itu Maha Pemurah. Karena itu, perpindahan ini memusingkan kepala

Di samping hakikat ini, tampak jelas pula hakikat pengajaran Tuhan kepada manusia dengan perantaraan “kalam” (pena dan segala sesuatu yang semakna dengannya). Kemudian tampaklah sumber pengajaran dan ilmu pengetahuan bahwa sumbernya adalah Allahﷻ. Dari-Nya manusia mengembangkan apa yang telah dan akan diketahuinya. Juga dari-Nyalah manusia mengembangkan apa yang dibukakan untuknya tentang rahasia-rahasia semesta, kehidupan, dan dirinya sendiri. Semua itu adalah dari sana, dari sumber satu-satunya itu, yang tidak ada sumber lain.

Di antara konsekuensi hakikat bahwa Allahﷻ adalah yang menciptakan, mengajarkan dan memuliakan manusia, maka hendaklah manusia mengerti dan mengakui yang demikian ini serta mensyukurinya. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Sesungguhnya yang memberi nikmat dan kekayaan kepadanya adalah Allahﷻ, sebagaimana Dia pula yang telah menciptakan, memuliakan dan mengajarinya. Akan tetapi, manusia secara umum kecuali orang yang terpelihara oleh imannya, tidak mau bersyukur ketika diberi nikmat. Lantas, dia merasa dirinya serba cukup dan tidak mengetahui sumber nikmat dan kecukupan itu. Ketika tampak potret manusia yang melampaui batas asal usul serta bersikap sombong karena melihat dirinya kaya, maka datanglah ancaman yang menakutkan

“Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).” (Al-Alaq :8). Hendak kemana pergi orang yang melampaui batas itu?. Kembali kepada Allahﷻ lah orang yang saleh dan durhaka, kepada Allahﷻ kembali semua urusan.

F.      Analisis Kandungan

Surat Al-Alaq khususnya ayat 1-5 merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad ﷺ. Inilah wahyu pertama yang diturunkan oleh Allahﷻ kepada beliau ﷺ, yang dalam kajian Ibnu Katsir dikatakan sebagai rahmat dan nikmat pertama yang dianugerahkan Allahﷻ kepada para hamba-Nya. Surat Ini pula yang menandai penobatan beliau sebagai Rasulullah, utusan Allahﷻ, kepada seluruh umat manusia. Wahyu inilah yang menjadi tonggak perubahan peradaban dunia. Dengan turunnya ayat tersebut maka berubahlah garis sejarah umat manusia. Berubah dari kehidupan jahiliyah nan gelap dalam semua aspek, termasuk di dalamnya kegelapan ilmu pengetahuian, menjadi terang benderang.

Sejak saat itu, penduduk bumi hidup dalam keharibaan dan pemeliharaan Allahﷻ secara langsung. Mereka hidup dengan terus memantau ajaran Allahﷻ yang mengatur semua urusan mereka, besar maupun kecil. Dan perubahan-perubahan itu ternyata diawali dengan "Iqra" (bacalah).

Perintah membaca di sini tentu harus dimaknai bukan sebatas membaca lembaran-lembaran buku, melainkan juga membaca ‘buku’ dunia. Seperti membaca tanda-tanda kebesaran Allahﷻ. Membaca diri kita, alam semesta dan lain-lain. Berarti ayat tersebut memerintahkan kita untuk belajar dari mencari ilmu pengetahuan serta menjauhkan diri kita dari kebodohan.

Namun membaca yang mampu membawa kepada perubahan positif bagi kehidupan manusia bukanlah sembarang membaca, melainkan “membaca dengan menyebut nama Allahﷻ Yang Menciptakan.” Dengan demikian dalam makna yang lebih luas, ayat pertama merupakan perintah untuk mencari ilmu, ilmu yang bersifat umum baik ilmu yang menyangkut ayat-ayat qauliyah (ayat Al Qur’an) dan ayat-ayat kauniyah (yang terjadi di alam). Ayat qauliyah ialah tanda-tanda kebesaran Allah yang berupa firmanNya, yaitu Al-Quran. Dan ayat-ayat kauniyah ialah tanda-tanda kebesaran Allah yang berupa keadaan alam semesta.

Ayat kedua, Allahﷻ menyatakan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah. Allahﷻ sendiri juga telah menegaskan bahwa manusia dicipta sebagai sebaik-baik ciptaan  dan tidak ada makhluk yang dianugerahi wujud dan fasilitas hidup yang menyamai manusia. Allahﷻ menganugerahi manusia berupa akal pikiran, perasaan, dan petunjuk agama. Semua itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Yang demikian itu, diharapkan manusia bersyukur kepada Allahﷻ dengan menaati semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.

Ayat ketiga, kita harus senantiasa menyebut nama Allahﷻ setiap kita hendak membaca dan kasih sayang Allahﷻ selalu tercurah kepada kita, karena sesungguhnya Allahﷻ amat mengasihi dan menyayangi makhluk-Nya. Banyak manusia yang tidak menyadari Allahﷻ selalu memberikan kemudahan baginya, tetapi kita tidak pernah mengetahui dan menyadarinya.

Ayat keempat, Allahﷻ mengajar manusia dengan pena. Maksudnya dengan pena manusia dapat mencatat berbagai cabang ilmu pengetahuan, dengan pena manusia dapat menyatakan ide, pendapat dan keinginan hatinya dan dari pena manusia juga mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan baru.

Pada ayat kelima, Allahﷻ mengajar manusia apa yang belum diketahuinya. Manusia lahir ke dunia dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Secara perlahan, Allahﷻ memberikan manusia kemampuan melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya, sehingga dengan kemampuannya itu manusia mampu mencapai cabang ilmu baik ilmu agama maupun ilmu yang lain bahkan ilmu yang mungkin langsung diberikan oleh Allahﷻ kepada beberapa orang yang dikehendaki tanpa melalui belajar (ilmu laduni).

Dalam ayat enam dan tujuh, manusia mempunyai suatu sifat yang buruk yaitu jika dia merasa dirinya telah berkecukupan ia akan sombong dan tinggi hati. Manusia itu adalah makhluk yang tak pernah merasa cukup, manusia selalu merasa kekurangan terutama harta dan benda. Serba cukup dalam kalimat ini ialah saat dia merasa dirinya lah yang paling kaya dan paling pintar sehingga dia sama sekali tak mau mendenger nasihat orang lain.

Terakhir pada ayat kedelapan banyak manusia yang lupa akan kehidupan di akhirat, mereka lupa akan kematian itu sangatlah dekat dengannya. Kebanyakan manusia hanya mencari keduniawian tanpa mencari bekal akhiratnya. Mereka melupakan kemana pada akhirnya semua manusia akan kembali.


 

BAB III PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

Surat Al-Alaq ini merupakan wahyu yang diturunkan pertama kali oleh Allahﷻ kepada Nabi Muhammad ﷺ, melalui perantara malaikat Jibril di gua Hira. Al-Alaq umumnya diterjemahkan sebagai segumpal darah. Makna yang lebih tepat yaitu sesuatu yang tergantung. Dalam kaitan surat ini bisa dimaksudkan sebagai zigot, benih manusia sebagai hasil pertemuan nuthfah yang menggantung di rahim perempuan. Makna yang terkandung dalam QS. Al-Alaq ini terdiri dari ayat pertama menjelaskan proses penciptaan manusia dan penghormatan Allahﷻ kepadanya, ayat kedua menjelaskan sikap manusia terhadap nikmat Allahﷻ, ayat ke tiga sampai lima menjelaskan membaca dan menulis adalah kunci pengetahuan, dan ayat ke enam sampai delapan menjelaskan manusia durhaka karena merasa cukup atas apa yang telah ia miliki.

Ada empat nilai pendidikan akidah dalam surah al-‘Alaq yaitu diawali dengan membekali diri dengan ilmu yang bermanfaat dengan landasan menyebut nama Allahﷻ, dilanjutkan dengan menjauhi perbuatan yang melampaui batas, disusul dengan menjauhi pergaulan dengan orang-orang yang melampaui batas dan yang terakhir diisi atau dihiasi dengan menegakkan salat, ketaatan dan ibadah. Ringkasnya, menyinari dengan ilmu, membuang sifat sombong dan menghiasi dengan salat dan ibadah-ibadah yang lain.

B.      Saran

Dengan adanya materi yang dipaparkan oleh penulis, diharapkan para pembaca memahami betul makna dari QS. Al-Alaq ini, serta dapat mengamalkannya dalam kehidupan, dan menjadikannya motivasi agar lebih meningkatkan semangat belajar dan mau mengembangkan penelitian dengan niat atas ibadah kepada Allahﷻ.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Mahalli, I. J., & As-Suyuti, I. J. (2009). Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul. Bandung: Sinar BAru Algesindo .

Al-Maragi, A. M. (1993). Terjemah Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.

Dahlan, H., & Alfarisi, M. (2009). Asbabun Nuzul. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.

Effendi, D. (2012). Pesan-pesan Al-Qur'an. Jakarta: Serambi.

Hamka. (1985). Tafsir Al-Azhar Juzu' XXVIII. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Hassan, A. (2010). Al-Furqan Tafsir Qur'an. Jakarta Selatan: Universitas Al-Azhar Indonesia.

Madani. (2018, February 5). Asbabun Nuzul Surah Al-Alaq. Retrieved from Fimadani Web site: http://fimadani.com/surah-al-alaq-1-5/

Rasiyambumen. (2019, March 3). Asbabun Nuzul Surat Al-'Alaq Ayat 6-19. Retrieved from Kajian Islam Web Site: https://www.rasiyambumen.com/2019/03/asbabun-nuzul-surat-al-alaq-ayat-6-19.html

Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera HAti.

Shiqqieqy, T. M. (2003). Tafsir Al-Qur'anul Majid An-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Surin, B. (2004). Az-Zikra. Bandung: Angkasa Bandung.

Syafi', A. (2017). Kajian Tentang Belajar dalam al-Qur’an Surat al-‘Alaq Ayat 1-5. Sumbula, 639. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...