Tarekat Syattariyah dan Tijaniyah
Abstrak
Kemunculan tarekat berkaitan erat dengan
adanya tasawuf dan tarekat merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan
tasawuf. Tarekat sebagai jalan, petunjuk sebagai jalan melakukan ibadah sesuai
dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh sahabat dan tabi’in, turun
temurun sampai kepada gurunya, sambung menyambung dan rantai berantai.
Pengertian lain adalah suatu cara mengajar atau mendidik, lama-lama meluas jadi
kumpulan kekeluargaan yang meningkat penganut-penganut sufi yang sefaham dan
sealiran, dengan tujuan untuk memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan
dari para pemimpinnya dalam suatu ikatan. Pada mulanya, suatu tarekat hanya
berupa jalan atau metode yang ditempuh oleh seorang sufi secara individual.
Para sufi atau mursyid itu kemudian mengajarkan pengalamannya kepada
murid-muridnya, baik secrara individual (sembunyi-sembunyi) maupun kolektif
(terang-terangan atau menyeluruh). Setelah suatu tarekat memiliki anggota yang
cukup banyak, maka tarekat tersebut kemudian menjadi sebuah “organisasi
tarekat”. Dalam artikel ini penulis memfokuskan pada tarekat Syattariyah dan
tarekat Tijaniyah. Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Abdullah Asy-Syattari.
Ajaran tarekat ini berisi tentang talkin, bai’at, dan dzikir-dzikir khusus yang
menyambung kepada Rasulullah Saw. Sedangkan nama Tarekat Tijaniyah juga diambil
dari nama pendirinya yaitu Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar
al-Tijani. Beliau merupakan seorang tokoh dari gerakan Neo-Sufisme. Al-Tijani
menerima ajaran-ajaran tarekatnya langsung dari Rasulullah dalam keadaan
terjaga, beliau mendapat tiga amalan utama yaitu Istighfar, Sholawat dan
Hailalah. Ketiga wirid ini merupakan wirid yang lazim bagi Ikhwan Tijani.
Kata kunci: tarekat, Syattariyah, Tijaniyah
A.
PENDAHULUAN
Tarekat merupakan jalan atau
petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah saw, dan dicontohkan oleh beliau, para sahabat, tabi’in dan tabi’it
tabi’in. Umarie Barmawi mengungkapkan pengertian tarekat adalah jalan atau
sistem yang ditempuh menuju keridhaan Allah semata, sedang usaha menempuh jalan
itu bernama suluk, dan orangnya bernama salik.
Laily Mansur menyatakan tarekat
merupakan usaha pencapaian pengalaman batin yang dilaksanakan dengan cara dan
aturan praktis, penuh disiplin dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah di
bawah bimbingan seorang syekh.
Tarekat bermula dari tasawuf yang
kemudian berkembang dengan berbagai macam paham dan aliran. Sedang pengertian
Tasawuf itu sendiri secara umum adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada
Allah dengan sedekat mungkin melalui kesucian rohani dalam memperbanyak ibadah.
Untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam tarekat diperlukan adanya bimbingan
seorang guru/syekh, sebab bagi yang beribadah tanpa bimbingan guru/pembimbing,
berarti dia dibimbing orang ketiga, orang ketiga dimaksud adalah setan.
Jadi dari beberapa pengertian diatas, tarekat
yaitu suatu ibadah yang diupayakan seseorang atau kelompok orang dengan
bimbingan seorang guru atau pemimpin thariqah untuk membersihkan jiwa, dengan
tujuan yaitu agar mencapai ma’rifat kepada Allah yang dilakukan secara
berjamaah. Terdapat
beberapa tarekat contohnya ada Tarekat Syattariyah dan juga Tijaniyah.
Tarekat Tijaniyah disampaikan
pertama kali oleh Syekh Ahmad al-Tijani (w. 1230H/1815H). Tarekat ini bermula dari Berber Al-jazair
dan menyebar dari al-Jazair ke selatan Sahara, terus masuk ke Sudan bagian
Barat dan Tengah, Mesir, Senegal, Afrika Barat, Nigeria, dan bahkan tarekat ini
sudah diperkenalkan sampai ke Amerika Barat dan Utara. Tijaniyah termasuk
tarekat muktabarah yang diakui keberadaan dan kebenarannya di Indonesia.
Tarekat
Syattariyah muncul pertama kali di India pada sekitar abad ke15. Nama
Syattariyah dinisbatkan kepada Abdullah Asy-Syattari. Tarekat Syattariyah
pernah menduduki posisi penting, karena tarekat ini merupakan salah satu
tarekat yang besar pengaruhnya di dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas, penulis
mencoba untuk membahas terakat Syatariyah dan Tijaniyah lebih dalam
lagi. Adapun poin- poin yang akan dibahas oleh penulis meliputi pengertian,
sejarah, asas tarekat, ajaran, dan perkembangan tarekat Syatariyah dan Tijaniyah.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Tarekat
Secara harfiah, kata thoriqoh
berarti sirah, madzhab, thobaqoh dan maslakul mutashowwifah
Al-Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy menjelaskan pengertian tarekat
adalah pengamalan syari’at, melaksanakan ibadah (dengan rukun) dan menjauhkan
diri dari sikap mempermudah ibadah, yang sebenarnya memang tidak boleh
dipermudah.
Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh
seputar metode sufi yang khas. Pada masa permulaan, setiap guru sufi
dikelilingi oleh lingkaran murid mereka dan beberapa dari murid ini kelak akan
menjadi guru pula. Boleh dikatakan bahwa tarekat itu mensistematiskan ajaran
dan metode-metode tasawuf. Guru tarekat yang sama mengajarkan metode yang sama,
dzikir yang sama, muroqobah yang sama. Seorang pengikut tarekat akan
memperoleh kemajuan melalui rangkaian amalan-amalan berdasarkan tingkat yang
dilalui oleh semua pengikut tarekat yang sama, Dan dari pengikut bisa (mansub)
menjadi murid selanjutnya pembantu Syaikh (Khalifah-nya) dan ahirnya menjadi
seorang guru yang mandiri (mursyid).
Tarekat tersusun pada mata rantai silsilah
guru, sumbernya Al-Quran dan Hadits kemudian menantu beliau Ali Abi Tholib RA.
Dalam satu Hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: “aku adalah kota ilmu dan Ali
adalah gerbangnya”. Bagi eksoterisme Islam, Hadits ini menjadi dasar
pendapat bahwa Ali adalah mata rantai esoterik pertama, yang kepadanya seluruh
mata rantai saling mengaitkan.
Tujuan dari tarekat adalah untuk mencapai
ma’rifat, yakni mengenali tuhan dengan sebenar-benarnya. Hal ini bisa dijelaskan
dengan pernyataan bahwa tarekat adalah pelaksanaan dari syari’at yang merupakan
uraian dari ajaran Islam. Sedangkan hakekat adalah keadaan hati, dan ma’rifat
adalah tujuan pokoknya. Syari’at diibaratkan sebagai perahu, tarekat sebagai
lautan, dan hakekat sebagai mutiara, dan ma’rifat sebagai keindahan mutiaranya.
Orang tidak bisa mendapatkan keindahan dari mutiara tanpa dengan perahu dan
lautan
Dalam sebuah tarekat terdapat istilah maqom.
Maqom adalah merupakan sebuah tempat kusus sepanjang perjalanan sufistik (adab)
yang direalisasikan oleh seorang hamba tuhan melalui pelaksanaan semua prilaku
yang baik dan melalui suatu bentuk penelusuran dan disiplin diri. Maqom
sesorang adalah tempat berdirinya dalam keadaan tertentu serta berbagai prilaku
dan tindakan yang ia lakukan. Seseorang tidak bisa naik maqom jika ia belum
mencapai maqom kepuasan (rido), berarti ia tidak siap untuk mencapai maqom
percaya (tawakkal) kepada Allah, maka ia belum saatnya mencapai maqom ikhlas.
Hal yang sama, siapapun yang belum mencapai maqom tobat maka ia tidak siap
untuk mencapai maqom kesedihan yang mendalam karena dosa, dan siapapun yang
belum mencapai maqom penguasaan (muroqqobah) berarti ia tidak siap untuk
penafian diri (fana).
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
tarekat adalah suatu pelaksanaan ibadah yang diupayakan seseorang
atau kelompok orang dengan bimbingan seorang guru atau pemimpin thariqah untuk
membersihkan jiwa, dengan tujuan yaitu agar mencapai ma’rifat kepada Allah yang
dilakukan secara berjamaah.
2.
Tarekat Syattariyah
a.
Sejarah Tarekat Syattariyah
Tarekat Syattariyah muncul pertama kali di India pada sekitar abad ke15.
Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Abdullah Asy-Syattari. Tarekat Syattariyah
pernah menduduki posisi penting, karena tarekat ini merupakan salah satu
tarekat yang besar pengaruhnya di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Jika
dilacak dari awal lagi, tarekat ini memiliki hubungan keterkaitan dengan tradisi Transoxsiana, karena
silsilahnya terhubung dengan Abu Yazid al-Ishqi, yang terhubung lagi dengan Abu
Yazid al-Busthomi (w. 260 H/873 M), dan Imam Ja’far al-Siddiq (w. 146 H/763 M).
Sehingga, tidak mengherankan jika kemudian tarekat ini dikenal dengan nama
Tarekat Ishqiyyah di Iran, atau Tarekat Busthomiyyah di Turki Utsmani, yang
sekitar abad ke-5 cukup populer di wilayah Asia Tengah, sebelum ahirnya memudar
dan pengaruhnya digantikan oleh Tarekat Naqsabandiyyah.
Penisbahan nama al-Syattar yang
berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah
dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati didalam dzikir nafi isbath,
laa ilaaha (nafi’) dan illa Allah (isbat). Nisbah al-Syattar juga merupakan pengukuhan
dari guru atas derajat spiritual yang dicapai, yang kemudian berhak mendapat
pelimpahan hak dan wewenang sebagai wasitah (mursyid). Ditambah juga menurut
Najmudin Kubro, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah akhyar
dan abror. Ketiga istilah ini,
dalam hirarki yang sama, kemudian juga dipakai didalam tarekat Syattariyah ini.
Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat,
sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga). (Suteja, 2011)
Abdullah asy-Syattar diketahui
menulis sebuah kitab berjudul Lata’if al-Ghaibiyyah yakni tentang
prinsip-prinsip dasar ajaran Tarekat Syattariyah, yang disebutnya sebagai cara
tercepat untuk mencapai tingkat ma’rifat. Karya inin kemudian
disempurnakan oleh dua murid utamanya, Syaikh Muhammad A’la, yang dikenal
sebagai Syaikh Qodhi Bengal (Qazam Syattari), dan Syaikh Hafiz Jawnpur. Yang
tercatat sebagai murid Syah Abdullah yang berjasa mengembangkan silsilah
Tarekat Syattariyah di India bagian utara melalui murudnya, Syaikh Budhdhan.
Yang selanjutnya, murid dari Syaikh Budhdhan ini , Syaikh Baha al-Din, menulis
juga sebuah kitab berjudul Risalah Syattariyah, yang juga berisi tentang
prinsip-prinsip dari ajaran Tarekat Syattariyah
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah diperluaskan oleh
para murid-muridnya. Salah seorang murid yang paling berperan dalam
mengembangkan dan menjadikan Syattariyah sebagai satu tarekat yang indipenden
atau berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts. Ia berhasil memapankan doktrin dan
ajaran tarekat Syattariyah melalui berbagai karangannya antara lain, Jawahir
al-Khamsah, kilid Makhzan, dama‟ir, Basyayir, dan Kanz al-Tauhid. Sehingga dapat dipastikan bahwa kitab ini
memuat sejumlah doktrin dan rumusan penting yang berkaitan dengan Tarekat
Syattariyah pada periode awal pertumbuhannya di India.
Diantara murid-murid Syaikh Muhammad Ghauts yang paling terkemuka adalah
Syaikh Wajih al-Din Alawi yang tinggal di Ahmadabad, India. Perkembangan
Traekat Syattariyah mulai surut setelah wafatnya Syaikh Muhammad Ghauts dan
Syaikh Wajih al-din Alawi. Syaikh Wajih al-Din Alawi menyisakan seorang murid
bernama Sayyid Sibghotullah ibn Ruhullah Jamal al-Barwaji (w. 1015 H/1606 M)
kelahiran India dari orang tua asal Persia
Karir keilmuan Sayyid Sibghotullah di Haramayin rupanya terus bersinar,
ia aktif mengajar di Masjid Nabawi dan di Ribat-nya sendiri. Ia juga menulis
sebuah kitab dalam bidan Tasawuf, kalam dan komentar atas tafsir al-Baidhowi.
Murid-muridnya pun datang dari berbagi kalangan, salah satu yang paling
terkemuka dan menjadi penerus Tarekat Syattariyah adalah Ahmad al-Shinawi
(lahir 975 H/1567 M) dan Ahmad al-Qushashi (991-1071 H/1585-1660 M). Selanjutnya, melalui muruid-murid yang datang dari berbagai
kalangan, al-Qushashi juga dianggap sebagai tokoh yang paling utama dalam
transmisi ajaran Tarekat Syattariyah ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke
wilayah Indonesia. Diantara salah satu muridnya ialah Ibrahim al-Qurani (1023-1102
H/1616-1690 M) dan Abdurrouf bin Ali al-Jawi (1024-1105 H/1615-1693 M).
Abdurrauf bin Ali al-Jawi sendiri
yang paling sering dianggap sebagai ulama yang paling otoritatif dalam
menyebarkan Tarekat Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia. Ia telah
menunjukan posisinya sebagai ulama memumpuni yang dapat mensejajarkan dirinya
dengan para ulama besar dari belahan dunia lain. Dan dari ia-lah penyebaran
Tarekat Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia, Abdurrauf merupakan figur
utama, karena hampir silsilah Tarekat Syattariyah bermuara kepada dirinya.
Tarekat Syattariyah dibawa dan
dikembangkan di Indonesia oleh Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi, seorang ulama
yang berasal dari Sinkel, Aceh. Ketika ia melaksanakan ibadah haji ke Makkah ia
menggunakan kesempatan tersebut untuk menuntut ilmu seluas-luasnya seperti
tafsir, hadits, fiqih, kalam, terutama di bidang tasawuf dan tarekat. Ia
menetap di Haramayin selama 19 tahun. Ia belajar dari berbagai pengetahuan
keagamaan tersebut pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan
15 tokoh mistik kenamaan Jeddah, Makkah, Madinah, Moka, Bait al-Faqih
Dibandingkan dengan yang lain, ia sangat menaruh hormat kepada Ahmad
al-Qushashi. Ia menyebut Ahmad al-Qushashi dengan “pembimbing spiritual dan
guru di jalan Allah”. Setelah mendapat banyak ilmu dari gurunya, Syaikh Ahmad
al-Qushashi, kemudian ia kembali ke Sinkil, Aceh, Indonesia, yang ketika itu
masyarakatnya belum banyak masuk Islam.
Bagaimanapun juga, kedatangan Abdurrauf dari Arabia dengan sendirinya
menciptakan rasa penasaran, terutama dilingkungan istana. Tidak lama kemudian
Abdurrauf dikunjungi seorang pejabat istana, Khatib Seri Rajab Hamzah al-Asyi.
Ia diutus Sultanah untuk menyelidiki pandangan-pandangan keagamaan Abdurrauf,
karena saat itu telah terjadi perdebatan dalam hal keagamaan. Namun Abddurrauf
berhasil lulus dari ujian itu, sebab ia segera merebut hati kalangan istana.
Kemudian ia ditunjuk Sultanah menduduki jabatan sebagai Qodhi Malik al-Adl atau
Mufti, yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan,
yakni pada masa pemerintahan Sultanah Syafiatuddin.
Abdurrauf adalah seorang ulama Aceh
yang menyebarkan ajaran martabat alam tujuh yang dikenal di Aceh sebagai paham Wahdatul
Wujud atau Wujudiyyah (pantheisme) dengan paham sunnah. Ajaran
seperti inilah yang kemudian dibawa oleh muridnya, Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan
ke daerah Jawa.
Pemikiran tasawuf Abdurrauf dapat dilihat antara lain pada persoalan
kecendrungannya untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syari‟at. Kendati
demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin
al-Raniri, yaitu penganut paham satu-satunya wujud hakiki yakni Allah.
Sedangkan alam ciptaanya bukanlah merupakan wujud hakiki, akan tetapi bayangan
dari yang hakiki. Walaupun demikian antara bayangan (alam) dengan yang
memancarkan bayangan (Allah) tentu mempunyai persamaan. Maka dari itu,
sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah, seperti yang hidup, yang
tahu, dan yang melihat. Pada hakekatnya setiap perbuatan adalah merupakan
perbuatan dari Allah.
Diantara murid-murid Abdurrauf yang paling terkemuka diantaranya ialah
Syaikh Burhanuddin dari Ulukan, Pariaman, Sumatra Barat dan Syaikh Abdul Muhyi
dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dari kedua murid inilah yang kemudian
berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah Tarekat Syattariyah, dan
menjadi tokoh sentral di wilayahnya masing-masing. Syaikh Burhanuddin menjadi
Khalifah utama bagi semua Khalifah Tarekat Syattariyah di wilayah Sumatra
Barat, sedangkan Syaikh Abdul Muhyi menjadi salah satu mata rantai utama bagi
terhubungkannya silsilah Tarekat Syattariyah di wilayah Jawa Barat khususnya,
dan di Jawa pada umumnya. Di semenanjung pula Abdurrauf mempunyai murid yang
terkemuka lain, yakni Abdul Malik bin Abdullah (1089-1149 H/1678-1736 M) yang dikenal
sebagai Tok Pulau Manis dari Trengganu
b. Ajaran
Tarekat Syattariyah
Ajaran Tarekat Syattariyah yang pertama adalah talkin. Talkin
adalah langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum seseorang di bai’at
menjadi anggota tarekat dalam menjalani dunia tarekat. Menurut al-Qusashi
diantara tata cara talkin adalah calon murid terlebih dahulu meninap di tempat
tertentu yang ditunjuk oleh Syaikh-nya selama tiga malam dan dalam keadaan suci
(berwudlu). Setiap malamnya ia harus melaksanakan sholat sunnah sebanyak enam
roka’at dengan tigan kali salam.
Pada raka’at pertama dari dua raka’at pertama, setelah selesai membaca
surah al-Fatihah membaca surah al-Qadr enam kali, kemudian setelah raka’at
kedua setelah baca surah al-Fatihah baca surah al-Qodr dua kali, pahala shalat
tersebut dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, seraya mengharap pertolongan
dari Allah. Selanjutnya pada raka’at pertama dari dua raka’at kedua, setelah
selesai baca surah al-Fatihah membaca surah al-Kafirun lima kali, dan pada
raka’at kedua setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Kafirun tiga kali, dan
pahalanya dihadiahkan kepad arwah para nabi, keluarga, sahabat, serta para
pengikutnya. Terahir pada raka’at pertama dari dua raka’at ketiga setelah surah
al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas empat kali, dan pada raka’at kedua setelah
al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas dua kali. Kali ini pahalanya dihadiahkan
kepada para arwah guru-guru tarekat, keluarga, shabat, dan para pengikutnya.
Kemudian setelah rangkaian sholat diatas selesai lalu ditutup dengan membaca
shalawat kepada nabi sebanyak sepuluh kali.
Ajaran yang selanjutnya adalah bai’at. Setelah
menjalani talkin, hal yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan menjadi
murid adalah di bai’at. Secara hakiki bai’at menurut al-Qusashi merupakan ungkapan
kesetiaan dan penyerahan diri dari seorang murid secara khusus kepada
syaikh-nya dan secara umum kepada lembaga tarekat yang dimasukinya.
Adapun cara baiat adalah terlebih dahulu mandi keramas kemudian
diteruskan dengan puasa 3 hari. Setelah itu kemudian di baiat, baik secara
sendiri maupun berkelompok. Biasanya berkelompok, yaitu setealah ada beberapa
orang kemudian diantar ke Tanjung atau mendatangkan.
Murid yang hendak melakukan baiat harus melakukan beberapa hal berikut
1. Berwudhu.
2. Bersalaman dengan semua jamaah tarekat yang hadir.
3. Meletakkan
tangan kanan di bawah tangan kanan Syekh kemudian Syekh membaca baiat yaitu
kutipan dari surat al-Fāth ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ
اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ
ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di atas tangan
mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar
janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada
Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (Q.S Al-Fath ayat 10)
4. Duduk bersila dengan menumpangkan telapak
kaki kanan di atas lutut kiri dan meletakkan kedua telapak tangan di atas
lutut.
5. Mengikuti zikir yang diajarkan Syekh
yaitu kalimat Lā ilāha illā Allāh dimulai kalimat Lā ilāha dari
kiri ke kanan kemudian illā Allāh dihujamkan ke susu kiri sebanyak 3
kali.
6. Membaca zikir tersebut kira-kira seratus
kali.
7. Berdoa yang dipimpin oleh Syekh.
8. Mendengarkan pengajian tarekat yakni
tentang beberapa hla yang harus dilakukan oleh seorang murid tarekat.
Setelah itu semua dilakukan, murid tersebut mendapat ijazah dan khirqah
yang merupakan simbol telah lulusnya seorang murid dalam jenjang tarekat
dan perubahan statusnya dari murid menjadi seorang khalifah.
Ajaran selanjutnya adalah dikenal dengan tujuh macam dzikir muqoddimah,
yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu manusia. Tujuh macam dzikir itu
adalah
Dzikir thowaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari
bahu kiri sampai bahu kanan, dengan mengucapkan “laa ilaaha” sambil
menahan nafas, setelah sampai dibahu kanan nafas ditarik lalu mengucapkan “Illa
Allah” yang dipukulkan kedalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua
jari dibawah dada kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
Dzikir nafi isbat, yaitu dzikir dengan “Laa ilaaha illa Allah”
dengan lebih mengeraskan lafadz nafi’nya (laa ilaaha) ketimbang
isbat-nya (illa Allah) yang diucapkan seperti memasukkan suara kedalam
yang Empu-nya Asma Allah.
Dzikir isbat faqoth, yaitu berdzikir dengan “illa Allah, illa
Allah, illa Allah” yang dihujamkan kedalam hati sanubari.
Dzikir ism al-dzat, yaitu dzikir dengan Allah, Allah,
Allah yang dihujamkan ketengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang
menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
Dzikir taroqqi, yaitu dzikir Allahu, Allahu. Zikir Allāh
diambil dari dalam dada dan Hū dimasukkan ke dalam bait al-makmūr
(otak, markas pikiran). Zikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari
oleh Cahaya Ilahi.
Dzikir tanazzul, yaitu dzikir Huwa Allah, Huwa Allah,
dzikir huwa diambil dari ba’it al-makmur, dan Allah dimasukkan kedalam
dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang senantiasa memiliki kesadaran yang
tinggi sebagai insan cahaya ilahi.
Dzikir Ism al-Ghoib, yaitu dzikir huwa, huwa, huwa dengan
mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah
dada menuju kearah kedalaman rasa.
Pelaksanaan zikir bagi penganut
tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: Mubtadī,
Mutawasitāh, dan Muntahī. Mubtadī artinya tingkat permulaan, Mutawasitāh artinya
tingkat menengah dan Muntahī artinya tingkat terakhir. Khusus mengenai
tataran terakhir ini, di dalam teks dibicarakan secara panjang lebar. Dikatakan
bahwa tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua
makrifat: yaitu Makrifāt Tanziyyah dan Makrifāt Tasybiyyah. Makrifāt
Tanziyyah adalah suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan
sesuatu apapun. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi
batiniah/hakikatnya. Makrifāt Tasybiyyah adalah mengetahui dan
mengitikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar, dalam makrifat ini
segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya.
Tujuan pengamalan zikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk
mencapai martabat insan kamil yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim menurut
ukuran manusia). Tingkatan ini dapat diperoleh oleh seseorang, jika ia dapat
mengumpulkan dua makrifat yaitu Makrifāt Tanziyyah dan Makrifāt
Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang sesuatu hal secara lahiriah
dan batiniah).
Dalam naskah Syattariyah yang ditulis Syekh Abdurrauf dijelaskan bahwa
Hubungan antara Tuhan dan alam menurut pandangan Syattariyah dijelaskan sebagai
berikut: pada mulanya alam ini diciptakan oleh Allah dari Nur Muhammad. Sebelum
segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, ia berada di dalam ilmu Allah yang
diberi nama al-Ayān ast-Tsābitāh. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat
Allah. Sesudah al-Ayān ast-Tsābitāh ini menjelma pada al-Ayān
Khārijiyyah (kenyataan Tuhan yang berada di luar), maka al-Ayān
Khārijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi yang memiliki bayang-bayang
dan ia tiada lain dari pada-Nya.
Syekh Burhanudiin juga menyimpulkan meskipun al-Ayān Khārijiyyah
merupakan emanasi wujud mutlak, mereka adalah berbeda dari Tuhan itu sendiri.
Hubungan keduanya seperti tangan dan bayangan. Meskipun tangan tidak dapat
dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama.
Sedangkan untuk mendapatkan hubungan langsung dengan Tuhan, orang mesti melalui
Kasyf. Akal manusia tidak mungkin bisa memahami Tuhan. Kasyf
adalah satu-satunya pintu yang bisa dicapai dengan memurnikan tauhid melalui
pengajian Tarekat Syattariyah dan mengamalkan zikir serta ibadah dengan
kaifiyat sendiri.
Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh antara
lain pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian
sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu
pula sebaliknya. Jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa
cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu
semua tampak sebagai pantulan dari scorang saja. Perumpamaan kedua,
mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan
itu bukan tangan tetapi ia tangan itu juga. Ketiga, tentang seseorang
yang bernama Si Ahmad yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia
menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada
ilmunya.
Ilmu itu berdiri pada Dzatnya dan hapus di dalam keesaannya. Padahal
hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Ahmad (meskipun huruf-huruf itu
berada di dalam ilmunya): yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Ahmad tetap
sebagai Ahmad. Sesuai dengan dalil Fā al-kullū Huwa al-Haqq, artinya
Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha
Benar.
Konsep pemikiran dari Syekh Burhanuddin ini sama dengan teori emanasi.
Emanasi yang berarti proses munculnya sesuatu dari pemancaran bahwa yang
dipancarkan substansinya sama dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam
filsafat, emanasi adalah proses terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik
langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud
yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari
segala yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.
3. Tarekat
Tijaniyah
a. Sejarah
Tarekat Tijaniyah
Pada umumnya nama tarekat dinisbatkan kepada pendirinya, sebagaimana
nama-nama yang sudah ada terlebih dahulu. Misalnya Tarekat Qadiriyah yang
mengambil nama pendirinya yaitu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang wafat pada
tahun 561/1166, Tarekat Naqsabandiyah yang mengambil nama pendirinya yaitu Baha
al-Din Naqsaband yang wafat pada tahun 1389
Asal usul Tarekat Tijani Tijaniyah
berasal dari nama sebuah suku asli di Ayn Madi yang terletak di Algeria Selatan.
Penyandang
suku al-Tijani tersebut adalah ibunya Abu al-Abbas Ahmad. Beliau adalah seorang
wanita yang berketurunan kulit hitam, yang bernama Sayyid Aisyah binti Abdullah
al-Sanusi al-Tijani. Sementara ayahnya yaitu Muhammad bin Mukhtar adalah seorang
alim dan merupakan keturunan ke- 22 dari Nabi Muhammad Saw.
Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada
Rasulullah saw. Silsilah lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn
Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad
al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn
Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil
Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah
Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw.
Semasa hidupnya Syekh al-Tijani melakukan banyak perjalanan untuk
mendapatkan ilmu tasawuf, dan perlu proses panjang untuk mencapai kewaliannya.
Sebelum diangkat sebagai wali besar,pada usia 21 tahun Syekh Tijani sudah
bergaul dengan orang-orang sufi pada usia 31 tahun Syekh Tijani mulai
mengamalkan ilmuilmu kesufian dan kewalian. Sejak usia 46 tahun ia
menenggelamkan diri dalam amalan-amalan para wali dengan mengunjungi para wali
besar di berbagai negara seperti Tunis, Mesir, Makkah, Madinah,
Maroko, Fez dan Abi Samghum. Kunjungan yang al-Tijani lakukan selain sebagai
ajang silaturahmi juga sebagai pencarian ilmu-ilmu kewalian secara lebih luas,
sehingga ia mendapat derajat kewalian yang sangat tinggi.
Tarekat Tijaniyah termasuk tarekat yang dasar pembentukannya menggunakan
sistem barzakhi. Makna barzakhi dalam Tarekat Tijaniyah, sebagaimana
tergambarkan dalam proses pembentukannya, bahwa ajaran-ajaran itu tidak
diperoleh melalui pengajaran dari guru-guru sebelumnya, tetapi diperoleh
langsung oleh Syaikh Ahmad al-Tijani dari Rasulullah dalam perjumpaan secara
yaqzhah (dalam keadaan terjaga). Perjumpaan dengan melihat Rasulullah adalah
peristiwa yang menurut tradisi tarekat merupakan hal yang biasa dan bisa
terjadi terutama dialami oleh wali-wali besar. Bertemu dengan Rasulullah dalam
keadaan jaga merupakan bagian dari kekaramatan. Karamah seperti inilah yang
senantiasa diharapkan dan dicita-citakan oleh para waliAllah SWT.
Saat memberikan talqin, kepada Syekh al-Tijani, Rasulullah juga
menjelaskan ketinggian derajat dan kedudukan wirid yang diajarkanNya, karena
itu pula Rasulullah memerintahkan kepada Syekh Tijani untuk hanya
berkonsentrasi pada pengamalan wirid itu.
Sejak pertemuannya dengan Rasulullah, akhirnya Syekh Tijani mulai
mengajarkan tarekatnya dan segera tersiar di sekitar tempat tinggalnya, dari
sini mulai lahir penerus-penerus Syekh Tijani seperti Syaikh Ali
al-Thayyib.Sampai saat menjelang wafatnya Syekh Ahmad al-Tijani tidak pernah
lalai dalam melaksanakan tugas dakwahnya, beliau selalu aktif memberi petunjuk
dan bimbingan kepada ummat Islam, terutama dalam membina dan mengarahkan murid
melalui zawiyahnya maupun melalui surat-surat yang dikirim ke berbagai lapisan
masyarakat (fukoro, masakin, agniya, pedagang, fuqaha dan umaro)
Pada masanya, Syekh al-Tijani juga menyampaikan wasiat kepada
pengikutnya dengan mengungkapkan keinginannya, yaitu seorang sufi tidak hanya
memusatkan perhatiannya pada kontemplasi dan zikir, dan mengabaikan masalah
kemasyarakatan. Akan tetapi sebagaimana ditegaskan dalam ajaran Tarekat
Tijaniyah, seorang sufi harus senantiasa aktif berjuang bersama masyarakat,
namun demikian Syekh Ahmad al-Tijani menjelaskan lebih lanjut, bahwa meskipun
seorang sufi telah kembali menjalankan kehidupannya sebagaimana layaknya
seorang muslim, cahaya ma‟rifah yang diperolehnya, akan tetap menyinari
dirinya. Hal ini akan Nampak termanifestasikan dalam setiap gerakan dan
ucapannya. Karena cahaya ketuhanan yang didapatkannya, akan menyebabkan ia
mempunyai keistimewaaan (karamah). Sehingga dikatakan, salah satu tanda
bahwa seseorang adalah sufi yang sudah meraih cahaya ma‟rifat, adalah ia dapat
menunjukan rasa tanggung jawabnya terhadap ummat, lemah lembut terhadap mereka,
berjuang untuk mereka dan bersama-sama mereka membangun kehidupan yang islami
melalui pendekatan hikmah, yakni melakukan pendekatan dakwah kepada ummat
manusia sesuai dengan tingkat kemampuan akalnya.
Tarekat Tijaniyah juga dikenal sebagai tarekat yang bergerak di bidang
politik yang menentang politik penjajahan Prancis di Afrika Utara. Bahkan
tarekat ini termasuk yang reformis dan Neo-Sufisme. Ciri tarekat ini adalah
karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih
menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari‟at dan berupaya
sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad sebagai ganti untuk
menyatu dengan Tuhan.
Perkembangan Tarekat Tijaniyah di Indonesia tidak diketahui secara pasti
kapan waktunya, namun adanya Tarekat Tijaniyah di Indonesia ditandai dengan dua
fenomena yaitu adanya gerakan Tijaniyah di Cirebon pada tahun 1928 dengan
adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet oleh Kyai Anas dan
kehadiran Syekh Ali ibn Abdullah al-Thayyib dengan adanya pengajaran Tarekat
Tijaniyah di Tasikmalaya
Perkembangan Tarekat Tijaniyah di Indonesia dibawa oleh Kyai Anas dari
Pesantren Buntet pada tahun 1921. Perkenalan Kyai Anas dengan Tarekat Tijaniyah
dimulai saat Kyai Abbas pergi ke haramayn untuk menunaikan ibadah haji,
disana beliau bertemu dengan mursyid dan murid Tarekat Tijaniyah, maka ketika
beliau kembali ke tanah air beliau langsung menyuruh adikya yaitu Kyai Anas
untuk memperdalam Tarekat Tijaniyah. Atas anjuran Kyai Abbas, akhirnya Kyai
Anas pergi ke Haramayn untuk melaksanakan ibadah haji dengan tujuan
utamanya yaitu mempelajari dan memperdalami Tarekat Tijaniyah, kurang lebih
selama tiga tahun Kyai Anas bermukim di Makkah untuk mempelajari kitab-kitab
pegangan Tarekat Tijaniyah seperti Jawahirul Ma’ani, Rimah, Bughyat
al- al-Mustafid langsung dari Syekh Alfa Hasyim. Atas seizin Kyai Abbas
maka Kyai Anas menjadi Muqoddam Tarekat Tijaniyah dan mendapat bai‟at dari
Syekh Alfa Hasyim serta dibai’at pula oleh Syekh Ali al-Thayyib.
Kedua saudara ini yang kemudian menjadi perintis Tarekat Tijaniyah di
Indonesia khususnya di wilayah Pesantren Buntet. Pesantren ini didirikan oleh
Mbah Muqoyyim yang pada saat itu tiba di Kedungmalang (Bulak Kulon) Desa Buntet
dengan alasan kehidupan di keraton Cirebon sudah tidak sesuai dengan syariat
Islam. Kedatangan Mbah Muqoyyim ke Desa Buntet pada tahun 1770, dan lima tahun
kmudian baru berdiri sebuah Mushola yang kemudian dijadikan sebagai tempat
menuntut ilmu-ilmu agama meliputi tata cara sholat dan tata cara membaca
al-Quran. Mbah muqoyyim wafat pada saat perjuangannya hampir selesai pada
tahun1812 di Buntet.
Sejak perkembangannya di Pesantren Buntet, Tarekat Tijaniyah mulai
dikenal di berbagai daerah di Indonesia seperti pada tahun 1928 Tarekat
Tijaniyah sudah terkenal di beberapa wilayah diantarnya di Bogor, Tasikmalaya,
Jawa Tengah dan Kalimantan.
b. Ajaran
Tarekat Tijaniyah
Dasar-dasar tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani di bangun di atas landasan dua
corak tasawuf, yakni Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi. Dengan
kata lain, Syekh Ahmad al-Tijani menggabungkan dua corak tasawuf dalam ajaran
tarekatnya. Dasar-dasar Tasawuf Falsafi yang dikembangkan Syekh Ahmad
Al-Tijani adalah tentang maqam Nabi Muhammad sebagai al-Haqiqat
al-Muhammadiyyah dan rumusan wali Khatm.
Al-Tijani menerima ajaran-ajaran tarekatnya langsung dari Rasulullah
dalam keadaan terjaga, beliau mendapat tiga amalan utama yaitu Istighfar,
Sholawat dan Hailalah. Pada amalan-amalan Tarekat Tijaniah ini
terdapat beberapa aurod TarekatTijaniyah, yaitu:
1) Istighfar.
Membaca Istighfar ini bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan dosa, baik
dosa kecil maupub dosa besar, dosa sedikit maupun banyak, doa tersembunyi
maupun nyata. Istighfar dilakukan sebagi langkah awal bertawajjuh dan wushul
kepada Allah.
2) Sholawat.
Perintah allah kepada Nabi Muhammad didahului dengan pernyataan bahwa Allah
bersholawat atas Nabi, karena Nabi Muhammad merupakan makhluk yang paling dekat
dengan Allah.
3) Hailalah.
Setelah Istighfar, mendekatkan diri kepada Rasulullah dengan Sholawat, lalu
dilanjutkan dengan mendekatkan diri pada Allah SWT dengan membaca Hailalah.
Sebagaimana ajaran-ajaran Tarekat Tijaniyah
yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, berbeda dengan terpisahnya
pembahasan mengenai wirid Tarekat Tijaniyah. Pembahasan wirid ini ditujukan
untuk lebih memperjelas bagian Wirid Tarekat. Tarekat Tijaniyah memiliki tiga
macam wirid, yaitu: Wirid Lazimah, Wirid Wadzifah dan Wirid Hailalah. Ketiga
wirid ini merupakan wirid yang lazim bagi Ikhwan Tijani. Pada setiap wirid
mempunyai aturan-aturan yang telah ditentukan dalam Tarekat, antara lain
adalah;
1) Wirid
Lazimah
Amalan wirid lazimah meliputi tiga unsur bacaan : istighfar, shalawat,
dan hailalah. Waktu Wirid Lazimah Dalam satu hari, wirid lazim diamalkan dua
kali, yaitu: Pertama sesudah sholat Ashar sampai waktu Isya‟. Bila ada udzur
waktunya sampai waktu sholat Shubuh dan apabila waktu Shubuh belum juga
mengamalkannya, maka wajib di qadha. Kedua, sesudah melaksanakan sholat Subuh
sampai sholat Duha akhir. Jika ada udzur, waktunya sampai waktu maghrib,
apabila waktu sampai waktu Maghrib belum mengamalkannya, maka wajib di qodo.
Rukun Wirid Lazim ada empat dengan urutan
sebagai berikut: Niat, Membaca Istighfar 100 kali, membaca Sholawat 100 kali,
terutama membaca Sholawat Fatihi Lima Ughliqo, Membaca Hailalah Hailalah
100 kali, kemudian membaca Sholawat Fatih.
2) Wirid
Wadzifah
Pada Wirid Wadzifah ini juga terdapat waktu
yang ditentukan, tata cara Jama‟ah Masbuq (ketinggalan), rukun Wirid Wadzifah
dan amaliyahnya. Waktu Wirid Wadzifah Lebih utama mengamalkan Wirid Wadzifah
yaitu dilakukan dua kali dalam sehari semalam dan waktunya sama dengan Wirid
Lazimah. Apabila wirid Wadzifah diamalkan satu kali dalam sehari semalam, maka
lebih utama dilakukan pada waktu malam. Apabila di daerahnya ada ikhwan Tijani,
maka wirid wadzifah dilakukan dengan ijtima‟. Apabila dalam sehari semalam
tidak mengamalkan Wirid wadzifah maka di wajibkan mengqodhonya, dan apabila
belum menghafal Shalawat Jauharotul Kamal maka diganti dengan membaca al-Fatihhi
Lima Ughliqo 20 kali.
Wirid Masbuq ini di khususkan bagi Ikhwan
yang Ijtima‟ Wirid Wadzifah. Apabila ikhwan Tijani datang untuk mrngikutiWirid
Wadzifah dan Wadzifah sudah sampai di Wirid Hailalah, maka Ikhwan yang baru
datang tersebut langsung berniat dan mengikuti bacaan Hailalah imam dan
menghitungnya, 40 Hailalah sempurna, setelah imam selesai wadzifah, maka Ikhwan
Tijani tersebut harus meneruskan Wirid dari awal, yaitu Istighfar 30 kali,
Sholawat 50 kali dan kekeurangan Hailalah 60 kali, kemudian diteruskan dengan
takhtim.
Rukun Wirid Wadzifah yaitu, Niat, Membaca
Istighfar, Membaca Sholawat Fatih Lima Ughliqo, Membaca Hailalah dan Membaca
Sholawat Jauharotul Kamal.
3) Wirid
Hailalah
Pembacaan Wirid Hailalah
dikerjakan/dibacakan minimal sebanyak 1000 kali dan maksimal 1600 kali, adapun
waktu Wirid Hailalah, dalam satu minggu wirid Hailalah diamalkan satu kali,
yaitu setelah Sholat Ashar pada hari Jum‟at. Jika menggunakan ukuran waktu,
maka kurang lebih menghabiskan satu jam sebelum Maghrib sampai waktu Maghrib.
Seperti wirid-wirid yang lain, jika di
daerahnya terdapat Ikhwan Tijani maka pelaksanaan Wirid hailalah dilakukan
secara berjama‟ah/ijtima‟. Apabila ada udzur sehingga tidak dapat mengamalkan
wirid hailalah, maka tidak wajib di qodo‟. Pada Rukun Wirid Hailalah ini
terdapat dua bagian, yaitu: Niat dan membaca Laa Ilaaha Illallaah. Pada
pelaksanaan Hailalah ini disertakan pula manaqib.
C.
KESIMPULAN
Tarekat adalah suatu pelaksanaan ibadah yang diupayakan seseorang
atau kelompok orang dengan bimbingan seorang guru atau pemimpin thariqah untuk
membersihkan jiwa, dengan tujuan yaitu agar mencapai ma’rifat kepada Allah yang
dilakukan secara berjamaah. Pada umumnya nama tarekat dinisbatkan kepada
pendirinya, sebagaimana nama-nama yang sudah ada terlebih dahulu. Tarekat Syattariyah muncul pertama kali di India pada sekitar abad
ke15. Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Abdullah Asy-Syattari. Ajaran tarekat
ini berisi tentang talkin, bai’at, dan dzikir-dzikir khusus yang menyambung
kepada Rasulullah Saw. Sedangkan nama Tarekat Tijaniyah juga diambil dari nama pendirinya yaitu Abu
al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al-Tijani. Beliau merupakan seorang
tokoh dari gerakan Neo-Sufisme. Al-Tijani
menerima ajaran-ajaran tarekatnya langsung dari Rasulullah dalam keadaan
terjaga, beliau mendapat tiga amalan utama yaitu Istighfar, Sholawat dan
Hailalah.
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, A. B. (1985). Pengantar ilmu Tarekat.
Solo: Rmadhani.
Azra, A. (1994). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII-XVIII . Bandung: Penerbit Mizan .
Badruzzaman, I. (2007). Tarekat Tijaniyah Di Indonesia. Garut:
Zawiyah Tarekat Tijaniyah.
Benthounes, S. K. (2003). Tasawuf Jantung Islam. Yogyakarta:
Pustaka sufi.
Bruinessen, M. v. (1994). Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia.
Bandung: Mizan.
Bruinessen, M. v. (1995). Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat.
Bandung: Mizan.
Fathurahman, O. (2008). Tarekat Syattariyah di Minangkabau.
Jakarta: Prenada Media Group.
Istadiyantha. (2007). Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah
Filologis, dalam "Suntingan Teks dan Analisis Fungsi Tarekat
Syattariyah". Solo: Bina Insani Press.
Mahjuddin. (1991). Kuliah Akhlak Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.
Mulyati, S. (2006). Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Mustofa, A. (2007). Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Riyadi, S. (2003). Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi.
Bandung: Media Transformasi Pengetahuan.
Sholihin, M. (2005). Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suteja. (2011). Teori Dasar Tasawuf. Cirebon: Nurjati Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar