Iklan

Sabtu, 08 Juni 2024

Jurnal Artikel Tarekat Syattariyah dan Tijaniyah

Tarekat Syattariyah dan Tijaniyah


Abstrak

Kemunculan tarekat berkaitan erat dengan adanya tasawuf dan tarekat merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan tasawuf. Tarekat sebagai jalan, petunjuk sebagai jalan melakukan ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada gurunya, sambung menyambung dan rantai berantai. Pengertian lain adalah suatu cara mengajar atau mendidik, lama-lama meluas jadi kumpulan kekeluargaan yang meningkat penganut-penganut sufi yang sefaham dan sealiran, dengan tujuan untuk memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan dari para pemimpinnya dalam suatu ikatan. Pada mulanya, suatu tarekat hanya berupa jalan atau metode yang ditempuh oleh seorang sufi secara individual. Para sufi atau mursyid itu kemudian mengajarkan pengalamannya kepada murid-muridnya, baik secrara individual (sembunyi-sembunyi) maupun kolektif (terang-terangan atau menyeluruh). Setelah suatu tarekat memiliki anggota yang cukup banyak, maka tarekat tersebut kemudian menjadi sebuah “organisasi tarekat”. Dalam artikel ini penulis memfokuskan pada tarekat Syattariyah dan tarekat Tijaniyah. Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Abdullah Asy-Syattari. Ajaran tarekat ini berisi tentang talkin, bai’at, dan dzikir-dzikir khusus yang menyambung kepada Rasulullah Saw. Sedangkan nama Tarekat Tijaniyah juga diambil dari nama pendirinya yaitu Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al-Tijani. Beliau merupakan seorang tokoh dari gerakan Neo-Sufisme. Al-Tijani menerima ajaran-ajaran tarekatnya langsung dari Rasulullah dalam keadaan terjaga, beliau mendapat tiga amalan utama yaitu Istighfar, Sholawat dan Hailalah. Ketiga wirid ini merupakan wirid yang lazim bagi Ikhwan Tijani.

Kata kunci: tarekat, Syattariyah, Tijaniyah

A.    PENDAHULUAN

Tarekat merupakan jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw, dan dicontohkan oleh beliau, para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Umarie Barmawi mengungkapkan pengertian tarekat adalah jalan atau sistem yang ditempuh menuju keridhaan Allah semata, sedang usaha menempuh jalan itu bernama suluk, dan orangnya bernama salik.

Laily Mansur menyatakan tarekat merupakan usaha pencapaian pengalaman batin yang dilaksanakan dengan cara dan aturan praktis, penuh disiplin dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah di bawah bimbingan seorang syekh.

Tarekat bermula dari tasawuf yang kemudian berkembang dengan berbagai macam paham dan aliran. Sedang pengertian Tasawuf itu sendiri secara umum adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin melalui kesucian rohani dalam memperbanyak ibadah. Untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam tarekat diperlukan adanya bimbingan seorang guru/syekh, sebab bagi yang beribadah tanpa bimbingan guru/pembimbing, berarti dia dibimbing orang ketiga, orang ketiga dimaksud adalah setan.

 Jadi dari beberapa pengertian diatas, tarekat yaitu suatu ibadah yang diupayakan seseorang atau kelompok orang dengan bimbingan seorang guru atau pemimpin thariqah untuk membersihkan jiwa, dengan tujuan yaitu agar mencapai ma’rifat kepada Allah yang dilakukan secara berjamaah. Terdapat beberapa tarekat contohnya ada Tarekat Syattariyah dan juga Tijaniyah.

Tarekat Tijaniyah disampaikan pertama kali oleh Syekh Ahmad al-Tijani (w. 1230H/1815H). Tarekat ini bermula dari Berber Al-jazair dan menyebar dari al-Jazair ke selatan Sahara, terus masuk ke Sudan bagian Barat dan Tengah, Mesir, Senegal, Afrika Barat, Nigeria, dan bahkan tarekat ini sudah diperkenalkan sampai ke Amerika Barat dan Utara. Tijaniyah termasuk tarekat muktabarah yang diakui keberadaan dan kebenarannya di Indonesia.

Tarekat Syattariyah muncul pertama kali di India pada sekitar abad ke15. Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Abdullah Asy-Syattari. Tarekat Syattariyah pernah menduduki posisi penting, karena tarekat ini merupakan salah satu tarekat yang besar pengaruhnya di dunia Islam, termasuk di Indonesia.

Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba untuk membahas terakat Syatariyah dan Tijaniyah lebih dalam lagi. Adapun poin- poin yang akan dibahas oleh penulis meliputi pengertian, sejarah, asas tarekat, ajaran, dan perkembangan tarekat Syatariyah dan Tijaniyah.

B.    PEMBAHASAN

1.     Pengertian Tarekat

Secara harfiah, kata thoriqoh berarti sirah, madzhab, thobaqoh dan maslakul mutashowwifah (Suteja, 2011). Sedangkan secara istilah, Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadilah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang arif (Syaikh) dan (Sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan (Mustofa, 2007).

Al-Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy menjelaskan pengertian tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan ibadah (dengan rukun) dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah, yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah. (Mahjuddin, 1991)

Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Pada masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka dan beberapa dari murid ini kelak akan menjadi guru pula. Boleh dikatakan bahwa tarekat itu mensistematiskan ajaran dan metode-metode tasawuf. Guru tarekat yang sama mengajarkan metode yang sama, dzikir yang sama, muroqobah yang sama. Seorang pengikut tarekat akan memperoleh kemajuan melalui rangkaian amalan-amalan berdasarkan tingkat yang dilalui oleh semua pengikut tarekat yang sama, Dan dari pengikut bisa (mansub) menjadi murid selanjutnya pembantu Syaikh (Khalifah-nya) dan ahirnya menjadi seorang guru yang mandiri (mursyid). (Mulyati, 2006)

Tarekat tersusun pada mata rantai silsilah guru, sumbernya Al-Quran dan Hadits kemudian menantu beliau Ali Abi Tholib RA. Dalam satu Hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: “aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya”. Bagi eksoterisme Islam, Hadits ini menjadi dasar pendapat bahwa Ali adalah mata rantai esoterik pertama, yang kepadanya seluruh mata rantai saling mengaitkan. (Benthounes, 2003)

Tujuan dari tarekat adalah untuk mencapai ma’rifat, yakni mengenali tuhan dengan sebenar-benarnya. Hal ini bisa dijelaskan dengan pernyataan bahwa tarekat adalah pelaksanaan dari syari’at yang merupakan uraian dari ajaran Islam. Sedangkan hakekat adalah keadaan hati, dan ma’rifat adalah tujuan pokoknya. Syari’at diibaratkan sebagai perahu, tarekat sebagai lautan, dan hakekat sebagai mutiara, dan ma’rifat sebagai keindahan mutiaranya. Orang tidak bisa mendapatkan keindahan dari mutiara tanpa dengan perahu dan lautan (Atjeh, 1985).

Dalam sebuah tarekat terdapat istilah maqom. Maqom adalah merupakan sebuah tempat kusus sepanjang perjalanan sufistik (adab) yang direalisasikan oleh seorang hamba tuhan melalui pelaksanaan semua prilaku yang baik dan melalui suatu bentuk penelusuran dan disiplin diri. Maqom sesorang adalah tempat berdirinya dalam keadaan tertentu serta berbagai prilaku dan tindakan yang ia lakukan. Seseorang tidak bisa naik maqom jika ia belum mencapai maqom kepuasan (rido), berarti ia tidak siap untuk mencapai maqom percaya (tawakkal) kepada Allah, maka ia belum saatnya mencapai maqom ikhlas. Hal yang sama, siapapun yang belum mencapai maqom tobat maka ia tidak siap untuk mencapai maqom kesedihan yang mendalam karena dosa, dan siapapun yang belum mencapai maqom penguasaan (muroqqobah) berarti ia tidak siap untuk penafian diri (fana). (Riyadi, 2003)

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tarekat adalah suatu pelaksanaan ibadah yang diupayakan seseorang atau kelompok orang dengan bimbingan seorang guru atau pemimpin thariqah untuk membersihkan jiwa, dengan tujuan yaitu agar mencapai ma’rifat kepada Allah yang dilakukan secara berjamaah.

2.     Tarekat Syattariyah

a.     Sejarah Tarekat Syattariyah

Tarekat Syattariyah muncul pertama kali di India pada sekitar abad ke15. Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Abdullah Asy-Syattari. Tarekat Syattariyah pernah menduduki posisi penting, karena tarekat ini merupakan salah satu tarekat yang besar pengaruhnya di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Jika dilacak dari awal lagi, tarekat ini memiliki hubungan keterkaitan  dengan tradisi Transoxsiana, karena silsilahnya terhubung dengan Abu Yazid al-Ishqi, yang terhubung lagi dengan Abu Yazid al-Busthomi (w. 260 H/873 M), dan Imam Ja’far al-Siddiq (w. 146 H/763 M). Sehingga, tidak mengherankan jika kemudian tarekat ini dikenal dengan nama Tarekat Ishqiyyah di Iran, atau Tarekat Busthomiyyah di Turki Utsmani, yang sekitar abad ke-5 cukup populer di wilayah Asia Tengah, sebelum ahirnya memudar dan pengaruhnya digantikan oleh Tarekat Naqsabandiyyah.

Penisbahan nama al-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati didalam dzikir nafi isbath, laa ilaaha (nafi’) dan illa Allah (isbat). Nisbah al-Syattar juga merupakan pengukuhan dari guru atas derajat spiritual yang dicapai, yang kemudian berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai wasitah (mursyid). Ditambah juga menurut Najmudin Kubro, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah akhyar dan  abror. Ketiga istilah ini, dalam hirarki yang sama, kemudian juga dipakai didalam tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga). (Suteja, 2011)

Abdullah asy-Syattar diketahui menulis sebuah kitab berjudul Lata’if al-Ghaibiyyah yakni tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Tarekat Syattariyah, yang disebutnya sebagai cara tercepat untuk mencapai tingkat ma’rifat. Karya inin kemudian disempurnakan oleh dua murid utamanya, Syaikh Muhammad A’la, yang dikenal sebagai Syaikh Qodhi Bengal (Qazam Syattari), dan Syaikh Hafiz Jawnpur. Yang tercatat sebagai murid Syah Abdullah yang berjasa mengembangkan silsilah Tarekat Syattariyah di India bagian utara melalui murudnya, Syaikh Budhdhan. Yang selanjutnya, murid dari Syaikh Budhdhan ini , Syaikh Baha al-Din, menulis juga sebuah kitab berjudul Risalah Syattariyah, yang juga berisi tentang prinsip-prinsip dari ajaran Tarekat Syattariyah (Mulyati, 2006).

Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah diperluaskan oleh para murid-muridnya. Salah seorang murid yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Syattariyah sebagai satu tarekat yang indipenden atau berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts. Ia berhasil memapankan doktrin dan ajaran tarekat Syattariyah melalui berbagai karangannya antara lain, Jawahir al-Khamsah, kilid Makhzan, dama‟ir, Basyayir, dan Kanz al-Tauhid.  Sehingga dapat dipastikan bahwa kitab ini memuat sejumlah doktrin dan rumusan penting yang berkaitan dengan Tarekat Syattariyah pada periode awal pertumbuhannya di India.

Diantara murid-murid Syaikh Muhammad Ghauts yang paling terkemuka adalah Syaikh Wajih al-Din Alawi yang tinggal di Ahmadabad, India. Perkembangan Traekat Syattariyah mulai surut setelah wafatnya Syaikh Muhammad Ghauts dan Syaikh Wajih al-din Alawi. Syaikh Wajih al-Din Alawi menyisakan seorang murid bernama Sayyid Sibghotullah ibn Ruhullah Jamal al-Barwaji (w. 1015 H/1606 M) kelahiran India dari orang tua asal Persia (Fathurahman, 2008). Selama beberapa tahun, dibawah lindungan penguasa setempat, Shibghotullah sempat mengajarkan doktrin Tarekat Syattariyah di tempat kelahirannya, yuang kemudian ia mengadakan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Karir keilmuan Sayyid Sibghotullah di Haramayin rupanya terus bersinar, ia aktif mengajar di Masjid Nabawi dan di Ribat-nya sendiri. Ia juga menulis sebuah kitab dalam bidan Tasawuf, kalam dan komentar atas tafsir al-Baidhowi. Murid-muridnya pun datang dari berbagi kalangan, salah satu yang paling terkemuka dan menjadi penerus Tarekat Syattariyah adalah Ahmad al-Shinawi (lahir 975 H/1567 M) dan Ahmad al-Qushashi (991-1071 H/1585-1660 M). Selanjutnya, melalui muruid-murid yang datang dari berbagai kalangan, al-Qushashi juga dianggap sebagai tokoh yang paling utama dalam transmisi ajaran Tarekat Syattariyah ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke wilayah Indonesia. Diantara salah satu muridnya ialah Ibrahim al-Qurani (1023-1102 H/1616-1690 M) dan Abdurrouf bin Ali al-Jawi (1024-1105 H/1615-1693 M). (Fathurahman, 2008)

Abdurrauf bin Ali al-Jawi sendiri yang paling sering dianggap sebagai ulama yang paling otoritatif dalam menyebarkan Tarekat Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia. Ia telah menunjukan posisinya sebagai ulama memumpuni yang dapat mensejajarkan dirinya dengan para ulama besar dari belahan dunia lain. Dan dari ia-lah penyebaran Tarekat Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia, Abdurrauf merupakan figur utama, karena hampir silsilah Tarekat Syattariyah bermuara kepada dirinya.

Tarekat Syattariyah dibawa dan dikembangkan di Indonesia oleh Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi, seorang ulama yang berasal dari Sinkel, Aceh. Ketika ia melaksanakan ibadah haji ke Makkah ia menggunakan kesempatan tersebut untuk menuntut ilmu seluas-luasnya seperti tafsir, hadits, fiqih, kalam, terutama di bidang tasawuf dan tarekat. Ia menetap di Haramayin selama 19 tahun. Ia belajar dari berbagai pengetahuan keagamaan tersebut pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh mistik kenamaan Jeddah, Makkah, Madinah, Moka, Bait al-Faqih (Fathurahman, 2008). Abdurrauf mempunyai banyak mata rantai secara langsung dan kokoh dengan para tokoh utama dari jaringan ulama. Untuk pertama kalinya, dapati pada sosok Abdurrauf sebuah gambaran lebih jelas dari silsilah-silsilah intelektual dan spiritual, yang menempatkan Islam di wilayah Melayu-Indonesia diatas peta penyebaran global pembaruan Islam.

Dibandingkan dengan yang lain, ia sangat menaruh hormat kepada Ahmad al-Qushashi. Ia menyebut Ahmad al-Qushashi dengan “pembimbing spiritual dan guru di jalan Allah”. Setelah mendapat banyak ilmu dari gurunya, Syaikh Ahmad al-Qushashi, kemudian ia kembali ke Sinkil, Aceh, Indonesia, yang ketika itu masyarakatnya belum banyak masuk Islam.

Bagaimanapun juga, kedatangan Abdurrauf dari Arabia dengan sendirinya menciptakan rasa penasaran, terutama dilingkungan istana. Tidak lama kemudian Abdurrauf dikunjungi seorang pejabat istana, Khatib Seri Rajab Hamzah al-Asyi. Ia diutus Sultanah untuk menyelidiki pandangan-pandangan keagamaan Abdurrauf, karena saat itu telah terjadi perdebatan dalam hal keagamaan. Namun Abddurrauf berhasil lulus dari ujian itu, sebab ia segera merebut hati kalangan istana. Kemudian ia ditunjuk Sultanah menduduki jabatan sebagai Qodhi Malik al-Adl atau Mufti, yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan, yakni pada masa pemerintahan Sultanah Syafiatuddin.

Abdurrauf adalah seorang ulama Aceh yang menyebarkan ajaran martabat alam tujuh yang dikenal di Aceh sebagai paham Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah (pantheisme) dengan paham sunnah. Ajaran seperti inilah yang kemudian dibawa oleh muridnya, Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan ke daerah Jawa.

Pemikiran tasawuf Abdurrauf dapat dilihat antara lain pada persoalan kecendrungannya untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syari‟at. Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, yaitu penganut paham satu-satunya wujud hakiki yakni Allah. Sedangkan alam ciptaanya bukanlah merupakan wujud hakiki, akan tetapi bayangan dari yang hakiki. Walaupun demikian antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu mempunyai persamaan. Maka dari itu, sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah, seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakekatnya setiap perbuatan adalah merupakan perbuatan dari Allah. (Sholihin, 2005)

Diantara murid-murid Abdurrauf yang paling terkemuka diantaranya ialah Syaikh Burhanuddin dari Ulukan, Pariaman, Sumatra Barat dan Syaikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dari kedua murid inilah yang kemudian berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah Tarekat Syattariyah, dan menjadi tokoh sentral di wilayahnya masing-masing. Syaikh Burhanuddin menjadi Khalifah utama bagi semua Khalifah Tarekat Syattariyah di wilayah Sumatra Barat, sedangkan Syaikh Abdul Muhyi menjadi salah satu mata rantai utama bagi terhubungkannya silsilah Tarekat Syattariyah di wilayah Jawa Barat khususnya, dan di Jawa pada umumnya. Di semenanjung pula Abdurrauf mempunyai murid yang terkemuka lain, yakni Abdul Malik bin Abdullah (1089-1149 H/1678-1736 M) yang dikenal sebagai Tok Pulau Manis dari Trengganu (Fathurahman, 2008).

b.     Ajaran Tarekat Syattariyah

Ajaran Tarekat Syattariyah yang pertama adalah talkin. Talkin adalah langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum seseorang di bai’at menjadi anggota tarekat dalam menjalani dunia tarekat. Menurut al-Qusashi diantara tata cara talkin adalah calon murid terlebih dahulu meninap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh Syaikh-nya selama tiga malam dan dalam keadaan suci (berwudlu). Setiap malamnya ia harus melaksanakan sholat sunnah sebanyak enam roka’at dengan tigan kali salam.

Pada raka’at pertama dari dua raka’at pertama, setelah selesai membaca surah al-Fatihah membaca surah al-Qadr enam kali, kemudian setelah raka’at kedua setelah baca surah al-Fatihah baca surah al-Qodr dua kali, pahala shalat tersebut dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, seraya mengharap pertolongan dari Allah. Selanjutnya pada raka’at pertama dari dua raka’at kedua, setelah selesai baca surah al-Fatihah membaca surah al-Kafirun lima kali, dan pada raka’at kedua setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Kafirun tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan kepad arwah para nabi, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya. Terahir pada raka’at pertama dari dua raka’at ketiga setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas empat kali, dan pada raka’at kedua setelah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas dua kali. Kali ini pahalanya dihadiahkan kepada para arwah guru-guru tarekat, keluarga, shabat, dan para pengikutnya. Kemudian setelah rangkaian sholat diatas selesai lalu ditutup dengan membaca shalawat kepada nabi sebanyak sepuluh kali. (Mulyati, 2006)

Ajaran yang selanjutnya adalah baiat. Setelah menjalani talkin, hal yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan menjadi murid adalah di baiat. Secara hakiki bai’at menurut al-Qusashi merupakan ungkapan kesetiaan dan penyerahan diri dari seorang murid secara khusus kepada syaikh-nya dan secara umum kepada lembaga tarekat yang dimasukinya. (Mulyati, 2006)

Adapun cara baiat adalah terlebih dahulu mandi keramas kemudian diteruskan dengan puasa 3 hari. Setelah itu kemudian di baiat, baik secara sendiri maupun berkelompok. Biasanya berkelompok, yaitu setealah ada beberapa orang kemudian diantar ke Tanjung atau mendatangkan.

Murid yang hendak melakukan baiat harus melakukan beberapa hal berikut (Fathurahman, 2008):

1. Berwudhu.

2. Bersalaman dengan semua jamaah tarekat yang hadir.

3. Meletakkan tangan kanan di bawah tangan kanan Syekh kemudian Syekh membaca baiat yaitu kutipan dari surat al-Fāth ayat 10:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (Q.S Al-Fath ayat 10)

4. Duduk bersila dengan menumpangkan telapak kaki kanan di atas lutut kiri dan meletakkan kedua telapak tangan di atas lutut.

5. Mengikuti zikir yang diajarkan Syekh yaitu kalimat Lā ilāha illā Allāh dimulai kalimat Lā ilāha dari kiri ke kanan kemudian illā Allāh dihujamkan ke susu kiri sebanyak 3 kali.

6. Membaca zikir tersebut kira-kira seratus kali.

7. Berdoa yang dipimpin oleh Syekh.

8. Mendengarkan pengajian tarekat yakni tentang beberapa hla yang harus dilakukan oleh seorang murid tarekat.

Setelah itu semua dilakukan, murid tersebut mendapat ijazah dan khirqah yang merupakan simbol telah lulusnya seorang murid dalam jenjang tarekat dan perubahan statusnya dari murid menjadi seorang khalifah. (Fathurahman, 2008)

Ajaran selanjutnya adalah dikenal dengan tujuh macam dzikir muqoddimah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu manusia. Tujuh macam dzikir itu adalah (Suteja, 2011):

Dzikir thowaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri sampai bahu kanan, dengan mengucapkan “laa ilaaha” sambil menahan nafas, setelah sampai dibahu kanan nafas ditarik lalu mengucapkan “Illa Allah” yang dipukulkan kedalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari dibawah dada kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.

Dzikir nafi isbat, yaitu dzikir dengan “Laa ilaaha illa Allah” dengan lebih mengeraskan lafadz nafi’nya (laa ilaaha) ketimbang isbat-nya (illa Allah) yang diucapkan seperti memasukkan suara kedalam yang Empu-nya Asma Allah.

Dzikir isbat faqoth, yaitu berdzikir dengan “illa Allah, illa Allah, illa Allah” yang dihujamkan kedalam hati sanubari.

Dzikir ism al-dzat, yaitu dzikir dengan Allah, Allah, Allah yang dihujamkan ketengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.

Dzikir taroqqi, yaitu dzikir Allahu, Allahu. Zikir Allāh diambil dari dalam dada dan Hū dimasukkan ke dalam bait al-makmūr (otak, markas pikiran). Zikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.

Dzikir tanazzul, yaitu dzikir Huwa Allah, Huwa Allah, dzikir huwa diambil dari ba’it al-makmur, dan Allah dimasukkan kedalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan cahaya ilahi.

Dzikir Ism al-Ghoib, yaitu dzikir huwa, huwa, huwa dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju kearah kedalaman rasa.

Pelaksanaan zikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: Mubtadī, Mutawasitāh, dan Muntahī. Mubtadī artinya tingkat permulaan, Mutawasitāh artinya tingkat menengah dan Muntahī artinya tingkat terakhir. Khusus mengenai tataran terakhir ini, di dalam teks dibicarakan secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat: yaitu Makrifāt Tanziyyah dan Makrifāt Tasybiyyah. Makrifāt Tanziyyah adalah suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah/hakikatnya. Makrifāt Tasybiyyah adalah mengetahui dan mengitikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar, dalam makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya. (Istadiyantha, 2007)

Tujuan pengamalan zikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk mencapai martabat insan kamil yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim menurut ukuran manusia). Tingkatan ini dapat diperoleh oleh seseorang, jika ia dapat mengumpulkan dua makrifat yaitu Makrifāt Tanziyyah dan Makrifāt Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang sesuatu hal secara lahiriah dan batiniah).

Dalam naskah Syattariyah yang ditulis Syekh Abdurrauf dijelaskan bahwa Hubungan antara Tuhan dan alam menurut pandangan Syattariyah dijelaskan sebagai berikut: pada mulanya alam ini diciptakan oleh Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, ia berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama al-Ayān ast-Tsābitāh. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah al-Ayān ast-Tsābitāh ini menjelma pada al-Ayān Khārijiyyah (kenyataan Tuhan yang berada di luar), maka al-Ayān Khārijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi yang memiliki bayang-bayang dan ia tiada lain dari pada-Nya.

Syekh Burhanudiin juga menyimpulkan meskipun al-Ayān Khārijiyyah merupakan emanasi wujud mutlak, mereka adalah berbeda dari Tuhan itu sendiri. Hubungan keduanya seperti tangan dan bayangan. Meskipun tangan tidak dapat dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama. Sedangkan untuk mendapatkan hubungan langsung dengan Tuhan, orang mesti melalui Kasyf. Akal manusia tidak mungkin bisa memahami Tuhan. Kasyf adalah satu-satunya pintu yang bisa dicapai dengan memurnikan tauhid melalui pengajian Tarekat Syattariyah dan mengamalkan zikir serta ibadah dengan kaifiyat sendiri. (Azra, 1994)

Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh antara lain pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari scorang saja. Perumpamaan kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan tetapi ia tangan itu juga. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Ahmad yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya.

Ilmu itu berdiri pada Dzatnya dan hapus di dalam keesaannya. Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Ahmad (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya): yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Ahmad tetap sebagai Ahmad. Sesuai dengan dalil Fā al-kullū Huwa al-Haqq, artinya Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar.

Konsep pemikiran dari Syekh Burhanuddin ini sama dengan teori emanasi. Emanasi yang berarti proses munculnya sesuatu dari pemancaran bahwa yang dipancarkan substansinya sama dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.

3.     Tarekat Tijaniyah

a.     Sejarah Tarekat Tijaniyah

Pada umumnya nama tarekat dinisbatkan kepada pendirinya, sebagaimana nama-nama yang sudah ada terlebih dahulu. Misalnya Tarekat Qadiriyah yang mengambil nama pendirinya yaitu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang wafat pada tahun 561/1166, Tarekat Naqsabandiyah yang mengambil nama pendirinya yaitu Baha al-Din Naqsaband yang wafat pada tahun 1389 (Bruinessen, 1994). Maka nama Tarekat Tijaniyah juga diambil dari nama pendirinya yaitu Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al-Tijani (Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, 1995). Beliau juga merupakan seorang tokoh dari gerakan Neo-Sufisme.

Asal usul Tarekat Tijani Tijaniyah berasal dari nama sebuah suku asli di Ayn Madi yang terletak di Algeria Selatan. Penyandang suku al-Tijani tersebut adalah ibunya Abu al-Abbas Ahmad. Beliau adalah seorang wanita yang berketurunan kulit hitam, yang bernama Sayyid Aisyah binti Abdullah al-Sanusi al-Tijani. Sementara ayahnya yaitu Muhammad bin Mukhtar adalah seorang alim dan merupakan keturunan ke- 22 dari Nabi Muhammad Saw.

Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. Silsilah lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw. (Badruzzaman, 2007)

Semasa hidupnya Syekh al-Tijani melakukan banyak perjalanan untuk mendapatkan ilmu tasawuf, dan perlu proses panjang untuk mencapai kewaliannya. Sebelum diangkat sebagai wali besar,pada usia 21 tahun Syekh Tijani sudah bergaul dengan orang-orang sufi pada usia 31 tahun Syekh Tijani mulai mengamalkan ilmuilmu kesufian dan kewalian. Sejak usia 46 tahun ia menenggelamkan diri dalam amalan-amalan para wali dengan mengunjungi para wali besar di berbagai negara seperti Tunis, Mesir, Makkah, Madinah, Maroko, Fez dan Abi Samghum. Kunjungan yang al-Tijani lakukan selain sebagai ajang silaturahmi juga sebagai pencarian ilmu-ilmu kewalian secara lebih luas, sehingga ia mendapat derajat kewalian yang sangat tinggi.

Tarekat Tijaniyah termasuk tarekat yang dasar pembentukannya menggunakan sistem barzakhi. Makna barzakhi dalam Tarekat Tijaniyah, sebagaimana tergambarkan dalam proses pembentukannya, bahwa ajaran-ajaran itu tidak diperoleh melalui pengajaran dari guru-guru sebelumnya, tetapi diperoleh langsung oleh Syaikh Ahmad al-Tijani dari Rasulullah dalam perjumpaan secara yaqzhah (dalam keadaan terjaga). Perjumpaan dengan melihat Rasulullah adalah peristiwa yang menurut tradisi tarekat merupakan hal yang biasa dan bisa terjadi terutama dialami oleh wali-wali besar. Bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan jaga merupakan bagian dari kekaramatan. Karamah seperti inilah yang senantiasa diharapkan dan dicita-citakan oleh para waliAllah SWT.

Saat memberikan talqin, kepada Syekh al-Tijani, Rasulullah juga menjelaskan ketinggian derajat dan kedudukan wirid yang diajarkanNya, karena itu pula Rasulullah memerintahkan kepada Syekh Tijani untuk hanya berkonsentrasi pada pengamalan wirid itu.

Sejak pertemuannya dengan Rasulullah, akhirnya Syekh Tijani mulai mengajarkan tarekatnya dan segera tersiar di sekitar tempat tinggalnya, dari sini mulai lahir penerus-penerus Syekh Tijani seperti Syaikh Ali al-Thayyib.Sampai saat menjelang wafatnya Syekh Ahmad al-Tijani tidak pernah lalai dalam melaksanakan tugas dakwahnya, beliau selalu aktif memberi petunjuk dan bimbingan kepada ummat Islam, terutama dalam membina dan mengarahkan murid melalui zawiyahnya maupun melalui surat-surat yang dikirim ke berbagai lapisan masyarakat (fukoro, masakin, agniya, pedagang, fuqaha dan umaro) (Badruzzaman, 2007).

Pada masanya, Syekh al-Tijani juga menyampaikan wasiat kepada pengikutnya dengan mengungkapkan keinginannya, yaitu seorang sufi tidak hanya memusatkan perhatiannya pada kontemplasi dan zikir, dan mengabaikan masalah kemasyarakatan. Akan tetapi sebagaimana ditegaskan dalam ajaran Tarekat Tijaniyah, seorang sufi harus senantiasa aktif berjuang bersama masyarakat, namun demikian Syekh Ahmad al-Tijani menjelaskan lebih lanjut, bahwa meskipun seorang sufi telah kembali menjalankan kehidupannya sebagaimana layaknya seorang muslim, cahaya ma‟rifah yang diperolehnya, akan tetap menyinari dirinya. Hal ini akan Nampak termanifestasikan dalam setiap gerakan dan ucapannya. Karena cahaya ketuhanan yang didapatkannya, akan menyebabkan ia mempunyai keistimewaaan (karamah). Sehingga dikatakan, salah satu tanda bahwa seseorang adalah sufi yang sudah meraih cahaya ma‟rifat, adalah ia dapat menunjukan rasa tanggung jawabnya terhadap ummat, lemah lembut terhadap mereka, berjuang untuk mereka dan bersama-sama mereka membangun kehidupan yang islami melalui pendekatan hikmah, yakni melakukan pendekatan dakwah kepada ummat manusia sesuai dengan tingkat kemampuan akalnya.

Tarekat Tijaniyah juga dikenal sebagai tarekat yang bergerak di bidang politik yang menentang politik penjajahan Prancis di Afrika Utara. Bahkan tarekat ini termasuk yang reformis dan Neo-Sufisme. Ciri tarekat ini adalah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari‟at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.

Perkembangan Tarekat Tijaniyah di Indonesia tidak diketahui secara pasti kapan waktunya, namun adanya Tarekat Tijaniyah di Indonesia ditandai dengan dua fenomena yaitu adanya gerakan Tijaniyah di Cirebon pada tahun 1928 dengan adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet oleh Kyai Anas dan kehadiran Syekh Ali ibn Abdullah al-Thayyib dengan adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di Tasikmalaya (Mulyati, 2006).

Perkembangan Tarekat Tijaniyah di Indonesia dibawa oleh Kyai Anas dari Pesantren Buntet pada tahun 1921. Perkenalan Kyai Anas dengan Tarekat Tijaniyah dimulai saat Kyai Abbas pergi ke haramayn untuk menunaikan ibadah haji, disana beliau bertemu dengan mursyid dan murid Tarekat Tijaniyah, maka ketika beliau kembali ke tanah air beliau langsung menyuruh adikya yaitu Kyai Anas untuk memperdalam Tarekat Tijaniyah. Atas anjuran Kyai Abbas, akhirnya Kyai Anas pergi ke Haramayn untuk melaksanakan ibadah haji dengan tujuan utamanya yaitu mempelajari dan memperdalami Tarekat Tijaniyah, kurang lebih selama tiga tahun Kyai Anas bermukim di Makkah untuk mempelajari kitab-kitab pegangan Tarekat Tijaniyah seperti Jawahirul Ma’ani, Rimah, Bughyat al- al-Mustafid langsung dari Syekh Alfa Hasyim. Atas seizin Kyai Abbas maka Kyai Anas menjadi Muqoddam Tarekat Tijaniyah dan mendapat bai‟at dari Syekh Alfa Hasyim serta dibai’at pula oleh Syekh Ali al-Thayyib.

Kedua saudara ini yang kemudian menjadi perintis Tarekat Tijaniyah di Indonesia khususnya di wilayah Pesantren Buntet. Pesantren ini didirikan oleh Mbah Muqoyyim yang pada saat itu tiba di Kedungmalang (Bulak Kulon) Desa Buntet dengan alasan kehidupan di keraton Cirebon sudah tidak sesuai dengan syariat Islam. Kedatangan Mbah Muqoyyim ke Desa Buntet pada tahun 1770, dan lima tahun kmudian baru berdiri sebuah Mushola yang kemudian dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu-ilmu agama meliputi tata cara sholat dan tata cara membaca al-Quran. Mbah muqoyyim wafat pada saat perjuangannya hampir selesai pada tahun1812 di Buntet.

Sejak perkembangannya di Pesantren Buntet, Tarekat Tijaniyah mulai dikenal di berbagai daerah di Indonesia seperti pada tahun 1928 Tarekat Tijaniyah sudah terkenal di beberapa wilayah diantarnya di Bogor, Tasikmalaya, Jawa Tengah dan Kalimantan.

b.     Ajaran Tarekat Tijaniyah

Dasar-dasar tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani di bangun di atas landasan dua corak tasawuf, yakni Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi. Dengan kata lain, Syekh Ahmad al-Tijani menggabungkan dua corak tasawuf dalam ajaran tarekatnya. Dasar-dasar Tasawuf Falsafi yang dikembangkan Syekh Ahmad Al-Tijani adalah tentang maqam Nabi Muhammad sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah dan rumusan wali Khatm.

Al-Tijani menerima ajaran-ajaran tarekatnya langsung dari Rasulullah dalam keadaan terjaga, beliau mendapat tiga amalan utama yaitu Istighfar, Sholawat dan Hailalah. Pada amalan-amalan Tarekat Tijaniah ini terdapat beberapa aurod TarekatTijaniyah, yaitu:

1)    Istighfar. Membaca Istighfar ini bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan dosa, baik dosa kecil maupub dosa besar, dosa sedikit maupun banyak, doa tersembunyi maupun nyata. Istighfar dilakukan sebagi langkah awal bertawajjuh dan wushul kepada Allah.

2)    Sholawat. Perintah allah kepada Nabi Muhammad didahului dengan pernyataan bahwa Allah bersholawat atas Nabi, karena Nabi Muhammad merupakan makhluk yang paling dekat dengan Allah.

3)    Hailalah. Setelah Istighfar, mendekatkan diri kepada Rasulullah dengan Sholawat, lalu dilanjutkan dengan mendekatkan diri pada Allah SWT dengan membaca Hailalah.

Sebagaimana ajaran-ajaran Tarekat Tijaniyah yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, berbeda dengan terpisahnya pembahasan mengenai wirid Tarekat Tijaniyah. Pembahasan wirid ini ditujukan untuk lebih memperjelas bagian Wirid Tarekat. Tarekat Tijaniyah memiliki tiga macam wirid, yaitu: Wirid Lazimah, Wirid Wadzifah dan Wirid Hailalah. Ketiga wirid ini merupakan wirid yang lazim bagi Ikhwan Tijani. Pada setiap wirid mempunyai aturan-aturan yang telah ditentukan dalam Tarekat, antara lain adalah;

1)    Wirid Lazimah

Amalan wirid lazimah meliputi tiga unsur bacaan : istighfar, shalawat, dan hailalah. Waktu Wirid Lazimah Dalam satu hari, wirid lazim diamalkan dua kali, yaitu: Pertama sesudah sholat Ashar sampai waktu Isya‟. Bila ada udzur waktunya sampai waktu sholat Shubuh dan apabila waktu Shubuh belum juga mengamalkannya, maka wajib di qadha. Kedua, sesudah melaksanakan sholat Subuh sampai sholat Duha akhir. Jika ada udzur, waktunya sampai waktu maghrib, apabila waktu sampai waktu Maghrib belum mengamalkannya, maka wajib di qodo.

Rukun Wirid Lazim ada empat dengan urutan sebagai berikut: Niat, Membaca Istighfar 100 kali, membaca Sholawat 100 kali, terutama membaca Sholawat Fatihi Lima Ughliqo, Membaca Hailalah Hailalah 100 kali, kemudian membaca Sholawat Fatih.

2)    Wirid Wadzifah

Pada Wirid Wadzifah ini juga terdapat waktu yang ditentukan, tata cara Jama‟ah Masbuq (ketinggalan), rukun Wirid Wadzifah dan amaliyahnya. Waktu Wirid Wadzifah Lebih utama mengamalkan Wirid Wadzifah yaitu dilakukan dua kali dalam sehari semalam dan waktunya sama dengan Wirid Lazimah. Apabila wirid Wadzifah diamalkan satu kali dalam sehari semalam, maka lebih utama dilakukan pada waktu malam. Apabila di daerahnya ada ikhwan Tijani, maka wirid wadzifah dilakukan dengan ijtima‟. Apabila dalam sehari semalam tidak mengamalkan Wirid wadzifah maka di wajibkan mengqodhonya, dan apabila belum menghafal Shalawat Jauharotul Kamal maka diganti dengan membaca al-Fatihhi Lima Ughliqo 20 kali.

Wirid Masbuq ini di khususkan bagi Ikhwan yang Ijtima‟ Wirid Wadzifah. Apabila ikhwan Tijani datang untuk mrngikutiWirid Wadzifah dan Wadzifah sudah sampai di Wirid Hailalah, maka Ikhwan yang baru datang tersebut langsung berniat dan mengikuti bacaan Hailalah imam dan menghitungnya, 40 Hailalah sempurna, setelah imam selesai wadzifah, maka Ikhwan Tijani tersebut harus meneruskan Wirid dari awal, yaitu Istighfar 30 kali, Sholawat 50 kali dan kekeurangan Hailalah 60 kali, kemudian diteruskan dengan takhtim.

Rukun Wirid Wadzifah yaitu, Niat, Membaca Istighfar, Membaca Sholawat Fatih Lima Ughliqo, Membaca Hailalah dan Membaca Sholawat Jauharotul Kamal.

3)    Wirid Hailalah

Pembacaan Wirid Hailalah dikerjakan/dibacakan minimal sebanyak 1000 kali dan maksimal 1600 kali, adapun waktu Wirid Hailalah, dalam satu minggu wirid Hailalah diamalkan satu kali, yaitu setelah Sholat Ashar pada hari Jum‟at. Jika menggunakan ukuran waktu, maka kurang lebih menghabiskan satu jam sebelum Maghrib sampai waktu Maghrib.

Seperti wirid-wirid yang lain, jika di daerahnya terdapat Ikhwan Tijani maka pelaksanaan Wirid hailalah dilakukan secara berjama‟ah/ijtima‟. Apabila ada udzur sehingga tidak dapat mengamalkan wirid hailalah, maka tidak wajib di qodo‟. Pada Rukun Wirid Hailalah ini terdapat dua bagian, yaitu: Niat dan membaca Laa Ilaaha Illallaah. Pada pelaksanaan Hailalah ini disertakan pula manaqib.

C.    KESIMPULAN

Tarekat adalah suatu pelaksanaan ibadah yang diupayakan seseorang atau kelompok orang dengan bimbingan seorang guru atau pemimpin thariqah untuk membersihkan jiwa, dengan tujuan yaitu agar mencapai ma’rifat kepada Allah yang dilakukan secara berjamaah. Pada umumnya nama tarekat dinisbatkan kepada pendirinya, sebagaimana nama-nama yang sudah ada terlebih dahulu. Tarekat Syattariyah muncul pertama kali di India pada sekitar abad ke15. Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Abdullah Asy-Syattari. Ajaran tarekat ini berisi tentang talkin, bai’at, dan dzikir-dzikir khusus yang menyambung kepada Rasulullah Saw. Sedangkan nama Tarekat Tijaniyah juga diambil dari nama pendirinya yaitu Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al-Tijani. Beliau merupakan seorang tokoh dari gerakan Neo-Sufisme. Al-Tijani menerima ajaran-ajaran tarekatnya langsung dari Rasulullah dalam keadaan terjaga, beliau mendapat tiga amalan utama yaitu Istighfar, Sholawat dan Hailalah.

DAFTAR PUSTAKA

 

Atjeh, A. B. (1985). Pengantar ilmu Tarekat. Solo: Rmadhani.

Azra, A. (1994). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII . Bandung: Penerbit Mizan .

Badruzzaman, I. (2007). Tarekat Tijaniyah Di Indonesia. Garut: Zawiyah Tarekat Tijaniyah.

Benthounes, S. K. (2003). Tasawuf Jantung Islam. Yogyakarta: Pustaka sufi.

Bruinessen, M. v. (1994). Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan.

Bruinessen, M. v. (1995). Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan.

Fathurahman, O. (2008). Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media Group.

Istadiyantha. (2007). Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis, dalam "Suntingan Teks dan Analisis Fungsi Tarekat Syattariyah". Solo: Bina Insani Press.

Mahjuddin. (1991). Kuliah Akhlak Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.

Mulyati, S. (2006). Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Mustofa, A. (2007). Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Riyadi, S. (2003). Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi. Bandung: Media Transformasi Pengetahuan.

Sholihin, M. (2005). Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Suteja. (2011). Teori Dasar Tasawuf. Cirebon: Nurjati Press.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...