Iklan

Minggu, 09 Juni 2024

Jurnal Artikel Pemikiran Islam Kontemporer ‘Aisyah ‘Abd Al-Rahman

 Pemikiran Islam Kontemporer

‘Aisyah ‘Abd Al-Rahman

 

Abstrak

‘Aisyah ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan nama Bint al-Shati merupakan mufassir wanita pertama di dunia Islam yang hidup pada zaman kontemporer, dengan karya tafsirnya yang berjudul at-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Selain itu Bint al-Shati juga aktif dalam penulisan sehingga menghasilkan banyak karya-karya yang berdampak pada kehidupan dunia. Tulisannya juga sering membahas tentang feminisme, dimana ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman beranggapan bahwa hak-hak perempuan telah dipermainkan oleh laki-laki. Maka, Bin al-Shati menjadi pelopor bagi para kaum wanita Arab untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi, sehingga wanita dapat menjadi kaum yang intelektual seperti halnya laki-laki. ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman berpendapat bahwa Islam menghendaki agar kaum perempuan dapat mengetahui hak dan kewajibannya, memahami tuntunan Islam dengan sempuma, cara-cara mendidik yang baik, melaksanakan mu’amalah dengan ketentuan yang telah diatur sedemikian rupa, bersikap dan bekerja sesuai dengan kodrat kewanitaannya sehingga dapat mengantar mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Artikel ini akan membahas ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman secara personal, termasuk sumbangsih pemikiran beliau tentang feminisme.

 

Kata Kunci: ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman, Feminisme, Kontemporer, Perempuan


 

A. Latar Belakang

Sebagian orang Barat mengecam bahwasanya Islam terkesan bersifat diskriminatif dan tidak adil terhadap wanita. Mereka berargumentasi bahwa Islam lebih meninggikan posisi laki-laki dengan mengesampingkan kedudukan wanita. Maka, wanita tidak layak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi daripada laki-laki. Tugasnya hanyalah mengurus rumah, suami dan anak-anaknya. Sehingga wanita hanya dituntut untuk menguasai ilmu kerumah-tanggaan saja. Namun hal itu dapat dijawab melalui lembaran sejarah, tercatat bahwa lahirnya Muhammad SAW di Jazirah Arab 14 abad yang silam, merupakan langkah awal terangkatnya harkat dan martabat perempuan dari kebrutalan kaum jahiliyah yang sangat dahsyat. Dalam konsep syariat, perempuan bukan sub-ordinarif laki-laki, keduanya sama di sisi Allah, perbedaan hanya ada pada tingkat ketaqwaan, seperti yang disebut dalam surat Al-Hujarat ayat 13 (Putry, 2015, hal. 640-641).

Syari’at Islam, baik secara normatif maupun empirik historis menunjukkan adanya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik. Dalam konteks politik, Syari’at Islam memberikan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk menggunakan akal secara total dan bersih, sebagai ummat yang sama- sama memiliki potensi (Putry, 2015, hal. 629). Islam memberi peluang antara wanita dan pria untuk mencapai kesempurnaan yang sama, tidak ada diskriminasi (Azra, 1988, hal. 3). Sebagai manusia ciptaan Allah SWT, perempuan juga berhak untuk memimpin, dalam lembaran sejarah Islam, Istri Rasulullah SAW, Aisyah r.a. juga pernah berperan dalam kancah kepemimpinan bahkan dalam peperangan.  Perempuan juga di ciptakan untuk menjadi Khalifah di muka bumi sebagaimana di berikan kepada laki-laki, namun dengan satu konsekuensi yaitu mampu mempertanggung jawabkan segala bentuk kegiatan yang dipimpinnya kepada Alah SWT (Putry, 2015, hal. 637).

Perempuan tidak diakui sebagai bagian dari gerakan keilmuan Islam baru-baru ini, meskipun banyak perempuan menggunakan wacana Islam dalam tulisan mereka di media, dalam koleksi biografi, dan mungkin dalam aspek keilmuan lainnya. Munculnya feminisme di dunia Muslim dikombinasikan dengan peluang pendidikan dan budaya yang diperluas bagi perempuan pada akhirnya akan membawa perempuan ke ruang suci penafsiran Al-Quran, kritik hadis dan biografi kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Wanita pertama yang melakukan penafsiran Alquran dan aspek-aspek kehidupan Nabi adalah ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman (Roded, 2006, hal. 55). Salah satu tokoh wanita muslim yang bergerak dalam hal ini adalah ‘Aisyah ‘Abd Al-rahman yang lebih dikenal dengan nama Bint al-Shaṭi’. Ia merupakan mufasir wanita pertama di dunia Islam yang hidup pada zaman kontemporer dan boleh jadi merupakan satu-satunya penafsir wanita hingga saat ini dari generasi terakhir pembaharu Islam di Mesir, dengan menerbitkan karya tafsirnya yang berjudul al-Tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim (Thohari, 2016, hal. 89).

Dia mampu membuktikan bahwasanya seorang wanita tidak hanya bisa berperan sebagai pengurus rumah dan dapur saja. Wanita juga memiliki hak dan tempat untuk menggeluti dunia keilmuan. Karena setiap manusia, baik laki-laki maupun wanita, memiliki potensi dalam dirinya dan dengan potensi itu, dia dapat mengembangkan dan memperbaiki diri, masyarakat, bangsa dan negaranya. Tanpa harus mengesampingkan tugas-tugas utama sebagai wanita shaliha sebagaimana yang disyariatkan Islam, Bint al-Shati memberikan keteladanan yang agung dalam pengembangan disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu al-Qur’an yang menjadi dasar utama dalam melaksanakan syariat. Sehingga dengan sendirinya, ia telah menjauhkan anggapan buruk tentang sikap diskriminatif yang dilakukan Islam terhadap wanita. Ia justru membuktikan bahwasanya wanita juga berhak mengungkapkan gagasan-gagasan yang dimilikinya, terutama mengenai hal-hal yang berhubungan dengan disiplin keilmuan dan pengembangan diri dalam hal tersebut.

B. Biografi

Aishah ‘Abd al-Rahman atau yang lebih dikenal dengan nama Bint al-Shati. Beliau merupakan sosok wanita alim dan produktif. Lahir di kota Dimyat, sebuah kota Pelabuhan di Delta Sungai Nil, Bagian Utara Mesir, pada tanggal 6 November 1913 M, bertepatan dengan tanggal 6 Dzulhijjah 1331 H dari pasangan Shaykh Muhammad ‘Ali ‘Abd al-Rahman dan Faridah ‘Abd al-Salam Muntasir. Bint al-Shati memulai pendidikannya pada tahun 1918, dan ketika itu dia berumur 5 tahun (Wahyuddin, 2014, hal. 120). Hafalan al-Qur’an telah menjadi hidangan setiap harinya. Sehingga di usianya yang masih sangat belia, Bint al-Shaṭi’ telah menyelesaikan hafalan al-Qur’an Bint al-Shati’ endiri merupakan nama pena yang ia gunakan untuk menulis. Ia dilahirkan di sebelah barat Sungai Nil. Nama itu disandangkan kepadanya karena memang ia dilahirkan di tepi Sungai Nil. Jadi, nama itu berarti anak perempuan tepian (sungai) (Ghofur, 2007, hal. 187).

Bint al-Shati’ memulai karirnya dengan menjadi seorang penulis di sebuah lembaga, di Giza. Ia banyak melayangkan tulisannya ke beberapa media massa terkenal di Mesir. Diantaranya, majalah al-Nahdah al-Nisa’iyyah (Women Awakening Magazine), al-Ahram (Thohari, 2016, hal. 91). Karir kepenulisannya terus berkembang dengan terbitnya karya-karya cerpennya di majalah-majalah yang lain, seperti al-Hilal, al-Balagh dan Kawkeb el-Sharq (Bukhory, 2003, hal. 38-39). Kesibukannya dalam dunia tulis menulis bukanlah merupakan penghambat proses studinya. Tahun 1936 Bint al-Shati’ menyelesaikan studi S1 (Lc./Licence) Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab di Universitas Cairo. Kemudian merampungkan program Magister (MA./Master of Art) di Universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1941, dengan judul tesis al-Hayah al-Insaniyyah ‘inda Abi ‘Ala’ al-Ma’arri.

Setelah sempat berkarir sebagai pengawas pengajaran Sastra Arab pada Kementrian Pendidikan Mesir pada tahun 1942, dia berhasil meraih gelar Ph.D dengan pujian pada tahun 1950 dengan disertasi tentang Critical Research on Risalah al-Ghufran (Treatise on Forgiveness) dan menjadi guru besar bahasa dan sastra Arab pada Fakultas yang khusus untuk perempuan di Universitas ‘Ayn al-Shams, Kairo. Selama hidupnya Bint Al-Shati’ banyak melahirkan karya-karya berupa tulisan. Ada sekitar 40 judul buku dalam bidang Dirasah Islamiyyah, Fiqh, Tafsir, Adab. Diantaranya: Maqal fi al-Insan, Al-Qur’an wa al-Tafsir al-j‘Asri, al-Qur’an wa Qadaya al-Insan, al-I’jaz al-Bayani wa Masa’il Ibn Al-Azraq dan al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, yang banyak menjadi rujukan mufassir kontemporer (Thohari, 2016, hal. 92).

Diantara karya-karya  yang berbentuk non fiksi adalah: Al -Ghufran li Abi al-‘Ala’ ak-Ma’arri, Qira’ah Jadidah fi Risalat al-Ghufran, Lughatuna wa al-Hayah, dll. Sedangkan karya berbentuk fiksi antara lain: Fi al-Imtihan, Sirr Shati’, Birrul Bik Bainal Fann wal Hayyah, ‘Asyiqat al-Layl, dan ‘Arus al-Badiyyah. Tulisan terakhir yang sempat diterbitkan berjudul Ali bin Abi Thalib Karrama Allah Wajhah, tanggal 26 Februari 1998 (Thohari, 2016, hal. 93). Pada hari Selasa, 1 Desember 1998, Bint al-Shati’ menghembuskan nafas terakhir, beliau wafat pada usia 85 tahun karena serangan jantung mendadak (Bukhory, 2003, hal. 41). Bint al-Shati’ menduduki beberapa posisi tinggi selama beberapa dekade di antara banyak cendekiawan dan ilmuwan Islam terkenal di dunia Islam dan Arab. Dia juga seorang tokoh yang brilian yang mengadopsi konsepsi Islam tentang pembebasan perempuan Muslim yang diambil dari dua sumber utama hukum Islam (Al-Samman, 2008).

C. Pemikiran

‘Aisyah ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan nama Bint al-Shâti merupakan mufassir wanita pertama di dunia Islam yang hidup pada zaman kontemporer. Karya tafsirnya yang berjudul at-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm adalah representasi terbaik dari metodologi penafsiran al-Quran yang digagas oleh Amin al-Khuli. Penafsiran terhadap empat belas surah-surah pendek dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip metodologis yang kuat. Menurut Bint al-Shati’, al-Quran harus ditafsirkan dengan pendekatan bahasa dan sastra, sehingga mampu menghasilkan petunjuk makna al-Quran dari kata yang digunakannya (Wahyuddin, 2014, hal. 120). Bint al-Shati berkali kali dinobatkan sebagai pakar ilmu Adab oleh beberapa institusi, pemerintah Mesir (1978), pemerintah Kuwait (1988) dan Raja Faishal (1994). Ide-ide briliannya menarik perhatian beberapa penerbit dan media untuk menerbitkan karya-karyanya. Tema-tema yang diangkat lebih banyak berkisar tentang sastra, sejarah dan tafsir al-Qur’an. Tapi tidak terbatas sampai di situ, ia juga menulis tentang isu-isu yang banyak berkembang di dunia, seperti tentang posisi wanita yang telah mengalami perubahan, perjuangan orang-orang Arab memerangi imperialisme Barat dan Zionisme (Thohari, 2016, hal. 92).

Pembebasan perempuan menurut Aisyah Abd ar-Rahman haruslah dengan cara membebaskan mereka dari kebodohan. Banyak perempuan muslim yang tidak mengetahui hak-hak yang diberikan Islam kepadanya, apalagi mempraktikan hak-hak itu. Laki-laki yang benar-benar bukan muslim baik, menarik keuntungan yang dimiliki perempuan ini sehingga melanggar hak-hak yang dimiliki perempuan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan gerbang pembebasan perempuan dan khususnya dalam hal persoalan yang berkaitan dengan Islam adalah hak-hak serta kewajiban perempuan dalam aturan sosial Islam yang diimplementasikan secara tepat (Erviana, 2017, hal. 20). Disamping itu, Bint al-Shati juga mampu mendobrak historitas kebebasan wanita pada zamannya dalam meraih pendidikan keilmuan. Tradisi masyarakat yang saat itu menganggap tabu wanita untuk bekerja dan berkarya, dibantahnya dengan membuktikan bahwasanya wanita sejajar dengan laki-laki dalam hal pendidikan keilmuan, bahkan wanita juga layak dikenal oleh khalayak umum untuk diakui keberadaannya di dunia ini (Thohari, 2016, hal. 97-98).

Dalam kerangka kerja prinsip-prinsip al-Qur’an yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, Aisyah Abd ar-Rahman melihat banyak ruang bagi perempuan untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang bebas sekaligus beriman. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang dalam beberapa hal dapat berbeda dengan laki-laki, tetapi perbedaan itu bukan berarti ketidaksetaraan. Perbedaan itu lebih seperti perbedaan fungsional dan bersifat saling melengkapi dalam sebuah aturan sosial yang senantiasa mensyaratkan masukan dari laki-laki maupun perempuan dengan cara berbeda. Hanya saja dalam persoalan spiritual dia meyakini bahwa prinsip-prinsip al-Qur’an tidak menunjukkan pembedaan gender laki-laki maupun perempuan: di mata Tuhan keduanya sama (Ar-Rahman, 2012, hal. 169). ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman juga memproduksi serangkaian karya populer tentang para wanita dalam kehidupan Nabi. Cendekiawan Islam yang dengan kuat berakar pada sumber-sumber klasik yang mendasar dicampur dengan romantisme sastra yang memunculkan pikiran dan perasaan batin para wanita. Bin Al-Shati’ tampaknya memanfaatkan pengalaman hidupnya sendiri untuk mengidentifikasi diri dengan beberapa istri Nabi. Meskipun ada penggambaran stereotip kecemburuan kecil perempuan yang hampir tidak akan dianggap feminis, penulis mengajukan klaim feminis umum bahwa persepsi kehidupan perempuan oleh penulis laki-laki akan selalu kurang karena mereka 'tidak tahu naluri perempuan' (Roded, 2006, hal. 52).

Bin Al-Shati berpendapat bahwa syari’at Islam yang agung merupakan sumber utama, tempat tokoh-tokoh kaum muslimin yang menyerukan pembebasan itu mengambil alasan-alasan mereka untuk melenyapkan penganiayaan yang menimpa kaum wanita di dunia timur (Syathi, 1975). Dia juga mengkritik reformasi agraria karena tidak mengakui perempuan sebagai orang hukum yang independen daripada bagian dari rumah tangga pria. Di titik lain, dia menekankan bahwa kesetaraan perempuan tidak akan merusak Islam, tetapi bahwa perempuan bertanggung jawab atas tindakannya. Dengan kata lain, Abd al-Rahman menyuarakan apa yang dapat dianggap sebagai pandangan feminis yang konsisten dengan nilai-nilai Islam. Dia bahkan telah dianggap sebagai salah satu fuqaha al-sultan (orang-orang yurisprudensi sultan), yang akan menggunakan pembelajarannya untuk memberikan legitimasi kepada rezim (Roded, 2006, hal. 57-58).

Dengan demikian perempuan yang telah lama dibelenggu dalam kekuasaan kaum laki-laki, akhirnya mengalami perubahan. Islam memberikan peluang besar kepada perempuan untuk berkarir agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat, artinya ia harus punya bekal ilmu untuk mendidik putra-putri menjadi muslim sejati. Islam menghendaki agar kaum perempuan dapat mengetahui hak dan kewajibannya, memahami tuntunan Islam dengan sempuma, cara-cara mendidik yang baik, melaksanakan mu’amalah dengan ketentuan yang telah diatur sedemikian rupa, bersikap dan bekerja sesuai dengan kodrat kewanitaannya sehingga dapat mengantar mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Apalagi Islam mempunyai tujuan pendidikan tersendiri, agar pemeluk-pemeluknya dapat berpedoman kepada apa yang telah ditentukan dalm Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Dia tidak menganggap dirinya sebagai seorang feminis, tetapi karya-karyanya mencerminkan keyakinan bahwa penulis perempuan lebih mampu menganalisis kisah hidup perempuan daripada penulis laki-laki, karena laki-laki "tidak tahu naluri perempuan (Roded, 2006, hal. 53).

D. Simpulan

‘Aisyah ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan nama Bint al-Shâti merupakan seorang penulis dan mufassir wanita zaman kontemporer. Dia banyak melahirkan karya-karya hebat melalui tulisan-tulisannya. Bint al-Shati melakukan pergerakan dan menuangkan ide serta gagasannya terkait permasalahan di dunia ini melalui tulisan. Dia juga banyak menyoroti tentang hak kaum perempuan, sehingga banyak yang mengira beliau adalah orang yang memperjuangkan feminisme. Bin al-Shati juga merupakan pelopor bagi para kaum wanita Arab untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi, sehingga wanita dapat menjadi kaum yang intelektual seperti halnya laki-laki.

‘Aisyah ‘Abd al-Rahman berpendapat bahwa Islam menghendaki agar kaum perempuan dapat mengetahui hak dan kewajibannya, memahami tuntunan Islam dengan sempuma, cara-cara mendidik yang baik, melaksanakan mu’amalah dengan ketentuan yang telah diatur sedemikian rupa, bersikap dan bekerja sesuai dengan kodrat kewanitaannya sehingga dapat mengantar mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dia menekankan bahwa kesetaraan perempuan tidak akan merusak Islam, tetapi bahwa perempuan bertanggung jawab atas tindakannya. Dengan kata lain, Abd al-Rahman menyuarakan apa yang dapat dianggap sebagai pandangan feminis yang konsisten dengan nilai-nilai Islam.

 


 

Daftar Pustaka

Al-Samman, E. N. (2008, April 21). Yemen Times. Retrieved from Faces & Traces: https://web.archive.org/web/20110608071315/http://www.yementimes.com/defaultdet.a

Ar-Rahman, A. A. (2012). Dekonstruksi Tradisi; Gelegar Pemikiran Arab Islam (II ed.). Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

Azra, A. (1988). Peluang dalam Islam, Wanita dan Pria Untuk Mencapai Kesempurnaan. Jakarta.

Bukhory, U. (2003). Hermeneutika KebebasManusia Dalam Tafsir Al-Qur’an, Studi Atas Pemikiran ‘Aishah ‘Abd al-Rahman Bint al-Shati’ Tesis. Yogyakarta: Program Strata 2 IAIN Sunan Kalijaga.

Erviana, I. (2017). Wanita Karir Perspektif Gender Dalam Hukum Islam Di Indonesia. Makassar: UIN Alauddin Makassar.

Ghofur, S. A. (2007). Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Putry, R. (2015). Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Islam. Jurnal MUDARRISUNA, 4(2), 626-655.

Roded, R. (2006). Bint al-Shati’s Wives of the Prophet: Feminist or Feminine? British Journal of Middle Eastern Studies, 33(1), 51–66. doi:10.1080/13530190600603915

Syathi, A. A. (1975). Putri- Putri Rasulullah SAW (Vol. I). (K. Nasution, Trans.) Jakarta: Bulan Bintang.

Thohari, F. B. (2016). Āishah ‘Abd al-Raḥmān bint al-Shāṭi’: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer. Dirosat : Journal of Islamic Studies, 1(1), 88-99.

Wahyuddin. (2014). CORAK DAN METODE TAFSIR BINT AL-SHATI’ : Studi atas al-Tafsir al-Bayaniy li al-Qur’an al-Karim. Epistemé, 9(1), 118-137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...