Iklan

Senin, 10 Juni 2024

Jurnal Artikel Tokoh Pemikir Islam Kontemporer Muhammad Abid Al Jabiri (Kritik Nalar Bangsa Arab)

 Tokoh Pemikir Islam Kontemporer

Muhammad Abid Al Jabiri

(Kritik Nalar Bangsa Arab)


Abstrak

Muhammad Abed Al-Jabiri adalah tokoh filsafat epistimologi yang concern terhadap kajian kritik epistimologi nalar Arab. Al-Jabiri menganggap epistimologi nalar Arab sebagai sebagai “titik kunci” untuk memasuki semesta peradaban Arab yang membentuk secara keseluruhan bangunan keislaman yang berkembang, bukan hanya di wilayah Arab, tetapi seluruh dunia. Dari asumsi epitimologis ini, al-Jabiri melakukan anilis-analisi historis, yang memungkinkan terbentuknya nalar bayani, ‘irfani dan burhani beserta seluruh rangakain yang terjalin di dalamnya. Ia membagi epistimologi kebudayaan nalar Arab menjaditiga yaitu bayani, irfani dan burhani. Terakhir, tulisan ini menyimpulkan sejumlah hal yang menjadi kontribusi al-Jabiri pada pemikiran keislaman.

 Kata Kunci:

 Kritik Nalar, Arab, Aljabir, Pemikiran

Abstract

Muhammad Abed Al-Jabiri is a figure of epistemological philosophy who is concerned with the study of criticisms of Arabic epistemological reasoning. Al-Jabiri regarded the epistemology of Arabic reasoning as a "key point" to enter the universe of Arab civilization which formed the entire Islamic building that developed, not only in the Arab region, but throughout the world. From these epithymological assumptions, al-Jabiri carried out historical anilis-analysis, which allowed the formation of bayani, f irfani and burhani reasoning along with all the intertwined intertwined therein. He divided the cultural epistemology of Arabic reason into triangles namely bayani, irfani and burhani. Finally, this paper concludes a number of things that contributed to al-Jabiri's Islamic thought.

 

Keyword:
Criticism of Reason, Arabic, Aljabiri, Thought

A. Pendahuluan 

Dalam beberapa dekade terakhir ini trend baru pemikiran Islam telah mewarnai sejarah pemikiran Islam. Berbagai tokoh dan pemikir muslim bermunculan menyuarakan bagaimana seyogyanya kebangkitan Islam dimulai. Mereka menyoal kembali warisan kebudayaan dan intelektual Islam. Hal ini terlihat jelas dengan kemunculan beberapa  pemikir muslim kontemporer. gelombang kebangkitan dan pembaruan dalam Islam memiliki corak yang beragam meskipun tujuan umumnya sama, yakni memberdayakan Islam dalam arus perubahan dan modernisasi salah satu tokohnya adalah Muhamad  Abed Al-Jabiri (Aziz, 2015, p. 115)

Sebenarnya berkaitan dengan masalah pembacaan (qira`ah) terhadap tradisi yang diwarisi oleh dunia Arab dari masa lalunya dan penyikapan terhadap masa kininya (modernitas). Dua entitas (tradisi dan modernitas) inilah yang tampaknya 1967  (Washil, 2013, p. 102)

Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh Islam.Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya.Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi. (Abdullah, 2013, p. 115)

Al-Jabiri mempunyai ambisi besar untuk membangun sebuah epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat hari ini. Dia mengkritik gerakan salaf dan juga merasa tidak puas terhadap pembaruan yang dilakukan para cendekiawan muslim,Meskipun demikan al-Jabiri juga tidak setuju dengan pemikiran liberal yang berusahamengadopsi tradisi barat secara membabi buta. Hal terse but dikarenakan Arab dan Barat memiliki setting sejarah yang jauh berbeda. (Musyafa'ah, 2009, p. 115)

Setidaknya, kritik epistemologi Al Jabiri ini, menawarkan kepada dunia Islam sebuah upaya untuk merekonstruksi sebuah bangunan nalar-epistemik pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan dan perubahan dunia Islam menuju kemajuan peradaban  (Faisol, 2010, p. 336) Kajian tentang penulusuran filsafat kebudayaan yang berujung dengan espek-aspek ilmu pengetahuan yang mengkristal dalam ajaran keagamaan yang diinterpretasikan oleh Muhammad Ābid al-Jābirī sangat penting untuk dibahas dan ditelusuri (Zulfata, 2016, p. 321) Dalam mengkaji permasalahantradisi haruslan menggunakan metode yang tepat agar tidak adal kesalahan dalam penafsiran, cara yang dipake haruslah obyektif dengan tujuan menjaga jarak antara subyek pengkaji dengan objek kajian, sehingga menghasilkan pandangan yang rasional. (Supaat, 2008, p. 103)

Artikel ini akan menelisik secara spesifik pemikiran pembaharuan Abid Al-Jabiri. Kekhasan pemikiran Al-Jabiri terletak pada kritik epistemology. Epistemology sebagai bagian dari filsafat telah sejak lama dijauhkan dari peradaban keilmuan dunia Islam; mempelajari filsafat sama saja dengan menceburkan diri pada jurang kekafiran. (Rofiq, 2017, p. 56)

B. Pembahasan

1. Biografi Muhammad Abed Al-Jabiri 

Nama lengkapnya adalah Muhammad „Âbid al-Jâbirî, (Abdullah, 2013, p. 115) .Muhammad Abed Al-Jabiri lahir di kota Fejij ( Fekik) Maroko pada tahun 1936 M. Sebuah wilayah negeri maghribi, yang pernah menjadi wilayah protektoriat Perancis. Setelah merdeka, negara Maroko mengenal dua bahasa resmi, Arab dan Perancis. (Jamhari, 2017, p. 20).Saat perkembangan politik dunia Islam masih belum menentu terutama negara-negara di kawasan Maghribi, Marokko, Tunisia dan al-Jazair. Maka tidaklah mengherankan jika Al-Jabiri muda tumbuh dalam ranah lingkungan politik,  (Washil, 2013, p. 103) Hal yang merupakan kebetulan jika fase transisi secara sosial dan politik di Maroko juga ikut membentuk dan mewarnai masa transisi dalam kehidupan pribadi al-Jâbirî. (Abdullah, 2013, p. 117)

Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya dimulai tahun 1958 di Universitas Damaskus Syiria. Al-jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke Universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falasafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, dibawah bimbingan N Aziz Lahbibi dan gelar dokotornya diperoleh juga di Universitas Muhammad V Rabat, Maroko, tahun 1970. (Khairina, 2016, p. 106) Al Jabiri juga merupakan seorang pakar intelektual muslim yang bbrilian sekaligus seorang penegak hukum islam di negri Maroko  (Putra, 2019, p. 5)

Semenjak bergelut dalam bidang studi ilmiah, yaitu ketika ia pertama kali menjadi dosen di Universitas, ia menunjukkan dirinya sebagai seorang ilmuwan yang produktif dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni dengan menerbitkan dua jilid buku tentang epistemologi (yang pertama tentang matematika dan rasionalisme modern dan yang kedua tentang perkembangan pemikiran ilmiah) pada tahun 1976. Pada masa-masa itu, ia masih terlibat aktif dalam aktivitas politik dan pada tahun 1975 menjadi salah seorang anggota biro politik USEF dan bahkan menjadi salah seorang penggagas dan pendirinya. Baru kemudian pada awal tahun 80-han ia meninggalkan semua aktivitas politiknya dan mencurahkan semua perhatiannya pada masalah keilmuan dan intelektual. (Abdullah, 2013, p. 115)

Al-Jabiri dikenal sebagai filosof Arab kontemporer yang ahli dalam bidang hermenetisme dan filsafat Islam. Ia termasuk dalam kelompok sebagian kecil orang yang mampu menelaah dengan seksama tradisi filsafat Islam klasik hingga dapat menyarikannya serta menyelaminya secara hidup. Ia memiliki kontribusi yang besar dalam memperkaya pemikiran Islam kontemporer dan menggugah kesadaran bahwa “masih ada yang bisa diperbuat” dan “masih banyak yang belum mereka lakukan (maksudnya: para pemikir muslim dahulu)”. Karya magnum opus-nya, trilogi kritik, dimunculkan untuk dan didasari oleh kesadaran seperti itu. (Aziz, 2015, p. 113)

            Adapun karya-karyanya yang telah dipublikasikan secara luas adalah trilogy Kritik Nalar arab (Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-Aql al-‘Arabi dan A;-Aql al- Siyasi al-‘Arabi), al-Khitab al-‘Arabi al-Hadstah, Wijhah Nazr nahwu I’adah bina Qadlaya al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashir, al-Mas’alah al-Tsaqafiyah, Mas’alah al-huwiyah dan al-Mutsaqqafun al-‘Arab fi al-Hadlarah al-Islmaiyah.  (Khairina, 2016, p. 106) Sebelum Muhammad „Âbid al-Jâbirî meninggal pada tanggal 3 Mei 2010. Al-Jâbirî meninggal dunia di Casablanca dalam usia 75 tahun. (Abdullah, 2013, p. 115)

2. Pendidikan Muhammad Abed Al-Jabiri

Al-Jabiri lebih banyak menghabiskan pendidikannya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi di tanah kelahirannya di Maroko. (Faisol, 2010, p. 337) Ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mendukung partai Istiqlal sebuah pertai pejuang kemerdekaan dari penjajahan kolonial Perancis dan Spanyol. (Barir, 2006, p. 2)

Pendidikan Al-Jabiri dimulai dari lingkungan keluarga dan secara formal ia masuk sekolah agama, sekolah swasta nasionalis (Madrasah Hurrah Wathaniyah) milik kelompok pergerakan kemerdekaan. Dan pada tahun 1951-1953, ia melanjtkan SMU negeri di Casablanca. Selanjutnya seiring dengan kemerdekaan Marokko, ia masuk sekolah tinggi Arab bidang ilmu pengetahuan terapan/alam. Sekitar tahun 1959, ia belajar di Universitas Damaskus Syiria. Dan tahun berikutnya, ia menjadi salah seorang mahasiswa tahun awal bagi Universitas Muhammad V di Rabbat, Maroko yang baru dibuka dan ia tuntaskan pada tahun 1967 untuk gelar Master dan tahun 1970 untuk gelar Doktor, (Washil, 2013, p. 103) dengan disertasi yangmembahas tentang pemikiran Ibn Khaldun, yaitu “Fanatisme dan Negara: Elemen-Elemen Teoritik Khaldunian dalam Sejarah Islam” (Faisol, 2010, p. 336) dibawah bimbingan N. Aziz Lahbabi dan gurunya juga seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh (Abbas, 2016, p. 5) Kemudian Al Jabiri menjadi dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakutas Sastra pada kampus yang sama (Zulfata, 2016, p. 322) dan menjadi Pengawas dan Pengarah Pendidikan bagi Guru-guru Filsafat di tingkat menengah atas. (Faisol, 2010, pp. 336-337) Ābid al-Jābirī sangat terkenal di kalangan akademisi yang fokus mempelajari filsafat ketika Ābid al-Jābirī meluncurkan buku Takwīn al- Aql al-‘Arabī. Buku tersebut tercipta dimulai dari edisi pertama dari karyanya yang berjudul Kritik Nalar Arab (Naqd al-‘Aql al-‘Arabī). (Zulfata, 2016, p. 322)

Al-Jabiri menguasai tiga bahasa: Arab (bahasa ibu), Perancis (baca dan tulis), dan Inggris (baca saja) dan Kematangan Ilmu Filsafat (Izzatun 103) Sejak muda, Al-Jabiri telah menjadi seorang aktivis politik yang berideologi sosialis. Pernah aktif dalam partai Union Nationale des Forces Popularies (UNFP) yang kemudian berubah nama menjadi Union Sosialiste des Forces Popularies (USFP). Pada tahun 1975, dia menjadi anggota biro politik USFP. Di antara karya-karyanya, trilogi Naqd al-Aql al Arabi (terbit tahun 1982), al-Turats wa al-Hadtsah (1991), al-Khitab al-Arabi al  Ma’asir (1992), Mukhtasar Kitab al- Siyasah (1998), Kulliyat fi al-Tib (1999), Nahnu wa al-Turats, Naqd al-Aql al-Siyasi, bersama Hasan Hanafi menulis kitab Hiwar bain al-Masyriq wa al-maghrib (1990). (Faisol, 2010, p. 336)

3. Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri

Fokus perhatian karya-karya al- Jabiri berkenaan dengan kritik metodologi dan epistimologi, yaitu suatu kritik yang ditujuakan kepada kerangka dan mekanisme berfikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam babakan sejarah tertentu, juga tentang bagaimana umat Islam membawa tradisinya sendiri (Jamhari, 2017, p. 21)Menurut al Jabiri, akal Arab dari segi kontentumnya sepadan dengan fase budaya Arab. Sebab sebuah kebudayaan merupakan hasil kerja akal bawah sadar yang satu tempat ketempat lain, akan tetapi ia tidak mampu berpindah dari suatu masa ke masa lain. Inilah yang dimaksud dengan ukuran budaya atauakal yang tidak tunduk kepada perubahan sosio-politik-ideologis. (Fadhil, 2003, p. 87)

Al-Jabiri mengkaji ulang sejarah budaya Arab- Islam dan sekaligus menganalisis nalar Arab. menganalisis background sosiopolitik mekanisme kinerja al-‘aql al-mukawwin  dan kritik terhadap al-‘aql al-mukawwan yang menjadi proses perumusan dan keterbentukan nalar Arab-Islam, (Washil, 2013, p. 115) Beberapa disiplin keilmuan Islam seperti hadis, fiqh dan tafsir dibentuk dan dirumuskan, termasuk penerjemahan tradisi pemikiran filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab tetapi  dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologis dan faktor-faktor sosio-kultural yang beragam. Pada gilirannya proses rekonstruksi budaya ini secara tidak disadari merasuk, mempengaruhi dan membentuk pola dan cara pikir masyarakat Arab. (Faisol, 2010, p. 337) alah satu tema pokok pemikirannya adalah kritiknya terhadap teks. Ia memperlakukan teks bukan sebagai benda yang sudah mapan dan tidak bisa diotak atik. Menurutnya, teks adalah obyek yang harus dikaji dengan pendekatan strukturalis dan historis. (Washil, 2013, p. 111)

Al-’aql al-mukawwin merupakan bakat intelektual (almalakah) sebagai tendensi pencarian konklusi, atau kaidah-kaidah sistematis yang ditetapkan, Artinya, adalah kumpulan prinsip dan kaidah yang diciptakan oleh ulama Arab- Islam ditengah-tengah kultur intelektual Arab sebagai alat produksi pengetahuan. Nalar inilah yang membentuk nalar Arab. Al-’aql almukawwan(Budaya) (Abbas, 2016, p. 11) tidak lain merupakan system kognitif “bersama” yang berdiri di balik pengetahuan atau dalam istilah disebut dengan episteme (Faisol, 2010, p. 337)

Formasi Nalar Arab yang diracik oleh Al-Jabiri berangkat dari beberapa persoalan sebagai berikut: (Zulfata, 2016, pp. 323-324)

Pertama, pemikirannya tersebut ingin memberikan mekanisme dan solusi terhadap kegalauan masyarakat Arab ketika bersentuhan dengan kebudayaan Yunani yang Artinya Nalar Arab cenderung mengedepankan penalaran. Secara epistemologi, akal Arab yang berangkat dari moral dalam upayanya untuk mencapai ilmu pengetahuan, sedangkan akal Yunani- Eropa berangkat dari ilmu pengetahuan untuk menentukan hukum moral?  (Fadhil, 2003, p. 87)

Kedua, ketidakberdayaan masyarakat Arab untuk melepas belenggu legalitas kebudayaan nenek moyang mereka yang dapat merusak citra peradapan Arab ketika berhadapan dengan perkembangan zaman.

Ketiga, Ābid al-Jābirī berusaha untuk menyelaraskan paradigma secara Arab

dengan sejarah perkembangan renaisans di Eropa. Dalam pandangan Ābid al-Jābirī, sejarah peradaban Islam cenderung terputus dan tidak seimbang. Terputusnya sejarah tersebut mengakibatkan peradaban Arab menjadi semakin tidak bermartabat seiring perubahan zaman.

Keempat, Ābid al-Jābirī ingin menyampaikan bahwa semua tradisi tersebut tidak dibolehkan untuk dianggap sebagai suatu yang telah objektif dan sakral, melainkan bahwa tradisi tersebut merupakan suatu hal yang harus direkontruksikan dan disesuaikan dengan situasi masa lalu dan masa sekarang.

Kelima, untuk mengembangkan dan memberi pemahaman kepada umat muslim bahwa dalam menyelesaikan permasalahan harus perangkat dari sudut pandang yang bersifat integratif, yakni permasalahan fiqh, gramatika Arab, humanitas dan lain sebagainya tidak dapat dipisahkan.

Dengan melakukan kritik terhadap Nalar Arab maka berarti membongkar dan menggali lapisan terdalam rancang bangun pemikiran Arab untuk menguak “cacat cacat epistemologis” yang akhirnya membentuk teori-teori baru. Kemudian membenahinya, atau bahkan mencari alternatifnya (Faisol, 2010)  yang pada waktu itu nilainya mengalami pertentangan yang sengit terhadap nilai-nilai humanitas. (Zulfata, 2016, p. 325) sedangkan kata “nalar “ antara lain berartipertimbangan tentang baik buruk (Abbas, 2016, p. 10)

Jadi gagasan modernitas al-Jabiri, bukan untuk menolak tradisi atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian dengan mengandalkan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan modern. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi Karena itu, tradisi yang dimaknai al-Jabiri sangat relevan dengan batasan yang kita pahami selama ini yaitu peristiwa yang diwarisi dari masa lalu secara umum yang perlu mendapatkan kelanjutan atau kesinambungan sebagai nilai yang sangat berharga. Budaya adalah milik orang lampau dan modernitas adalah milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang lain adalah gegabah, membuang kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi akal sehat dan standar rasional, inilah inti reformasi yang dimaksud itu. (Abbas, 2016, pp. 9-10)

 Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu b erbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurutnya, dalam membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai bagian dari penyempurnaan akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable. (Abbas, 2016, pp. 11-12) hal ini timbul karena kegelisahan-kegelisahannya  Terhadap kegagalan upaya kebangkitan Islam dalam hegemoni Barat baik dalam dunia politik maupun kultural yang disebabkan oleh tidak efektifnya uapaya kebangkitan islam yang diusung, yang bahkan ia sebut telah menyimpang dari mekanisme semestinya. Dan yang kedua yaitu sekaligus sebagai upaya awal untuk merealisasikan kebangkitan Islam, artinya kritik nalar Arab ini di satu sisi dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas kegagalan kebangkitan Islam dan di sisi lain ambisi untuk mewujudkannya. (Khairina, 2016, p. 108)

Al Jabiri adalah seorang “pembaca teks” dan “tradisi Islam” yang terkungkung oleh otoritas teks. Al Jabiri melihat nalar Arab sangat terkungkung oleh hegemoni teks yang disinyalir sebagai salah satu penyebab kemunduran dunia Islam (Arab), disamping otoritas masa lalu, dan ‘virus’ irasionalisme. Hegemoni dan otoritas semacam inilah yang kemudian secara tidak sadar mengintervensi terhadap nalar keberagamaan Islam. Dominasi nalar ‘irfani’ sebagaimana yang al Ghazali gemborkan sangat menjadikan ‘nalar berfikir yang jumud’ apalagi episteme yang berkembang sangat tidak produktif dan cenderung konsumtif. (Fadhil, 2003, p. 81)

Dengan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Kritik Nalar Arab adalah suatu sistim penyelidikan atau penelitian terhadap sesuatu (tradisi) masa lalu dengan kacamata nalar atau akal, sehingga dengan pola tersebut mampu menyingkap hal-hal yang tersembunyi menjadi Nampak dengan wajah yang baru meskipun asalnya dari yang lama. Kritik nalar al-Jabiri, terfokus pada nalar Arab bukan nalar Islam, (Abbas, 2016, p. 15)

Ada tiga macam kritik nalar yang menjadi kajian Al-Jabiri dalam bacaannya terhadap tradisi Arab yakni: Nalar Epistemologi bayān, burhānī( Episteme gnosis yang berasal dari tradisi Persia dan Hermetis)  dan ‘irfānī (episteme bahasa yang berasal dari kebudayaan Arab) (Washil, 2013, pp. 111-112)

A. Nalar Epistomologi  ( Bayani, burhānī dan ‘irfānī )

Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu

pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Pengetahuan adalah semua yang diketahui. Epistemologi menjangkau permasalahan- permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan halyang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari- hari. (Musyafa'ah, 2009, p. 112)

a. Bayani

Kata bayan dalam  kamus bahasa Arab, kata ini memiliki arti pisah atau terpisah (al-fas, alinfis ) dan jelas atau menampakkan (al-zuhur, al-izhar). dikatakan jelas apabila ia berbeda dari dan memiliki keistimewaan dibanding dengan yang lain. Menurut Abid Al-jabiri, pengertian yang pertama secara mendasar terkait dengan wujud ontologis, sementara pengertian yang kedua terkait dengan wujud epistemologis. (Faisol, 2010, p. 339)

Bayani memiliki dua fungsi. Pertama, terkait dengan aturan dalam menafsirkan wacana, dan kedua terkait dengan syarat memproduksi wacana. Menurut Abid Al jabiri, nalar bayani terdapat dalam kajian ilmu kebahasaan, nahwu, fiqih (yurisprudensi Islam), teologi (ilmu kalam) dan ilmu balaghah. Nalar bayani bekerja dengan menggunakan mekanisme yang sama berangkat dari dikotomi antara lafad,/ al-makna, al-ash,al-far’ dan al-jauhar, al-ardl. (Faisol, 2010, p. 339) Jadi al-Jâbirî melalui konsep Kritik Nalar Arab mengkaji pertumbuhan akal orisinal Arab yang disebutnya sebagai akal retoris (al-‘aql al-bayani).Akal ini dipresentasikan oleh ilmu bahasa Arab, ushul fikih dan ilmu kalam. Setelah itu al-Al-Jâbirî memasukkan dua akal yang lain dalam dunia pemikiran Arab yaitu akal gnostis (al-irfani) dan akal demonstratif (al-burhani). Nalar ‘irfani lebih menekankan pada kematangan sosial skill (empati, simpati,) sedangkan nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi ( al-muthabaqah bana al-‘aql wa nizam al-thabi’ah) yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Kalau tiga pendekatan keilmuan agama Islam, yaitu bayani, irfani, dan burhani saling terkait, terjaring dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh, maka corak dan model keberagaman Islam jauh lebih komprehensif  (Abdullah, 2013, p. 123)

Epistemologi bayani yang fokusnya berpusat pada hubungan antara al-lafdz dan al ma’na seperti itu juga terdapat dalam ilmu nahwu. pertama-tama menghimpun kosa kata Arab dan memilah-milahnya antara makna kosa kata yang dipakai (almusta’mal) dan makna kosa kata yang tidak dipakai (al-muhmal). Ini berarti bahwa kalangan lughawiyun telah menjadikan lafadz (kata) sebagai hipotesa teoritis untuk menilai kemungkinan dipakai tidaknya sebuah kosa kata. Kosa kata yang maknanya masih dipakai dijadikan sebagai ‘patokan’ atau asal (al-as}l). Jika ditemukan kosa kata yang maknanya tidak dipakai maka harus dikembalikan kepada bahasa masyarakat Arab  melalui apa yang dikenal dengan sima’iy. (Faisol, 2010, p. 339) dengan mengadakan kodifikasi bahasa atau pembukuan bahasa. Menurutnya kodifikasi merupakan peralihan dari bahasa Arab yang tidak ilmiah kepada bahasa ilmiah. Pengumpulan kosa kata bahasa dan penetapan kaidah-kaidah sruktur serta pemilihan tandatanda untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam penulisannya, (Khairina, 2016, p. 111)

Dengan bayani orang-orang bisa tau apakah wahyu Tuhan atau konvensi masyarakat? Terdapat dua aliran dalam mensikapi teori tentang asal-usul bahasa. Pertama, aliran rasional yang dimotori oleh Muktazilah yang berpendapat bahwa bahasa adalah konvensi masyarakat (al-muwadla’ah). Kedua, aliran non-rasional (ahl al-hadits) yang dimotori oleh kalangan ahlussunnah, yang menyatakan bahwa bahasa adalah wahyu Tuhan. Baik Muktazilah maupun ahlussunnah, keduanya sama-sama mengakui gakui bahwa bahasa itu pasti ada yang menciptakannya: hanya saja kalangan Muktazilah mengatakan penciptanya adalah masyarakat, sementara kalangan ahlussunnah menyatakan Tuhan melalui wahyu. Yang menjadi perdebatan tidak lain adalah sosok pencipta bahasa, antara masyarakat (muwadha’ah) atau Tuhan (tauqifiy). Di sini, lagi-lagi persoalan al-ashl menjadi poros diskusi di kalangan ahli nahwu. (Faisol, 2010, p. 340) bahwa diskursus tersebut menjadi bahan pembicaraan utama baik dari kalangan gramatika, mutakallimun, ahli usul al-fiqh sesuai dengan kapasitas dan kredibilitas keilmuan masing-masing. Dalam suasana demikian, kaum bayani berusaha mencermati hubungan bahasa dengan pemikiran, sehingga suatu makna (ta’wil) tidak akan pernah mandiri tanpa dikaitkan dengan bahasa. Dan implikasi dari cara pikir yang demikian adalah terbangunnya sebuah paradiqma yang mencermati pemikiran dalam kapasitasnya sebagai alat eksploitasi teks, artinya sepanjang topik yang perlu dipecahkan itu berhubungan dengan teks, maka proses pemikiran kaum bayani harusberangkat dari lafal ke pemikiran (dari teks ke makna) bukan sebaliknya. (Jamhari, 2017, p. 23)

Persoalan lain yang menjadi lokus nalar bayani adalah hubungan antara al-asl dan al-ma’na. Al-Qur’an merupakan asal (al-asl) dari segalanya, sunah menjadi pelengkap al-Qur’an dan sekaligus pembangun ijmak, dan ijmak menjadi pembangun qiyas. Di sini, al-Qur’an dan sunah merupakan asal (al-asl) dari segala sumber hukum, sementara di luar itu adalah cabang (al-far’) (Faisol, 2010, p. 341)

Dalam wilayah ilmu kalam, persoalan hubungan antara al-ashl dan al-far’ termanifestasikan dalam metode penalaran yang dikenal dengan al-istidlal bi al-syahid ala al-ghaib. Kalangan mutakallimun berbeda pendapat mengenai apakah melalui akal atau wahyu seseorang dapat mengetahui baik dan buruk. Muktazilah menyatakan bahwa seseorang dengan akalnya akan dapat mengetahui baik dan buruk, sementara kalangan sunni meyakini bahwa hanya dengan wahyu seseorang dapat mengetahui baik dan buruk. Akal merupakan sesuatu yang menempel dalam diri manusia, sementara kekuatan akal manusia bersumber dari Allah. Manusia adalah ciptaan yang dapat dilihat secara nyata (al-syahid), sementara Allah adalah yang gaib (al-ghaib). Muktazilah mengakui akal (al-syahid) sebagai sumber untuk mengetahui kebaikan karena yang syahid tidak selalu memberikan pemahaman sebaliknya: al-syahid (alam) lawan dari al-ghaib (Allah). Tetapi yang syahid bisa berarti semisal dengannya, karena ia merupakan asal bagi sesuatu yang gaib. Oleh karena itu, akal (al-syahid) tidak lain adalah jalan untuk mengetahui yang gaib (al ghaib/Allah). Sementara kalangan sunni memahami al-syahid sebagai lawan al-ghaib. Yang syahid bersifat terbatas yang berarti lawan dari Allah (al-ghaib) yang tidak terbatas. Perbedaan antara Muktazilah dan sunni di sini, hanya terbatas pada cara memaknai terhadap al-syahid dan al-ghaib: antara makna literalis atau metaforik. (Faisol, 2010, pp. 341-342)

Nalar Arab-Islam dalam wacana epistimologi bayani adalah bahwa tradisi keilmuan Islam belum mampu sepenuhnya berkelit (membebaskan diri) dari pola keilmuan yang secara tradisional masih terikat sepenuhnya pada sumber ajarannya, dimana peranan akal hanya sebagai instrument pembantu. Padahal Akal dalam Islam ialah aktifitas penggunaan kecendrungan alami manusia sendiri untuk memahami sesuatu yang ada disekelilingnya secara sistematis dan mencocoki naluri logika pemberian Tuhan.Secara khusus ia menunjuk disiplin fiqh dan kalam sebagai contoh dari kegiatan keilmuan Islam yang sangat dipengaruhi oleh nalar kebahasaan (bayani) Arab ini. Menurutnya bayani  merupakan keindahan dan kekuatan bahasa bagai sihir yang memukau  dan menolak model pemahanam orientalisme (Washil, 2013, p. 108)

Berangkat dari realitas nalar arab yang didominasi kelompok yang mendasari sumberepistemnya dengan bayani di atas, Al-Jabiri menawarkan penggunaan epistem burhani terutama dalam aplikasinya nanti dalam milihat teks yang dihadapkan dengan realitas permasalahan sosio-historis. Dalam memperbandigkan ketiga epistem tersebut, Abid al-Jabiri yang lahir dan mengenang era kolonialisasi, peperangan, dan pengalamannya sebagai aktifis yang pernah dipenjara merasa telah cukup untuk meninggalkan saat-saat dimana bangsa Ara menuai era kegelapannya. Bukan berarti menentang dan menghilangkan kedua model episteme yang lain, melainkan menyeimbangkan porsi yang selama ini tidak setara.

Bagaimana pun Heurmanetika al-Qur’an adalah budaya linguistik yang merupakan bahasa atau media yang digunakan oleh Tuhan untuk berkomunikasi dengan manusia. Oleh karena ia sebagai pelantara maka kajian historis dan normatifitas bahasa sangat penting. Namun lebih rinci ada tiga poin dari definisi al Jabiri atas al-Qur’an, pertama, al- Qur’an bukanlah sama-sekali baru, namun merupakan penerus dari kitab sebelumnya yang menunjukan kontinuitas seruan tuhan, kedua, bahwa ia tetap merupakan pristiwa ruhani, dan ketiga, al-Qur’an menjadikan pembawanya sebagai mungdzir atau orang yang selalu “mengingatkan” atas haq dan batil.  (Barir, 2006, p. 10)

Apa yang ditawarkan al-Jabiri berkaitan dengan berbagai persoalan keagamaan umat Islam kontemporer ini, kurang lebih adalah suatu ajakan untuk memikirkan secara kritis apa yang kita anggap sebagai “rujukan” dan “cara merujuk”-nya. Dengan menggunakan perangkat analisis-kritik wacana, al-Jabiri menawarkan perlunya suatu pembaruan pada dataran berbagai teori-teori, seperti politik Islam dan lain sebagainya. Dan yang dibutuhkan di sini adalah suatu kombinasi antara “kritik atas masa lalu” agar tidak terjadi manipulasi sejarah untuk kepentingan sekarang, dan juga “kritik atas masa kini” agar tidak muncul upaya penegasan identitas dan apologi dalam berhadapan (dengan konsep-konsep) Barat yang dianggap asing. (Hayati, 2017, p. 72)

b. Burhani

burhānī juga berasal dari bahasa Arab yang berarti sebuah pembuktian. Burhānī merupakan suatu proses penalaran yang mendorong memahami makna-makna ayat al-Qur’an dan dikontekstualisasikan dengan realitas social, kondisi tempa dan waktu.. Aspek burhānī disebut sebagai kelanjutan pemahaman pasca bayānī, yang membahas tentang sikap dan kaedah yang digunakan para filosof dalam menghubungkan kesesuaian teks al- Qur’an dengan konteks al-Qur’an. Menurut al-Jābirī, melaui aspek burhānī tersebut masyarakat Arab mampu membuka kesadaran bersikap dalam berkomunikasi dengan tradisi-tradisinya yang cenderung memenjarakan pemikiran mereka, yang justru akal tersebut merupakan karunia Allah yang diberikan kepada umat manusia. (Zulfata, 2016, p. 326) Didalam bahasa arab Burhan diartikan al-hujjah al-fasilah al-bayyinah artinya argumentasi yang definiif dan jelas dalam epistemologi burhani adalah eksperimentasi akal dengan kerangka teoritis dalil-dalil logika yang dalam. Episteme burhani ini dikenal dengan silogisme atau al-qiyas al-jami’ yang mengandalkan nalar dan eksperimentasi. Peran nalar antara lain dalam melihat realitas adalah memproduksi pengetahuan dalam menyingkap sebab (idrak as-sabab) atau menemukan hokum kausalitas dibalik sesuatu. Aristoteles yang mengklasifikasikan sebab menjadi empat macam, yakni : materi, bentuk, pelaku, tujuan. (Barir, 2006, p. 8) epistimologi burhani ke tengah peradaban Arab-Islam dapat dikategorikan sebagi upaya untuk menyelaraskan antara epistimologi burhani itu sendiri dengan epistimologi bayani. (Khairina, 2016, p. 115)

Dalam perspektif logika, al burhan adalah aktifis pikir yang menetapkan kebenaran sesuatu melalui metode penalaran yang mengaitkan pengetahuan yang bukti-buktinya mendahului kebenaran, sedangkan dalam pengertian umum, al burhan berarti aktifitas berfikir untuk menentukan kebenaran sesuatu. (Fadhil, 2003, p. 105)

Prinsip ini sangat mengedepankan potensi akal dan persepsi inderawi. Sementara dalam syari‘ah, menurutnya perlu dibedakan antara apa yang bisa dijangkau oleh akal dan yang tidak bisa dijangkau olehnya. Dan jika tidak ada nash, maka harus dicarikan dan dirumuskan satu dalil atau pembuktian rasionalnya, yakni dengan cara meneliti secara induktif teks-teks agama, lalu menarik satu keputusan hukum darinya untuk kemudian dipakai sebagai satu dari kedua premis dalil tersebut. (Washil, 2013, p. 107)

 Jika sumber ilmu dari corak epistemologi bayani adalah teks, maka epistemology burhani bersumber pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani sebagi ilmu al-husuli, yakni ilmu yang dikonsep,disusun dan disistemasasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan lewat otoritas intuisi. (Thariq, 2016, p. 165) Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah) (Fadhil, 2003, p. 111)

c. Irfani

Irfani diambil dari kata irfan yang menurut bahasa berasal dari kata ‘arafa (mengetahui, mengerti). Kata irfan searti dengan kata ma’rifah yang terkenal dikalangan ahli tasawauf yakni pengertian yang mendalam pada hati dalam bentuk ilham atau sesuatu yang dapat membuka tabir yang menutup hati. (Fadhil, 2003, p. 111) Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah.

Kata Irfani  itu dikenal dalam kalangan sufi muslim (al-Mutasawwifah al-Islamiyyin) untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang paling luhur yang hadir di dalam kalbu melalui kasyf atau ilham. kaum sufi membagi pengetahuan sesuai dengantingkatannya: burhaniyah, bayaniyah, dan irfaniyah, sebagaimana disebut dalam qur’an dimana kata yaqin dipersandingkan dengan kata haq (al-Waqiah: 95), ilm (al-Takatsur: 5), dan ain (al-Takatsur:7).(Zulfata, 2016, p. 327) Menurut Al-Jabiri, nalar ini bersumber dan berawal dari tradisi pemikiran Syi‘ah, yang sistem pengetahuannya berdasar pada ‘irfan atau gnosis-mistis dan banyak memanfaatkan tradisi-tradisi pemikiran pra-Islam, khususnya filsafat Agama Hermetisisme. Kritik lain al-Jabiri adalah bahwa pengetahuan irfani bersifat irrasional anti kritikpenalaran. Metode yang digunakan adalah paradoksal, segala-galanya serba superior, bisa dicipta tanpa harus melalui sebab-sebab yang mendahuluinya. Pembuktian pengetahuan yang hanya bersifat inter-subyektif bahwa kebenarannya hanya dapat dibuktikan melalui pemahaman atau pengalaman dari subyek. Akibatnya adalah pemikiran para sufi kehilangan dimensi kritis dan ia besifat magis (Magic thinking) yang menjadi salah satu factor atau sebab kemunduran pola pikir umat Islam. (Jamhari, 2017, p. 30)

Menurut al-Jabiri, ‘irfani dibagi menjadi dua yaitu ‘irfan sebagai sikap dan teori. Sebagai sikap ‘irfani merupakan pandangan seseorang terhadap dunia secara umum. Secara umum sikap ini lebih cenderung lari dari dunia dan menyerah pada hukum positif manusia, bahkan cnderung pada mementingkan individu. Irfan sebagai sikap dan teorilah yang mewarnai dan mempengaruhi pemikiran kalangan ‘irfaniyah di dalam dunia Islam, di mana kecenderungan pemikiran mereka dapat dibagi ke dalam tiga tipe: Pertama, pemikiran yang melebihkan sikap ‘irfani sebagai pertahanan diri dan dapat di tentukan pada kalangan sufi. Kedua, lebih mengedepankan watak filosofis ini, misalnya saja diwakili oleh mereka yang mengembangkan tasawuf filsafi seperti Ibnu Arabi dengan konsep kebahagiannya dan Ibnu Sina dengan teori filsafat isyraqiyah. Ketiga, lebih mengedepankan dimensi mistis, ini banyak ditemukan di kalangan para filsuf Islamiyah (Khairina, 2016, p. 113)

Mengenai nalar ini, Al-Jabiri dengan tegas menyatakan penolakannya. Salah satu tokoh yang dianggapnya sebagai representasi dari pengikut nalar ini adalah al-Ghazali. Menurutnya, tokoh seperti al-Ghazali harus ditinggalkan karena ia telah mencampuradukkan antara ajaran Islam dan gnostisisme Persia yang diambilnya dari Ibnu Sina. Kesuksesan tasawuf al-Ghazali sehingga diterima sebagai sebuah ajaran yang ortodoks adalah karena strateginya yang cerdik, yakni memasukkan tasawuf melalui pintu fiqh, sebuah pintu ortodoksi yang tak seorang pun dapat menyangkalnya Lebih tegas ia menyatakan: Dulu tasawuf ditolak oleh para ulama dan fuqaha yang berpegang teguh pada watak asli dari agama Islam, karena mereka melihat di dalam tasawuf itu ada sesuatu yang asing yang diimpor dari Persia dan tidak selaras dengan ajaran Islam yang berpijak pada kesederhanaan dan fitrah. Ketika Ibnu Sina membangun ulang metafisika iluminasionis dan mencatnya dengan cat Islam, maka al-Ghazali pun mengambilnya untuk diajukan sebagai penggganti filsafat Aristoteles. Karena al-Ghazali membangun aliran Asy‘ari, maka ia pun menyebarkan barang asing itu dengan nama -Tasawuf Sunni,‖ sebuah nama yang kontradiktif dan rancu karena Rasulullah tidak pernah mengenal tasawuf dan dia bukanlah seorang suf wacana al-Qur‘an adalah wacana akal, bukan wacana gnostik, ‗irfan atau iluminasi (Washil, 2013, p. 109) Al-Jabiri sepenuhnya menolak epistemologi ‘irfani, karena menurutnya, ‘irfani justru menggerogoti bayani dari dalam, yang terlihat dengan terang (misal) dalam hal metode qiyas dan syatahat-nya yang menegasikan kaidah-kaidah dasar bayani. (akhiles, 2012)

Al-Irfan adalah fenomena epistem pengetahuan yang dikenal oleh agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, dan Islam bahkan oleh agama-agama pagan. (Barir, 2006, p. 8) Jika sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi bayani adalah ‘teks’ (wahyu), dan epistemologi burhani bersumber pada realitas, maka sumber pokok ilmu pengetahuan dalamtradisi berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Melalui pendekatan irfani, makna hakekat atau makna terdalam dibalik teks dan konteks dapat diketahui. Jika asumsi dasar atau paradigma bayani lebih melihat teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan, paradigma irfani lebih melihat teks sebagai sebuah simbol dan isyarat yang menuntut pembacaan danpenggalian makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersebut dengan melibatkan kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual, dan irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan. (Thariq, 2016, p. 166)

            Pada akhirnya, upaya komparatif terhadap tiga epistimologi, baik bayani, burhani dan irfani, maka dapat ditarik benang merah bahwa epistimplogi bayani menekankan kajian dari teks (nash) ijma’ dan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjastifikasi aqidah tertentu. Sedang ‘irfani dibangun di atas semangat instuisi (kashf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-waliyah) yang inheren dengan ajaran kesatuan Tuhan. Sedangkan epistimologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriah, inderawi, eksprimentasi dan konseptualisasi (referensi/keaktifan akal). (Jamhari, 2017, p. 27)

            Sistem Bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab semacam nahwu dan sharaf. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika atau penalaran sebagai sarana analisis.   Irfani Secara bahasa Irfani berarti mengetahui. Kata ini sering digunakan dalam diskurus tasawuf sebagai istilah untuk menunjukkan suatu bentuk pengetahuan intuitif yang didasarkan pada penyingkapan secara langsung. Pengetahuan Irfani tidak didasarkan pada teks melainkan penyingkapan terhadap rahasia-rahasia realitas Tuhan. Oleh karenanya, pengetahuan Irfani tidak diperoleh dari analisa teks, akan tetapi melalui jalur ruhani, melalui kesucian hati. Diharapkan Tuhan akan memberikan ilmunya dengan mudah.  Burhani Secara epistemologi nalar Burhani bersandar pada kemampuan alamiah atau realitas dan empiris. (Justisia)

d. Ilmu dan Politik

Pembahasan Ābid al-Jābirī terkait kajian ilmu dan politik cenderung memahami proses kepemimpinan Nabi Muhammad Saw di wilayah Madinah. Ābid al-Jābirī memaparkan hasil dari kebijakan yang terjadi pada masa kepemimpinan oleh Nabi Muhammad Saw. Hasil-hasil kebijakan tersebut  diantaranya, regulasi kemajemukan suku, karakter, kepentingan, dan kesatuan umat manusia. Wilayah Madinah dalam pemahaman Ābid al-Jābirī merupakan salah satu daerah yang dijadikannya sampel untuk mengkumandangkan bahwa bangsa Arab itu besar dan berwibawa. Fakta sosial yang terjadi pada bangsa Arab yang dimaksudkan oleh Ābid al-Jābirī seiring perubahan waktu mengalami kemunduran yang drastis. (Zulfata, 2016, p. 327)

C. Penutup

Pemikiran Ābid al-Jābirī berangkat dari landasan epistemologi yang bersifat integratif. Hal ini terbukti ketika proses kritik fakta sejarah bangsa Arab yang dikembangkannya berangkat dari pendekatan bayānī, burhānī dan ‘irfānī. Dan mengelompokan nalar Arab ini ke dalam tiga kelompok: nalar burhani (episteme rasional yang berasal dari Yunani), bayani (episteme bahasa yang berasal dari kebudayaan Arab), dan nalar „irfani (episteme gnosis yang berasal dari tradisi Persia dan Hermetis) (Faisol, 2010, p. 358) bahwa masalah metodologi ataupendekatan merupakan hal yang selalu menjadi lokus kecurigaan dalam sejarah intelektual Islam kontemporer. Pemikiran Al-Jabiridipertanyakan oleh sebagian yang lain karena ia telah menggunakan teori-teori atau pendekatan yang diimpor dari dunia Barat. Di sini,

antara memanfaatkan teori-teori modern dan tetap berpijak pada warisan intlektual sendiri menjadi persoalan yang selalu dihadapi oleh pemikiran Islam kontemporer. Ini mungkin menjadi problem mendasar yang dihadapi oleh umat Islam dalam menyikapi pemikiran Islam kontemporer. Dan erkembangan budaya di suatu daerah yang mampu menentukan berkualitas atau tidaknya perkembangan ilmu pengetahuan di suatu daerah tersebut. (Zulfata, 2016, p. 321) Argumentasi tersebut secara implisit ingin menjelaskan bahwa nilai-nilai kebudayaan suatu daerah sangat berperan penting dalam menciptakan kualitas ilmu pengetahuan yang akan diaplikasikan oleh masyarakatnya, dan tentunya keterpengaruhan tersebut dapat membentuk kepribadian masyarakatnya.

Daftar Pustaka

Abbas, N. (2016). AL-Jabiri dan Kritik Nalar Arab (Sebuah Reformasi Pemikiran Islam).

Abdullah. (2013). Kritik Nalar Arab: Tinjauan Kritis atas Pemikiran Muhammad ‘Abid al-Jâbirî. Jurnal Diskirsus Islam.

akhiles, e. (2012, Maret 6). kompasiana. Retrieved from www.kompasiana.com: https://www.kompasiana.com/edi_akhiles/551098838133117e3cbc6576/kritik-nalar-arab-muhammad-abed-al-jabiri

Aziz, J. A. (2015). Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid Al-Jabiri Telaah terhadap Buku al-‘Aql al-Siyâsi al-‘Arabî:. Jurnal Miqoot, 115.

Barir, M. (2006). Hermeneutika Abid al-Jabiri (al-Fasl, al-Washl dan Ashalah an-Nash). Agam dan Filsafat.

Fadhil, I. (2003). Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam.

Faisol, M. (2010). Struktur Nalar Arab-Islam. Jurnal Tsaqafah.

Hayati, N. (2017). Epistomologi Pemikiran Islam Abid- Al-Jabiri dan Implikasi Bagi Pemikiran Islam. JURN ISLAM REALITAS: Journal of Islamic & Social Studies.

Jamhari. (2017). Kontribusi Metodologis Muhammad Abed Al-Jabiri Dalam Studi Islam. Jurnal El-Fikr.

Justisia. (n.d.). NUonline. Retrieved from www.nu.or.id: Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/90618/membedah-pemikiran-muhamad-abed-al-jabiri

Khairina, A. I. (2016). Kritik Epistomologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri. Jurnal Studi Agama.

Musyafa'ah, N. (2009). Filsafat Etismologi Islam Muhammad Abid Al-Jabiri. Jurnal Keislaman .

Putra, D. H. (2019). Konsep Syariah Dan Implikasinya Terhadap Masalah HAM (Studi Pemikiran Abid Al-Jabiri dan Abdullah Ahmed An Naim). Yogyakarta.

Rofiq, M. (2017). Arab political reasoning:Muhammad Abid al-Jabiri’s contribution for understanding crisisof politics in the Arab world. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies.

Supaat. (2008). Muhammad Abid Al-Jabiri ( Studi Pemikirannya Tentang Tradisi/Turas). Yogyakarta: Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Thariq, M. (2016). Interleasasi Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri dalam Pendidikan Islam. Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology.

Washil, I. (2013). Dilema Tradisi Dan Modernitas Telaah Atas "Kritik NalarArab" Muhammad Abid Al-Jabiri. Jurnal Khatulistiwa.

Zulfata. (2016). Gagasan Formasi Nalar Arab Ābid Al-Jabiri. Jurnal Islam Fantura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...