Tokoh Pemikir Islam Kontemporer
Muhammad
Abid Al Jabiri
(Kritik Nalar Bangsa Arab)
Abstrak
Muhammad Abed Al-Jabiri adalah tokoh
filsafat epistimologi yang concern
terhadap kajian kritik epistimologi nalar Arab. Al-Jabiri menganggap
epistimologi nalar Arab sebagai sebagai “titik kunci” untuk memasuki semesta
peradaban Arab yang membentuk secara keseluruhan bangunan keislaman yang
berkembang, bukan hanya di wilayah Arab, tetapi seluruh dunia. Dari asumsi
epitimologis ini, al-Jabiri melakukan anilis-analisi historis, yang
memungkinkan terbentuknya nalar bayani, ‘irfani dan burhani beserta seluruh
rangakain yang terjalin di dalamnya. Ia membagi epistimologi kebudayaan nalar
Arab menjaditiga yaitu bayani, irfani dan burhani. Terakhir, tulisan ini
menyimpulkan sejumlah hal yang menjadi kontribusi al-Jabiri pada pemikiran
keislaman.
Kata Kunci:
Kritik Nalar, Arab, Aljabir, Pemikiran
Abstract
Muhammad Abed Al-Jabiri is a figure of epistemological philosophy
who is concerned with the study of criticisms of Arabic epistemological
reasoning. Al-Jabiri regarded the epistemology of Arabic reasoning as a
"key point" to enter the universe of Arab civilization which formed
the entire Islamic building that developed, not only in the Arab region, but
throughout the world. From these epithymological assumptions, al-Jabiri carried
out historical anilis-analysis, which allowed the formation of bayani, f irfani
and burhani reasoning along with all the intertwined intertwined therein. He
divided the cultural epistemology of Arabic reason into triangles namely
bayani, irfani and burhani. Finally, this paper concludes a number of things
that contributed to al-Jabiri's Islamic thought.
Keyword:
Criticism of Reason, Arabic, Aljabiri,
Thought
A. Pendahuluan
Dalam beberapa dekade terakhir ini
trend baru pemikiran Islam telah mewarnai sejarah pemikiran Islam. Berbagai
tokoh dan pemikir muslim bermunculan menyuarakan bagaimana seyogyanya
kebangkitan Islam dimulai. Mereka menyoal kembali warisan kebudayaan dan
intelektual Islam. Hal ini terlihat jelas dengan kemunculan beberapa pemikir muslim kontemporer. gelombang
kebangkitan dan pembaruan dalam Islam memiliki corak yang beragam meskipun
tujuan umumnya sama, yakni memberdayakan Islam dalam arus perubahan dan
modernisasi salah satu tokohnya adalah Muhamad
Abed Al-Jabiri (Aziz, 2015, p.
115)
Sebenarnya berkaitan dengan masalah
pembacaan (qira`ah) terhadap tradisi yang diwarisi oleh dunia Arab dari masa
lalunya dan penyikapan terhadap masa kininya (modernitas). Dua entitas (tradisi
dan modernitas) inilah yang tampaknya 1967 (Washil, 2013,
p. 102)
Upaya mengejar ketertinggalan
masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang dalam hal ini
didominasi oleh Islam.Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada
masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi dan budaya
tersebut apalagi meninggalkannya.Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa aliran
dan corak pemikiran yang menawarkan solusi. (Abdullah,
2013, p. 115)
Al-Jabiri mempunyai ambisi besar untuk
membangun sebuah epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat
hari ini. Dia mengkritik gerakan salaf dan juga merasa tidak puas terhadap
pembaruan yang dilakukan para cendekiawan muslim,Meskipun demikan al-Jabiri
juga tidak setuju dengan pemikiran liberal yang berusahamengadopsi tradisi
barat secara membabi buta. Hal terse but dikarenakan Arab dan Barat memiliki
setting sejarah yang jauh berbeda. (Musyafa'ah,
2009, p. 115)
Setidaknya, kritik epistemologi Al
Jabiri ini, menawarkan kepada dunia Islam sebuah upaya untuk merekonstruksi
sebuah bangunan nalar-epistemik pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan dan
perubahan dunia Islam menuju kemajuan peradaban (Faisol, 2010, p. 336) Kajian tentang penulusuran filsafat kebudayaan yang berujung
dengan espek-aspek ilmu pengetahuan yang mengkristal dalam ajaran keagamaan
yang diinterpretasikan oleh Muhammad Ābid al-Jābirī sangat penting untuk
dibahas dan ditelusuri (Zulfata, 2016, p. 321)
Dalam mengkaji permasalahantradisi haruslan menggunakan metode yang tepat agar
tidak adal kesalahan dalam penafsiran, cara yang dipake haruslah obyektif
dengan tujuan menjaga jarak antara subyek pengkaji dengan objek kajian,
sehingga menghasilkan pandangan yang rasional. (Supaat, 2008, p. 103)
Artikel ini akan menelisik secara
spesifik pemikiran pembaharuan Abid Al-Jabiri. Kekhasan pemikiran Al-Jabiri
terletak pada kritik epistemology. Epistemology sebagai bagian dari filsafat
telah sejak lama dijauhkan dari peradaban keilmuan dunia Islam; mempelajari
filsafat sama saja dengan menceburkan diri pada jurang kekafiran. (Rofiq, 2017, p. 56)
B. Pembahasan
1. Biografi Muhammad Abed Al-Jabiri
Nama lengkapnya adalah Muhammad „Âbid
al-Jâbirî, (Abdullah,
2013, p. 115) .Muhammad Abed Al-Jabiri lahir di kota Fejij ( Fekik)
Maroko pada tahun 1936 M. Sebuah wilayah negeri maghribi, yang pernah menjadi
wilayah protektoriat Perancis. Setelah merdeka, negara Maroko mengenal dua
bahasa resmi, Arab dan Perancis. (Jamhari, 2017, p. 20).Saat
perkembangan politik dunia Islam masih belum menentu terutama negara-negara di
kawasan Maghribi, Marokko, Tunisia dan al-Jazair. Maka tidaklah mengherankan
jika Al-Jabiri muda tumbuh dalam ranah lingkungan politik, (Washil, 2013,
p. 103) Hal yang merupakan kebetulan jika fase transisi secara
sosial dan politik di Maroko juga ikut membentuk dan mewarnai masa transisi
dalam kehidupan pribadi al-Jâbirî. (Abdullah,
2013, p. 117)
Sejak awal al-Jabiri telah tekun
mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya dimulai tahun 1958 di Universitas
Damaskus Syiria. Al-jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun
kemudian dia berpindah ke Universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia
menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falasafah
al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, dibawah bimbingan N Aziz Lahbibi dan gelar
dokotornya diperoleh juga di Universitas Muhammad V Rabat, Maroko, tahun 1970. (Khairina,
2016, p. 106) Al Jabiri juga merupakan seorang pakar intelektual muslim
yang bbrilian sekaligus seorang penegak hukum islam di negri Maroko (Putra, 2019,
p. 5)
Semenjak bergelut dalam bidang studi
ilmiah, yaitu ketika ia pertama kali menjadi dosen di Universitas, ia
menunjukkan dirinya sebagai seorang ilmuwan yang produktif dengan kapasitas
keilmuan yang mumpuni dengan menerbitkan dua jilid buku tentang epistemologi
(yang pertama tentang matematika dan rasionalisme modern dan yang kedua tentang
perkembangan pemikiran ilmiah) pada tahun 1976. Pada masa-masa itu, ia masih
terlibat aktif dalam aktivitas politik dan pada tahun 1975 menjadi salah
seorang anggota biro politik USEF dan bahkan menjadi salah seorang penggagas
dan pendirinya. Baru kemudian pada awal tahun 80-han ia meninggalkan semua
aktivitas politiknya dan mencurahkan semua perhatiannya pada masalah keilmuan
dan intelektual. (Abdullah, 2013, p. 115)
Al-Jabiri dikenal sebagai filosof Arab
kontemporer yang ahli dalam bidang hermenetisme dan filsafat Islam. Ia termasuk
dalam kelompok sebagian kecil orang yang mampu menelaah dengan seksama tradisi
filsafat Islam klasik hingga dapat menyarikannya serta menyelaminya secara
hidup. Ia memiliki kontribusi yang besar dalam memperkaya pemikiran Islam
kontemporer dan menggugah kesadaran bahwa “masih ada yang bisa diperbuat” dan
“masih banyak yang belum mereka lakukan (maksudnya: para pemikir muslim
dahulu)”. Karya magnum opus-nya, trilogi kritik, dimunculkan untuk dan didasari
oleh kesadaran seperti itu. (Aziz, 2015, p. 113)
Adapun
karya-karyanya yang telah dipublikasikan secara luas adalah trilogy Kritik
Nalar arab (Takwin al-‘Aql al-‘Arabi,
Bunyah al-Aql al-‘Arabi dan A;-Aql al- Siyasi al-‘Arabi), al-Khitab al-‘Arabi
al-Hadstah, Wijhah Nazr nahwu I’adah bina Qadlaya al-Fikr al-‘Arabi
al-Mu’ashir, al-Mas’alah al-Tsaqafiyah, Mas’alah al-huwiyah dan al-Mutsaqqafun
al-‘Arab fi al-Hadlarah al-Islmaiyah. (Khairina,
2016, p. 106) Sebelum Muhammad „Âbid al-Jâbirî meninggal pada tanggal 3
Mei 2010. Al-Jâbirî meninggal dunia di Casablanca dalam usia 75 tahun. (Abdullah, 2013, p. 115)
2. Pendidikan Muhammad Abed Al-Jabiri
Al-Jabiri lebih banyak menghabiskan
pendidikannya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi di tanah kelahirannya
di Maroko. (Faisol, 2010,
p. 337) Ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mendukung
partai Istiqlal sebuah pertai pejuang kemerdekaan dari penjajahan kolonial
Perancis dan Spanyol. (Barir, 2006, p. 2)
Pendidikan Al-Jabiri dimulai dari
lingkungan keluarga dan secara formal ia masuk sekolah agama, sekolah swasta
nasionalis (Madrasah Hurrah Wathaniyah) milik kelompok pergerakan kemerdekaan.
Dan pada tahun 1951-1953, ia melanjtkan SMU negeri di Casablanca. Selanjutnya
seiring dengan kemerdekaan Marokko, ia masuk sekolah tinggi Arab bidang ilmu
pengetahuan terapan/alam. Sekitar tahun 1959, ia belajar di Universitas
Damaskus Syiria. Dan tahun berikutnya, ia menjadi salah seorang mahasiswa tahun
awal bagi Universitas Muhammad V di Rabbat, Maroko yang baru dibuka dan ia
tuntaskan pada tahun 1967 untuk gelar Master dan tahun 1970 untuk gelar Doktor, (Washil, 2013,
p. 103) dengan disertasi yangmembahas tentang pemikiran Ibn
Khaldun, yaitu “Fanatisme dan Negara: Elemen-Elemen Teoritik Khaldunian dalam
Sejarah Islam” (Faisol, 2010, p. 336)
dibawah bimbingan N. Aziz Lahbabi dan gurunya juga seorang pemikir Arab
Maghribi yang banyak terpengaruh (Abbas, 2016,
p. 5) Kemudian Al Jabiri menjadi dosen filsafat dan pemikiran
Islam di Fakutas Sastra pada kampus yang sama (Zulfata, 2016, p. 322)
dan menjadi Pengawas dan Pengarah Pendidikan bagi Guru-guru Filsafat di tingkat
menengah atas. (Faisol, 2010,
pp. 336-337) Ābid al-Jābirī sangat terkenal di kalangan akademisi yang
fokus mempelajari filsafat ketika Ābid al-Jābirī meluncurkan buku Takwīn al- Aql al-‘Arabī. Buku tersebut
tercipta dimulai dari edisi pertama dari karyanya yang berjudul Kritik Nalar
Arab (Naqd al-‘Aql al-‘Arabī). (Zulfata, 2016,
p. 322)
Al-Jabiri menguasai tiga bahasa: Arab
(bahasa ibu), Perancis (baca dan tulis), dan Inggris (baca saja) dan Kematangan
Ilmu Filsafat (Izzatun 103) Sejak muda, Al-Jabiri telah menjadi seorang aktivis
politik yang berideologi sosialis. Pernah aktif dalam partai Union Nationale
des Forces Popularies (UNFP) yang kemudian berubah nama menjadi Union
Sosialiste des Forces Popularies (USFP). Pada tahun 1975, dia menjadi anggota
biro politik USFP. Di antara karya-karyanya, trilogi Naqd al-Aql al Arabi (terbit tahun 1982), al-Turats wa al-Hadtsah (1991), al-Khitab
al-Arabi al Ma’asir (1992),
Mukhtasar Kitab al- Siyasah (1998), Kulliyat fi al-Tib (1999), Nahnu wa
al-Turats, Naqd al-Aql al-Siyasi,
bersama Hasan Hanafi menulis kitab Hiwar
bain al-Masyriq wa al-maghrib (1990). (Faisol, 2010,
p. 336)
3. Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri
Fokus perhatian karya-karya al- Jabiri
berkenaan dengan kritik metodologi dan epistimologi, yaitu suatu kritik yang
ditujuakan kepada kerangka dan mekanisme berfikir yang mendominasi kebudayaan
Arab dalam babakan sejarah tertentu, juga tentang bagaimana umat Islam membawa
tradisinya sendiri (Jamhari, 2017,
p. 21)Menurut al Jabiri, akal Arab dari segi kontentumnya sepadan
dengan fase budaya Arab. Sebab sebuah kebudayaan merupakan hasil kerja akal
bawah sadar yang satu tempat ketempat lain, akan tetapi ia tidak mampu
berpindah dari suatu masa ke masa lain. Inilah yang dimaksud dengan ukuran
budaya atauakal yang tidak tunduk kepada perubahan sosio-politik-ideologis. (Fadhil, 2003, p. 87)
Al-Jabiri mengkaji ulang sejarah budaya
Arab- Islam dan sekaligus menganalisis nalar Arab. menganalisis background
sosiopolitik mekanisme kinerja al-‘aql
al-mukawwin dan kritik terhadap al-‘aql al-mukawwan yang menjadi proses
perumusan dan keterbentukan nalar Arab-Islam, (Washil, 2013,
p. 115) Beberapa disiplin keilmuan Islam seperti hadis, fiqh dan
tafsir dibentuk dan dirumuskan, termasuk penerjemahan tradisi pemikiran
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab tetapi
dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologis dan faktor-faktor
sosio-kultural yang beragam. Pada gilirannya proses rekonstruksi budaya ini
secara tidak disadari merasuk, mempengaruhi dan membentuk pola dan cara pikir
masyarakat Arab. (Faisol, 2010,
p. 337) alah satu tema pokok pemikirannya adalah kritiknya terhadap
teks. Ia memperlakukan teks bukan sebagai benda yang sudah mapan dan tidak bisa
diotak atik. Menurutnya, teks adalah obyek yang harus dikaji dengan pendekatan
strukturalis dan historis. (Washil, 2013,
p. 111)
Al-’aql
al-mukawwin merupakan bakat
intelektual (almalakah) sebagai tendensi pencarian konklusi, atau kaidah-kaidah
sistematis yang ditetapkan, Artinya, adalah kumpulan prinsip dan kaidah yang
diciptakan oleh ulama Arab- Islam ditengah-tengah kultur intelektual Arab
sebagai alat produksi pengetahuan. Nalar inilah yang membentuk nalar Arab. Al-’aql almukawwan(Budaya) (Abbas, 2016,
p. 11) tidak lain merupakan system kognitif “bersama” yang berdiri
di balik pengetahuan atau dalam istilah disebut dengan episteme (Faisol, 2010, p. 337)
Formasi Nalar Arab yang diracik oleh
Al-Jabiri berangkat dari beberapa persoalan sebagai berikut: (Zulfata, 2016,
pp. 323-324)
Pertama, pemikirannya tersebut ingin memberikan mekanisme dan solusi
terhadap kegalauan masyarakat Arab ketika bersentuhan dengan kebudayaan Yunani
yang Artinya Nalar Arab cenderung mengedepankan penalaran. Secara epistemologi,
akal Arab yang berangkat dari moral dalam upayanya untuk mencapai ilmu
pengetahuan, sedangkan akal Yunani- Eropa berangkat dari ilmu pengetahuan untuk
menentukan hukum moral? (Fadhil, 2003,
p. 87)
Kedua, ketidakberdayaan masyarakat Arab untuk melepas belenggu
legalitas kebudayaan nenek moyang mereka yang dapat merusak citra peradapan
Arab ketika berhadapan dengan perkembangan zaman.
Ketiga, Ābid al-Jābirī berusaha untuk menyelaraskan paradigma
secara Arab
dengan sejarah perkembangan renaisans di Eropa. Dalam
pandangan Ābid al-Jābirī, sejarah peradaban Islam cenderung terputus dan tidak
seimbang. Terputusnya sejarah tersebut mengakibatkan peradaban Arab menjadi
semakin tidak bermartabat seiring perubahan zaman.
Keempat, Ābid al-Jābirī ingin menyampaikan bahwa semua tradisi
tersebut tidak dibolehkan untuk dianggap sebagai suatu yang telah objektif dan
sakral, melainkan bahwa tradisi tersebut merupakan suatu hal yang harus
direkontruksikan dan disesuaikan dengan situasi masa lalu dan masa sekarang.
Kelima, untuk mengembangkan dan memberi pemahaman kepada umat
muslim bahwa dalam menyelesaikan permasalahan harus perangkat dari sudut pandang
yang bersifat integratif, yakni permasalahan fiqh, gramatika Arab, humanitas
dan lain sebagainya tidak dapat dipisahkan.
Dengan melakukan kritik terhadap Nalar
Arab maka berarti membongkar dan menggali lapisan terdalam rancang bangun
pemikiran Arab untuk menguak “cacat cacat epistemologis” yang akhirnya
membentuk teori-teori baru. Kemudian membenahinya, atau bahkan mencari
alternatifnya (Faisol, 2010) yang pada waktu itu nilainya mengalami
pertentangan yang sengit terhadap nilai-nilai humanitas. (Zulfata, 2016, p. 325)
sedangkan kata “nalar “ antara lain berartipertimbangan tentang baik buruk (Abbas, 2016, p. 10)
Jadi gagasan modernitas al-Jabiri,
bukan untuk menolak tradisi atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up
grade sikap serta pendirian dengan mengandalkan pola hubungan kita dengan
tradisi dalam tingkat kebudayaan modern. Dan karena itu, konsep modernitas
adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi
Karena itu, tradisi yang dimaknai al-Jabiri sangat relevan dengan batasan yang
kita pahami selama ini yaitu peristiwa yang diwarisi dari masa lalu secara umum
yang perlu mendapatkan kelanjutan atau kesinambungan sebagai nilai yang sangat
berharga. Budaya adalah milik orang lampau dan modernitas adalah milik Barat.
Mengambil satu dan membuang yang lain adalah gegabah, membuang kedua-duanya
adalah konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana mengharmonisasikan keduanya
dengan tidak menyalahi akal sehat dan standar rasional, inilah inti reformasi
yang dimaksud itu. (Abbas, 2016, pp. 9-10)
Jabiri mencatat adanya sebuah problematika
struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan
untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj
salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu b erbau
ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurutnya, dalam
membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari
realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang.
Menurut Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan
kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai bagian dari penyempurnaan akan kesatuan
dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan
syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi
bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga
istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable. (Abbas, 2016,
pp. 11-12) hal ini timbul karena kegelisahan-kegelisahannya Terhadap kegagalan upaya kebangkitan Islam
dalam hegemoni Barat baik dalam dunia politik maupun kultural yang disebabkan
oleh tidak efektifnya uapaya kebangkitan islam yang diusung, yang bahkan ia
sebut telah menyimpang dari mekanisme semestinya. Dan yang kedua yaitu
sekaligus sebagai upaya awal untuk merealisasikan kebangkitan Islam, artinya kritik
nalar Arab ini di satu sisi dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas kegagalan
kebangkitan Islam dan di sisi lain ambisi untuk mewujudkannya. (Khairina, 2016, p. 108)
Al Jabiri adalah seorang “pembaca teks”
dan “tradisi Islam” yang terkungkung oleh otoritas teks. Al Jabiri melihat
nalar Arab sangat terkungkung oleh hegemoni teks yang disinyalir sebagai salah
satu penyebab kemunduran dunia Islam (Arab), disamping otoritas masa lalu, dan
‘virus’ irasionalisme. Hegemoni dan otoritas semacam inilah yang kemudian
secara tidak sadar mengintervensi terhadap nalar keberagamaan Islam. Dominasi
nalar ‘irfani’ sebagaimana yang al Ghazali gemborkan sangat menjadikan ‘nalar
berfikir yang jumud’ apalagi episteme yang berkembang sangat tidak produktif
dan cenderung konsumtif. (Fadhil, 2003,
p. 81)
Dengan pengertian di atas, dapat
dipahami bahwa Kritik Nalar Arab adalah suatu sistim penyelidikan atau
penelitian terhadap sesuatu (tradisi) masa lalu dengan kacamata nalar atau
akal, sehingga dengan pola tersebut mampu menyingkap hal-hal yang tersembunyi
menjadi Nampak dengan wajah yang baru meskipun asalnya dari yang lama. Kritik
nalar al-Jabiri, terfokus pada nalar Arab bukan nalar Islam, (Abbas, 2016,
p. 15)
Ada tiga macam kritik nalar yang
menjadi kajian Al-Jabiri dalam bacaannya terhadap tradisi Arab yakni: Nalar
Epistemologi bayān, burhānī( Episteme gnosis yang berasal dari tradisi Persia
dan Hermetis) dan ‘irfānī (episteme
bahasa yang berasal dari kebudayaan Arab) (Washil, 2013,
pp. 111-112)
A. Nalar Epistomologi ( Bayani, burhānī dan ‘irfānī )
Epistemologi adalah
cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu
pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme,
yang berarti pengetahuan. Pengetahuan adalah semua yang diketahui.
Epistemologi menjangkau permasalahan- permasalahan yang membentang seluas
jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan halyang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari- hari. (Musyafa'ah,
2009, p. 112)
a. Bayani
Kata bayan dalam kamus bahasa Arab, kata ini memiliki arti
pisah atau terpisah (al-fas, alinfis
) dan jelas atau menampakkan (al-zuhur,
al-izhar). dikatakan jelas apabila ia berbeda dari dan memiliki
keistimewaan dibanding dengan yang lain. Menurut Abid Al-jabiri, pengertian
yang pertama secara mendasar terkait dengan wujud ontologis, sementara pengertian
yang kedua terkait dengan wujud epistemologis. (Faisol, 2010,
p. 339)
Bayani memiliki dua fungsi. Pertama,
terkait dengan aturan dalam menafsirkan wacana, dan kedua terkait dengan syarat
memproduksi wacana. Menurut Abid Al jabiri, nalar bayani terdapat dalam kajian
ilmu kebahasaan, nahwu, fiqih (yurisprudensi Islam), teologi (ilmu kalam) dan
ilmu balaghah. Nalar bayani bekerja dengan menggunakan mekanisme yang sama
berangkat dari dikotomi antara lafad,/ al-makna,
al-ash,al-far’ dan al-jauhar, al-ardl. (Faisol, 2010,
p. 339) Jadi al-Jâbirî melalui konsep Kritik Nalar Arab mengkaji
pertumbuhan akal orisinal Arab yang disebutnya sebagai akal retoris (al-‘aql al-bayani).Akal ini dipresentasikan
oleh ilmu bahasa Arab, ushul fikih dan ilmu kalam. Setelah itu al-Al-Jâbirî
memasukkan dua akal yang lain dalam dunia pemikiran Arab yaitu akal gnostis (al-irfani) dan akal demonstratif (al-burhani). Nalar ‘irfani lebih
menekankan pada kematangan sosial skill (empati, simpati,) sedangkan nalar
burhani yang ditekankan adalah korespondensi ( al-muthabaqah bana al-‘aql wa nizam al-thabi’ah) yakni kesesuaian
antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam.
Kalau tiga pendekatan keilmuan agama Islam, yaitu bayani, irfani, dan burhani
saling terkait, terjaring dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh, maka
corak dan model keberagaman Islam jauh lebih komprehensif (Abdullah,
2013, p. 123)
Epistemologi bayani yang fokusnya
berpusat pada hubungan antara al-lafdz dan al ma’na seperti itu juga terdapat
dalam ilmu nahwu. pertama-tama menghimpun kosa kata Arab dan memilah-milahnya
antara makna kosa kata yang dipakai (almusta’mal) dan makna kosa kata yang
tidak dipakai (al-muhmal). Ini berarti bahwa kalangan lughawiyun telah
menjadikan lafadz (kata) sebagai hipotesa teoritis untuk menilai kemungkinan
dipakai tidaknya sebuah kosa kata. Kosa kata yang maknanya masih dipakai
dijadikan sebagai ‘patokan’ atau asal (al-as}l). Jika ditemukan kosa kata yang
maknanya tidak dipakai maka harus dikembalikan kepada bahasa masyarakat
Arab melalui apa yang dikenal dengan sima’iy. (Faisol, 2010, p. 339) dengan mengadakan kodifikasi bahasa atau pembukuan bahasa.
Menurutnya kodifikasi merupakan peralihan dari bahasa Arab yang tidak ilmiah
kepada bahasa ilmiah. Pengumpulan kosa kata bahasa dan penetapan kaidah-kaidah
sruktur serta pemilihan tandatanda untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam penulisannya,
(Khairina, 2016, p. 111)
Dengan bayani orang-orang bisa tau
apakah wahyu Tuhan atau konvensi masyarakat? Terdapat dua aliran dalam
mensikapi teori tentang asal-usul bahasa. Pertama, aliran rasional yang dimotori
oleh Muktazilah yang berpendapat bahwa bahasa adalah konvensi masyarakat (al-muwadla’ah). Kedua, aliran
non-rasional (ahl al-hadits) yang dimotori oleh kalangan ahlussunnah, yang
menyatakan bahwa bahasa adalah wahyu Tuhan. Baik Muktazilah maupun ahlussunnah,
keduanya sama-sama mengakui gakui bahwa bahasa itu pasti ada yang
menciptakannya: hanya saja kalangan Muktazilah mengatakan penciptanya adalah
masyarakat, sementara kalangan ahlussunnah menyatakan Tuhan melalui wahyu. Yang
menjadi perdebatan tidak lain adalah sosok pencipta bahasa, antara masyarakat (muwadha’ah) atau Tuhan (tauqifiy). Di sini, lagi-lagi persoalan
al-ashl menjadi poros diskusi di kalangan ahli nahwu. (Faisol, 2010,
p. 340) bahwa diskursus tersebut menjadi bahan pembicaraan utama
baik dari kalangan gramatika, mutakallimun, ahli usul al-fiqh sesuai dengan
kapasitas dan kredibilitas keilmuan masing-masing. Dalam suasana demikian, kaum
bayani berusaha mencermati hubungan bahasa dengan pemikiran, sehingga suatu
makna (ta’wil) tidak akan pernah
mandiri tanpa dikaitkan dengan bahasa. Dan implikasi dari cara pikir yang
demikian adalah terbangunnya sebuah paradiqma yang mencermati pemikiran dalam
kapasitasnya sebagai alat eksploitasi teks, artinya sepanjang topik yang perlu
dipecahkan itu berhubungan dengan teks, maka proses pemikiran kaum bayani
harusberangkat dari lafal ke pemikiran (dari teks ke makna) bukan sebaliknya. (Jamhari, 2017,
p. 23)
Persoalan lain yang menjadi lokus nalar
bayani adalah hubungan antara al-asl dan al-ma’na. Al-Qur’an merupakan asal (al-asl) dari segalanya, sunah menjadi
pelengkap al-Qur’an dan sekaligus pembangun ijmak, dan ijmak menjadi pembangun
qiyas. Di sini, al-Qur’an dan sunah merupakan asal (al-asl) dari segala sumber hukum, sementara di luar itu adalah
cabang (al-far’) (Faisol, 2010,
p. 341)
Dalam wilayah ilmu kalam, persoalan
hubungan antara al-ashl dan al-far’ termanifestasikan dalam metode penalaran
yang dikenal dengan al-istidlal bi al-syahid ala al-ghaib. Kalangan
mutakallimun berbeda pendapat mengenai apakah melalui akal atau wahyu seseorang
dapat mengetahui baik dan buruk. Muktazilah menyatakan bahwa seseorang dengan
akalnya akan dapat mengetahui baik dan buruk, sementara kalangan sunni meyakini
bahwa hanya dengan wahyu seseorang dapat mengetahui baik dan buruk. Akal
merupakan sesuatu yang menempel dalam diri manusia, sementara kekuatan akal
manusia bersumber dari Allah. Manusia adalah ciptaan yang dapat dilihat secara
nyata (al-syahid), sementara Allah
adalah yang gaib (al-ghaib).
Muktazilah mengakui akal (al-syahid)
sebagai sumber untuk mengetahui kebaikan karena yang syahid tidak selalu
memberikan pemahaman sebaliknya: al-syahid (alam) lawan dari al-ghaib (Allah).
Tetapi yang syahid bisa berarti semisal dengannya, karena ia merupakan asal
bagi sesuatu yang gaib. Oleh karena itu, akal (al-syahid) tidak lain adalah jalan untuk mengetahui yang gaib (al ghaib/Allah). Sementara kalangan
sunni memahami al-syahid sebagai lawan al-ghaib.
Yang syahid bersifat terbatas yang berarti lawan dari Allah (al-ghaib) yang tidak terbatas. Perbedaan
antara Muktazilah dan sunni di sini, hanya terbatas pada cara memaknai terhadap
al-syahid dan al-ghaib: antara makna literalis atau metaforik. (Faisol, 2010,
pp. 341-342)
Nalar Arab-Islam dalam wacana
epistimologi bayani adalah bahwa tradisi keilmuan Islam belum mampu sepenuhnya
berkelit (membebaskan diri) dari pola keilmuan yang secara tradisional masih
terikat sepenuhnya pada sumber ajarannya, dimana peranan akal hanya sebagai
instrument pembantu. Padahal Akal dalam Islam ialah aktifitas penggunaan
kecendrungan alami manusia sendiri untuk memahami sesuatu yang ada
disekelilingnya secara sistematis dan mencocoki naluri logika pemberian Tuhan.Secara
khusus ia menunjuk disiplin fiqh dan kalam sebagai contoh dari kegiatan
keilmuan Islam yang sangat dipengaruhi oleh nalar kebahasaan (bayani) Arab ini.
Menurutnya bayani merupakan keindahan
dan kekuatan bahasa bagai sihir yang memukau
dan menolak model pemahanam orientalisme (Washil, 2013,
p. 108)
Berangkat dari realitas nalar arab yang
didominasi kelompok yang mendasari sumberepistemnya dengan bayani di atas,
Al-Jabiri menawarkan penggunaan epistem burhani terutama dalam aplikasinya
nanti dalam milihat teks yang dihadapkan dengan realitas permasalahan
sosio-historis. Dalam memperbandigkan ketiga epistem tersebut, Abid al-Jabiri
yang lahir dan mengenang era kolonialisasi, peperangan, dan pengalamannya
sebagai aktifis yang pernah dipenjara merasa telah cukup untuk meninggalkan
saat-saat dimana bangsa Ara menuai era kegelapannya. Bukan berarti menentang
dan menghilangkan kedua model episteme yang lain, melainkan menyeimbangkan
porsi yang selama ini tidak setara.
Bagaimana pun Heurmanetika al-Qur’an
adalah budaya linguistik yang merupakan bahasa atau media yang digunakan oleh
Tuhan untuk berkomunikasi dengan manusia. Oleh karena ia sebagai pelantara maka
kajian historis dan normatifitas bahasa sangat penting. Namun lebih rinci ada
tiga poin dari definisi al Jabiri atas al-Qur’an, pertama, al- Qur’an bukanlah
sama-sekali baru, namun merupakan penerus dari kitab sebelumnya yang menunjukan
kontinuitas seruan tuhan, kedua, bahwa ia tetap merupakan pristiwa ruhani, dan
ketiga, al-Qur’an menjadikan pembawanya sebagai mungdzir atau orang yang selalu
“mengingatkan” atas haq dan batil. (Barir, 2006,
p. 10)
Apa yang ditawarkan al-Jabiri berkaitan
dengan berbagai persoalan keagamaan umat Islam kontemporer ini, kurang lebih
adalah suatu ajakan untuk memikirkan secara kritis apa yang kita anggap sebagai
“rujukan” dan “cara merujuk”-nya. Dengan menggunakan perangkat analisis-kritik
wacana, al-Jabiri menawarkan perlunya suatu pembaruan pada dataran berbagai
teori-teori, seperti politik Islam dan lain sebagainya. Dan yang dibutuhkan di
sini adalah suatu kombinasi antara “kritik atas masa lalu” agar tidak terjadi
manipulasi sejarah untuk kepentingan sekarang, dan juga “kritik atas masa kini”
agar tidak muncul upaya penegasan identitas dan apologi dalam berhadapan
(dengan konsep-konsep) Barat yang dianggap asing. (Hayati, 2017,
p. 72)
b. Burhani
burhānī juga berasal dari bahasa Arab
yang berarti sebuah pembuktian. Burhānī merupakan suatu proses penalaran yang
mendorong memahami makna-makna ayat al-Qur’an dan dikontekstualisasikan dengan
realitas social, kondisi tempa dan waktu.. Aspek burhānī disebut sebagai
kelanjutan pemahaman pasca bayānī, yang membahas tentang sikap dan kaedah yang
digunakan para filosof dalam menghubungkan kesesuaian teks al- Qur’an dengan
konteks al-Qur’an. Menurut al-Jābirī, melaui aspek burhānī tersebut masyarakat
Arab mampu membuka kesadaran bersikap dalam berkomunikasi dengan
tradisi-tradisinya yang cenderung memenjarakan pemikiran mereka, yang justru
akal tersebut merupakan karunia Allah yang diberikan kepada umat manusia. (Zulfata, 2016, p. 326) Didalam bahasa arab Burhan diartikan al-hujjah al-fasilah
al-bayyinah artinya argumentasi yang definiif dan jelas dalam epistemologi
burhani adalah eksperimentasi akal dengan kerangka teoritis dalil-dalil logika
yang dalam. Episteme burhani ini dikenal dengan silogisme atau al-qiyas al-jami’
yang mengandalkan nalar dan eksperimentasi. Peran nalar antara lain dalam
melihat realitas adalah memproduksi pengetahuan dalam menyingkap sebab (idrak
as-sabab) atau menemukan hokum kausalitas dibalik sesuatu. Aristoteles yang
mengklasifikasikan sebab menjadi empat macam, yakni : materi, bentuk, pelaku,
tujuan. (Barir, 2006, p. 8)
epistimologi burhani ke tengah peradaban Arab-Islam dapat dikategorikan sebagi
upaya untuk menyelaraskan antara epistimologi burhani itu sendiri dengan
epistimologi bayani. (Khairina,
2016, p. 115)
Dalam perspektif logika, al burhan
adalah aktifis pikir yang menetapkan kebenaran sesuatu melalui metode penalaran
yang mengaitkan pengetahuan yang bukti-buktinya mendahului kebenaran, sedangkan
dalam pengertian umum, al burhan berarti aktifitas berfikir untuk menentukan
kebenaran sesuatu. (Fadhil, 2003, p. 105)
Prinsip ini sangat mengedepankan
potensi akal dan persepsi inderawi. Sementara dalam syari‘ah, menurutnya perlu
dibedakan antara apa yang bisa dijangkau oleh akal dan yang tidak bisa
dijangkau olehnya. Dan jika tidak ada nash, maka harus dicarikan dan dirumuskan
satu dalil atau pembuktian rasionalnya, yakni dengan cara meneliti secara
induktif teks-teks agama, lalu menarik satu keputusan hukum darinya untuk
kemudian dipakai sebagai satu dari kedua premis dalil tersebut. (Washil, 2013,
p. 107)
Jika sumber ilmu dari corak epistemologi
bayani adalah teks, maka epistemology burhani bersumber pada realitas, baik
realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari
tradisi burhani sebagi ilmu al-husuli, yakni ilmu yang dikonsep,disusun dan
disistemasasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq dan bukannya lewat
otoritas teks atau salaf dan bukan lewat otoritas intuisi. (Thariq, 2016,
p. 165) Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber
kajian, maka dalam pendekatan ini menjadi lebih memadai apabila dipergunakan
pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah),
kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah) (Fadhil, 2003, p. 111)
c. Irfani
Irfani diambil dari kata irfan yang
menurut bahasa berasal dari kata ‘arafa (mengetahui, mengerti). Kata irfan
searti dengan kata ma’rifah yang terkenal dikalangan ahli tasawauf yakni
pengertian yang mendalam pada hati dalam bentuk ilham atau sesuatu yang dapat
membuka tabir yang menutup hati. (Fadhil, 2003, p. 111)
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen
pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang
dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut
juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi
kashf dengan riyadah dan mujahadah.
Kata Irfani itu dikenal dalam kalangan sufi muslim (al-Mutasawwifah al-Islamiyyin) untuk
menunjukkan jenis pengetahuan yang paling luhur yang hadir di dalam kalbu
melalui kasyf atau ilham. kaum sufi membagi pengetahuan sesuai
dengantingkatannya: burhaniyah, bayaniyah, dan irfaniyah, sebagaimana disebut
dalam qur’an dimana kata yaqin dipersandingkan dengan kata haq (al-Waqiah: 95), ilm (al-Takatsur: 5), dan ain (al-Takatsur:7).(Zulfata, 2016, p. 327) Menurut Al-Jabiri, nalar ini bersumber dan berawal dari
tradisi pemikiran Syi‘ah, yang sistem pengetahuannya berdasar pada ‘irfan atau
gnosis-mistis dan banyak memanfaatkan tradisi-tradisi pemikiran pra-Islam,
khususnya filsafat Agama Hermetisisme.
Kritik lain al-Jabiri adalah bahwa pengetahuan irfani bersifat irrasional anti
kritikpenalaran. Metode yang digunakan adalah paradoksal, segala-galanya serba
superior, bisa dicipta tanpa harus melalui sebab-sebab yang mendahuluinya.
Pembuktian pengetahuan yang hanya bersifat inter-subyektif bahwa kebenarannya
hanya dapat dibuktikan melalui pemahaman atau pengalaman dari subyek. Akibatnya
adalah pemikiran para sufi kehilangan dimensi kritis dan ia besifat magis (Magic thinking) yang menjadi salah satu
factor atau sebab kemunduran pola pikir umat Islam. (Jamhari, 2017, p. 30)
Menurut al-Jabiri, ‘irfani dibagi
menjadi dua yaitu ‘irfan sebagai sikap dan teori. Sebagai sikap ‘irfani
merupakan pandangan seseorang terhadap dunia secara umum. Secara umum sikap ini
lebih cenderung lari dari dunia dan menyerah pada hukum positif manusia, bahkan
cnderung pada mementingkan individu. Irfan sebagai sikap dan teorilah yang
mewarnai dan mempengaruhi pemikiran kalangan ‘irfaniyah di dalam dunia Islam,
di mana kecenderungan pemikiran mereka dapat dibagi ke dalam tiga tipe:
Pertama, pemikiran yang melebihkan sikap ‘irfani sebagai pertahanan diri dan
dapat di tentukan pada kalangan sufi. Kedua, lebih mengedepankan watak
filosofis ini, misalnya saja diwakili oleh mereka yang mengembangkan tasawuf
filsafi seperti Ibnu Arabi dengan konsep kebahagiannya dan Ibnu Sina dengan
teori filsafat isyraqiyah. Ketiga, lebih mengedepankan dimensi mistis, ini
banyak ditemukan di kalangan para filsuf Islamiyah (Khairina, 2016, p. 113)
Mengenai nalar ini, Al-Jabiri dengan
tegas menyatakan penolakannya. Salah satu tokoh yang dianggapnya sebagai
representasi dari pengikut nalar ini adalah al-Ghazali. Menurutnya, tokoh
seperti al-Ghazali harus ditinggalkan karena ia telah mencampuradukkan antara
ajaran Islam dan gnostisisme Persia
yang diambilnya dari Ibnu Sina. Kesuksesan tasawuf al-Ghazali sehingga diterima
sebagai sebuah ajaran yang ortodoks adalah karena strateginya yang cerdik,
yakni memasukkan tasawuf melalui pintu fiqh, sebuah pintu ortodoksi yang tak
seorang pun dapat menyangkalnya Lebih tegas ia menyatakan: Dulu tasawuf ditolak
oleh para ulama dan fuqaha yang berpegang teguh pada watak asli dari agama
Islam, karena mereka melihat di dalam tasawuf itu ada sesuatu yang asing yang
diimpor dari Persia dan tidak selaras dengan ajaran Islam yang berpijak pada
kesederhanaan dan fitrah. Ketika Ibnu Sina membangun ulang metafisika
iluminasionis dan mencatnya dengan cat Islam, maka al-Ghazali pun mengambilnya
untuk diajukan sebagai penggganti filsafat Aristoteles. Karena al-Ghazali
membangun aliran Asy‘ari, maka ia pun menyebarkan barang asing itu dengan nama
-Tasawuf Sunni,‖ sebuah nama yang kontradiktif dan rancu karena Rasulullah
tidak pernah mengenal tasawuf dan dia bukanlah seorang suf wacana al-Qur‘an adalah
wacana akal, bukan wacana gnostik, ‗irfan atau iluminasi (Washil, 2013, p. 109)
Al-Jabiri sepenuhnya menolak epistemologi ‘irfani, karena
menurutnya, ‘irfani justru menggerogoti bayani dari dalam,
yang terlihat dengan terang (misal) dalam hal
metode qiyas dan syatahat-nya yang menegasikan kaidah-kaidah
dasar bayani. (akhiles, 2012)
Al-Irfan adalah fenomena epistem
pengetahuan yang dikenal oleh agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, dan
Islam bahkan oleh agama-agama pagan. (Barir, 2006, p. 8) Jika sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi bayani
adalah ‘teks’ (wahyu), dan epistemologi burhani bersumber pada realitas, maka
sumber pokok ilmu pengetahuan dalamtradisi berpikir ‘irfani adalah experience
(pengalaman). Melalui pendekatan irfani, makna hakekat atau makna terdalam dibalik
teks dan konteks dapat diketahui. Jika asumsi dasar atau paradigma bayani lebih
melihat teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan, paradigma irfani lebih melihat
teks sebagai sebuah simbol dan isyarat yang menuntut pembacaan danpenggalian
makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersebut dengan
melibatkan kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual,
dan irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan. (Thariq, 2016, p. 166)
Pada
akhirnya, upaya komparatif terhadap tiga epistimologi, baik bayani, burhani dan
irfani, maka dapat ditarik benang merah bahwa epistimplogi bayani menekankan
kajian dari teks (nash) ijma’ dan
ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjastifikasi aqidah tertentu.
Sedang ‘irfani dibangun di atas semangat instuisi (kashf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-waliyah) yang inheren dengan ajaran kesatuan Tuhan. Sedangkan
epistimologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara
naluriah, inderawi, eksprimentasi dan konseptualisasi (referensi/keaktifan
akal). (Jamhari, 2017,
p. 27)
Sistem
Bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada teks, dengan menggunakan
kaidah bahasa Arab semacam nahwu dan sharaf. Kedua, berpegang pada makna teks
dengan menggunakan logika atau penalaran sebagai sarana analisis. Irfani
Secara bahasa Irfani berarti mengetahui. Kata ini sering digunakan dalam
diskurus tasawuf sebagai istilah untuk menunjukkan suatu bentuk pengetahuan
intuitif yang didasarkan pada penyingkapan secara langsung. Pengetahuan Irfani
tidak didasarkan pada teks melainkan penyingkapan terhadap rahasia-rahasia
realitas Tuhan. Oleh karenanya, pengetahuan Irfani tidak diperoleh dari analisa
teks, akan tetapi melalui jalur ruhani, melalui kesucian hati. Diharapkan Tuhan
akan memberikan ilmunya dengan mudah. Burhani Secara epistemologi nalar
Burhani bersandar pada kemampuan alamiah atau realitas dan empiris. (Justisia)
d. Ilmu dan Politik
Pembahasan Ābid al-Jābirī terkait
kajian ilmu dan politik cenderung memahami proses kepemimpinan Nabi Muhammad
Saw di wilayah Madinah. Ābid al-Jābirī memaparkan hasil dari kebijakan yang
terjadi pada masa kepemimpinan oleh Nabi Muhammad Saw. Hasil-hasil kebijakan
tersebut diantaranya, regulasi
kemajemukan suku, karakter, kepentingan, dan kesatuan umat manusia. Wilayah
Madinah dalam pemahaman Ābid al-Jābirī merupakan salah satu daerah yang
dijadikannya sampel untuk mengkumandangkan bahwa bangsa Arab itu besar dan
berwibawa. Fakta sosial yang terjadi pada bangsa Arab yang dimaksudkan oleh
Ābid al-Jābirī seiring perubahan waktu mengalami kemunduran yang drastis. (Zulfata, 2016,
p. 327)
C. Penutup
Pemikiran Ābid al-Jābirī berangkat dari
landasan epistemologi yang bersifat integratif. Hal ini terbukti ketika proses
kritik fakta sejarah bangsa Arab yang dikembangkannya berangkat dari pendekatan
bayānī, burhānī dan ‘irfānī. Dan mengelompokan nalar Arab ini ke dalam tiga
kelompok: nalar burhani (episteme rasional yang berasal dari Yunani), bayani
(episteme bahasa yang berasal dari kebudayaan Arab), dan nalar „irfani
(episteme gnosis yang berasal dari tradisi Persia dan Hermetis) (Faisol, 2010,
p. 358) bahwa masalah metodologi ataupendekatan merupakan hal yang
selalu menjadi lokus kecurigaan dalam sejarah intelektual Islam kontemporer.
Pemikiran Al-Jabiridipertanyakan oleh sebagian yang lain karena ia telah
menggunakan teori-teori atau pendekatan yang diimpor dari dunia Barat. Di sini,
antara memanfaatkan teori-teori modern
dan tetap berpijak pada warisan intlektual sendiri menjadi persoalan yang
selalu dihadapi oleh pemikiran Islam kontemporer. Ini mungkin menjadi problem
mendasar yang dihadapi oleh umat Islam dalam menyikapi pemikiran Islam
kontemporer. Dan erkembangan budaya di suatu daerah yang mampu menentukan
berkualitas atau tidaknya perkembangan ilmu pengetahuan di suatu daerah
tersebut. (Zulfata, 2016, p. 321)
Argumentasi tersebut secara implisit ingin menjelaskan bahwa nilai-nilai
kebudayaan suatu daerah sangat berperan penting dalam menciptakan kualitas ilmu
pengetahuan yang akan diaplikasikan oleh masyarakatnya, dan tentunya keterpengaruhan
tersebut dapat membentuk kepribadian masyarakatnya.
Daftar Pustaka
Abbas, N. (2016). AL-Jabiri dan
Kritik Nalar Arab (Sebuah Reformasi Pemikiran Islam).
Abdullah.
(2013). Kritik Nalar Arab: Tinjauan Kritis atas Pemikiran Muhammad ‘Abid
al-Jâbirî. Jurnal Diskirsus Islam.
akhiles, e.
(2012, Maret 6). kompasiana. Retrieved from www.kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/edi_akhiles/551098838133117e3cbc6576/kritik-nalar-arab-muhammad-abed-al-jabiri
Aziz, J. A.
(2015). Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid Al-Jabiri Telaah terhadap Buku
al-‘Aql al-Siyâsi al-‘Arabî:. Jurnal Miqoot, 115.
Barir, M.
(2006). Hermeneutika Abid al-Jabiri (al-Fasl, al-Washl dan Ashalah an-Nash). Agam
dan Filsafat.
Fadhil, I.
(2003). Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam.
Faisol, M.
(2010). Struktur Nalar Arab-Islam. Jurnal Tsaqafah.
Hayati, N.
(2017). Epistomologi Pemikiran Islam Abid- Al-Jabiri dan Implikasi Bagi
Pemikiran Islam. JURN ISLAM REALITAS: Journal of Islamic & Social
Studies.
Jamhari. (2017).
Kontribusi Metodologis Muhammad Abed Al-Jabiri Dalam Studi Islam. Jurnal
El-Fikr.
Justisia.
(n.d.). NUonline. Retrieved from www.nu.or.id: Sumber:
https://www.nu.or.id/post/read/90618/membedah-pemikiran-muhamad-abed-al-jabiri
Khairina, A. I.
(2016). Kritik Epistomologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri. Jurnal Studi
Agama.
Musyafa'ah, N.
(2009). Filsafat Etismologi Islam Muhammad Abid Al-Jabiri. Jurnal Keislaman .
Putra, D. H.
(2019). Konsep Syariah Dan Implikasinya Terhadap Masalah HAM (Studi
Pemikiran Abid Al-Jabiri dan Abdullah Ahmed An Naim). Yogyakarta.
Rofiq, M.
(2017). Arab political reasoning:Muhammad Abid al-Jabiri’s contribution for
understanding crisisof politics in the Arab world. Indonesian Journal of
Islam and Muslim Societies.
Supaat. (2008). Muhammad
Abid Al-Jabiri ( Studi Pemikirannya Tentang Tradisi/Turas). Yogyakarta:
Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Thariq, M.
(2016). Interleasasi Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri dalam Pendidikan Islam. Proceeding
of International Conference On Islamic Epistemology.
Washil, I.
(2013). Dilema Tradisi Dan Modernitas Telaah Atas "Kritik NalarArab"
Muhammad Abid Al-Jabiri. Jurnal Khatulistiwa.
Zulfata. (2016). Gagasan Formasi Nalar Arab Ābid Al-Jabiri. Jurnal Islam Fantura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar