Iklan

Selasa, 11 Juni 2024

Jurnal Artikel Konsep Pemikiran Kahlil Gibran

Konsep Pemikiran Kahlil Gibran


Abstrak

Kahlil Gibran bukan hanya sekadar seorang sastrawan ataupun penyair, ia juga adalah seorang filosof kontemporer. Banyak orang mengenal Kahlil Gibran sebagai seorang penyair yang berasal dari Libanon yang menetap di Boston, Amerika Serikat. Pikiran dan ide ide Gibran sebenarnya sangat filosofis dan penuh makna, namun karena dituangkan dalam bahasa puitis yang indah, akhirnya disukai banyak orang. Di sisi lain, gaya tutur Gibran yang sering memakai parabel dan aforisma membuat orang lebih cepat paham meskipun tema kajian yang diangkatnya adalah dimensi esoteris dan mistis. Dalam analisisnya penulis melihat visi dan persepsi Gibran secara utuh terhadap tema-tema universal dalam kehidupan, termasuk tentang cinta, bisa dikatakan bahwa Gibran adalah seorang yang berpandangan tajam dan bening dalam menangkap realitas disekitarnya. Bahkan seringkali demi menunjukkan kebenaran potret realitas yang ditangkapnya itu, Gibran tidak segan-segan untuk mendobrak tatanan yang berlaku dan aturan yang "disepakati, sampai kepada hal-hal yang kecil seperti penggunaan tata bahasa. Inilah agaknya yang membuat Gibran harus menyandang gelar The Heretic dan The Rebellious. Gaya semacam ini ternyata kemudian diikuti dan memberi inspirasi bagi banyak penulis dan pemikir lain setelah dirinya.

Kata kunci: Gibran, pemikiran, cinta

A.    Biografi Kahlil Gibran

Gibran Kahlil Gibran lahir pada 6 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove di tepian Wadi Qadisha (Lembah Kudus atau Lembah Suci), kota Beshari, Lebanon (Gibran, 2002). Gibran Kahlil Gibran, terkenal dengan sebutan Kahlil Gibran. Sedangkan namanya sendiri adalah Gibran. Nama Gibran ini sama dengan nama kakeknya. Pemberian nama dengan kakeknya semacam ini adalah merupakan tradisi orang Lebanon waktu itu (Faiz, 2004). Ayahnya bernama Kahlil Gibran, sebagaimana adat Lebanon waktu itu, nama Gibran sesuai dengan kakeknya dari garis keturunan ayahnya sehingga nama Gibran sama dengan nama ayahnya. Ibunya bernama Kamila Rahmeh, adalah puteri Estephen Rahmeh, seorang pemuka agama. Gibran anak pertama dari suami kedua Rahmeh dan dua adik wanitanya bernama Mariana dan Sultana, lalu ia juga memiliki saudara laki-laki yang usianya 6 tahun lebih tua disbanding dirinya yang bernama Peter dari suami pertama Rahmeh. Keluarga Kamila memiliki latar belakang religius yang menganut Kristen Maronite.

Pendidikan Gibran dimulai dengan belajar bahasa Arab dan bahasa Siria dari ibunya, ibunya ialah guru pertama bagi Gibran yang kelak banyak karyakarya Gibran terinspirasi dari sosok ibunya. Dia mengenalkan Gibran dengan kisah arab yang cukup terkenal tentang Harun Al-Rasyid, Kisah 10001 Malam. Ibunya merupakan kunci yang mendorongnya untuk mengembangkan kemampuan seni lukis, dan kemampuan dalam berimajinasi. Pada tahun 1894, Kamila, Gibran, Marinah dan Sultana dibawah pimpinan Peter menginjakkan kaki di Amerika dan langsung ke Boston, dimana penduduk asli Bsherri bersama orang-orang Syria membentuk koloni di China Town (Shiddieq, 1989).

Selama dua tahun belajar, Gibran menghabiskan waktunya di sekolah publik di wilayah Boston. Gibran selalu memperoleh nilai tertinggi diantara teman-teman Amerika nya. Setelah dua tahun sukses belajar di Amerika, Gibran kembali ke Libanon agar menguasai bahasa aslinya dan mengenal karya-karya orang Arab. Gibran mempelajari banyak hal penting di sekolah kebijaksanaan (Madrasah Al-Hikmah) yang kini terletak di Ashrafiet, Beirut.

Pada usia 18 tahun, Gibran lulus dari Al-Hikmah dengan sangat memuaskan. Didorong ingin memperoleh pengatahuan lebih banyak, Gibran memutuskan berangkat ke Paris. Disana ia memasuki Akademi Seni Rupa di Paris, belajar selama tiga tahun dibawah pengawasan dan bimbingan pematung Auguste Rodin (Shiddieq, 1989).

Pada tahun 1903, Saudaranya Sultana meninggal akibat penyakit TBC, disusul Peter pada tahun yang sama, saudara tercintanya yang membiayai seluruh kebutuhan pendidikannya. Tiga bulan berikutnya, Ibunya pulang ke pangkuan Tuhan. Meninggalnya sang Ibu, menghilangkan semangatnya karena Gibran begitu mencintainya. Selama bertahun-tahun tersebut, Gibran melukis, mendesain cover buku, dan menulis esai-esai pendek dalam bahasa Arab, serta merevisi ulang the prophet yang ditulisnya dalam bahasa Arab (Munir, 2005).

Sekitar tahun 1912, Gibran menetap di New York dimana Gibran menjadi warga kota tersebut sampai akhir hayatnya. Gibran dengan beberapa sastrawan lainnya, membentuk perkumpulan yang diberi nama “Lingkaran Ar-Rabithah” (The Pen-Bond) yang terdiri dari imigran Arab di Amerika, tujuannya adalah memodernisasikan sastra Arab dan melepaskan dari persyaratan tatanan bahasa Arab tradisional yang stagnant. Selama periode itu, Gibran mulai mengumpulkan dan merevisi ulang karyanya yaitu The Prophet yang membuat nama Gibran meluas baik di Timur Tengah maupun di Amerika Serikat.

Akhirnya setelah sekian lama perjalanan hidupnya pada bulan April 1931, kesehatan Gibran semakin memburuk. Ia hanya menghabiskan waktunya berbaring di tempat tidur, didampingi Mariana. Hari kesepuluh pada bulan April Gibran mengalmi koma, kemudian dibawa ke rumah sakit St. Vincent, di Seventh Avenue New York. Tepat pada jam 10.55 malam hari Gibran menghembuskan nafas terakhir di hadapan pendeta Maronit dan beberapa kerabat. Menurut Otopsi menunjukan bahwa penyebab kematian nya adalah TBC dan Sirosis Hati. Pada tanggal 23 bulan Juni jasad Gibran diberangkatkan menuju Lebanon, menyusuri rute yang dulu pernah mengantarkannya ke Amerika sebagai imigran dan meniti karier sebagai penyair besar. Keberangkatan itu dilepas oleh ratusan orang Boston dan New York, dan di antara para pengiring tersebut hadir mentri dalam negeri mewakili pejabat pemerintah, duta besar Prancis, para pejabat militer dan tokoh-tokoh berbagai agama. Keesokan harinya, dengan iring-iringan masyarakat yang mencapai lebih dari tujuh puluh kilometer jenazah Gibran dibawa dari Beirut ibukota Lebanon ke Beshari tempat kelahiran dari Kahlil Gibran (Munir, 2005).

B.    Konsep Pemikiran Kahlil Gibran

1.     Gibranisme

Pribadi yang introvert dan suka merenung adalah modal paling dasar yang mmebentuk pola pikir Gibran. Rasa kesendirian membuat Gibran tidak mudah terpengaruh situasi dan kondisi yang berkembang di sekitarnya, sehingga pikiran-pikirannya terkesan mandiri dan orisinil; di samping tentu saja pikiran-pikiran Gibran menjadi begitu jernih dan tajam saat menganalisa lingkungan sekitarnya.

Pada masa kecilnya saat tinggal di Libanon, setidaknya ada tiga kejadian penting yang bisa dijadikan referensi oleh Gibran dalam membentuk pola pikirnya. Tiga peristiwa itu adalah:

a.     Revolusi Perancis tahun 1789 menimbulkan berbagai kekacauan, banyak orang yang mengungsi ke daerah tempat Gibran tinggal; khususnya orang-orang Kristen dari sekte Jesuit. Orang-orang dari sekte ini membawa doktrin yang lebih ortodok dari sekte Maronit yang dianut oleh orang-orang di tempat Gibran tinggal, seperti larangan menikah bagi pendeta dan lain sejenisnya.

b.     Kesultanan Turki yang saaat itu menguasai Libanon, perlahan mulai menampakkan watak tiran. Hal itu disebabkan karena Turki mulai sering kalah perang dan terancam runtuh.

c.     Diresmikannya Terusan Suez yang menjadi jembatan bagi orang-orang Barat unutuk masuk ke Timur Tengah dan bahkan melakukan penjajahan. (Wolf, Ferris, & Sherfan, 1985)

Ide Gibran yang tidak memfokuskan diri untuk menjadi propagandis agama tertentu dan mencita-citakan perubahan total terhadap banyak tatanan nilai yang dianggapnya menyelewang, bahkan mencita-citakan penghapusan berbeagai batasan yang memilah-milah manusia, seperti politik, ekonomi, budaya, bahkan agama, dan menggantinya dengan satu kesatuan manusia dengan landasan cinta kasih, dianggap sebagai pengaruh dari Nietsche yang berpandangan serupa melalui teorinya tentang Ubermensch. Namun mereka yang menyanggahnya menyatakan bahwa konsep Gibran dan konsep Nietsche itu sangat berbeda. Kalau Nietsche dengan konsepnya itu ingin menunjukkan jalan bagi konsepnya yang lain, yakni kehendak alami manusia untuk berkuasa; sedangkan Gibran dengan konsepnya itu ingin mewujudkan satu tatanan masyarakat manusia yang benar-benar harmonis atas dasar cinta (Khalid, 1993).

Sementara itu tampaknya pendidikan formal kurang begitu memengaruhi pola pikir Gibran, karena ternyata pendidikan formal yang tinggi justru didapat Gibran dalam bidang seni lukis saat ia pergi ke Perancis untuk belajar seni rupa di sana. Pergaulannya dengan pada seniman Boston agaknya lebih memberi pengaruh dari pada pendidikan formalnya. Para seniman itulah yang membuka cakrawala wawasan bagi Gibran tentang banyak hal. Mulai dari buku-buku, temen diskusi, sampaiteman yang mau menjadi sponsor dalam berkarya, didapat Gibran dari teman-temannya ini. Konon saaat tinggal di Boston, di sana sedang dilanda The Miystic Atmosphere of Oriental Circle dengan jargonnya yang utama adalah ‘menuju kesunyian’. Tentu saja kondisi ini amat sesuai dengan karakter Gibran yang introvert sehingga membuatnya menjadi seorang ang penyendiri.

Gibran memiliki gaya penulisan dan gaya ungkapan yang amat khas dan menarik, hal itu pada akhirnya membuta banyak penulis sesudahnya mengikuti gayanya dalam menulis dan mnegungkapkan ide, khususnya para anggota Rabithah al-Qalamiyah yang pernah diketuai Gibran. Di antara mereka itu misalnya adalah Elia Abi Mahdi, Nassib Aridha, Fauzi al-Ma'luf, serta Mikhail Nu'aimi. Corak dan gaya penulisan inilah yang nantinya disebut sebagai Jubraniyah atau Gibranisme.

Gibranisme ini memiliki tiga ciri khas, yakni:

a.     Romantisisme, yakni kecenderungan terhadap kehidupan alami, sesuai fitrah dan kodrat, tempat perasaan dipakai sebagai dasar utamanya dan menganalisa segala sesuatu dalam keindahannya

b.     Memakai gaya simbolis dan kiasan dalam membahas dan khususnya dalam mengkritik sesuatu

c.     Tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan baku tata bahasa dalam mengungkapkan ide, sebagaimana ciri yang dimiliki para penyair

Sementara itu pikiran-pikiran filsfat Gibran kurang begitu diperhatikan orang sebelum terbit bukunya The Prophet. Hal ini bisa dimaklumi karena sebelum The prophet tulisan-tulisan Gibran kebanyakan berupa aforisma dan parabel dengan tema tema yang beragam, sehingga pikiran-pikiran filosofisnya sulit dideteksi dan belum tersusun secara sistematis. Sebenarnya, menurut Yusuf Hawaik, teman sejawat Gibran, sebelum menulis atau melukis, Gibran selalu memperhatikan makna filosofis di balik lukisan atau tulisan yang akan disampaikannya kepada khalayak itu.

Sejak terbitnya The Prophet, Gibran mulai diperhitungkan sebagai filosof. Hal ini mungkin dikarenakan The Prophet disusun dengan bahasa yang tidak begitu sukar, namun mengandung makna yang amat dalam tentang berbagai hal. Di samping itu, The Prophet juga membahas tema-tema besar kefilsafatan seperti tentang Tuhan, kematian, kebahagiaan dan lain sebagainya. Keistimewaan dari sistem filsafat Gibran adalah kemahirannya dalam menyatukan antara sastra dan filsafat, sya'ir dan hikmah, perasaan dan akal, serta seni dan ilmu. 

Dari berbagai tulisannya, sebenarnya banyak tema-tema filsafat yang dibahas oleh Gibran dan rumusan-rumusan pikiran filosofisnya itu amat manarik untuk dikaji. Di antara rumusan-rumusan kefilsafatan yang menarik itu misalnya tentang kritik sosial yang khas dengan anjuran untuk kebebasan dalam kelas-kelas masyarakat, dalam beragama, serta dalam cinta dan etika; tentang manusia yang seharusnya menuruti fitrah kehidupannya; tentang hubungan kesatuan antara Tuhan dan makhluk-Nya; tentang kehidupan tasawwuf yang menolak kehidupan uzlah dan menyendiri untuk tujuan beribadah kepada Tuhan; dan lain sebagainya.

Menilik pikiran-pikiran Gibran yang lebih menekankan keberadaan manusia di dunia, serta menekankan sisi kemanusiaan, martabat dan keluhuran manusia sebagai makhluk Tuhan, Gibran sering dianggap sebagai filosof eksistensialis. Pikiran-pikiran eksistensialis khas Gibran itu sering disebut orang sebagai "eksistensialis sayap kanan". Sikap sebagai seorang eksistensialis syap kanan ini tercermin dalam tiga bukunya: The Prophet yang berisi hubungan antara manusia dan sesamanya, The Earth God yang berisi hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dan The garden of the Prophet yang memuat hubungan antara manusia dan alam.

Gibran berpendapat bahwa manusia sebagai makhluk yang kompleks, ditandai oleh suatu dualisme dasar, yaitu disatu pihak manusia sebagai makhluk Tuhan, dan di lain pihak ia adalah hasil dari alamnya. Untuk menanggapi masalah ini, ada dua hal yang perlu digaris bawahi: Pertama, untuk bertahan sebagai makhluk yang hidup, maka manusia dihadapkan pada keharusan-keharusan yang dianut oleh alam demi kelanjutan hidupnya. Kedua, kenyataan bahwa manusia hidup bersama manusia-manusia yang lain. Gibran menganggap bahwa hidup bermasyarakat ini lebih terasa dan penting peranannya dibandingkan keharusan yang ditimbulkan oleh kodrat alamiah meskipun dasar relasi antar manusia itu pun harusnya berbasis kondisi natural manusia itu sendiri. 

2.     Cinta sebagai dasar eksistensial manusia

Corak pemikiran eksistensialis Gibran ini agaknya berlaku juga dalam visi Gibran terhadap cinta. Bagi Gibran jika dilihat dari tulisan-tulisannya tentang cinta secara umum cinta haruslah inenjadi dasar keberadaan manusia di bumi. Cinta merupakan fitrah yang manusiawi dan menjamin eksistensi manusia dalam kemanusiaannya.

Dalam pandangan Gibran; baginya, esensi eksistensi yang sesungguhnya adalah cinta; dalam esai The Victoria menyatakan : "Cinta: engkau adalah badanku”; dalam Novel Broken Wings ia menyatakan bahwa cinta adalah “hukum alam", yaitu raison d'etre eksistensi; dan dalam puisinya, Song of Love ia menyatakan bahwa cinta merupakan esensi alam, manusia dan peristiwa-peristiwa historis. Dunia dibimbing oleh prinsip-prinsip cinta. Cinta melahirkan, memproduksi bahkan kadang-kadang merusak kehidupan, namun senantiasa memelihara dunia dalam keabadiannya (Ghougassian, 2002).

Pandangan Gibran ini agaknya senada dengan pandangan Erich Fromm yang menyatakan bahwa cinta itu menjadi dasar eksistensi manusia. Hanya saja, Fromm menyebut landasan yang agak berbeda dengan Gibran, karena bagi Fromm cinta menjadi dasar eksistensi manusia karena cinta membebaskan manusia dari keterasingan, kecemasan dan kesendirian. Manusia membutuhkan yang diluar dirinya dalam kehidupan ini, dimana tanpa yang di luar dirinya itu manusia tidak bisa menemukan eksistensinya sendiri (Fromm, 1990). Pendapat yang sama meskipun tidak tepat seperti itu juga dikemukakan oleh para filosof eksistensialis seperti Karl jasper dan Gabriel Marcel, termasuk dalam hal ini adalah Iqbal, sang filosof muslim. 

Bagi Gibran sendiri, keberadaan cinta sebagai dasar eksistensi manusia itu tidak sebatas karena ia kodrat atau fitrah manusia, tetapi sekaligus karena dalam cintalah manusia menemukan dimensi kesejatian hidup yang layak dipercayai dan diikuti, karena cinta mengandung ketulusan, kemerdekaan, penyucian dan sekaligus keindahan. Kompleksitas kehidupan manusia, baik yang lahir maupun batin, dapat dimuat oleh cinta. Cinta menggambarkan warna-warni indahnya hati yang mencintai dan dicintai sekaligus mewujudkan diri dalam hubugan fisikal yang juga indah dan menyentuh rasa serta rasio. Satu kondisi yang tidak ditemukan dalam aturan dan dimensi kemanusiaan manapun.

Bagi Gibran, cinta itu berasal dan akan kembali ke Tuhan, bahkan cinta berada dalam Tuhan dan merupakan bagian dari diri' Tuhan itu sendiri, seperti yang sering dikatakan orang bahwasanya Tuhan adalah Sang Maha Cinta. Dalam salah satu tulisannya Gibran berkata: "When you love you should not say: "God is in my heart," but rather, “I am in the heart of God." (Saat engkau mencinta, janganlah engkau berkata: “Tuhan di hatiku berada" tapi katakan saja: “Dalam Tuhan aku ada")

Apa yang dikatakan Gibran ini agaknya senada dengan konsep Para Mistikus dan Para Sufi dalam Islam dan dalam banyak doktrin lain yang senada bahwasanya pada dasarnya manusia dan segala makhluk ini adalah “bagian' dari diri Tuhan itu sendiri tempat makhluk itu ibaratnya pantulan dari realitas Tuhan bagaikan bayangan benda dalam cermin; benda itu adalah Tuhan dan bayangannya adalah makhluk. Pandangan serupa ini sering disebut sebagai Wahdat al-Wujud dengan tokoh-tokoh seperti Ibnu 'Arabi dan Abu Yazid Bustami.

Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa Cinta Tuhan kepada manusia dan segala makhluk itu tidak mengherankan dan suatu keniscayaan karena makhluk itu pada dasarnya adalah 'diri-Nya’sendiri, sementara cinta makhluk kepada Tuhan juga tidak mengherankan karena itu berarti satu cinta dan kerinduan untuk mencapai kesejatian dirinya, untuk mencapai kesempurnaan wujudnya.

Tuhan sendiri, memiliki gambaran yang khas dalam pandangan Gibran. Dalam buku “Taman Sang Nabi" (The Garden of The Prophet), melalui tokohnya, al-Mustafa, ia menggambarkan Tuhan sebagai teman tercinta, sebuah hati yang meliputi segala hati, suatu cinta yang mencakup segala cinta, suatu jiwa yang merangkup segala jiwa, suatu suara yang meliputi ssegala ssuara dan suatu keheningan yang lebih dalam dari semua keheningan, suatu keabadian. Dalam persoalan ini, Gibran tidak mempermasalahkan, agama apa dan Tuhan yang manakah yang dimaksudkannya. Agaknya Gibran memang tidak begitu memusingkan formalitas agama tertentu yang dipeluk seseorang; agama mana dan Tuhan apa yang paling benar. Ia menganggap perbedaan tersebut semacam perbedaan jalan dengan tujuan yang sama.

Dalam tulisan-tulisannya, Gibran hanya menyebut bagaimana konsep-konsep keagamaan yang menurutnya ideal, dan tidak jarang ia juga menyerang konsep-konsep keagamaan yang dianggapnya telah menyeleweng seperti keberagamaan yang memasung kemanusiaan, keberagamaan fanatis yang menyerang yang lain, keberagamaan yang menafikan cinta, perdamaian dan harmoni kehidupan, termasuk juga keberagamaan yang melanggar fitrah seperti kehidupan berpantang kawin yang dilakukan oleh sebagian pendeta Kristiani, meskipun secara formal Gibran adalah seorang Kristen. 

Pandangan Gibran yang tidak menunjuk Tuhan tertentu dan lebih menekankan kepada keutamaan manusia dan kebebasannya dalam bertindak secara benar menjalankan kehidupan, mungkin akan membuat banyak orang mengaitkannya dengan pikiran Nietsche bahwasanya “Tuhan sudah Mati" dan menyatakan kebebasan manusia dari berbagai aturan dan nilai yang berlaku. Namun jika melihat bahwa tujuan menentang berbagai aturan tersebut adalah demi menjaga martabat manusia dan kemanusiaan itu sendiri dengan menjadikan cinta sebagai landasannya, asumsi semacam itu patut dipertanyakan kembali.

Daftar Pustaka

Faiz, F. (2004). Filosofi Cinta Kahlil Gibran . Yogyakarta: CV. Qalam.

Fromm, E. (1990). Seni Mencinta. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Ghougassian, J. P. (2002). Sayap-sayap Pemikiran Kahlil Gibran. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Gibran, K. (2002). The Treasured Writings of Kahlil Gibran. In A. Kurnia, Nyanyian Cinta (p. 5). Bandung: Penerbit Diwan.

Khalid, G. (1993). Jubran al-Failasuf. Beirut: Muassanah Naufal.

Munir, M. (2005). Filsafat Kahlil Gibran: Humanisme Teistik. Yogyakarta: Paradigma.

Shiddieq, M. R. (1989). Potret Diri Khalil Gibran. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Wolf, M. L., Ferris, A. R., & Sherfan, A. D. (1985). The Treasured Writings of Kahlil Gibran. New York: Castle. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...