Konsep Pemikiran Kahlil Gibran
Abstrak
Kahlil Gibran
bukan hanya sekadar seorang sastrawan ataupun penyair, ia juga adalah seorang
filosof kontemporer. Banyak orang mengenal Kahlil Gibran sebagai seorang
penyair yang berasal dari Libanon yang menetap di Boston, Amerika Serikat.
Pikiran dan ide ide Gibran sebenarnya sangat filosofis dan penuh makna, namun
karena dituangkan dalam bahasa puitis yang indah, akhirnya disukai banyak
orang. Di sisi lain, gaya tutur Gibran yang sering memakai parabel dan aforisma
membuat orang lebih cepat paham meskipun tema kajian yang diangkatnya adalah
dimensi esoteris dan mistis. Dalam analisisnya penulis melihat visi dan persepsi
Gibran secara utuh terhadap tema-tema universal dalam kehidupan, termasuk
tentang cinta, bisa dikatakan bahwa Gibran adalah seorang yang berpandangan
tajam dan bening dalam menangkap realitas disekitarnya. Bahkan seringkali demi
menunjukkan kebenaran potret realitas yang ditangkapnya itu, Gibran tidak segan-segan
untuk mendobrak tatanan yang berlaku dan aturan yang "disepakati”, sampai kepada hal-hal yang kecil seperti penggunaan
tata bahasa. Inilah agaknya
yang membuat Gibran harus menyandang gelar The Heretic
dan The Rebellious. Gaya semacam ini ternyata kemudian diikuti dan memberi inspirasi bagi banyak penulis dan pemikir lain setelah dirinya.
Kata kunci: Gibran, pemikiran, cinta
A.
Biografi Kahlil Gibran
Gibran Kahlil Gibran lahir pada 6
Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove di tepian Wadi Qadisha (Lembah Kudus atau
Lembah Suci), kota Beshari, Lebanon
Pendidikan Gibran dimulai dengan
belajar bahasa Arab dan bahasa Siria dari ibunya, ibunya ialah guru pertama
bagi Gibran yang kelak banyak karyakarya Gibran terinspirasi dari sosok ibunya.
Dia mengenalkan Gibran dengan kisah arab yang cukup terkenal tentang Harun
Al-Rasyid, Kisah 10001 Malam. Ibunya merupakan kunci yang mendorongnya untuk
mengembangkan kemampuan seni lukis, dan kemampuan dalam berimajinasi. Pada
tahun 1894, Kamila, Gibran, Marinah dan Sultana dibawah pimpinan Peter
menginjakkan kaki di Amerika dan langsung ke Boston, dimana penduduk asli
Bsherri bersama orang-orang Syria membentuk koloni di China Town
Selama dua tahun belajar, Gibran
menghabiskan waktunya di sekolah publik di wilayah Boston. Gibran selalu
memperoleh nilai tertinggi diantara teman-teman Amerika nya. Setelah dua tahun
sukses belajar di Amerika, Gibran kembali ke Libanon agar menguasai bahasa
aslinya dan mengenal karya-karya orang Arab. Gibran mempelajari banyak hal
penting di sekolah kebijaksanaan (Madrasah Al-Hikmah) yang kini terletak
di Ashrafiet, Beirut.
Pada usia 18 tahun, Gibran lulus
dari Al-Hikmah dengan sangat memuaskan. Didorong ingin memperoleh pengatahuan
lebih banyak, Gibran memutuskan berangkat ke Paris. Disana ia memasuki Akademi
Seni Rupa di Paris, belajar selama tiga tahun dibawah pengawasan dan bimbingan
pematung Auguste Rodin
Pada tahun 1903, Saudaranya Sultana
meninggal akibat penyakit TBC, disusul Peter pada tahun yang sama, saudara
tercintanya yang membiayai seluruh kebutuhan pendidikannya. Tiga bulan
berikutnya, Ibunya pulang ke pangkuan Tuhan. Meninggalnya sang Ibu,
menghilangkan semangatnya karena Gibran begitu mencintainya. Selama
bertahun-tahun tersebut, Gibran melukis, mendesain cover buku, dan
menulis esai-esai pendek dalam bahasa Arab, serta merevisi ulang the prophet
yang ditulisnya dalam bahasa Arab
Sekitar tahun 1912, Gibran menetap
di New York dimana Gibran menjadi warga kota tersebut sampai akhir hayatnya.
Gibran dengan beberapa sastrawan lainnya, membentuk perkumpulan yang diberi
nama “Lingkaran Ar-Rabithah” (The Pen-Bond) yang terdiri dari imigran Arab di
Amerika, tujuannya adalah memodernisasikan sastra Arab dan melepaskan dari
persyaratan tatanan bahasa Arab tradisional yang stagnant. Selama periode itu,
Gibran mulai mengumpulkan dan merevisi ulang karyanya yaitu The Prophet yang
membuat nama Gibran meluas baik di Timur Tengah maupun di Amerika Serikat.
Akhirnya setelah sekian lama
perjalanan hidupnya pada bulan April 1931, kesehatan Gibran semakin memburuk.
Ia hanya menghabiskan waktunya berbaring di tempat tidur, didampingi Mariana.
Hari kesepuluh pada bulan April Gibran mengalmi koma, kemudian dibawa ke rumah
sakit St. Vincent, di Seventh Avenue New York. Tepat pada jam 10.55 malam hari
Gibran menghembuskan nafas terakhir di hadapan pendeta Maronit dan beberapa
kerabat. Menurut Otopsi menunjukan bahwa penyebab kematian nya adalah TBC dan
Sirosis Hati. Pada tanggal 23 bulan Juni jasad Gibran diberangkatkan menuju
Lebanon, menyusuri rute yang dulu pernah mengantarkannya ke Amerika sebagai
imigran dan meniti karier sebagai penyair besar. Keberangkatan itu dilepas oleh
ratusan orang Boston dan New York, dan di antara para pengiring tersebut hadir
mentri dalam negeri mewakili pejabat pemerintah, duta besar Prancis, para
pejabat militer dan tokoh-tokoh berbagai agama. Keesokan harinya, dengan
iring-iringan masyarakat yang mencapai lebih dari tujuh puluh kilometer jenazah
Gibran dibawa dari Beirut ibukota Lebanon ke Beshari tempat kelahiran dari
Kahlil Gibran
B.
Konsep Pemikiran Kahlil Gibran
1.
Gibranisme
Pribadi yang introvert dan suka merenung adalah modal paling dasar
yang mmebentuk pola pikir Gibran. Rasa kesendirian membuat Gibran tidak mudah
terpengaruh situasi dan kondisi yang berkembang di sekitarnya, sehingga
pikiran-pikirannya terkesan mandiri dan orisinil; di samping tentu saja
pikiran-pikiran Gibran menjadi begitu jernih dan tajam saat menganalisa
lingkungan sekitarnya.
Pada masa kecilnya saat tinggal di Libanon, setidaknya ada tiga
kejadian penting yang bisa dijadikan referensi oleh Gibran dalam membentuk pola
pikirnya. Tiga peristiwa itu adalah:
a.
Revolusi Perancis tahun 1789 menimbulkan berbagai kekacauan, banyak
orang yang mengungsi ke daerah tempat Gibran tinggal; khususnya orang-orang
Kristen dari sekte Jesuit. Orang-orang dari sekte ini membawa doktrin yang
lebih ortodok dari sekte Maronit yang dianut oleh orang-orang di tempat Gibran
tinggal, seperti larangan menikah bagi pendeta dan lain sejenisnya.
b.
Kesultanan Turki yang saaat itu menguasai Libanon, perlahan mulai
menampakkan watak tiran. Hal itu disebabkan karena Turki mulai sering kalah
perang dan terancam runtuh.
c.
Diresmikannya Terusan Suez yang menjadi jembatan bagi orang-orang
Barat unutuk masuk ke Timur Tengah dan bahkan melakukan penjajahan.
Ide Gibran yang
tidak memfokuskan diri untuk menjadi propagandis agama tertentu dan
mencita-citakan perubahan total terhadap banyak tatanan nilai yang dianggapnya
menyelewang, bahkan mencita-citakan penghapusan berbeagai batasan yang
memilah-milah manusia, seperti politik, ekonomi, budaya, bahkan agama, dan
menggantinya dengan satu kesatuan manusia dengan landasan cinta kasih, dianggap
sebagai pengaruh dari Nietsche yang berpandangan serupa melalui teorinya
tentang Ubermensch. Namun mereka yang menyanggahnya menyatakan bahwa
konsep Gibran dan konsep Nietsche itu sangat berbeda. Kalau Nietsche dengan
konsepnya itu ingin menunjukkan jalan bagi konsepnya yang lain, yakni kehendak
alami manusia untuk berkuasa; sedangkan Gibran dengan konsepnya itu ingin
mewujudkan satu tatanan masyarakat manusia yang benar-benar harmonis atas dasar
cinta
Sementara itu
tampaknya pendidikan formal kurang begitu memengaruhi pola pikir Gibran, karena
ternyata pendidikan formal yang tinggi justru didapat Gibran dalam bidang seni
lukis saat ia pergi ke Perancis untuk belajar seni rupa di sana. Pergaulannya
dengan pada seniman Boston agaknya lebih memberi pengaruh dari pada pendidikan
formalnya. Para seniman itulah yang membuka cakrawala wawasan bagi Gibran
tentang banyak hal. Mulai dari buku-buku, temen diskusi, sampaiteman yang mau
menjadi sponsor dalam berkarya, didapat Gibran dari teman-temannya ini. Konon
saaat tinggal di Boston, di sana sedang dilanda The Miystic Atmosphere of
Oriental Circle dengan jargonnya yang utama adalah ‘menuju kesunyian’.
Tentu saja kondisi ini amat sesuai dengan karakter Gibran yang introvert
sehingga membuatnya menjadi seorang ang penyendiri.
Gibran memiliki
gaya penulisan dan gaya ungkapan yang amat khas dan menarik, hal itu pada
akhirnya membuta banyak penulis sesudahnya mengikuti gayanya dalam menulis dan
mnegungkapkan ide, khususnya para anggota Rabithah al-Qalamiyah yang
pernah diketuai Gibran. Di antara mereka itu misalnya adalah Elia Abi Mahdi,
Nassib Aridha, Fauzi al-Ma'luf, serta Mikhail Nu'aimi. Corak dan gaya penulisan
inilah yang nantinya disebut sebagai Jubraniyah atau Gibranisme.
Gibranisme ini
memiliki tiga ciri khas, yakni:
a.
Romantisisme, yakni kecenderungan terhadap kehidupan alami, sesuai
fitrah dan kodrat, tempat perasaan dipakai sebagai dasar utamanya dan
menganalisa segala sesuatu dalam keindahannya
b.
Memakai gaya simbolis dan kiasan dalam membahas dan khususnya
dalam mengkritik sesuatu
c.
Tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan baku tata bahasa dalam
mengungkapkan ide, sebagaimana ciri yang dimiliki para penyair
Sementara itu
pikiran-pikiran filsfat Gibran kurang begitu diperhatikan orang sebelum terbit
bukunya The Prophet. Hal ini bisa dimaklumi karena sebelum The
prophet tulisan-tulisan Gibran kebanyakan berupa aforisma dan parabel
dengan tema tema yang beragam, sehingga pikiran-pikiran filosofisnya
sulit dideteksi dan belum tersusun secara sistematis. Sebenarnya, menurut Yusuf
Hawaik, teman sejawat Gibran, sebelum menulis atau melukis, Gibran selalu
memperhatikan makna filosofis di balik lukisan atau tulisan yang akan
disampaikannya kepada khalayak itu.
Sejak terbitnya The Prophet, Gibran
mulai diperhitungkan sebagai filosof. Hal ini mungkin dikarenakan The
Prophet disusun dengan bahasa yang tidak begitu sukar, namun mengandung
makna yang amat dalam tentang berbagai hal. Di samping itu, The Prophet juga
membahas tema-tema besar kefilsafatan seperti tentang Tuhan, kematian,
kebahagiaan dan lain sebagainya. Keistimewaan dari sistem filsafat Gibran
adalah kemahirannya dalam menyatukan antara sastra dan filsafat, sya'ir dan
hikmah, perasaan dan akal, serta seni dan ilmu.
Dari berbagai tulisannya, sebenarnya banyak
tema-tema filsafat yang dibahas oleh Gibran dan rumusan-rumusan pikiran
filosofisnya itu amat manarik untuk dikaji. Di antara rumusan-rumusan
kefilsafatan yang menarik itu misalnya tentang kritik sosial yang khas dengan
anjuran untuk kebebasan dalam kelas-kelas masyarakat, dalam beragama,
serta dalam cinta dan etika; tentang manusia yang seharusnya menuruti fitrah
kehidupannya; tentang hubungan kesatuan antara Tuhan dan makhluk-Nya; tentang
kehidupan tasawwuf yang menolak kehidupan uzlah dan menyendiri
untuk tujuan beribadah kepada Tuhan; dan lain sebagainya.
Menilik
pikiran-pikiran Gibran yang lebih menekankan keberadaan manusia di dunia, serta
menekankan sisi kemanusiaan, martabat dan keluhuran manusia sebagai makhluk
Tuhan, Gibran sering dianggap sebagai filosof eksistensialis.
Pikiran-pikiran eksistensialis khas Gibran itu sering disebut orang sebagai
"eksistensialis sayap kanan". Sikap sebagai seorang eksistensialis
syap kanan ini tercermin dalam tiga bukunya: The Prophet yang berisi
hubungan antara manusia dan sesamanya, The Earth God yang berisi
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dan The garden of the Prophet yang
memuat hubungan antara manusia dan alam.
Gibran berpendapat bahwa manusia sebagai
makhluk yang kompleks, ditandai oleh suatu dualisme dasar, yaitu disatu pihak
manusia sebagai makhluk Tuhan, dan di lain pihak ia adalah hasil dari alamnya.
Untuk menanggapi masalah ini, ada dua hal yang perlu digaris
bawahi: Pertama, untuk bertahan sebagai makhluk yang hidup, maka
manusia dihadapkan pada keharusan-keharusan yang dianut oleh alam demi
kelanjutan hidupnya. Kedua, kenyataan bahwa manusia hidup bersama
manusia-manusia yang lain. Gibran menganggap bahwa hidup bermasyarakat ini
lebih terasa dan penting peranannya dibandingkan keharusan yang ditimbulkan
oleh kodrat alamiah meskipun dasar relasi antar manusia itu pun harusnya
berbasis kondisi natural manusia itu sendiri.
2.
Cinta sebagai dasar eksistensial manusia
Corak pemikiran eksistensialis Gibran ini agaknya berlaku juga
dalam visi Gibran terhadap cinta. Bagi Gibran jika dilihat dari
tulisan-tulisannya tentang cinta secara umum cinta haruslah inenjadi dasar
keberadaan manusia di bumi. Cinta merupakan fitrah yang manusiawi dan menjamin
eksistensi manusia dalam kemanusiaannya.
Dalam pandangan Gibran; baginya, esensi eksistensi yang sesungguhnya
adalah cinta; dalam esai The Victoria menyatakan : "Cinta: engkau
adalah badanku”; dalam Novel Broken Wings ia menyatakan bahwa cinta adalah
“hukum alam", yaitu raison d'etre eksistensi; dan dalam puisinya, Song
of Love ia menyatakan bahwa cinta merupakan esensi alam, manusia dan
peristiwa-peristiwa historis. Dunia dibimbing oleh prinsip-prinsip cinta. Cinta
melahirkan, memproduksi bahkan kadang-kadang merusak kehidupan, namun
senantiasa memelihara dunia dalam keabadiannya
Pandangan
Gibran ini agaknya senada dengan pandangan Erich Fromm yang menyatakan bahwa
cinta itu menjadi dasar eksistensi manusia. Hanya saja, Fromm menyebut landasan
yang agak berbeda dengan Gibran, karena bagi Fromm cinta menjadi dasar
eksistensi manusia karena cinta membebaskan manusia dari keterasingan,
kecemasan dan kesendirian. Manusia membutuhkan yang diluar dirinya dalam
kehidupan ini, dimana tanpa yang di luar dirinya itu manusia tidak bisa
menemukan eksistensinya sendiri
Bagi Gibran sendiri, keberadaan cinta sebagai dasar eksistensi
manusia itu tidak sebatas karena ia kodrat atau fitrah manusia, tetapi
sekaligus karena dalam cintalah manusia menemukan dimensi kesejatian hidup yang
layak dipercayai dan diikuti, karena cinta mengandung ketulusan,
kemerdekaan, penyucian dan sekaligus keindahan. Kompleksitas
kehidupan manusia, baik yang lahir maupun batin, dapat dimuat oleh cinta. Cinta
menggambarkan warna-warni indahnya hati yang mencintai dan dicintai
sekaligus mewujudkan diri dalam hubugan fisikal yang juga indah dan menyentuh
rasa serta rasio. Satu kondisi yang tidak ditemukan dalam aturan dan dimensi
kemanusiaan manapun.
Bagi Gibran, cinta itu berasal dan akan kembali ke Tuhan, bahkan
cinta berada dalam Tuhan dan merupakan bagian dari diri' Tuhan itu sendiri,
seperti yang sering dikatakan orang bahwasanya Tuhan adalah Sang Maha Cinta.
Dalam salah satu tulisannya Gibran berkata: "When you love you should
not say: "God is in my heart," but rather, “I am in the heart of
God." (Saat engkau mencinta, janganlah engkau berkata: “Tuhan di
hatiku berada" tapi katakan saja: “Dalam Tuhan aku ada")
Apa yang dikatakan Gibran ini agaknya senada dengan konsep Para
Mistikus dan Para Sufi dalam Islam dan dalam banyak doktrin lain yang senada
bahwasanya pada dasarnya manusia dan segala makhluk ini adalah “bagian' dari
diri Tuhan itu sendiri tempat makhluk itu ibaratnya pantulan dari realitas
Tuhan bagaikan bayangan benda dalam cermin; benda itu adalah Tuhan dan
bayangannya adalah makhluk. Pandangan serupa ini sering disebut sebagai Wahdat
al-Wujud dengan tokoh-tokoh seperti Ibnu 'Arabi dan Abu Yazid Bustami.
Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa Cinta Tuhan kepada
manusia dan segala makhluk itu tidak mengherankan dan suatu keniscayaan karena
makhluk itu pada dasarnya adalah 'diri-Nya’sendiri, sementara cinta makhluk
kepada Tuhan juga tidak mengherankan karena itu berarti satu cinta dan
kerinduan untuk mencapai kesejatian dirinya, untuk mencapai kesempurnaan
wujudnya.
Tuhan sendiri, memiliki gambaran yang khas dalam pandangan Gibran.
Dalam buku “Taman Sang Nabi" (The Garden of The Prophet), melalui
tokohnya, al-Mustafa, ia menggambarkan Tuhan sebagai teman tercinta, sebuah
hati yang meliputi segala hati, suatu cinta yang mencakup segala cinta, suatu
jiwa yang merangkup segala jiwa, suatu suara yang meliputi ssegala ssuara dan
suatu keheningan yang lebih dalam dari semua keheningan, suatu keabadian. Dalam
persoalan ini, Gibran tidak mempermasalahkan, agama apa dan Tuhan yang manakah
yang dimaksudkannya. Agaknya Gibran memang tidak begitu memusingkan formalitas
agama tertentu yang dipeluk seseorang; agama mana dan Tuhan apa yang paling
benar. Ia menganggap perbedaan tersebut semacam perbedaan jalan dengan tujuan
yang sama.
Dalam
tulisan-tulisannya, Gibran hanya menyebut bagaimana konsep-konsep keagamaan
yang menurutnya ideal, dan tidak jarang ia juga menyerang konsep-konsep
keagamaan yang dianggapnya telah menyeleweng seperti keberagamaan yang memasung
kemanusiaan, keberagamaan fanatis yang menyerang yang lain, keberagamaan yang
menafikan cinta, perdamaian dan harmoni kehidupan, termasuk juga keberagamaan
yang melanggar fitrah seperti kehidupan berpantang kawin yang dilakukan oleh
sebagian pendeta Kristiani, meskipun secara formal Gibran adalah seorang
Kristen.
Pandangan Gibran yang tidak menunjuk Tuhan tertentu dan lebih
menekankan kepada keutamaan manusia dan kebebasannya dalam bertindak secara
benar menjalankan kehidupan, mungkin akan membuat banyak orang mengaitkannya
dengan pikiran Nietsche bahwasanya “Tuhan sudah Mati" dan menyatakan
kebebasan manusia dari berbagai aturan dan nilai yang berlaku. Namun jika melihat
bahwa tujuan menentang berbagai aturan tersebut adalah demi menjaga martabat
manusia dan kemanusiaan itu sendiri dengan menjadikan cinta sebagai
landasannya, asumsi semacam itu patut dipertanyakan kembali.
Daftar Pustaka
Faiz, F. (2004). Filosofi Cinta Kahlil Gibran .
Yogyakarta: CV. Qalam.
Fromm, E. (1990). Seni Mencinta. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Ghougassian, J. P. (2002). Sayap-sayap Pemikiran Kahlil
Gibran. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Gibran, K. (2002). The Treasured Writings of Kahlil Gibran.
In A. Kurnia, Nyanyian Cinta (p. 5). Bandung: Penerbit Diwan.
Khalid, G. (1993). Jubran al-Failasuf. Beirut: Muassanah
Naufal.
Munir, M. (2005). Filsafat Kahlil Gibran: Humanisme
Teistik. Yogyakarta: Paradigma.
Shiddieq, M. R. (1989). Potret Diri Khalil Gibran. Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.
Wolf, M. L., Ferris, A. R., & Sherfan, A. D. (1985). The Treasured Writings of Kahlil Gibran. New York: Castle.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar