Kupas Tuntas Islam Pluralisme dan Liberalisme
Abstrak
Kehidupan
sosial-keagamaan yang terjadi di masyarakat senantiasa melahirkan banyak
permasalahan sebagai dampak dari adanya upaya perubahan di masyarakat. Seiring
dengan meningkatnya jumlah kasus permasalahan yang terkait dengan masalah
sosisal-keagamaan telah memunculkan kembali semangat Pluralisme agama dan
Liberalisme yang telah hadir dari sejak zaman Rasullullah Saw. Kedua paham
tersebut menyatakan kerelatifan kebenaran agama-agama di dunia, sehingga tidak
ada lagi pengakuan kebenaran secara mutlak yang dimiliki oleh setiap
agama,terutama Islam. Akibatnya, pluralisme dan Liberalisme ini menimbulkan
banyak keraguan di kalangan umat muslim terhadap Aqidah dan Syariat Islam, yang
kemudian manusia banyak menggantikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang
dihasilkan berdasarkan hasil pemikiran manusia semata. Alqurān
hadir sebagai petunjuk yang menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya. Islam
mengakui adanya pluralitas dalam beragama namun secara tegas Islam menolak
adanya Pluralisme.
Kata kunci: Islam, liberalisme, pluralisme, toleransi
A.
Pendahuluan
Kini Umat Muslim di Indonesia seakan
dibuat bingung dengan adanya paham-paham Liberal dan Pluralisme agama. Apalagi,
paham-paham tersebut diajarkan dan disebarkan oleh ulama-ulama besar yang aktif
di organisasi Islam yang banyak memberikan pengaruh terhadap kehidupan
keagamaan masyarakat. Masyarakat awam di Indonesia dengan mudahnya menerima
paham-paham tersebut yang sangat bertentangan sekali dengan keyakinan dalam
agama Islam. Selain itu juga terdapat ancaman besar bagi para anak nya yang
belajar Islam di kampus-kampus tertentu yang dijejali dengan kedua paham
tersebut oleh para profesor atau doktor di kampus tempat ia studi.
Tentunya hal ini menjadi ancaman serius
untuk umat muslim di Indonesia Maupun dunia, kedua paham ini merupakan musuh
halus yang paling berbahaya karena mereka hendak merusak keyakinan umat muslim.
Atas dasar itulah kami menyusun makalah
ini sebagai bentuk upaya kami dalam menyelamatkan aqidah masyarakat kita
sehingga tidak tersesat dalam keragu-raguannya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa makna sesungguhnya dari Pluralisme dan Liberalisme?
2. Bagaimana Sejarah perkembangan Pluralisme dan Liberalisme?
3. Benarkah Islam adalah satu-satunya agama yang benar?
4. Bagaimana Dampak Pluralisme dan Liberalisme dalam Islam?
C.
Metode
Penelitian
Penelitian tentang “Kupas Tuntas Pluralisme Islam dan Liberalisme”
menggunakan metode pengumpulan data kualitatif melalui analisis mengenai
beberapa dokumen berupa jurnal dan e-book yang berisi data dan fakta yang
actual mengenai
Pluralisme Islam dan Liberalisme. Kami juga menggunakan pendekatan
etnografi yang melibatkan pengamatan terhadap suatu kelompok dengan melihat tayangan di youtube
beberapa keterangan dari beberapa pihak yang bersangkutan mengenai perkembangan Pluralisme dan
Liberalisme. Kemudian dibagian akhir akan ditarik kesimpulan
menurut pemikiran kami.
D.
Hasil dan Pembahasan
1.
Makna
Pluralisme dan Liberalisme
B,
Simon (1996: 972) mengatakan bahwa dari berbagai kamus, kata pluralism (tanpa
agama), dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap keragaman kelompok, baik
yang bercorak ras, agama, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung
tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara
kelompok-kelompok tersebut. Kedua, doktrin yang memandang bahwa tidak
ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (Ryandi, 2013)
H, Adian (2005: 12) mengatakan menurut
MUI pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama, dan karenanya kebenaran agama adalah relatif; oleh sebab itu,
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar
sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk
agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. (Ryandi, 2013)
Kata pluralisme berasal dari kata plural yang
berarti bentuk jamak dan plurality yang berarti orang banyak. Dengan begitu
pengertian pluralisme bisa diartikan sebagai suatu faham yang mengakui
keberagaman dalam berbagai aspeknya, misalnya dalam bidang pemahaman agama,
kebudayaan dan geografis. Kemudian pluraisme agama menurut kelompok Islam
liberal semua agama benar dengan variasi, tingkatan, dan kadar kedalaman yang berbeda-beda
dalam menghayati jalan religius itu. (Samasudin, 2017)
H, Adian (2005: 339) mengatakan bahwa pluralisme
menjadi sebuah istilah yang disebut pluralisme agama (religious pluralism).
Istilah ini tidak bisa hanya sekedar dirujuk ke dalam kamus-kamus bahasa.
Walaupun secara dictionary meaningnya, terdapat makna pluralisme sebagai toleransi
atau sikap saling menghormati keunikan masing-masing. Pluralisme agama tidak
dapat dilepaskan dari para konseptornya. Ia merupakan sebuah paham tentang
bagaimana memandang pluralitas agama yang memandang semua agama sebanding
dengan agama-agama lainnya. (Ryandi, 2013)
Pluralisme
terdiri dari dua suku kata: jamak, yang berarti jamak, lebih dari satu,
dan isme, yang merupakan akhiran yang digunakan untuk membentuk kata benda,
dalam hal ini, terkait dengan keyakinan politik, sosial, atau ekonomi. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pluralisme mengacu
pada masyarakat majemuk (dengan sistem sosial dan politiknya).
Pluralitas agama menurut pandangan Islam adalah konsep yang harus
dipahami setiap Muslim untuk mengatasi masalah pluralitas, yang merupakan
bagian dari "sunnatullah" dan yang tidak dapat diubah oleh siapa pun.
Orang Muslim seharusnya tidak terlalu bingung oleh gagasan bahwa pluralisme
agama mengacu pada persamaan semua agama. Itu karena, pada dasarnya, penekanan
dalam pemahaman semacam itu adalah pada interaksi positif antara penganut agama
dengan masing-masing pihak mempertahankan iman mereka sendiri. Memahami konsep
sepenuhnya mustahil karena manusia tidak sempurna dan kesempurnaan hanya milik
Tuhan Yang Maha Esa. Karena Indonesia adalah negara multikultural, dengan
budaya, bahasa, dan agama yang berbeda, tentu saja tantangannya jauh lebih
kompleks untuk dihadapi.
Liberalisme adalah paham yang berusaha
memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme
merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita
lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan
pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir
dan bertindak sesuai dengan apa yang di inginkan. Liberalisme adalah paham pemikiran
yang optimistis tentang manusia. Prinsip-prinsip liberalisme adalah kebebasan
dan tanggungjawab. Tanpa adanya sikap tanggungjawab tatanan ma syarakat liberal
tak akan pernah terwujud. Menurut Ketua Dewan Syari’ah Nasional MUI liberalisme
adalah upaya memberikan penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama (Islam) di luar
dari kaidah-kaidah yang telah disepakati (qawā‘id al-tafsīr al-nushūsh). (Munawar, 2011).
2.
Sejarah
perkembangan Pluralisme dan Liberalisme
Menurut Muhyar Fanani (2003: 19) mengatakan munculnya pluralisme,
merupakan reaksi dan penolakan sebagian masyarakat terhadap konsepsi tentang
alam dan doktrin logis yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dianggap benar
jika memenuhi kriteria kebenaran logis. Dalam pandangan pluralisme, kriteria
kebenaran lainnya. Gagasan inilah yang dimajukan oleh Leibniz dan Russel, yang
menolak kriteria kebenaran. Dalam perkembangannya, pluralisme di Inggris
semakin populer pada awal abad ke 20, melalui para tokoh seperti F. Maitland,
S.G. Hobson, hrold Laski, R.H. Tawney dan GDH Cole dalam melawan keterasing- an
jiwa masyarakat modern karena tekanan kapitalisme. Oleh karena itu,
prinsip-prinsip pluralisme dianggap dapat menjawab permasalahan tersebut. Hal
ini karena, dengan pluralisme masalah-masalah yang terjadi memiliki banyak
alternatif penyelesaian. Dengan demikian, ide pluralisme berkembang seiring
dengan perkembangan situasi dan kondisi yang melingkupinya. John Hick, membagi
pluralisme agama menjadi empat macam kategori: pertama, pluralisme agama
normatif (nor- mative-religious pluralism), yaitu pluralisme agama yang menyeru
kepada semua pihak, khususnya umat Kristiani untuk menjalin hubungan yang harmonis
dengan agama lain, menjauhkan arogansi dan menyebarkan toleransi; kedua, pluralisme
agama soteriologis (soteriological-religious pluralism), yakni pluralisme yang
berpandangan bahwa selain umat Kristen juga bisa memperoleh keselamatan
Kristiani. Pluralisme agama ini merupakan lanjutan dari pluralisme
religius-normatif. Ketiga, pluralisme agama epistemologis (epistemological-religious
plu-ralism), yakni pluralisme agama yang menegaskan bahwa umat Kristiani tidak
memiliki pembenaran (justification) yang lebih mantap atas keimanan mereka
dibandingkan para penganut agama lain. Oleh karena itu para penganut
agama-agama besar di dunia ini memiliki kedudukan yang sama dalam konteks
justifikasi keyakinan agama yang menurut Hick paling tepat ditemukan dalam
pengalaman keagamaan (religious experience). Keempat, pluralisme agama aletis
(alethic-religious pluralism), yang menegaskan bahwa kebenaran agama harus
ditemukan dalam agama-agama selain Kristen dengan derajat yang sama sebagaimana
yang dapat ditemukan dalam agama Kristen.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
pluralisme merupakan pandangan yang meyakini banyak dan beragamnya hakikat
realitas kehidupan, termasuk realitas keberagamaan. Pluralisme agama diartikan
sebagai pandangan dan sikap bahwa hakikat agama di dunia ini tidak hanya satu
tetapi banyak atau beragam. Sejak akhir abad ke-18, pada umumnya negara-negara
Eropa mengakui kemajemukan agama dalam masyarakat dan menghilangkan
rintangan-rintangan sosio-politik bagi agama- agama. Secara filosofis,
pluralisme agama dapat diartikan seba- gai suatu teori yang merujuk pada
hubungan antara berbagai tradisi agama, perbedaan dan klaim-klaim kompetisinya.
Armstrong menyatakan bahwa agama-agama besar di dunia memiliki konsepsi yang
beragam tentang Tuhan. Dengan demikian, pluralisme telah menjadi sebuah
kenyataan sejarah yang menuntut pengakuan, dan karenanya menjadi perbincangan
tidak saja oleh para teolog tetapi juga para filosuf. Diskursus pluralisme oleh
para filosuf semisal John Locke (1634-1704), Leibniz (1646-1716), Hegel
(1770-1831) dan Rousseau (1712-1738), dilakukan untuk mengkritisi pertenta-
ngan dan kontroversi antara Gereja Anglikan dan Gereja Katolik, serta
kemunculan banyak denominasi (madhab) dalam Protestan. Sebab itulah, para
filosuf menggagas perlunya kebebasan beragama, tanpa ada dominasi dan saling
menindas sebagaimana dilakukan oleh kelompok mayoritas Katolik terhadap
minoritas Protestan di Perancis pada abad ke-17. Dengan menjunjung tinggi
kebebasan beragama, akan tercipta kehidupan yang aman, tidak ada penindasan,
kesewenang-wenangan dan ketidakharmonisan. Locke, mengangankan hal ini
sesungguhnya tidak didasarkan pada ajaran wahyu dan keimanannya, tetapi
berdasarkan pada logika dan argu- mentasi hukum kodrat dan rasionya.
Haryatmoko, merangkum ajaran toleransi dan kebebasan beragama yang digagas
Locke dalam tiga butir: 1) hanya ada satu jalan yang benar atau agama yang
benar; 2) tidak seorangpun yang akan diselamatkan bila tidak percaya kepada agama
yang benar; 3) kepercayaan ini didapat manusia melalui akal budi dan argumen,
bukan melalui kekuatan untuk mempropagandakan kebenaran dan keselamatan. Oleh
karena itu, tidak seorangpun, baik secara pribadi maupun kelompok dan bahkan
lewat kekuasaan institusi, memiliki hak menggunakan kekuatan untuk tujuan tersebut.
Senada dengan Locke, keprihatinan Leibniz terhadap realitas konflik
Katolik-Kristen yang melahirkan perang selama 30 tahun (1618-1648) mendorongnya
untuk berfikir tentang pluralisme. Dalam pandangan Leibniz, dunia ini terdiri
dari bagian-bagian kecil atau substansi-substansi sederhana yang disebut
monade. Setiap monade mencerminkan dunia secara keseluruhan dan universal. Oleh
karena itu, konflik, perang dan pertikaian berlawanan dengan harmoni universal
dunia ini. Menanggapi realitas perbedaan agama, Hegel memberikan usulan menarik
yang belakangan populer dengan teori dialektika. Bagi Hegel, perbedaan dan
kontradiksi harus di- pandang sebagai momen untuk menemukan kesadaran dan
identitas diri karena setiap perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang positif.
Menurut Raimundo Panikkar, pluralisme adalah bentuk pemahaman moderat yang
tujuannya menciptakan komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan
kesalahan timbal-balik antara budaya yang berbeda, seraya membiarkan mereka
berbicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam bahasa masing-masing.
Sementara menurutnya, pluralitas adalah keberagaman yang tidak saling menyapa
dan berhubungan serta merupakan lawan dari kesatuan monolitik. Dari penjelasan
tersebut, tampak jelas perbedaan antara pluralitas dan pluralisme agama.
Pluralitas agama adalah bagian dari fenomena sosial yang tidak dapat ditolak,
sedangkan pluralisme agama adalah aliran teologi yang akarnya dari Barat pada
abad ke-15 yaitu gerakan kaum Liberal Protestan dengan misi mereformasi
pemikiran agama. Meskipun pluralisme berasal dari Barat, tetapi sepanjang
berkaitan dengan spirit agama yang menuntun umat manusia untuk berlaku adil,
sebagaimana konsep hak asasi manusia (HAM) yang sudah diuniversalisasikan, maka
seharusnya dapat diterima semua komunitas umat beragama. Dalam diskursus
filsafat, pluralisme adalah sistem berfikir yang dilawankan dengan monisme.
Pluralisme beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah plural (banyak), sedangkan
monisme beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah tunggal. (Sumbulah & Nurjanah, 2012).
Pada dasarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh
sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam
yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi
perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Namun di sini penulis hanya
akan membahas asal-usul tersebut mulai dari penghujung millenium kedua.
Charless Kurzman menyebutkan bahwa
Islam liberal muncul sekitar abad ke-18 di kala kerajaan Turki Utsmani Dinasti
Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada di gerbang keruntuhan. Pada saat itu
tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan permurnian, kembali kepada
Al-Quran dan sunnah. Bersamaan dengan ini muncullah cikal bakal paham liberal
awal melalui Syah Waliyullah di India, 1703-1762, menurutnya Islam harus
mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan pcnduduknya. Hal ini
juga terjadi dikalangan Syi'ah. Ada Muhammad Bihbihani di Iran, 1790, mulai
berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Ide ini terus bergulir. Rifa'ah
Rafi' al-Tahtawi di Mesir, 1801-1873 memasukkan unsur-unsur Eropa dalam
pendidikan Islam. Sebelum dikirim ke Sorbonne, Perancis oleh Muhammad Ali, yang
saat itu menjadi kepala negara Mesir, Tahtawi adalah seorang tradisionalis. Dia
adalah salah seorang anggota delegasi pertama dari negara Muslim yang dikirim
ke Barat. Dari sini bisa dikatakan bahwa tradisi pengiriman Muslim ke Barat
adalah mengikuti tradisi tahtawi. Hampir semasa dengan Tahtawi, di Rusia muncul
Shihabuddin Marjani (1818-1889) dan Ahmad Makhdun di Bukhara, 1827-1897,
memasukkan mata pelajaran sekuler ke dalam kurikulum pendidikan Islam.
Di India ada Sir Sayyid Ahmad Khan
(1817-1918) yang membujuk kaum Muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama
dengan penjajah Inggris. Pada tahun 1877 ia membuka suatu kolese yang kemudian
menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku
The Spirit of Islam berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di
Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad adalah Pelopor
Agung Rasionalisme.
Di Mesir muncullah M. Abduh
(1849-1905) yang banyak mengadopsi pemikiran mu'tazilah berusaha menafsirkan
Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Abduh adalah murid al-Afghani
yang paling menonjol, tapi pengaruhnya melebihi gurunya karena latar belakang keagamaannya.
Muhammad Abduh dan Al-Afghani merupakan tokoh pembaruan Islam yang beraliran
liberal awal. Setelah revolusi Arab oleh murid-murid al-Afghani yang dipimpin
oleh Ahmad Arabi, saat itu Abduh jadi Syeikh al-Azhar, maka Abduh diasingkan ke
Beirut. Hasil revolusi Arab adalah Mesir dikendalikan oleh Inggris.
Setelah pulang dari pembuangan
karena bantuan Inggris, Abduh pindah haluan, dari revolusi menjadi reformasi
(modernisasi) yang intinya adalah: mendekatkan Islam dengan Barat atau
menundukkan (menyesuaikan) ajaran Islam dengan budaya dan peradaban Barat. Hal
ini telah dimulai oleh Abduh saat ia mendirikan lembaga pendekatan antara
agama-agama di Barat. Akhirnya atas petunjuk Konsul Inggris di Mesir, Abduh
diangkat jadi Mufti Mesir. Abduh memandang bahwa jihad yang ada dalam Islam
hanyalah membela diri, intinya ia ingin bermesraan dan bergandengan dengan
orang kafir, meskipun Mesir, negerinya sendiri dijajah para penyembah salib.
Abduh mempunyai program antara lain:
a. Mendekatkan
kaum muslimin dengan orang-orang Inggris yang sedang menjajah negerinya.
b. Memupus
semangat jihad agar hidup tenang tidak ada masalah.
c. Mengajak
kepada Nasionalis Mesir untuk memisahkan diri dari khilafah Islamiyah.
d. Kontekstualisasi
Islam agar sesuai dengan kehidupan modern dengan cara ta'wil dan tahrif.
e. Dakwah
kepada pembebasan wanita muslimah. Dalam hal ini Abduh dibantu oleh
murid-muridnya yang bernama Qasim amin (penulis buku Tahrir al-Marah, setelah
beberapa tahun ia menulis al-Mar‟ah al-Jadidah) dan Luthfi Sayyid dan oleh
sahabat-sahabatnya terutama Thaha Husen. Mereka itulah yang memelopori kelas
campur dalam program tinggi di Mesir.
Kebesaran Al-Afghani dan Abduh tidak
terlepas dari dua kekuatan yang ada di belakangnya, yaitu Masaniyah dan
penjajah. Perjuangan Abduh yang semula ingin membangun bendungan bagi umat
Islam agar tidak terkena terpaan gelombang sekularisme, ternyata menjadi jembatan
orang-orang sekularis.
Setelah Abduh ini kemudian muncul
Ali Abd. Raziq (1888-1966) yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam
tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad hanyalah pemimpin agama. Akibat
pemikirannya yang dianggap sangat kontroversial ini Raziq dipecat dari anggota
ulama Al-Azhar. Pemecatan dilakukan oleh Dewan Ulama terkemuka di Mesir yang
terdiri dari 19 orang. Pada saat pemecatan ini dikemukakan tuju butir kesalahan
yang dibuat oleh Raziq, yaitu:
a. Menjadikan
syariat Islam hanya sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan
pengaturan atau penatalaksanakan urusan duniawi.
b. Berpendapat
bahwa jihad yang dilakukan Rasulullah bertujuan untuk mencari kekuasaan
setingkat raja dan bukan untuk mensyiarkan agama ke seluruh dunia.
c. Menyatakan
bahwa lembaga pemerintahan di masa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau tidak
komplit dan membingungkan.
d. Berpendapat
bahwa tanggung jawab Muhammad (Rasulullah) hanya menyebarluaskan syariat tanpa
menjadi penguasa atau pemerintah.
e. Tidak
mengakui Ijama' (kesepakatan) para sahabat Rasulullah yang menetapkan umat
harus menunjuk seseorang untuk mengelola urusan keagamaan dan keduniaan serta
mengakui adanya kewajiban untuk mengangkat seorang imam.
f. Mengingkari
bahwa kehakiman merupakan fungsi syariat.
g. Berpendapat
bahwa pemerintahan Abu Bakar dan Khulafaur Rasyidin merupakan pemerintahan
sekuler.
Gagasan yang dianggap liberal dari
intelektual Mesir ini kemudian di diteruskan oleh Muhammad Khalafullah
(1926-1997) yang mengatatan bahwa yang dikehendaki oleh Alquran hanyalah sistem
demokrasi tidak yang lain. Intelektual lain yang mengikuti pendapat Ali Abd Raziq
ini antara lain Faraj Faudah, Wahid Raf'at, Fuad Zakaria, Luis Auwadh, Syibli
al Isami dan lain-lain.
Pada masa kontemporer, kalau kita
berbicara Islam liberal di dunia Arab muncul beberapa nama seperti Mohammed
Arkoun, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman dan Muhammad Abid Jabiri. Muhammad Arkoun
lahir di Al-jazair pada tahun 1928 kemudian menetap di Perancis. Ia menggagas
tafsir Alquran model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti
dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat
dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu
pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran
Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar Islam.
Perpindahan Arkoun dari Al-Jazair ke
Perancis, tepatnya di Sarbonne University karena pemikirannya dianggap terlalu
"kiri" sehingga dianggap membahayakan umat Islam di negerinya.
Sebenarnya yang mengalami ketakutan adalah rezim yang sedang berkuasa, yaitu
rezim otoriter militeristik.
Intelektual muslim yang juga pindah
ke Perancis adalah Hasan Hanafi. Hasan Hanafi terkenal dengan pemikirannya yang
tertuang dalam Al-Yasar Al-Islami (Kiri islam) yang menghebohkan secara
teoritis, sekalipun agak sulit secara praktis untuk diterapkan. Kasuo Shimogaki
dengan detail telah membahas pemikiran Hasan hanafi ini, yang dia kelompokkan
dalam pemikiran Post Modernis. Sementara Mohammed Arkoun dengan pemikiran
Re-Thingking Islam yang merupakan 24 pertanyaan atas Islam dan segala aspek
historisnya.
Di Pakistan muncul Fazlur Rahman
(lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas
Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil
dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan Alquran itu mengandung dua aspek: legal
spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh Alquran adalah ideal moralnya karena
itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.
Sementara itu Muhammad Abid
Al-jabiri merupakan intelektual Muslim yang bercorak liberal yang lahir di
Maroko. Karena perbedan pemikiran yang sangat tajam, ia harus bercerai dengan
isterinya. Pemikiran Al-Jabiri memang dianggap "membahayakan" oleh
ulama di negerinya.
Akhirnya gagasan Islam liberal ini
sampai ke Indonesia melalui murid Fazlu Rahman yaitu Nurcholish Madjid.
Nurcholis Madjid adalah murid dari Fazlur Rahman di Chicago yang memelopori
gerakan firqoh liberal bersama dengan Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman
Wahid. Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an.
Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama.
3.
Implikasi
Terhadap agama
Setiap agama mengajarkan
penganutnya untuk bersikap eksklusif terhadap agamanya. Bahkan semua agama baik
yang mengakui Tuhan maupun yang tidak mengakui Tuhan, termasuk aliran-aliran
ideologi modern. Mempunyai konsekuensi membentuk psikologi pengikutnya meyakini
agamanya adalah yang paling afdhal dan paling benar secara absolut dan
universal.
Contohnya, Agama Yahudi tidak mengakui Tuhan kecuali
Yahweh, yang diyakini sebagai Tuhan khusus untuk golongan Yahudi. Dalam
keyakinan Yahudi yang talmudik dan rasis, kaum non-Yahudi tak ada bedanya
beriman atau tidak beriman yakni tidak mungkin mereka keluar dari sebutan
gentiles yang kedudukannya tidak lebih tinggi dari hewan. Dalam Kristen
terdapat doktrin bahwa penyaliban Isa al-Masih sebagai penghapus dosa umat manusia,
yang darinya lahir doktrin dikenal dalam Katolik dengan ungkapan “tidak ada
keselamatan di luar Gereja (extra ecclesiam nulla salus) dan dalam Protestan
dikenal dengan ungkapan tidak ada keselamatan di luar Kristen (Extra Christos
nula salus). Dalam Islam, termaktub dalam nash al-Qur’an bahwa: “sesungguhnya agama
(yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali Imran: 19), juga
disebutkan: Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah dapat diterima (agama itu) dari padanya, dan ia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85). Dalam agama Hindu dikenal dengan
istilah “mokhsa” sebagai tujuan dan cita-cita akhir bagi semua pengikut agama
Hindu, yakni menyatunya ruh (union of soul) dengan Brahma setelah terbebas dari
proses reinkarnasi (death and rebirth) yang berulang-ulang kali (tanasukh
al-arwah). Sedangkan dalam agama Budha terdapat istilah “nirvana” yang dapat
diartikan pencerahan rohani (spiritual enlightenment) setelah terbebas secara
sempurna dari penderitaan (dukkha), yang tidak bisa dicapai kecuali mengikuti
ajaran-ajaran Budha yang dikenal dengan “the Middle Path” (ajaran jalan
tengah).
Jika demikian, pewacanaan pluralisme agama sebagai prinsip toleransi
justru malah menyerbu agama-agama dengan menggugat klaim kebenaran pada
masing-masing agama. Klaim pluralisme agama ini sangat “problematik” dan
membawa implikasi yang luar biasa berbahaya bagi manusia dan kehidupan religius
dan spiritualnya. Kenyataan ini pada akhirnya telah mengantarkan gagasan
pluralisme agama pada sebuah posisi yang sangat sulit untuk bisa menjawab
pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah gagasan
ini benar-benar mampu memberikan solusi yang toleran
dalam beragama, atau malah sejatinya lebih merupakan problem baru dalam
fenomena pluralitas keagamaan?
Dari itu, menurut Anis Malik
Thaha, sejatinya pluralisme agama bukanlah prinsip toleransi dalam beragama,
namun ajaran “demokrasi” dalam beragama yang mempunyai ciri dan karakteristik
sebagai berikut:
Pertama, kesetaraan atau persamaan
(equality), yang mengajarkan semua agama sama dan setara, tak ada yang paling
baik dan tak ada yang paling buruk.
Kedua, liberalisme dan kebebasan, yang
mengajarkan hak kebebasan beragama, dalam arti keluar-masuk agama.
Ketiga, relativisme, yang mengajarkan
kebenaran agama relatif.
Keempat, reduksionisme, yang
meredusir jati diri atau identitas agama-agama menjadi entitas yang lebih
sempit dan kecil, yakni sebagai urusan pribadi (private affairs). Dengan kata
lain berwatak sekuler.
Kelima, eksklusivisme, penyebaran
pluralisme agama sebagai paham yang anti-eksklusif, namun pada satu sisi ia
telah merampas dan menelanjangi agama-agama dari klaim kebenaran absolutnya,
sebenarnya ia telah memonopoli kebenaran tersebut dan mengklaim dirinya secara
eksklusif. (Ryandi, 2013)
4.
Dampak
Pluralisme dan Liberalisme dalam Islam
Dampaknya
dalam Islam Doktrin pluralisme agama yang memandang bahwa semua agama adalah
sama, valid, dan otentiknya, tentunya berimplikasi kepada proses relatif dan menyederhankan
agama-agama. Dasar inilah yang dijadikan pijakan oleh pluralis liberal ketika diwacanakan
dalam Islam. Kemudian apa yang diwacanakan adalah upaya relativisasi doktrin
teologis Islam, dengan mendekonstruksi ayat-ayat Alqurān agar sesuai
dengan gagasan pluralisme agama. Hal itu berdampak kepada rekonstruksi teologis
yang dilakukan oleh pluralis liberal, dimana menurut mereka Islam mentolerir
secara teologis dengan mengakui bahwa agama-agama Anis Malik Thaha, Mencermati
doktrin Pluralisme Agama. selain selamat, dan makna iman tidak harus
beriman kepada Muhammad, dalam artian agama-agama lain juga disebut beriman. Hal
tersebut, menurut mereka sesuai dengan pernyataan Alqurān (al-Baqarah:
62):
“Sesungguhnya
orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang
shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari tuhan mereka, dan
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Pernyataan demikian tentunya bertentangan dengan sejarah
peradaban Islam
di mana Nabi Muhammad menulis surat kepada raja-raja, seperti; Najasyi, (Raja
Habasyah), Mauquqis (Raja Mesir), Kisra (Raja Persia), Heraklius (Raja Romawi),
dan lain sebagainya, yang inti suratnya menyeru raja-raja tersebut masuk Islam.
Pernyataan demikian tentunya problematik. Apalagi jika dibenturkan dengan
beberapa ayat yang mengklaim bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan keselamatan
(QS. Al Imran: 19 dan85). Selain itu, apabila dengan
ayal-ayat sebelumnya banyak mengecam dan mengancam tentang perbuatan orang-orang
Yahudi yang durhaka atas nikmal-nikmat Allah (lihat: al-Baqarah: 41-61). Dan
juga berbenturan dengan beberapa ayat yang menjelaskan tentang kafirnya Nasrani
karena mengangkat Isa sebagai anak Tuhan, dan menganut Trinitas, dan Yahudi mengangkat
Uzair sebagai anak Tuhan (Lih: QS. al-Ma’idah: 71 dan 73, juga al-Tawbah: 30). Dari
itu, sebenarnya ayat ini menunjukkan kemurahan Allah kepada hamba-hamba-Nya
yang ingin beriman, baik dari Yahudi, Nasrani, dan agama-agama lainnya. Sayyid
Thantawi menegaskan bahwa sebenarnya konteks ayat ini bukan membandingkan
agama-agama melainkan dakwah kepada manusia ke dalam Islam (TarghibIla Din
al-Islam). Dari pendapat mufassir, hal itu jelas bertentangan. Menurut al-Thabari
(w. 310 H), Ibnu Katsir (w. 774 H) dan Ibnu Taymiyah (w. 728), ayat tersebut
sebenarnya turun untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi kepada Muhammad SAW
perihal sahabat-sahabatnya yang beriman kepada nabi-nabi sebelum diutusnya
Muhammad. Adapun penyebutan “iman”, hanya iman kepada Allah dan Hari Akhir,
merupakan ‘urf Alqurān. Selain itu, iman kepada Allah dan Hari Akhir merupakan hal yang
fundamental dalam iman, tapi bukan berarti tanpa mengimani Muhammad, karena
makna iman dalam Islam adalah mempercayai dalam hati dan diucapkan secara
lisan, serta diamalkan. Karena pengucapan iman ditandai dengan ikrar akan
keesaan Allah dan Muhammad sebagai utusan- Nya, maka secara otomotis amal
shaleh juga harus sesuai dengan apa yang disyariatkan Nabi SAW. Selain itu,
adalah kesalahan besar memaknai iman tanpa merujuk Hadis Jibril (Shahih
Bukhori). Jadi, apa yang disebutkan Alqurān tentang iman itu telah mencakup komponen iman sebagaimana dalam
Hadis Jibril. Jadi, dari upaya justifikasi pendukung pluralisme di atas adalah
usaha dekonstruktif terhadap makna Alqurān agar sesuai dengan gagasan pluralisme agama. Justifikasi tersebut
apabila dikaitkan dengan metodologi keilmuan Islam tidak bisa dipertanggung jawabkan
secara akademis dan ilmiah. Karena sejatinyadalam penafsiran, Islam mempunyai
metode tersendiri, dan rujukan kitab-kitab tafsir yang otoritatif. Maka
sebenarnya apa yang diwacanakan adalah upaya relativisasi kebenaran Islam,
bukanlah prinsip toleransi.
E.
Kesimpulan
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama, dan karenanya kebenaran agama adalah relatif; oleh sebab
itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua
pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki
kebebasan atau kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata
pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena
manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang di inginkan.
Munculnya
pluralisme, merupakan reaksi dan penolakan sebagian masyarakat terhadap
konsepsi tentang alam dan doktrin logis yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan
dianggap benar jika memenuhi kriteria kebenaran logis. Dan pemikiran liberal
Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of
Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para
filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu
dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini.
dampaknya pluralisme agama yaitu menunjukkan sebuah upaya dekonstruktif
terhadap makna Alquran agar sesuai dengan gagasan pluralisme. Hal ini tentunya
menguatkan bahwa apa yang diwacanakan adalah upaya relativitas kebenaran Islam,
bukan toleransi. Kalaulah Islam dengan agama-agama lain sama kebenarannya dan
validnya, tentunya kita tidak butuh toleransi, karena toleransi sejatinya mau
menerima ketidaksepakatan yang sungguh-sungguh, bukan malah mencari titik temu
yang itu secara fundamental menyentuh aspek teologis yang tidak bisa ditawar. Pernyataan
bahwa Islam mentolerir secara teologis bahwa agama-agama lain selamat oleh kaum
liberal adalah keliru, karena secara nash dan peradaban Islam, Islam mengklaim
sebagai satu-satunya kebenaran. Maka toleransi Islam tidaklah bersifat
epitemologis teologis seperti apa yang ditawarkan oleh pluralisme agama. Namun
bersifat sosiologis praktis, bahkan Islam lebih dari sekedar toleransi,ia lebih
tepat dimaknai sebagai tasâmuh karena memberikan ihsân atau kebaikan kepada
non-Muslim, yang termaktub secara nash dan telah diterapkan dalam kehidupan
umat Islam dalam bermasyarakat dengan orang-orang non Muslim.
F.
Saran
Pluralisme agama menurut kelompok Islam liberal semua agama
benar dengan variasi, tingkatan, dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religius itu. Pendapat
ini menimbulkan kontroversi, karena ada kritikan dan ada yang menolak dengan
tegas ide pluralisme Islam liberal tersebut. Karena memiliki kecenderungan menganggap semua agama benar. Perbedaan itu,
bisa dikurangi atau dihindari bila pemahaman yang sama tentang pluralisme.
Kalau difahami substansi pluralisme adalah saling memahami perbedaan atau plural, bukan menyamakan semua agama
benar. Maka tidak akan menimbukan relativisme dan singkritisme, yang
dikhawatirkan sebagian umat Islam
DAFTAR PUSTAKA
Munawar, rachman budhy. (2011). ISLAM
dan Liberalisme. (S. Mohammad, Ed.) (1st ed.). friedrich naumann stiftung.
Ryandi. (2013). antara pluralisme liberal dan toleransi islam, 11(2),
270. Retrieved from https://ejournal.unida.gontor.ac.id
Samasudin. (2017). KONTROVERSI PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL TENTANG PLURALISME
AGAMA-AGAMA DI INDONESIA, 14, 206.
Sumbulah, U., & Nurjanah. (2012). Pluralisme Agama. (I. E. Muhammad, Ed.) (2nd ed.). Malang: UIN Maliki Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar