Iklan

Senin, 03 Juni 2024

Jurnal Artikel Kupas Tuntas Islam Pluralisme dan Liberalisme

Kupas Tuntas Islam Pluralisme dan Liberalisme 


Abstrak

Kehidupan sosial-keagamaan yang terjadi di masyarakat senantiasa melahirkan banyak permasalahan sebagai dampak dari adanya upaya perubahan di masyarakat. Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus permasalahan yang terkait dengan masalah sosisal-keagamaan telah memunculkan kembali semangat Pluralisme agama dan Liberalisme yang telah hadir dari sejak zaman Rasullullah Saw. Kedua paham tersebut menyatakan kerelatifan kebenaran agama-agama di dunia, sehingga tidak ada lagi pengakuan kebenaran secara mutlak yang dimiliki oleh setiap agama,terutama Islam. Akibatnya, pluralisme dan Liberalisme ini menimbulkan banyak keraguan di kalangan umat muslim terhadap Aqidah dan Syariat Islam, yang kemudian manusia banyak menggantikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dihasilkan berdasarkan hasil pemikiran manusia semata. Alqurān hadir sebagai petunjuk yang menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya. Islam mengakui adanya pluralitas dalam beragama namun secara tegas Islam menolak adanya Pluralisme.

Kata kunci: Islam, liberalisme, pluralisme, toleransi

A.    Pendahuluan

Kini Umat Muslim di Indonesia seakan dibuat bingung dengan adanya paham-paham Liberal dan Pluralisme agama. Apalagi, paham-paham tersebut diajarkan dan disebarkan oleh ulama-ulama besar yang aktif di organisasi Islam yang banyak memberikan pengaruh terhadap kehidupan keagamaan masyarakat. Masyarakat awam di Indonesia dengan mudahnya menerima paham-paham tersebut yang sangat bertentangan sekali dengan keyakinan dalam agama Islam. Selain itu juga terdapat ancaman besar bagi para anak nya yang belajar Islam di kampus-kampus tertentu yang dijejali dengan kedua paham tersebut oleh para profesor atau doktor di kampus tempat ia studi.

Tentunya hal ini menjadi ancaman serius untuk umat muslim di Indonesia Maupun dunia, kedua paham ini merupakan musuh halus yang paling berbahaya karena mereka hendak merusak keyakinan umat muslim.

Atas dasar itulah kami menyusun makalah ini sebagai bentuk upaya kami dalam menyelamatkan aqidah masyarakat kita sehingga tidak tersesat dalam keragu-raguannya.

B.    Rumusan Masalah

1.     Apa makna sesungguhnya dari Pluralisme dan Liberalisme?

2.     Bagaimana Sejarah perkembangan Pluralisme dan Liberalisme?

3.     Benarkah Islam adalah satu-satunya agama yang benar?

4.     Bagaimana Dampak Pluralisme dan Liberalisme dalam Islam?

 

C.    Metode Penelitian

Penelitian tentang “Kupas Tuntas Pluralisme Islam dan Liberalisme” menggunakan metode pengumpulan data kualitatif melalui analisis mengenai beberapa dokumen berupa jurnal dan e-book yang berisi data dan fakta yang actual mengenai Pluralisme Islam dan Liberalisme. Kami juga menggunakan pendekatan etnografi yang melibatkan pengamatan terhadap suatu kelompok dengan melihat tayangan di youtube beberapa keterangan dari beberapa pihak yang bersangkutan mengenai perkembangan Pluralisme dan Liberalisme. Kemudian dibagian akhir akan ditarik kesimpulan menurut pemikiran kami.

 

D.    Hasil dan Pembahasan

1.     Makna Pluralisme dan Liberalisme

                           B, Simon (1996: 972) mengatakan bahwa dari berbagai kamus, kata pluralism (tanpa agama), dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, agama, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Kedua, doktrin yang memandang bahwa tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (Ryandi, 2013)

               H, Adian (2005: 12) mengatakan menurut MUI pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. (Ryandi, 2013)

   Kata pluralisme berasal dari kata plural yang berarti bentuk jamak dan plurality yang berarti orang banyak. Dengan begitu pengertian pluralisme bisa diartikan sebagai suatu faham yang mengakui keberagaman dalam berbagai aspeknya, misalnya dalam bidang pemahaman agama, kebudayaan dan geografis. Kemudian pluraisme agama menurut kelompok Islam liberal semua agama benar dengan variasi, tingkatan, dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religius itu. (Samasudin, 2017)

     H, Adian (2005: 339) mengatakan bahwa pluralisme menjadi sebuah istilah yang disebut pluralisme agama (religious pluralism). Istilah ini tidak bisa hanya sekedar dirujuk ke dalam kamus-kamus bahasa. Walaupun secara dictionary meaningnya, terdapat makna pluralisme sebagai toleransi atau sikap saling menghormati keunikan masing-masing. Pluralisme agama tidak dapat dilepaskan dari para konseptornya. Ia merupakan sebuah paham tentang bagaimana memandang pluralitas agama yang memandang semua agama sebanding dengan agama-agama lainnya. (Ryandi, 2013)

  Pluralisme terdiri dari dua suku kata: jamak, yang berarti jamak, lebih dari satu, dan isme, yang merupakan akhiran yang digunakan untuk membentuk kata benda, dalam hal ini, terkait dengan keyakinan politik, sosial, atau ekonomi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pluralisme mengacu pada masyarakat majemuk (dengan sistem sosial dan politiknya).

 

Pluralitas agama menurut pandangan Islam adalah konsep yang harus dipahami setiap Muslim untuk mengatasi masalah pluralitas, yang merupakan bagian dari "sunnatullah" dan yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Orang Muslim seharusnya tidak terlalu bingung oleh gagasan bahwa pluralisme agama mengacu pada persamaan semua agama. Itu karena, pada dasarnya, penekanan dalam pemahaman semacam itu adalah pada interaksi positif antara penganut agama dengan masing-masing pihak mempertahankan iman mereka sendiri. Memahami konsep sepenuhnya mustahil karena manusia tidak sempurna dan kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Karena Indonesia adalah negara multikultural, dengan budaya, bahasa, dan agama yang berbeda, tentu saja tantangannya jauh lebih kompleks untuk dihadapi.

 

      Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang di inginkan. Liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis tentang manusia. Prinsip-prinsip liberalisme adalah kebebasan dan tanggungjawab. Tanpa adanya sikap tanggungjawab tatanan ma syarakat liberal tak akan pernah terwujud. Menurut Ketua Dewan Syari’ah Nasional MUI liberalisme adalah upaya memberikan penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama (Islam) di luar dari kaidah-kaidah yang telah disepakati (qawā‘id al-tafsīr al-nushūsh). (Munawar, 2011).

2.     Sejarah perkembangan Pluralisme dan Liberalisme

   Menurut Muhyar Fanani (2003: 19) mengatakan munculnya pluralisme, merupakan reaksi dan penolakan sebagian masyarakat terhadap konsepsi tentang alam dan doktrin logis yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dianggap benar jika memenuhi kriteria kebenaran logis. Dalam pandangan pluralisme, kriteria kebenaran lainnya. Gagasan inilah yang dimajukan oleh Leibniz dan Russel, yang menolak kriteria kebenaran. Dalam perkembangannya, pluralisme di Inggris semakin populer pada awal abad ke 20, melalui para tokoh seperti F. Maitland, S.G. Hobson, hrold Laski, R.H. Tawney dan GDH Cole dalam melawan keterasing- an jiwa masyarakat modern karena tekanan kapitalisme. Oleh karena itu, prinsip-prinsip pluralisme dianggap dapat menjawab permasalahan tersebut. Hal ini karena, dengan pluralisme masalah-masalah yang terjadi memiliki banyak alternatif penyelesaian. Dengan demikian, ide pluralisme berkembang seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi yang melingkupinya. John Hick, membagi pluralisme agama menjadi empat macam kategori: pertama, pluralisme agama normatif (nor- mative-religious pluralism), yaitu pluralisme agama yang menyeru kepada semua pihak, khususnya umat Kristiani untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan agama lain, menjauhkan arogansi dan menyebarkan toleransi; kedua, pluralisme agama soteriologis (soteriological-religious pluralism), yakni pluralisme yang berpandangan bahwa selain umat Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani. Pluralisme agama ini merupakan lanjutan dari pluralisme religius-normatif. Ketiga, pluralisme agama epistemologis (epistemological-religious plu-ralism), yakni pluralisme agama yang menegaskan bahwa umat Kristiani tidak memiliki pembenaran (justification) yang lebih mantap atas keimanan mereka dibandingkan para penganut agama lain. Oleh karena itu para penganut agama-agama besar di dunia ini memiliki kedudukan yang sama dalam konteks justifikasi keyakinan agama yang menurut Hick paling tepat ditemukan dalam pengalaman keagamaan (religious experience). Keempat, pluralisme agama aletis (alethic-religious pluralism), yang menegaskan bahwa kebenaran agama harus ditemukan dalam agama-agama selain Kristen dengan derajat yang sama sebagaimana yang dapat ditemukan dalam agama Kristen.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pluralisme merupakan pandangan yang meyakini banyak dan beragamnya hakikat realitas kehidupan, termasuk realitas keberagamaan. Pluralisme agama diartikan sebagai pandangan dan sikap bahwa hakikat agama di dunia ini tidak hanya satu tetapi banyak atau beragam. Sejak akhir abad ke-18, pada umumnya negara-negara Eropa mengakui kemajemukan agama dalam masyarakat dan menghilangkan rintangan-rintangan sosio-politik bagi agama- agama. Secara filosofis, pluralisme agama dapat diartikan seba- gai suatu teori yang merujuk pada hubungan antara berbagai tradisi agama, perbedaan dan klaim-klaim kompetisinya. Armstrong menyatakan bahwa agama-agama besar di dunia memiliki konsepsi yang beragam tentang Tuhan. Dengan demikian, pluralisme telah menjadi sebuah kenyataan sejarah yang menuntut pengakuan, dan karenanya menjadi perbincangan tidak saja oleh para teolog tetapi juga para filosuf. Diskursus pluralisme oleh para filosuf semisal John Locke (1634-1704), Leibniz (1646-1716), Hegel (1770-1831) dan Rousseau (1712-1738), dilakukan untuk mengkritisi pertenta- ngan dan kontroversi antara Gereja Anglikan dan Gereja Katolik, serta kemunculan banyak denominasi (madhab) dalam Protestan. Sebab itulah, para filosuf menggagas perlunya kebebasan beragama, tanpa ada dominasi dan saling menindas sebagaimana dilakukan oleh kelompok mayoritas Katolik terhadap minoritas Protestan di Perancis pada abad ke-17. Dengan menjunjung tinggi kebebasan beragama, akan tercipta kehidupan yang aman, tidak ada penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidakharmonisan. Locke, mengangankan hal ini sesungguhnya tidak didasarkan pada ajaran wahyu dan keimanannya, tetapi berdasarkan pada logika dan argu- mentasi hukum kodrat dan rasionya. Haryatmoko, merangkum ajaran toleransi dan kebebasan beragama yang digagas Locke dalam tiga butir: 1) hanya ada satu jalan yang benar atau agama yang benar; 2) tidak seorangpun yang akan diselamatkan bila tidak percaya kepada agama yang benar; 3) kepercayaan ini didapat manusia melalui akal budi dan argumen, bukan melalui kekuatan untuk mempropagandakan kebenaran dan keselamatan. Oleh karena itu, tidak seorangpun, baik secara pribadi maupun kelompok dan bahkan lewat kekuasaan institusi, memiliki hak menggunakan kekuatan untuk tujuan tersebut. Senada dengan Locke, keprihatinan Leibniz terhadap realitas konflik Katolik-Kristen yang melahirkan perang selama 30 tahun (1618-1648) mendorongnya untuk berfikir tentang pluralisme. Dalam pandangan Leibniz, dunia ini terdiri dari bagian-bagian kecil atau substansi-substansi sederhana yang disebut monade. Setiap monade mencerminkan dunia secara keseluruhan dan universal. Oleh karena itu, konflik, perang dan pertikaian berlawanan dengan harmoni universal dunia ini. Menanggapi realitas perbedaan agama, Hegel memberikan usulan menarik yang belakangan populer dengan teori dialektika. Bagi Hegel, perbedaan dan kontradiksi harus di- pandang sebagai momen untuk menemukan kesadaran dan identitas diri karena setiap perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang positif. Menurut Raimundo Panikkar, pluralisme adalah bentuk pemahaman moderat yang tujuannya menciptakan komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalahan timbal-balik antara budaya yang berbeda, seraya membiarkan mereka berbicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam bahasa masing-masing. Sementara menurutnya, pluralitas adalah keberagaman yang tidak saling menyapa dan berhubungan serta merupakan lawan dari kesatuan monolitik. Dari penjelasan tersebut, tampak jelas perbedaan antara pluralitas dan pluralisme agama. Pluralitas agama adalah bagian dari fenomena sosial yang tidak dapat ditolak, sedangkan pluralisme agama adalah aliran teologi yang akarnya dari Barat pada abad ke-15 yaitu gerakan kaum Liberal Protestan dengan misi mereformasi pemikiran agama. Meskipun pluralisme berasal dari Barat, tetapi sepanjang berkaitan dengan spirit agama yang menuntun umat manusia untuk berlaku adil, sebagaimana konsep hak asasi manusia (HAM) yang sudah diuniversalisasikan, maka seharusnya dapat diterima semua komunitas umat beragama. Dalam diskursus filsafat, pluralisme adalah sistem berfikir yang dilawankan dengan monisme. Pluralisme beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah plural (banyak), sedangkan monisme beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah tunggal. (Sumbulah & Nurjanah, 2012).

Pada dasarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Namun di sini penulis hanya akan membahas asal-usul tersebut mulai dari penghujung millenium kedua.

Charless Kurzman menyebutkan bahwa Islam liberal muncul sekitar abad ke-18 di kala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada di gerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan permurnian, kembali kepada Al-Quran dan sunnah. Bersamaan dengan ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah di India, 1703-1762, menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan pcnduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi'ah. Ada Muhammad Bihbihani di Iran, 1790, mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.

Ide ini terus bergulir. Rifa'ah Rafi' al-Tahtawi di Mesir, 1801-1873 memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Sebelum dikirim ke Sorbonne, Perancis oleh Muhammad Ali, yang saat itu menjadi kepala negara Mesir, Tahtawi adalah seorang tradisionalis. Dia adalah salah seorang anggota delegasi pertama dari negara Muslim yang dikirim ke Barat. Dari sini bisa dikatakan bahwa tradisi pengiriman Muslim ke Barat adalah mengikuti tradisi tahtawi. Hampir semasa dengan Tahtawi, di Rusia muncul Shihabuddin Marjani (1818-1889) dan Ahmad Makhdun di Bukhara, 1827-1897, memasukkan mata pelajaran sekuler ke dalam kurikulum pendidikan Islam.

Di India ada Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1918) yang membujuk kaum Muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada tahun 1877 ia membuka suatu kolese yang kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islam berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad adalah Pelopor Agung Rasionalisme.

Di Mesir muncullah M. Abduh (1849-1905) yang banyak mengadopsi pemikiran mu'tazilah berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Abduh adalah murid al-Afghani yang paling menonjol, tapi pengaruhnya melebihi gurunya karena latar belakang keagamaannya. Muhammad Abduh dan Al-Afghani merupakan tokoh pembaruan Islam yang beraliran liberal awal. Setelah revolusi Arab oleh murid-murid al-Afghani yang dipimpin oleh Ahmad Arabi, saat itu Abduh jadi Syeikh al-Azhar, maka Abduh diasingkan ke Beirut. Hasil revolusi Arab adalah Mesir dikendalikan oleh Inggris.

Setelah pulang dari pembuangan karena bantuan Inggris, Abduh pindah haluan, dari revolusi menjadi reformasi (modernisasi) yang intinya adalah: mendekatkan Islam dengan Barat atau menundukkan (menyesuaikan) ajaran Islam dengan budaya dan peradaban Barat. Hal ini telah dimulai oleh Abduh saat ia mendirikan lembaga pendekatan antara agama-agama di Barat. Akhirnya atas petunjuk Konsul Inggris di Mesir, Abduh diangkat jadi Mufti Mesir. Abduh memandang bahwa jihad yang ada dalam Islam hanyalah membela diri, intinya ia ingin bermesraan dan bergandengan dengan orang kafir, meskipun Mesir, negerinya sendiri dijajah para penyembah salib.

 

Abduh mempunyai program antara lain:

a.      Mendekatkan kaum muslimin dengan orang-orang Inggris yang sedang menjajah negerinya.

b.      Memupus semangat jihad agar hidup tenang tidak ada masalah.

c.      Mengajak kepada Nasionalis Mesir untuk memisahkan diri dari khilafah Islamiyah.

d.      Kontekstualisasi Islam agar sesuai dengan kehidupan modern dengan cara ta'wil dan tahrif.

e.      Dakwah kepada pembebasan wanita muslimah. Dalam hal ini Abduh dibantu oleh murid-muridnya yang bernama Qasim amin (penulis buku Tahrir al-Marah, setelah beberapa tahun ia menulis al-Mar‟ah al-Jadidah) dan Luthfi Sayyid dan oleh sahabat-sahabatnya terutama Thaha Husen. Mereka itulah yang memelopori kelas campur dalam program tinggi di Mesir.

Kebesaran Al-Afghani dan Abduh tidak terlepas dari dua kekuatan yang ada di belakangnya, yaitu Masaniyah dan penjajah. Perjuangan Abduh yang semula ingin membangun bendungan bagi umat Islam agar tidak terkena terpaan gelombang sekularisme, ternyata menjadi jembatan orang-orang sekularis.

Setelah Abduh ini kemudian muncul Ali Abd. Raziq (1888-1966) yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad hanyalah pemimpin agama. Akibat pemikirannya yang dianggap sangat kontroversial ini Raziq dipecat dari anggota ulama Al-Azhar. Pemecatan dilakukan oleh Dewan Ulama terkemuka di Mesir yang terdiri dari 19 orang. Pada saat pemecatan ini dikemukakan tuju butir kesalahan yang dibuat oleh Raziq, yaitu:

 

a.      Menjadikan syariat Islam hanya sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan atau penatalaksanakan urusan duniawi.

b.      Berpendapat bahwa jihad yang dilakukan Rasulullah bertujuan untuk mencari kekuasaan setingkat raja dan bukan untuk mensyiarkan agama ke seluruh dunia.

c.      Menyatakan bahwa lembaga pemerintahan di masa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau tidak komplit dan membingungkan.

d.      Berpendapat bahwa tanggung jawab Muhammad (Rasulullah) hanya menyebarluaskan syariat tanpa menjadi penguasa atau pemerintah.

e.      Tidak mengakui Ijama' (kesepakatan) para sahabat Rasulullah yang menetapkan umat harus menunjuk seseorang untuk mengelola urusan keagamaan dan keduniaan serta mengakui adanya kewajiban untuk mengangkat seorang imam.

f.      Mengingkari bahwa kehakiman merupakan fungsi syariat.

g.      Berpendapat bahwa pemerintahan Abu Bakar dan Khulafaur Rasyidin merupakan pemerintahan sekuler.

Gagasan yang dianggap liberal dari intelektual Mesir ini kemudian di diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatatan bahwa yang dikehendaki oleh Alquran hanyalah sistem demokrasi tidak yang lain. Intelektual lain yang mengikuti pendapat Ali Abd Raziq ini antara lain Faraj Faudah, Wahid Raf'at, Fuad Zakaria, Luis Auwadh, Syibli al Isami dan lain-lain.

 

Pada masa kontemporer, kalau kita berbicara Islam liberal di dunia Arab muncul beberapa nama seperti Mohammed Arkoun, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman dan Muhammad Abid Jabiri. Muhammad Arkoun lahir di Al-jazair pada tahun 1928 kemudian menetap di Perancis. Ia menggagas tafsir Alquran model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar Islam.

Perpindahan Arkoun dari Al-Jazair ke Perancis, tepatnya di Sarbonne University karena pemikirannya dianggap terlalu "kiri" sehingga dianggap membahayakan umat Islam di negerinya. Sebenarnya yang mengalami ketakutan adalah rezim yang sedang berkuasa, yaitu rezim otoriter militeristik.

Intelektual muslim yang juga pindah ke Perancis adalah Hasan Hanafi. Hasan Hanafi terkenal dengan pemikirannya yang tertuang dalam Al-Yasar Al-Islami (Kiri islam) yang menghebohkan secara teoritis, sekalipun agak sulit secara praktis untuk diterapkan. Kasuo Shimogaki dengan detail telah membahas pemikiran Hasan hanafi ini, yang dia kelompokkan dalam pemikiran Post Modernis. Sementara Mohammed Arkoun dengan pemikiran Re-Thingking Islam yang merupakan 24 pertanyaan atas Islam dan segala aspek historisnya.

Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan Alquran itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh Alquran adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.

Sementara itu Muhammad Abid Al-jabiri merupakan intelektual Muslim yang bercorak liberal yang lahir di Maroko. Karena perbedan pemikiran yang sangat tajam, ia harus bercerai dengan isterinya. Pemikiran Al-Jabiri memang dianggap "membahayakan" oleh ulama di negerinya.

Akhirnya gagasan Islam liberal ini sampai ke Indonesia melalui murid Fazlu Rahman yaitu Nurcholish Madjid. Nurcholis Madjid adalah murid dari Fazlur Rahman di Chicago yang memelopori gerakan firqoh liberal bersama dengan Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid. Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama.

3.     Implikasi Terhadap agama

                   Setiap agama mengajarkan penganutnya untuk bersikap eksklusif terhadap agamanya. Bahkan semua agama baik yang mengakui Tuhan maupun yang tidak mengakui Tuhan, termasuk aliran-aliran ideologi modern. Mempunyai konsekuensi membentuk psikologi pengikutnya meyakini agamanya adalah yang paling afdhal dan paling benar secara absolut dan universal.

      Contohnya, Agama Yahudi tidak mengakui Tuhan kecuali Yahweh, yang diyakini sebagai Tuhan khusus untuk golongan Yahudi. Dalam keyakinan Yahudi yang talmudik dan rasis, kaum non-Yahudi tak ada bedanya beriman atau tidak beriman yakni tidak mungkin mereka keluar dari sebutan gentiles yang kedudukannya tidak lebih tinggi dari hewan. Dalam Kristen terdapat doktrin bahwa penyaliban Isa al-Masih sebagai penghapus dosa umat manusia, yang darinya lahir doktrin dikenal dalam Katolik dengan ungkapan “tidak ada keselamatan di luar Gereja (extra ecclesiam nulla salus) dan dalam Protestan dikenal dengan ungkapan tidak ada keselamatan di luar Kristen (Extra Christos nula salus). Dalam Islam, termaktub dalam nash al-Qur’an bahwa: “sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali Imran: 19), juga disebutkan: Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah dapat diterima (agama itu) dari padanya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85). Dalam agama Hindu dikenal dengan istilah “mokhsa” sebagai tujuan dan cita-cita akhir bagi semua pengikut agama Hindu, yakni menyatunya ruh (union of soul) dengan Brahma setelah terbebas dari proses reinkarnasi (death and rebirth) yang berulang-ulang kali (tanasukh al-arwah). Sedangkan dalam agama Budha terdapat istilah “nirvana” yang dapat diartikan pencerahan rohani (spiritual enlightenment) setelah terbebas secara sempurna dari penderitaan (dukkha), yang tidak bisa dicapai kecuali mengikuti ajaran-ajaran Budha yang dikenal dengan “the Middle Path” (ajaran jalan tengah).

     Jika demikian, pewacanaan pluralisme agama sebagai prinsip toleransi justru malah menyerbu agama-agama dengan menggugat klaim kebenaran pada masing-masing agama. Klaim pluralisme agama ini sangat “problematik” dan membawa implikasi yang luar biasa berbahaya bagi manusia dan kehidupan religius dan spiritual­nya. Kenyataan ini pada akhirnya telah mengan­tar­kan gagasan pluralisme agama pada sebuah posisi yang sangat sulit untuk bisa menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi yang toleran dalam beragama, atau malah sejatinya lebih merupakan problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?

                 Dari itu, menurut Anis Malik Thaha, sejatinya pluralisme agama bukanlah prinsip toleransi dalam beragama, namun ajaran “demokrasi” dalam beragama yang mempunyai ciri dan karakteristik sebagai berikut:

Pertama, kesetaraan atau persamaan (equality), yang mengajarkan semua agama sama dan setara, tak ada yang paling baik dan tak ada yang paling buruk.

Kedua, liberalisme dan kebebasan, yang mengajarkan hak kebebasan beragama, dalam arti keluar-masuk agama.

            Ketiga, relativisme, yang mengajarkan kebenaran agama relatif.

            Keempat, reduksionisme, yang meredusir jati diri atau identitas agama-agama menjadi entitas yang lebih sempit dan kecil, yakni sebagai urusan pribadi (private affairs). Dengan kata lain berwatak sekuler.

Kelima, eksklusivisme, penyebaran pluralisme agama sebagai paham yang anti-eksklusif, namun pada satu sisi ia telah merampas dan menelanjangi agama-agama dari klaim kebenaran absolutnya, sebenarnya ia telah memonopoli kebenaran tersebut dan mengklaim dirinya secara eksklusif. (Ryandi, 2013)

4.     Dampak Pluralisme dan Liberalisme dalam Islam

                        Dampaknya dalam Islam Doktrin pluralisme agama yang memandang bahwa semua agama adalah sama, valid, dan otentiknya, tentunya berimplikasi kepada proses relatif dan menyederhankan agama-agama. Dasar inilah yang dijadikan pijakan oleh pluralis liberal ketika diwacanakan dalam Islam. Kemudian apa yang diwacanakan adalah upaya relativisasi doktrin teologis Islam, dengan mendekonstruksi ayat-ayat Alqurān agar sesuai dengan gagasan pluralisme agama. Hal itu berdampak kepada rekonstruksi teologis yang dilakukan oleh pluralis liberal, dimana menurut mereka Islam mentolerir secara teologis dengan mengakui bahwa agama-agama Anis Malik Thaha, Mencermati doktrin Pluralisme Agama. selain selamat, dan makna iman tidak harus beriman kepada Muhammad, dalam artian agama-agama lain juga disebut beriman. Hal tersebut, menurut mereka sesuai dengan pernyataan Alqurān (al-Baqarah: 62):

“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari tuhan mereka, dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Pernyataan demikian tentunya bertentangan dengan sejarah

peradaban Islam di mana Nabi Muhammad menulis surat kepada raja-raja, seperti; Najasyi, (Raja Habasyah), Mauquqis (Raja Mesir), Kisra (Raja Persia), Heraklius (Raja Romawi), dan lain sebagainya, yang inti suratnya menyeru raja-raja tersebut masuk Islam. Pernyataan demikian tentunya problematik. Apalagi jika dibenturkan dengan beberapa ayat yang mengklaim bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan keselamatan (QS. Al Imran: 19 dan85). Selain itu, apabila   dengan ayal-ayat sebelumnya banyak mengecam dan mengancam tentang perbuatan orang-orang Yahudi yang durhaka atas nikmal-nikmat Allah (lihat: al-Baqarah: 41-61). Dan juga berbenturan dengan beberapa ayat yang menjelaskan tentang kafirnya Nasrani karena mengangkat Isa sebagai anak Tuhan, dan menganut Trinitas, dan Yahudi mengangkat Uzair sebagai anak Tuhan (Lih: QS. al-Ma’idah: 71 dan 73, juga al-Tawbah: 30). Dari itu, sebenarnya ayat ini menunjukkan kemurahan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang ingin beriman, baik dari Yahudi, Nasrani, dan agama-agama lainnya. Sayyid Thantawi menegaskan bahwa sebenarnya konteks ayat ini bukan membandingkan agama-agama melainkan dakwah kepada manusia ke dalam Islam (TarghibIla Din al-Islam). Dari pendapat mufassir, hal itu jelas bertentangan. Menurut al-Thabari (w. 310 H), Ibnu Katsir (w. 774 H) dan Ibnu Taymiyah (w. 728), ayat tersebut sebenarnya turun untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi kepada Muhammad SAW perihal sahabat-sahabatnya yang beriman kepada nabi-nabi sebelum diutusnya Muhammad. Adapun penyebutan “iman”, hanya iman kepada Allah dan Hari Akhir, merupakan ‘urf Alqurān. Selain itu, iman kepada Allah dan Hari Akhir merupakan hal yang fundamental dalam iman, tapi bukan berarti tanpa mengimani Muhammad, karena makna iman dalam Islam adalah mempercayai dalam hati dan diucapkan secara lisan, serta diamalkan. Karena pengucapan iman ditandai dengan ikrar akan keesaan Allah dan Muhammad sebagai utusan- Nya, maka secara otomotis amal shaleh juga harus sesuai dengan apa yang disyariatkan Nabi SAW. Selain itu, adalah kesalahan besar memaknai iman tanpa merujuk Hadis Jibril (Shahih Bukhori). Jadi, apa yang disebutkan Alqurān tentang iman itu telah mencakup komponen iman sebagaimana dalam Hadis Jibril. Jadi, dari upaya justifikasi pendukung pluralisme di atas adalah usaha dekonstruktif terhadap makna Alqurān agar sesuai dengan gagasan pluralisme agama. Justifikasi tersebut apabila dikaitkan dengan metodologi keilmuan Islam tidak bisa dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah. Karena sejatinyadalam penafsiran, Islam mempunyai metode tersendiri, dan rujukan kitab-kitab tafsir yang otoritatif. Maka sebenarnya apa yang diwacanakan adalah upaya relativisasi kebenaran Islam, bukanlah prinsip toleransi.

E.    Kesimpulan

                          Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang di inginkan.

            Munculnya pluralisme, merupakan reaksi dan penolakan sebagian masyarakat terhadap konsepsi tentang alam dan doktrin logis yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dianggap benar jika memenuhi kriteria kebenaran logis. Dan pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini.

dampaknya pluralisme agama yaitu menunjukkan sebuah upaya dekonstruktif terhadap makna Alquran agar sesuai dengan gagasan pluralisme. Hal ini tentunya menguatkan bahwa apa yang diwacanakan adalah upaya relativitas kebenaran Islam, bukan toleransi. Kalaulah Islam dengan agama-agama lain sama kebenarannya dan validnya, tentunya kita tidak butuh toleransi, karena toleransi sejatinya mau menerima ketidaksepakatan yang sungguh-sungguh, bukan malah mencari titik temu yang itu secara fundamental menyentuh aspek teologis yang tidak bisa ditawar. Pernyataan bahwa Islam mentolerir secara teologis bahwa agama-agama lain selamat oleh kaum liberal adalah keliru, karena secara nash dan peradaban Islam, Islam mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran. Maka toleransi Islam tidaklah bersifat epitemologis teologis seperti apa yang ditawarkan oleh pluralisme agama. Namun bersifat sosiologis praktis, bahkan Islam lebih dari sekedar toleransi,ia lebih tepat dimaknai sebagai tasâmuh karena memberikan ihsân atau kebaikan kepada non-Muslim, yang termaktub secara nash dan telah diterapkan dalam kehidupan umat Islam dalam bermasyarakat dengan orang-orang non Muslim.

 

F.    Saran

Pluralisme agama menurut kelompok Islam liberal semua agama benar dengan variasi, tingkatan, dan kadar kedalaman yang berbeda-beda  dalam menghayati jalan religius itu. Pendapat ini menimbulkan kontroversi, karena ada kritikan dan ada yang menolak dengan tegas ide pluralisme Islam liberal tersebut. Karena memiliki kecenderungan menganggap semua agama benar. Perbedaan itu, bisa dikurangi atau dihindari bila pemahaman yang sama tentang pluralisme. Kalau difahami substansi pluralisme adalah saling memahami perbedaan atau plural, bukan menyamakan semua agama benar. Maka tidak akan menimbukan relativisme dan singkritisme, yang dikhawatirkan sebagian umat Islam

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Munawar,  rachman budhy. (2011). ISLAM dan Liberalisme. (S. Mohammad, Ed.) (1st ed.). friedrich naumann stiftung.

Ryandi. (2013). antara pluralisme liberal dan toleransi islam, 11(2), 270. Retrieved from https://ejournal.unida.gontor.ac.id

Samasudin. (2017). KONTROVERSI PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL TENTANG PLURALISME AGAMA-AGAMA DI INDONESIA, 14, 206.

Sumbulah, U., & Nurjanah. (2012). Pluralisme Agama. (I. E. Muhammad, Ed.) (2nd ed.). Malang: UIN Maliki Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...