Arab Musta’ribah
Asal-Usul Bangsa Arab: Ismail A.S dan Ibrahim A.S
A. Siti Hajar bukan seorang budak
Kita tahu bahwa Ibrahim a.s hijrah dari Irak ke Harran, termasuk pula ke Palestina. Ia lalu menjadikan negeri itu sebagai basis dakwahnya. Ia banyak menyusuri negeri ini dan negeri lainnya. Di salah satu perjalanan tersebut, Ibrahim a.s bertemu dengan raja Mesir (Fir’aun). Istri Ibrahim a.s, Sarah, turut serta menemaninya. Sarah merupakan wanita yang cantik. Maka, Fir’aun itu hendak membuat siasat buruk untuk mendapatkan Sarah. Namun, Sarah berdoa kepada Allahﷻ sehingga Dia membalikkan jerat yang dipasang raja itu ke lehernya sendiri. Akhirnya, raja yang zalim itu tahu bahwa Sarah merupakan wanita salih yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena itu, sang Fir’aun menghadiahkan putrinya, Hajar menjadi pembantu Sarah, sebagai pengakuan atas keutamaan Sarah atau karena ia takut terhadap siksa Allah. Hingga pada akhirnya di kemudian hari Sarah merelakan dan menikahkan Hajar dengan Ibrahim a.s.
Ibrahim a.s kembali ke Palestina dan kemudian Allahﷻ menganugerahkan Ismail dari Hajar. Hal ini membuat Sarah terbakar api cemburu. Dia membuat Ibrahim a.s agar menjauhkan Hajar dan putranya yang masih kecil, Ismail. Maka Ibrahim a.s membawa keduanya ke hiijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, di Baitul Haram, yang saat itu hanya berupa gundukan-gundukan tanah.
Rasa gundah mulai menggelayuti pikiran Ibrahim a.s. Beliau menoleh ke kiri dan kanan, lalu meletakkan putranya di dalam tenda, di dekat tempat yang kelak menjadi mata air Zamzam. Saat itu di Mekkah belum ada seorang manusia pun dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan kantong berisi kurma dan geriba berisi air di dekat Hajar dan Ismail. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Beberapa hari setelah itu, bekal dan air sudah habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Tiba-tiba mata air zamzam memancar berkat karunia Allahﷻ sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua, yang tak pernah habis hingga sekarang. Kisah mengenai ini sudah banyak diketahui secara lengkapnya.
Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum kedua) datang ke sana. Dan atas izin bunda Ismail, mereka menetap di Mekkah. Ada yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu, menetap di lembah-lembah di pinggir kota Mekkah. Namun, riwayat al-Bukhari menegaskan bahwa mereka singgah di Mekkah setelah kedatangan Ismail dan ibunya, sebelum Ismail remaja. Mereka sudah biasa melewati jalur Mekkah sebelum itu.
B. Kunjungan Ibrahim a.s ke Mekkah
Dari waktu ke waktu Ibrahim a.s datang ke Mekkah untuk menjenguk
keluarganya. Tidak diketahui secara pasti berapa kali kunjungan yang
dilakukannya. Hany saja menurut beberapa referensi sejarah yang dapat
dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali.
Pertama, Allahﷻ
telah menyebutkan di dalam Al-Quran bahwa Ibrahim a.s bermimpi bahwa beliau
menyembelih anaknya, Ismail. Maka ia pun bangkit untuk melaksanakan perintah
dalam mimpi itu.
Tatkala keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) memberingkan anakanya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya), lalu Kami panggillah dia, “Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 103-1017)
Di dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur Ismail 13 tahun lebih tua daripada Ishaq. Dari rentetan kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum Ishaq lahir. Sebab, kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah terjadinya kisah ini. Setidak-tidaknya kisah ini menunjukkan suatu kisah perjalanan Ibrahim, sebelum Ismail menginjak remaja. Adapun tiga perjalanan lainnya telah diriwayatkan al-Bukhari secara panjang lebar dari Ibnu Abbas secara marfu’, yang intinya adalah:
Kedua, bahwa sebelum remaja, Ismail belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum. Karena merasa tertarik kepadanya, maka mereka menikahkannya dengan salah seorang putri keturunan mereka. Saat itu ibu Ismail sudah meninggal dunia. Suatu saat Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang ditinggalkannya. Maka beliau datang setelah pernikahan itu. Segera tiba di rumah Ismail, beliau tidak mendapat Ismail. Maka beliau bertanya kepada istrinya, bagaimana keadaan mereka berdua. Istri Ismail mengeluhkan kehidupan mereka yang melarat. Maka Ibrahim pun titip pesan, agar istrinya menyampaikan kepada Ismail untuk mengubah palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Ismail mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Ismail menceraikan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain, yaitu putri Mudhadh bin Amru, Pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum.
Ketiga, setelah perkawinan Ismail yang kedua ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bisa bertemu dengan Ismail. Beliau bertanya kepada istri Ismail tentang keadaan mereka berdua. Jawaban istri smile adalah pujian kepada Allah. Ibrahim kembali lagi ke Palestina setelah titip pesan lewat istri Ismail, agar Ismail memperkokoh palang pintu rumahnya.
Keempat, pada kedatangan berikutnya, Ibrahim bisa bertemu dengan Ismail, yang saat itu Ismail sedang melaut anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat Zam-Zam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Ismail berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, dan Ibrahim juga berbuat layaknya seorang bapak yang lama tidak bersua anaknya. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama. Sebagai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut, sulit rasanya beliau bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya. Begitu pula dengan Ismail, sebagai anak yang berbakti dan soleh. Dengan adanya perjumpaan ini mereka berdua sepakat untuk membangun Ka’bah, meninggikan sendi-sendinya, dan Ibrahim memperkenankan manusia untuk berhaji sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada beliau.
C. Ismail dan Keturunannya Bangsa Arab
Dari perkawinannya dengan anak perempuan dari Mudhadh, Ismail dikaruniai anak oleh Allah sebanyak 12, semuanya laki-laki, yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qaidar, Adba’il, Mibsyam, Misyama’, Duma, Misya, Hadad, Taima’, Yathur, Nafis, dan Qaiduman. Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi 12 kabilah, yang semuanya menetap di Mekkah untuk sekian lama. Mata pencarian utama mereka Adalah berdagang dari negeri Yaman hingga ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah kabilah ini menyebar di berbagai penjuru Jazirah, bahkan keluar Jazirah. Seiring dengan perjalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar.
Peradaban anak keturunan Nabat bersinar di Hijaz utara. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat yang berpusat di Petra, sebuah kota kuno yang terkenal di selatan Yordania. Kekuasaan Nabat ini telah mencapai wilayah-wilayah terdekat dan tidak seorang pun berani memusuhi mereka hingga datang pasukan Romawi yang menghabisi mereka.
Setelah melakukan penyelidikan dan penelitian yang akurat, As-Sayyid Sulaiman An-Nadawi menegaskan bahwa raja-raja keturunan Ghassan, termasuk Aus dan Khazraj, Bukan berasal dari keturunan Qaththan, tetapi dari keturunan Nabat, anak Ismail dan keturunan mereka di negeri tersebut.
Sementara itu, anak keturunan Qidar bin Ismail tetap tinggal di Mekkah dan membina keluarga di sana hingga mendapatkan keturunan, Adnan dan anaknya Ma’ad. Dari dialah keturunan Arab Adnaniyah masih bisa dipertahankan keberadaannya. Adnan adalah kakek ke-22 dalam silsilah keturunan nabi Muhammad. Disebutkan bahwa jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, “para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta.” Beliau tidak melanjutkannya.
Segolongan ulama membolehkan penyebutan nasab dari Adnan ke atas, dengan berlandaskan kepada hadis yang mengi syaratkan hal itu. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai rincian nasab dengan perbedaan yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Adapun peneliti senior Allamah al-Qadhi Muhammad Sulaiman al Manshurfuri menguatkan pendapat Ibnu Sa’ad— Sebagaimana yang disebutkan pula oleh Ath-Thabari, Al-Mas’udi, Dan selain mereka di sejumlah tempat— Bahwa antara Adnan sampai Ibrahim ada 40 keturunan. Ini menurut penelitian yang cukup mendalam.
Keturunan Ma’ad dari anaknya Nizar telah berpencar ke mana-mana. Menurut salah satu pendapat, Nizar adalah satu-satunya anak Ma’ad. Sementara itu, Nizar sendiri mempunyai empat anak, yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad, Anmar, Rabi’ah, dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Dari Rabi’ah ada Asad bin Rabi’ah, Anzah, Abdul Qais, dua anak Wa’il, Bakar dan Taghlib, Hanifah dan lain-lainnya.
Kabilah Mudhar Berkembang menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais
Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin Mudhar. Dari Qais Ailand lahirlah
Bani Sulaim, Bani Hawazim, Bani Ghatafan. Dari Ghatafan lahir Abs, Dzibyan,
Asyja’, dan Ghany bin A’shar. Dari Ilyas bin Mudhar ada Tamim bin Murrah,
Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah, dan marga-marga Kinanah bin
Khuzaimah. Dari Kinanah lahirlah Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin Malik,
bin An-Nadhr bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, Yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, Adi. Makhzum, Taim, Zuhrah, dan suku-suku Qushay bin Kilab, yaitu Abdud-Dar bin Qushay, Asad bin Abdul Uzza bin Qushay, dan Abdu Manaf bin Qushay. Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdul Syams, Naufal, Al-Muthalib, dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih Allah bagi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim.
Setelah anak-anak Adnan menjadi banyak, mereka berpencar di berbagai tempat di penjuru Jazirah Arab, masing-masing mencari tempat yang strategis dan daerah yang subur. Abdul Qais dan anak-anak Bakar bin Wa’il serta anak-anak Tamim pindah ke Bahrain dan menetap di sana. Sedangkan Bani Hanifah bin Sha’b bin Ali bin Bakar pindah ke Yamamah dan menetap di Hijr ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakar bin Wa’ill menetap di berbagai penjuru Yamamah. Membentang hingga ke Bahrain. Taghlib Menetap di Jazirah Eufrat Dan sebagian anak keturunannya bergabung dengan Bakar.
Bani Tamim menetap di Bashrah. Bani Sulaim menetap di dekat
Madinah, dari lembah-lembah di pinggiran Madinah hingga Khaibar di bagian timur
Madinah dan penghujung Hurrah. Tsaqif menetap di Tha’if. Hawazin di timur Mekkah,
di pinggiran Authas, antara Mekkah dan Bashrah. Bani Asad menetap di timur
Taima’ dan barat Kufah. Di antara mereka dan Taima’ ada perkampungan Bukhtur
dari Thaiyyi’. Jarak dari tempat mereka ke Kufah bisa ditempuh selama
perjalanan lima hari. Dzibyan menetap di dekat Taima’ hingga ke Hawazin. Di
Tihamah ada beberapa suku Kinanah, sedangkan di Mekkah ada suku-suku Quraisy.
Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatu yang bisa menyatukan mereka,
hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang telah menyatukan mereka dan
membentuk satu sama lain yang bisa mengangkat kedudukan mereka.
Al-Mubarakfuri,
S. (2011). Sirah Nabawiyah: Sejarah Hidup Nabi Muhammad. halaman 44-51.
Jakarta: Ummul Qura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar