Iklan

Selasa, 04 Juni 2024

Jurnal Artikel Islam Kejawen dan Pasundan

 Islam Kejawen dan Pasundan 


ABSTRAK

Suku Jawa adalah suku terbesar dari Bani Jawi. Dan sejak dahulu, mereka menganut monotheisme, seperti keyakinan adanya Sang Hyang Widhi atau Sangkan Paraning Dumadi. Selain suku Jawa, pemahaman monotheisme juga terdapat di dalam masyarakat Sunda Kuno. Hal ini bisa kita jumpai pada Keyakinan Sunda Wiwitan. Mereka meyakini adanya 'Allah Yang Maha Kuasa', yang dilambangkan dengan ucapan bahasa 'Nu Ngersakeun' atau disebut juga 'Sang Hyang Keresa'. Keterangan mengenai Bani Jawi sebagai keturunan Nabi Ibrahim, ditulis oleh sejarawan terkemuka Ibnu Athir dalam bukunya yang terkenal 'al-Kamil fi al-Tarikh agama Sunda Wiwitan dideskripsikan, tampak keyakinan kepada kekuasaan tertinggi pada Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Disebut pula Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib), yang bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Séda Niskala. Dalam mitologi orang Kanékés, ada tiga macam alam: (1) Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sang Hiyang Keresa, yang letaknya paling atas; (2) Buana Panca Tengah, tempat manusia dan makhluk lain berdiam; dan (3) Buana Larang, yaitu neraka yang letaknya paling bawah.  Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam, tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahiyangan atau Mandala Hiyang. Lapisan alam ini tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghiyang Asri dan Sunan Ambu. Sang Hiyang Keresa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari 7 batara itu ialah Batara Cikal, yang dipercaya paling tua, yang dianggap leluhur orang Kanékés. Keturunan batara yang lain memerintah di daerah-daerah lain (Karang, Jampang, Sajira, Jasinga, Bongbang, dan Banten).

Kata Kunci : sunda , wiwitan,


1.     PENDAHULUAN

        (Pawiro, 2014)Kedatangan agama-agama besar dunia ke Indonesia tidak menghilangkan kepercayaan lokal yang ada / agama-agama dari rakyatnya. Para pengikut kepercayaan lokal tetap kuat di tengah-tengah penyebaran agama-agama besar. Meskipun agama-agama itu tidak menghilangkan kepercayaan lokal, mereka sebenarnya memiliki pengaruh signifikan terhadap mereka. Sunda Wiwitan adalah salah satu kepercayaan lokal yang sampai hari ini masih dikuasai oleh Komunitas Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Orang-orang Baduy sampai hari ini belum memeluk agama-agama besar di dunia. Mereka masih konsisten dengan Sunda Wiwitan, yang diyakini sebagai warisan lama leluhur Sunda mereka yang menjadi karuhun mereka. Keyakinan Sunda Wiwitan saat ini telah sangat dipengaruhi oleh Hinduisme dan Islam. Pengaruh Hindu memunculkan konsep dewa dalam keyakinan mereka, sementara pengaruh Islam memunculkan istilah Allah sebagai Tuhan, Adam Tunggal, Adam dan Hawa, Shahada (Profesi) Nabi Muhammad, Sunat, Shahada dalam pernikahan. Bahkan mantra yang dibacakan oleh puun juga berasal banyak istilah dari Islam. 

        Pada hal kedalaman 'keyakinan' dalam Tuhan kaitannya dengan ekspresi budaya dan spiritual masing-masing dan melalui ritual yang dilakukan oleh orang-orang dari keyakinan ini (kepercayaan ). Karena pengaruh keyakinan 'Barat' yang dibawa ke Indonesia oleh para kolonialis di masa lalu, kehidupan orang-orang yang beriman kepada Tuhan dari dalam kepercayaan lokal mereka sendiri bersama dengan keragaman budaya dan spiritualitas mereka tampaknya telah terpinggirkan. Yang dibutuhkan adalah semacam paradigma baru untuk melihat dan menilai kepercayaan lokal di hadapan apa yang disebut 'agama resmi' di Indonesia. Apresiasi yang lebih besar kepada orang-orang kepercayaan lokal ini sejalan dengan kesadaran yang semakin besar akan pluralitas masyarakat di tanah ini. Upaya untuk mengenali dan memahami esensi dan nilai-nilai dalam sistem kepercayaan lokal adalah sangat penting. doktrin kepercayaan Sunda Wiwitan berkembang dengan mulai menelusuri aspek historis Manusia Sunda (dalam konteks agama dan elemen terkait lainnya dalam sistem kepercayaan ini). Apa yang paling penting bagi para penganut Sunda Wiwitan bukanlah seberapa seringnya berdoa atau memuja Tuhan sebagai upaya setiap individu untuk mempertahankan sikap dan perbuatan sebagai manusia yang menjaga keharmonisan hubungan dengan manusia lain, alam sekitarnya dengan segala isinya, dan Tuhan(Indrawardana, 2014)

Masyarakat Jawa memiliki karakter religius dan bertuhan. Hal tersebut terlihat dari fakta sejarah bahwa mereka mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang mengayomi dan melindungi, serta adanya agama-agama yang dianut masyarakat Jawa, seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam. Namun demikian, dalam beragama di antara Masyarakat Jawa terdapat golongan yang memiliki pandangan yang sinkretis. Dalam artian, bahwa mereka cenderung mengkompromikan halhal yang agak berbeda bahkan bertentangan dengan agama dengan hal-hal di luar agama. Sinkretis bagi Masyarakat Jawa juga berarti bahwa mereka cenderung berpandangan tidak mempersoalkanbenar atau salah dalam beragama, murni atau tidaknya agama. Sehingga, semua agama dilihatnya benar.

Raden Ngabehi Ranggawarsita adalah tokoh yang mewakili pandangan Masyarakat Jawa yang dibesarkan oleh proses akulturasi dua tradisi besar, tradisi keislaman dan tradisi kejawen. Tradisi keislaman diperoleh dari perjalanan hidupnya selama di pesantren dan tradisi kejawen diperoleh dari lingkungan Keraton Surakarta. Akulturasi dua tradisi pemikiran besar tersebut berkonsekuensi kepada pembentukan pemikirannya yang bercorak kejawen sekaligus bercorak keislaman. Maka, konsep ketuhanan yang digagas oleh Ranggawarsita pun tidak sepenuhnya mewakili nilainilai fundamental Islam, yaitu tauhid. Paham Manunggaling Kawula-Gusti yang digagas Ranggawarsita menunjukkan pandangannya yang sinkretis dan akulturis. Yaitu antara pandangannya sebagai seorang muslim dan pandangannya sebagai penganut kejawen atau kebatinan Ranggawarsita dengan paham Manunggaling Kawula-Gusti berusaha menjelaskan prinsip tauhid secara radikal, dengan menjelaskan Tuhan yang transenden sekaligus immanen, namun tetap mempertahankan perbedaan antara Tuhan yang patut disembah dan hamba yang harus menyembah. Namun demikian, konsepnya tentang kemanunggalan Tuhan dan hamba terlihat telah tersusupi oleh ajaran kebatinan dengan masuknya pandangan klenik dalam konsepnya tersebut. Seperti kesaktian yang diperoleh bagi siapa yang mencapai derajat kemanunggalan dengan Tuhan. Pandangan Ranggawarsita akan Tuhan juga tumpang-tindih dengan pandangannya tentang manusia.

Sehingga terdapat pandangan yang mengemuka bahwa ajaran Ranggawarsita tentang Tuhan bersifat pantheistik. Meskipun terdapat bantahan dari beberapa pihak yang mendukung bahwa ajaran ini cenderung bersifat monistik. Hal ini tidak bisa dielakkan, karena Ranggawarsita juga mendapat pengaruh dari –walaupun secara tidak langsung- Ibn ‘Arabi sebagai tokoh wihdah al-wujûd. Oleh karena itu, perlu ketelitian, kejelian dan kewaspadaan dalam mengkaji ajaran ini, dengan mengedepankan sikap kritis.

2.     PEMBAHASAN 

        Baduy-style Islami diucapkan dengan syahadat dan dipraktekkan dengan tapa untuk menjaga dan melestarikan warisan alam, karuhun. Tapa dari Baduy bekerja di ladang untuk menanam padi sebagai bentuk untuk melatih ajaran Islam, dengan mengawinkan dewi padi ke bumi. Aksi Baduy dipandu oleh pikukuh, adat istiadat, mengikuti buyut, tabu. Ajaran agama, tapa, pikukuh dan buyut telah membentuk kepribadian sederhana orang Baduy dalam menjaga konservasi alam Kanekes. Dengan demikian, kesejahteraan dan kedamaian dapat dirasakan oleh umat manusia(Wahid, 2011).
        Baduy sebagai orang yang 'nu tapa di mandala' (bermeditasi di tanah suci) kepada mereka yang 'nu tapa di nagara' (bermeditasi di negara). Dengan tanda-tanda politik ini, mereka berharap bahwa hak mereka akan perlindungan lahan komunal dan kesejahteraan masyarakat akan terpenuhi. Yang menyertai teks seba adalah barang hasil dari ritual suci kawalu, yaitu laksa dan menghasilkan serta rajah tuturan (mantra) dan pidato tradisional(Isnendes, 2016) Agama warga Suku Baduy adalah agama Sunda Wiwitan. Secara harfiyah Sunda Wiwitan berarti “Sunda mula-mula (red: awal, permulaan, pertama)”. Sunda Wiwitan merupakan perubahan nama agama yang dianut oleh Wangsa Padjajaran (bangsa tanah Padjajaran, Sunda) Penamaan Sunda Wiwitan sebagai agama Suku Baduy berawal dari ritual pemujaan dimana Arca Domasdisimbolkan sebagai leluhur mereka. Arca Domas merupakan tempat suci yang dirahasiakan keberadaannya oleh orang Baduy.               (Muttaqien, 2013) Ajaran Sunda wiwitan Madrais, merupakan salah satu unsur Lokal yang masih tersisa hingga saat ini. Ajarannya mendasarkan kepada agama atau ajaran Sunda Kuno yang dikenal dengan Pikukuh Tilu. Dalam ajaran Pikukuh tilu ini tersusun ajaran hubungan Trilogis, yaitu hubungan antara Tuhan, manusia dan Alam. Disamping itu dengan melihat konsep ajaran Sunda wiwitan Madrais ini, anggapan bahwa teks Kuno nenek moyang, khususnya Ajaran Sunda Wiwitan, bangsa Indonesia masih menganut paham animisme, tertolak. 
        Ajaran Sunda Wiwitan bahkan tidak hanya memiliki konsep monotheisme, namun sudah memiliki ajaran yang lengkap, yang tidak hanya membentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga memiliki hubungan dengan manusia. Konsep baduy dan kejawen ini dicetuskan oleh Ranggawarsita. Ajaran Sunda Wiwitan adalah dasar atau pedoman dalam hidup mereka. Dalam hal bertani yang mereka lakukan adalah amanah itu agama yang mereka anut atau yakini. Kearifan lingkungan dalam hal bercocok tanam dengan sistem perladangan berpindah atau padi kering (huma) adalah amanat dari ajaran agamanya (Sodikin, 2017)

Konsepsi tentang Tuhan Menurut Ranggawarsita

1. Zat, sifat, asma dan af’âl Tuhan

 Tuhan menurut Ranggawarsita bersifat immanen. Tuhan digambarkan berada pada hidup manusia. Hidup manusia menurut Wirid Hidayat Jati merupakan Sifat Tuhan. Sifat Tuhan tiada terpisah dengan Zat. Oleh karena itu, keterangan mengenai Tuhan selalu tumpang tindih dengan keterangan tentang manusia. Uraian tentang Tuhan selalu dikaitkan dengan uraian tentang manusia sekaligus. Hampir tidak ada keterangan tentang Tuhan yang terpisah dengan keterangan tentang manusia.Ranggawarsita mengajarkan bahwa Zat Tuhan memiliki berbagai macam sifat, asma, dan af’al. Tuhan digambarkan sebagai Zat yang berkehendak dan berkarya secara aktif, sebagai Pencipta dan Penguasa alam semesta.Hal itu dalam suluk Saloka Jiwa diterangkan sebagai berikut: “Buka kawruh kasampurnan, wulanging ing nguni, iya satuhunira, sadurunge ana sami, awing-nguwung nur rokyat, anulya ana ngasnasir, gya tumangkar bumi geni, angina, toya.” (Membuka ilmu hakikat, pelajaran para guru masa lalu, bahwa sesungguhnya, sebelum adanya alam kosong ini, yang ada hanyalah Tuhan, yang maha luhur. Menyinarkan Nur Muhammad yang kemudian memancarkan empat anasir, yakni bumi, api, angin, dan air).

Dalam Wirid Hidayat Jati dijelaskan pula: “Sajatine ora ana apa-apa awit duk taksih awing-uwung during ana sawiji-wiji, kang ana dingin Ingsun. Sajatining Amaha suci. Anglimputi ing sipating- Sun anartani ing asmaning-Sun, amratandhani ing apngaling-Sun.”12 (Sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena sewaktu masih dalam keadaan kosong belum ada sesuatupun. Yang ada terlebih dahulu adalah Aku. Tidak ada Tuhan kecuali Aku, sesunggunya Zat yang Maha Suci meliputi sifat-Ku, menyertai nama-Ku, menandai perbuatan-Ku). Ranggawarsita juga menjelaskan dalam Maklumat Jati sebagai berikut: Sesunguhnya tidak ada apa-apa, segala yang tersebut tadi bukan merupakan tajalli Zat Tuhan. Artinya bukan manifestasi zat Tuhan yang maha suci. Yakni yang Maha Kuasa, Maha Mulia, serta yang Maha Suci hanyalah Aku. Sebelum ada barang sesuatu apa pun, keadaan alam besar dan alam kecil serta segala isinya, belum tercipta, yang ada paling dahulu hanyalah Zat yang Maha Suci. Sesungguhnya Zat yang Maha Suci itu bersifat esa, dinamakan zat mutlak yang kadim azali abadi. Artinya bersifat satu, Yang Terdahulu sendiri, pada waktu keaadan masih dalam keadaan hampa selamanya. Yakni Tuhan telah tegak sendirian dalam nukat gaib yang teramat kekal, berada pada hidup kita. Sesungguhnya kita itu adalah tajalli-Nya Zat yang Maha Suci.

 

2. Tajalli Tuhan

Menurut Ranggawarsita Tuhan pada mulanya tegak sendirian, kemudian ia menciptakan manusia melalui tajalli Zat-Nya sebanyak tujuh martabat. Yakni, sajaratul yakin, nur Muhammad, mir’atul haya’i, ruh idlafi, kandil, darrah dan hijab. Mengenai konsep tajalli ini, terlihat ada kemiripan dengan Ajaran Martabat Tujuh yang berasal dari Kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila Rûh al-Nabi karya Ibnu Fadlilah, yang oleh William C. Chittick dikategorisasikan sebagai pengikut Ibn al-’Arabi. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Ranggawarsita pun terpengaruh oleh Ibn al-’Arabi.16 Bahkan Simuh bependapat bahwa konsep tajalli Ranggawarsita diambil dari konsep tajalli tersebut. Namun hal itu disanggah oleh Hadi WM. dengan mengatakan bahwa tidak semua ajaran wujudiyah di Indonesia adalah Ajaran Martabat Tujuh. Karena ajaran itu berkembang pada awal abad ke-17 dengan syekh Syamsuddin Pasai sebagai penganjur pertama. Sedangkan Syekh Hamzah Fansuri dan para wali pulau Jawa abad ke-16, seperti Sunan Bonang dan Sunan kalijaga tidak pernah menjadi penganjur Ajaran Martabat Tujuh. Menurut paham Martabat Tujuh, segala yang ada di alam semesta ini merupakan aspek lahir dari suatu hakikat yang tunggal, yakni Tuhan. Menurut Ibn Fadlilah, Tuhan sebagai Zat yang mutlak yang kadim tidak dapat diketahui oleh panca indera, akal, maupun khayal. Tuhan sebagai Wujud Mutlak baru bisa dikenal setelah bertajalli (menampakkan keluar) sebanyak tujuh martabat. Ketujuh martabat itu secara berurutan sebagai berikut:

1. Alam Ahadiyat, yaitu martabat zat yang bersifat sepi, yang tidak dapat dikenal oleh siapapun.

2. Martabat Wahdat dan disebut pula hakikat muhammadiyyah (Nur Muhammad). Yaitu permulaan ta’yun (nyata yang pertama), merupakan kesatuan yang mengandung ketajaman di mana sebelum ada pemisahan satu dengan yang lainnya. Belum ada perbedaan antara ilmu, alim, dan maklum. Atau ibarat biji belum ada pemisah antara akar, batang, dan daun.

3. Martabat Wahidiyat yang juga disebut hakikat manusia. Wahidiyat adalah kesatuan yang mengandung kejamakan, merupakan ta’yun kedua di mana setiap bagian telah tampak terpisah-pisah secara jelas. Ibarat ilmu Tuhan terhadap zat, sifat, dan nama-nama, serta segala perwujudan, telah pasti dalam ilmu Tuhan. Dari ketiga martabat batin (ahadiyat, wahdat, wahidiyat) yang bersifat kadim dan tetap, muncullah empat martabat lahir yang merupakan a’yan khârijah, yaitu:

4. Martabat Arwâh

 yaitu ibarat segala sesuatu yang masih mujarrad dan basith. Abdul Hadi W. M., Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya.

5. Martabat Alam Mitsâl

Yaitu ibarat segala sesuatu yang tersusun secara halus, tidak dapat dibagi lagi dan tak dapat dipisahpisahkan satu dengan yang lainnya.

6. Martabat Alam Ajsâm

 ibarat segala sesuatu yang telah terukur. Telah jelas tebal tipisnya, dapat dibagi-bagi.

7. Martabat Insân Kâmil

 mencakup keenam martabat yang terdahulu.Yakni tiga martabat batin, (ahadiyat, wahdat, dan wahidiyat) dan tiga martabat lahir (alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam). Kerangka pemikiran Martabat Tujuh tersebut kemudian diuraikan dalam Wirid Hidayat Jati sebagai berikut: Sajatine Ingsun Dat kang Amurba Amisesa, Kang Kuwasa anitahake sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka sing kodrating-Sun, ing kono wus kanyatahan pratandhaning apaling-Sun, minangka bubukaning iradating-Sun, kang dhingin Ingsun anitahake kayu, aran sajaratul yakin, tumuwuh ing sajroning ngalam (ng)adam-makdum ajali-abadi, nuli cahya aran nur Muhammad, nuli kaca aran miratul kayai, nuli nyawa aran ruh ilapi, nuli aran kandil, nuli sosotya aran darrah, nuli dhindhing jalal aran kijab. Kang minangka waraning kalarating-Sun. (Sesungguhnya Kami zat Yang memulai dan menghabisi, yang berkuasa, menciptakan satu-satu makhluk, sekaligus menjadi sempurna karena kodrat Kami, di sana sudah mewujudkan tanda-tanda atau af’al Kami sebagai pembukaan iradat Kami, mula-mula Kami menciptakan kayu yang bernama sajaratul yakin yang tumbuh dalam alam adam makdum azali abadi, kemudian cahaya yang bernama nur Muhammad, kemudian kaca yang bernama miratul haya, kemudian nyawa yang bernama ruh idlafi, kemudian lampu yang bernama kandil, kemudian permata yang bernama darrah, kemudian dinding jalal yang bernama kijab sebagai warna kemuliaan kami). Uraian di atas menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta melalui tajalli Zat-Nya sebanyak tujuh martabat, yakni sajaratul yakin, nur Muhammad, mir’atul haya’i, ruh idlafi, kandil, darrah dan hijab.Ajaran Martabat Tujuh tersebutjuga dinamakan tanazzul yang kelihatannya konsep ini sama  dengan emanasi.

3.     KESIMPULAN 

Sunda Wiwitan. Mereka meyakini adanya 'Allah Yang Maha Kuasa', yang dilambangkan dengan ucapan bahasa 'Nu Ngersakeun' atau disebut juga 'Sang Hyang Keresa'. Akulturasi dua tradisi, keislaman dan kejawen, yang dilakukan oleh Ranggawarsita berkonsekuensi kepada tidak terwakilinya salah satu dari dua tradisi tersebut seratus persen. Sehingga bisa dipastikan bahwa konsep ketuhanan yang digagas oleh pun tidak sepenuhnya mewakili nilai-nilai fundamental Islam, yaitu tauhid. Pandangan Ranggawarsita akan Tuhan selalu tumpang-tindih dengan pandangannya tentang manusia. Sehingga sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa ajaran yang dikemukakan oleh Ranggawarsita adalah pantheistik.

Meskipun terdapat bantahan dari beberapa pihak yang mendukung bahwa ajaran ini cenderung bersifat monistik. Hal ini tidak bisa dielakkan, karena Ranggawarsita juga mendapat pengaruh Ibn ‘Arabi sebagai tokoh wihdah al-wujud. Tuhan dalam pandangan Ranggawarsita juga bersifat immanen, bukan hanya immanen dengan alam, tetapi juga dengan manusia. Ranggawarsita juga mencampurkan unsur klenik dalam paham kebatinannya. Hal itu terlihat dalam konsep insan kamilnya. Bahwa manusia yang telah mengalami kesatuan dengan Tuhan, akan menjadi sakti. Apa yang dikatakannya akan terjadi. Oleh karena itu, perlu ketelitian, kejelian dan kewaspadaan dalam mengkaji ajaran ini, dengan mengedepankan sikap kritis.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Indrawardana, I. (2014) ‘Berketuhanan dalam Perspektif Sunda Wiwitan’, Melintas.

Isnendes, R. (2016) ‘Seba Baduy Ceremony: a Political Journey of Sunda Wiwitan Traditional Community’, Masyarakat & Budaya.

Muttaqien, A. (2013) ‘Spiritualitas Agama Lokal: Studi Ajaran Sunda Wiwitan aliran Madrais di Cigugur Kuningan Jawa Barat’, Al-Adyan.

Pawiro, A. M. B. (2014) ‘SUNDA WIWITAN ON PARAHYANG LAND’, Al-Albab. doi: 10.24260/alalbab.v3i1.96.

Sodikin, S. (2017) ‘Traditional Wisdom of Adat Law Baduy Community In Farming System In Kanekes Village, Leuwihdamar Lebak Banten’, JURNAL CITA HUKUM. doi: 10.15408/jch.v5i1.5398.

Wahid, M. (2011) ‘Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten’, El-Harakah. doi: 10.18860/el.v0i0.1888.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...