Islam Kejawen dan Pasundan
ABSTRAK
Suku Jawa adalah suku terbesar dari Bani Jawi. Dan sejak dahulu, mereka menganut monotheisme, seperti keyakinan adanya Sang Hyang Widhi atau Sangkan Paraning Dumadi. Selain suku Jawa, pemahaman monotheisme juga terdapat di dalam masyarakat Sunda Kuno. Hal ini bisa kita jumpai pada Keyakinan Sunda Wiwitan. Mereka meyakini adanya 'Allah Yang Maha Kuasa', yang dilambangkan dengan ucapan bahasa 'Nu Ngersakeun' atau disebut juga 'Sang Hyang Keresa'. Keterangan mengenai Bani Jawi sebagai keturunan Nabi Ibrahim, ditulis oleh sejarawan terkemuka Ibnu Athir dalam bukunya yang terkenal 'al-Kamil fi al-Tarikh agama Sunda Wiwitan dideskripsikan, tampak keyakinan kepada kekuasaan tertinggi pada Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Disebut pula Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib), yang bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Séda Niskala. Dalam mitologi orang Kanékés, ada tiga macam alam: (1) Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sang Hiyang Keresa, yang letaknya paling atas; (2) Buana Panca Tengah, tempat manusia dan makhluk lain berdiam; dan (3) Buana Larang, yaitu neraka yang letaknya paling bawah. Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam, tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahiyangan atau Mandala Hiyang. Lapisan alam ini tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghiyang Asri dan Sunan Ambu. Sang Hiyang Keresa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari 7 batara itu ialah Batara Cikal, yang dipercaya paling tua, yang dianggap leluhur orang Kanékés. Keturunan batara yang lain memerintah di daerah-daerah lain (Karang, Jampang, Sajira, Jasinga, Bongbang, dan Banten).
Kata Kunci : sunda ,
wiwitan,
1. PENDAHULUAN
(Pawiro, 2014)Kedatangan agama-agama besar dunia ke Indonesia tidak menghilangkan kepercayaan lokal yang ada / agama-agama dari rakyatnya. Para pengikut kepercayaan lokal tetap kuat di tengah-tengah penyebaran agama-agama besar. Meskipun agama-agama itu tidak menghilangkan kepercayaan lokal, mereka sebenarnya memiliki pengaruh signifikan terhadap mereka. Sunda Wiwitan adalah salah satu kepercayaan lokal yang sampai hari ini masih dikuasai oleh Komunitas Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Orang-orang Baduy sampai hari ini belum memeluk agama-agama besar di dunia. Mereka masih konsisten dengan Sunda Wiwitan, yang diyakini sebagai warisan lama leluhur Sunda mereka yang menjadi karuhun mereka. Keyakinan Sunda Wiwitan saat ini telah sangat dipengaruhi oleh Hinduisme dan Islam. Pengaruh Hindu memunculkan konsep dewa dalam keyakinan mereka, sementara pengaruh Islam memunculkan istilah Allah sebagai Tuhan, Adam Tunggal, Adam dan Hawa, Shahada (Profesi) Nabi Muhammad, Sunat, Shahada dalam pernikahan. Bahkan mantra yang dibacakan oleh puun juga berasal banyak istilah dari Islam.
Pada hal kedalaman 'keyakinan' dalam Tuhan kaitannya dengan
ekspresi budaya dan spiritual masing-masing dan melalui ritual yang dilakukan
oleh orang-orang dari keyakinan ini (kepercayaan ). Karena pengaruh keyakinan
'Barat' yang dibawa ke Indonesia oleh para kolonialis di masa lalu, kehidupan
orang-orang yang beriman kepada Tuhan dari dalam kepercayaan lokal mereka
sendiri bersama dengan keragaman budaya dan spiritualitas mereka tampaknya
telah terpinggirkan. Yang dibutuhkan adalah semacam paradigma baru untuk
melihat dan menilai kepercayaan lokal di hadapan apa yang disebut 'agama resmi'
di Indonesia. Apresiasi yang lebih besar kepada orang-orang kepercayaan lokal
ini sejalan dengan kesadaran yang semakin besar akan pluralitas masyarakat di
tanah ini. Upaya untuk mengenali dan memahami esensi dan nilai-nilai dalam
sistem kepercayaan lokal adalah sangat penting. doktrin kepercayaan Sunda
Wiwitan berkembang dengan mulai menelusuri aspek historis Manusia Sunda (dalam
konteks agama dan elemen terkait lainnya dalam sistem kepercayaan ini). Apa
yang paling penting bagi para penganut Sunda Wiwitan bukanlah seberapa
seringnya berdoa atau memuja Tuhan sebagai upaya setiap individu untuk
mempertahankan sikap dan perbuatan sebagai manusia yang menjaga keharmonisan
hubungan dengan manusia lain, alam sekitarnya dengan segala isinya, dan Tuhan(Indrawardana, 2014)
Masyarakat Jawa memiliki karakter religius dan
bertuhan. Hal tersebut terlihat dari fakta sejarah bahwa mereka mempunyai
kepercayaan adanya Tuhan yang mengayomi dan melindungi, serta adanya
agama-agama yang dianut masyarakat Jawa, seperti Hindu, Budha, Kristen, dan
Islam. Namun demikian, dalam beragama di antara Masyarakat Jawa terdapat golongan
yang memiliki pandangan yang sinkretis. Dalam artian, bahwa mereka cenderung
mengkompromikan halhal yang agak berbeda bahkan bertentangan dengan agama
dengan hal-hal di luar agama. Sinkretis bagi Masyarakat Jawa juga berarti bahwa
mereka cenderung berpandangan tidak mempersoalkanbenar atau salah dalam beragama,
murni atau tidaknya agama. Sehingga, semua agama dilihatnya benar.
Raden Ngabehi Ranggawarsita adalah tokoh yang
mewakili pandangan Masyarakat Jawa yang dibesarkan oleh proses akulturasi dua
tradisi besar, tradisi keislaman dan tradisi kejawen. Tradisi keislaman
diperoleh dari perjalanan hidupnya selama di pesantren dan tradisi kejawen
diperoleh dari lingkungan Keraton Surakarta. Akulturasi dua tradisi pemikiran
besar tersebut berkonsekuensi kepada pembentukan pemikirannya yang bercorak
kejawen sekaligus bercorak keislaman. Maka, konsep ketuhanan yang digagas oleh
Ranggawarsita pun tidak sepenuhnya mewakili nilainilai fundamental Islam, yaitu
tauhid. Paham Manunggaling Kawula-Gusti yang digagas Ranggawarsita menunjukkan
pandangannya yang sinkretis dan akulturis. Yaitu antara pandangannya sebagai
seorang muslim dan pandangannya sebagai penganut
kejawen atau kebatinan Ranggawarsita dengan paham Manunggaling Kawula-Gusti
berusaha menjelaskan prinsip tauhid secara radikal, dengan menjelaskan Tuhan
yang transenden sekaligus immanen, namun tetap mempertahankan perbedaan antara
Tuhan yang patut disembah dan hamba yang harus menyembah. Namun demikian, konsepnya
tentang kemanunggalan Tuhan dan hamba terlihat telah tersusupi oleh ajaran kebatinan
dengan masuknya pandangan klenik dalam konsepnya tersebut. Seperti kesaktian
yang diperoleh bagi siapa yang mencapai derajat kemanunggalan dengan Tuhan. Pandangan
Ranggawarsita akan Tuhan juga tumpang-tindih dengan pandangannya tentang
manusia.
Sehingga terdapat pandangan yang mengemuka bahwa ajaran
Ranggawarsita tentang Tuhan bersifat pantheistik. Meskipun terdapat bantahan
dari beberapa pihak yang mendukung bahwa ajaran ini cenderung bersifat
monistik. Hal ini tidak bisa dielakkan, karena Ranggawarsita juga mendapat
pengaruh dari –walaupun secara tidak langsung- Ibn ‘Arabi sebagai tokoh wihdah
al-wujûd. Oleh karena itu, perlu ketelitian, kejelian dan kewaspadaan dalam
mengkaji ajaran ini, dengan mengedepankan sikap kritis.
2. PEMBAHASAN
Baduy-style Islami diucapkan dengan syahadat dan dipraktekkan dengan tapa untuk menjaga dan melestarikan warisan alam, karuhun. Tapa dari Baduy bekerja di ladang untuk menanam padi sebagai bentuk untuk melatih ajaran Islam, dengan mengawinkan dewi padi ke bumi. Aksi Baduy dipandu oleh pikukuh, adat istiadat, mengikuti buyut, tabu. Ajaran agama, tapa, pikukuh dan buyut telah membentuk kepribadian sederhana orang Baduy dalam menjaga konservasi alam Kanekes. Dengan demikian, kesejahteraan dan kedamaian dapat dirasakan oleh umat manusia(Wahid, 2011).
Baduy sebagai orang yang 'nu tapa di mandala' (bermeditasi di tanah suci) kepada mereka yang 'nu tapa di nagara' (bermeditasi di negara). Dengan tanda-tanda politik ini, mereka berharap bahwa hak mereka akan perlindungan lahan komunal dan kesejahteraan masyarakat akan terpenuhi. Yang menyertai teks seba adalah barang hasil dari ritual suci kawalu, yaitu laksa dan menghasilkan serta rajah tuturan (mantra) dan pidato tradisional(Isnendes, 2016) Agama warga Suku Baduy adalah agama Sunda Wiwitan. Secara harfiyah Sunda Wiwitan berarti “Sunda mula-mula (red: awal, permulaan, pertama)”. Sunda Wiwitan merupakan perubahan nama agama yang dianut oleh Wangsa Padjajaran (bangsa tanah Padjajaran, Sunda) Penamaan Sunda Wiwitan sebagai agama Suku Baduy berawal dari ritual pemujaan dimana Arca Domasdisimbolkan sebagai leluhur mereka. Arca Domas merupakan tempat suci yang dirahasiakan keberadaannya oleh orang Baduy. (Muttaqien, 2013) Ajaran Sunda wiwitan Madrais, merupakan salah satu unsur Lokal yang masih tersisa hingga saat ini. Ajarannya mendasarkan kepada agama atau ajaran Sunda Kuno yang dikenal dengan Pikukuh Tilu. Dalam ajaran Pikukuh tilu ini tersusun ajaran hubungan Trilogis, yaitu hubungan antara Tuhan, manusia dan Alam. Disamping itu dengan melihat konsep ajaran Sunda wiwitan Madrais ini, anggapan bahwa teks Kuno nenek moyang, khususnya Ajaran Sunda Wiwitan, bangsa Indonesia masih menganut paham animisme, tertolak.
Ajaran Sunda Wiwitan bahkan tidak hanya memiliki konsep monotheisme, namun sudah memiliki ajaran yang lengkap, yang tidak hanya membentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga memiliki hubungan dengan manusia. Konsep baduy dan kejawen ini dicetuskan oleh Ranggawarsita. Ajaran Sunda Wiwitan adalah dasar atau pedoman dalam hidup mereka. Dalam hal bertani yang mereka lakukan adalah amanah itu agama yang mereka anut atau yakini. Kearifan lingkungan dalam hal bercocok tanam dengan sistem perladangan berpindah atau padi kering (huma) adalah amanat dari ajaran agamanya (Sodikin, 2017)
Konsepsi
tentang Tuhan Menurut Ranggawarsita
1.
Zat, sifat, asma dan af’âl Tuhan
Tuhan menurut Ranggawarsita bersifat immanen.
Tuhan digambarkan berada pada hidup manusia. Hidup manusia menurut Wirid
Hidayat Jati merupakan Sifat Tuhan. Sifat Tuhan tiada terpisah dengan Zat. Oleh
karena itu, keterangan mengenai Tuhan selalu tumpang tindih dengan keterangan
tentang manusia. Uraian tentang Tuhan selalu dikaitkan dengan uraian tentang
manusia sekaligus. Hampir tidak ada keterangan tentang Tuhan yang terpisah
dengan keterangan tentang manusia.Ranggawarsita mengajarkan bahwa Zat Tuhan
memiliki berbagai macam sifat, asma, dan af’al. Tuhan digambarkan sebagai Zat
yang berkehendak dan berkarya secara aktif, sebagai Pencipta dan Penguasa alam
semesta.Hal itu dalam suluk Saloka Jiwa diterangkan sebagai berikut: “Buka
kawruh kasampurnan, wulanging ing nguni, iya satuhunira, sadurunge ana sami,
awing-nguwung nur rokyat, anulya ana ngasnasir, gya tumangkar bumi geni,
angina, toya.” (Membuka ilmu hakikat, pelajaran para guru masa lalu, bahwa
sesungguhnya, sebelum adanya alam kosong ini, yang ada hanyalah Tuhan, yang
maha luhur. Menyinarkan Nur Muhammad yang kemudian memancarkan empat anasir,
yakni bumi, api, angin, dan air).
Dalam Wirid Hidayat Jati dijelaskan
pula: “Sajatine ora ana apa-apa awit duk taksih awing-uwung during ana
sawiji-wiji, kang ana dingin Ingsun. Sajatining Amaha suci. Anglimputi ing
sipating- Sun anartani ing asmaning-Sun, amratandhani ing apngaling-Sun.”12
(Sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena sewaktu masih dalam keadaan kosong
belum ada sesuatupun. Yang ada terlebih dahulu adalah Aku. Tidak ada Tuhan
kecuali Aku, sesunggunya Zat yang Maha Suci meliputi sifat-Ku, menyertai
nama-Ku, menandai perbuatan-Ku). Ranggawarsita juga menjelaskan dalam Maklumat
Jati sebagai berikut: Sesunguhnya tidak ada apa-apa, segala yang tersebut tadi
bukan merupakan tajalli Zat Tuhan. Artinya bukan manifestasi zat Tuhan yang
maha suci. Yakni yang Maha Kuasa, Maha Mulia, serta yang Maha Suci hanyalah
Aku. Sebelum ada barang sesuatu apa pun, keadaan alam besar dan alam kecil
serta segala isinya, belum tercipta, yang ada paling dahulu hanyalah Zat yang
Maha Suci. Sesungguhnya Zat yang Maha Suci itu bersifat esa, dinamakan zat
mutlak yang kadim azali abadi. Artinya bersifat satu, Yang Terdahulu sendiri,
pada waktu keaadan masih dalam keadaan hampa selamanya. Yakni Tuhan telah tegak
sendirian dalam nukat gaib yang teramat kekal, berada pada hidup kita.
Sesungguhnya kita itu adalah tajalli-Nya Zat yang Maha Suci.
2.
Tajalli Tuhan
Menurut Ranggawarsita Tuhan pada
mulanya tegak sendirian, kemudian ia menciptakan manusia melalui tajalli
Zat-Nya sebanyak tujuh martabat. Yakni, sajaratul yakin, nur Muhammad, mir’atul
haya’i, ruh idlafi, kandil, darrah dan hijab. Mengenai konsep tajalli ini,
terlihat ada kemiripan dengan Ajaran Martabat Tujuh yang berasal dari Kitab
al-Tuhfah al-Mursalah ila Rûh al-Nabi karya Ibnu Fadlilah, yang oleh William C.
Chittick dikategorisasikan sebagai pengikut Ibn al-’Arabi. Sehingga bisa
disimpulkan bahwa Ranggawarsita pun terpengaruh oleh Ibn al-’Arabi.16 Bahkan
Simuh bependapat bahwa konsep tajalli Ranggawarsita diambil dari konsep tajalli
tersebut. Namun hal itu disanggah oleh Hadi WM. dengan mengatakan bahwa tidak
semua ajaran wujudiyah di Indonesia adalah Ajaran Martabat Tujuh. Karena ajaran
itu berkembang pada awal abad ke-17 dengan syekh Syamsuddin Pasai sebagai
penganjur pertama. Sedangkan Syekh Hamzah Fansuri dan para wali pulau Jawa abad
ke-16, seperti Sunan Bonang dan Sunan kalijaga tidak pernah menjadi penganjur
Ajaran Martabat Tujuh. Menurut paham Martabat Tujuh, segala yang ada di alam
semesta ini merupakan aspek lahir dari suatu hakikat yang tunggal, yakni Tuhan.
Menurut Ibn Fadlilah, Tuhan sebagai Zat yang mutlak yang kadim tidak dapat
diketahui oleh panca indera, akal, maupun khayal. Tuhan sebagai Wujud Mutlak
baru bisa dikenal setelah bertajalli (menampakkan keluar) sebanyak tujuh martabat.
Ketujuh martabat itu secara berurutan sebagai berikut:
1. Alam Ahadiyat, yaitu martabat zat yang bersifat sepi, yang tidak
dapat dikenal oleh siapapun.
2. Martabat Wahdat dan disebut pula hakikat muhammadiyyah (Nur
Muhammad). Yaitu permulaan ta’yun (nyata yang pertama), merupakan kesatuan yang
mengandung ketajaman di mana sebelum ada pemisahan satu dengan yang lainnya.
Belum ada perbedaan antara ilmu, alim, dan maklum. Atau ibarat biji belum ada
pemisah antara akar, batang, dan daun.
3. Martabat Wahidiyat yang juga disebut hakikat manusia. Wahidiyat
adalah kesatuan yang mengandung kejamakan, merupakan ta’yun kedua di mana
setiap bagian telah tampak terpisah-pisah secara jelas. Ibarat ilmu Tuhan
terhadap zat, sifat, dan nama-nama, serta segala perwujudan, telah pasti dalam
ilmu Tuhan. Dari ketiga martabat batin (ahadiyat, wahdat, wahidiyat) yang
bersifat kadim dan tetap, muncullah empat martabat lahir yang merupakan a’yan
khârijah, yaitu:
4.
Martabat Arwâh
yaitu ibarat segala sesuatu
yang masih mujarrad dan basith. Abdul Hadi W. M., Hamzah Fansuri Risalah
Tasawuf dan Puisi-puisinya.
5.
Martabat Alam Mitsâl
Yaitu ibarat segala sesuatu yang tersusun secara halus, tidak dapat
dibagi lagi dan tak dapat dipisahpisahkan satu dengan yang lainnya.
6.
Martabat Alam Ajsâm
ibarat segala sesuatu yang
telah terukur. Telah jelas tebal tipisnya, dapat dibagi-bagi.
7.
Martabat Insân Kâmil
mencakup keenam martabat
yang terdahulu.Yakni tiga martabat batin, (ahadiyat, wahdat, dan wahidiyat) dan
tiga martabat lahir (alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam). Kerangka
pemikiran Martabat Tujuh tersebut kemudian diuraikan dalam Wirid Hidayat Jati
sebagai berikut: Sajatine Ingsun Dat kang Amurba Amisesa, Kang Kuwasa anitahake
sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka sing kodrating-Sun, ing kono
wus kanyatahan pratandhaning apaling-Sun, minangka bubukaning iradating-Sun,
kang dhingin Ingsun anitahake kayu, aran sajaratul yakin, tumuwuh ing sajroning
ngalam (ng)adam-makdum ajali-abadi, nuli cahya aran nur Muhammad, nuli kaca
aran miratul kayai, nuli nyawa aran ruh ilapi, nuli aran kandil, nuli sosotya
aran darrah, nuli dhindhing jalal aran kijab. Kang minangka waraning
kalarating-Sun. (Sesungguhnya Kami zat Yang memulai dan menghabisi, yang
berkuasa, menciptakan satu-satu makhluk, sekaligus menjadi sempurna karena
kodrat Kami, di sana sudah mewujudkan tanda-tanda atau af’al Kami sebagai
pembukaan iradat Kami, mula-mula Kami menciptakan kayu yang bernama sajaratul
yakin yang tumbuh dalam alam adam makdum azali abadi, kemudian cahaya yang
bernama nur Muhammad, kemudian kaca yang bernama miratul haya, kemudian nyawa
yang bernama ruh idlafi, kemudian lampu yang bernama kandil, kemudian permata
yang bernama darrah, kemudian dinding jalal yang bernama kijab sebagai warna
kemuliaan kami). Uraian di atas menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia dan
alam semesta melalui tajalli Zat-Nya sebanyak tujuh martabat, yakni sajaratul
yakin, nur Muhammad, mir’atul haya’i, ruh idlafi, kandil, darrah dan
hijab.Ajaran Martabat Tujuh tersebutjuga dinamakan tanazzul yang kelihatannya
konsep ini sama dengan emanasi.
3. KESIMPULAN
Sunda
Wiwitan. Mereka meyakini adanya 'Allah Yang Maha Kuasa', yang dilambangkan
dengan ucapan bahasa 'Nu Ngersakeun' atau disebut juga 'Sang Hyang Keresa'. Akulturasi dua tradisi, keislaman dan kejawen, yang dilakukan oleh
Ranggawarsita berkonsekuensi kepada tidak terwakilinya salah satu dari dua
tradisi tersebut seratus persen. Sehingga bisa dipastikan bahwa konsep ketuhanan
yang digagas oleh pun tidak sepenuhnya mewakili nilai-nilai fundamental Islam,
yaitu tauhid. Pandangan Ranggawarsita akan Tuhan selalu tumpang-tindih dengan
pandangannya tentang manusia. Sehingga sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa
ajaran yang dikemukakan oleh Ranggawarsita adalah pantheistik.
Meskipun terdapat bantahan dari beberapa pihak yang mendukung bahwa
ajaran ini cenderung bersifat monistik. Hal ini tidak bisa dielakkan, karena
Ranggawarsita juga mendapat pengaruh Ibn ‘Arabi sebagai tokoh wihdah al-wujud.
Tuhan dalam pandangan Ranggawarsita juga bersifat immanen, bukan hanya immanen
dengan alam, tetapi juga dengan manusia. Ranggawarsita juga mencampurkan unsur
klenik dalam paham kebatinannya. Hal itu terlihat dalam konsep insan kamilnya. Bahwa
manusia yang telah mengalami kesatuan dengan Tuhan, akan menjadi sakti. Apa
yang dikatakannya akan terjadi. Oleh karena itu, perlu ketelitian, kejelian dan
kewaspadaan dalam mengkaji ajaran ini, dengan mengedepankan sikap kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Indrawardana, I. (2014) ‘Berketuhanan dalam Perspektif Sunda
Wiwitan’, Melintas.
Isnendes, R. (2016)
‘Seba Baduy Ceremony: a Political Journey of Sunda Wiwitan Traditional
Community’, Masyarakat & Budaya.
Muttaqien, A. (2013)
‘Spiritualitas Agama Lokal: Studi Ajaran Sunda Wiwitan aliran Madrais di
Cigugur Kuningan Jawa Barat’, Al-Adyan.
Pawiro, A. M. B.
(2014) ‘SUNDA WIWITAN ON PARAHYANG LAND’, Al-Albab. doi:
10.24260/alalbab.v3i1.96.
Sodikin, S. (2017)
‘Traditional Wisdom of Adat Law Baduy Community In Farming System In Kanekes
Village, Leuwihdamar Lebak Banten’, JURNAL CITA HUKUM. doi:
10.15408/jch.v5i1.5398.
Wahid, M. (2011)
‘Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten’, El-Harakah.
doi: 10.18860/el.v0i0.1888.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar