Teori dan Asal Usul Tetomisme, Animisme, dan Dinamisme
Abstrak
Tujuan pembuatan makalah ini yaitu untuk memberikan informasi mengenai asal- usul kepercayaan yang lahir pada masa purba Totemisme(kepercayaan kepada hewan yang dianggap suci), Dinamisme(kepercayaan kepada benda-benda yang dianggap sakti), dan Animisme(kepercayaan kepada roh nenek moyang yang sangat dihormati) dan hubungannya dengan siklus kehidupan manusia purba yang terus berkembang dan mengalami kemajuan iptek yang signifikan, sampai manusia purba menggunakan akalnya untuk berfikir kritis terhadap penciptan semesta beserta isinya. Dan penciptaan dirinya sendiri, sampai mereka mampu melahirkan kebudayaan yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi suatu tradisi yang dianggap suci dan sakral, dan terlarang apabila ditinggalkan, karena akan membawa kesialan bagi pelakunya. Memberikan wawasan tentang teori kepercayaan totemisme yang dikemukakan oleh ilmuwan terkemuka. Selain itu dalam makalah ini juga dibahas mengenai asal-usul kepercayaan pada manusia purba. Serta eksistensi kepercayaan purbakala yang identik dengan hal-hal mistis yang berbanding terbalik dengan era global yang harus serba rasional. Tidak sampai di situ makalah ini juga menyajikan tradisi yang biasa dilakukan dalam menganut kepercayaan primitif ini, alasan mereka memuja roh nenek moyang dan mempertahankan kepercayaan primitifnya serta tertutup terhadap dunia luar hingga saat ini. Makalah ini juga menjelaskan alasan manusia purba menyubjektifkan alam dan mengobjektifkan dirinya sebagai hamba yang tidak memiliki kekuasaan atas alam.
Kata kunci: Kepercayaan, Purba, Animisme, Dinamisme, Totemisme, sakral
A.
Pendahuluan
Masyarakat indonesia adalah masyarakat yang
pluralis. Terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, budaya, dan agama. Di
indonesia budaya bisa menjadi sebuah agama. Diwariskan turun temurun dari nenek
moyang yang diklaim rohnya memiliki kekuatan. Sehingga apapun yang dilakukan
nenek moyangnya menjadi sumber rujukan bagi mereka untuk menjalankan kehidupan
termasuk dalam kehidupan beragama. Dahulu kala beban yang dipikul oleh manusia
zaman purba begitu berat. Waktu mereka dihabiskan untuk berburu demi mempertahankan
kehidupannya. Namun seiring dengan berjalannya waktu manusia yang diberikan
akal oleh Tuhan mengembangkan kehidupan dan mulai membangun sebuah peradaban
yang mebuat kehidupannya satu langkah lebih baik. Mereka mulai hidup menetap
dan bercocok tanam. Mulai memiliki waktu luang untuk memikirkan beragam hal
termasuk memikirkan sang pemilik kekuatan yang telah memberikan mereka makan,
yang menciptakan tumbuhan dan hewan yang menyebabkan mereka dapat mempertahankan
hidupnya dan melestarikan keturunannya. Kepercayaan itu datang dari dalam diri
mereka melalui fenomena-fenomena yang terjadi di kehidupan sekitarnya. Baik yang
tidak disengaja maupun yang terjadi begitu saja dengan natural. Kepercayaan terhadap
ilahi telah muncul sejak zaman pra-aksara, mereka manusia pada zaman ini banyak
tersentuh dengan kegiatan-kegiatan yang tentu langsung berdekatan dengan alam.
Manusia yakin bahwa alam ini tidak berlangsung dengan sendirinya pasti ada yang
menciptakan alam beserta isinya yang tentu diciptakan oleh sang maha kuasa
pemilik kekuatan. Fenomena-fenomena alam seperti gempa bumi, gunung meletus
membawa mereka pada subeuh kepercayaan ada kekuatan ghaib yang menyebabkan hal
tersebut. Mereka meyakini roh-roh nenek moyangnya adalah sumber kekuatan dari
berbagai hal yang terjadi di bumi ini. Mereka yakin bahwa nenek moyangnyalah
yang akan menjaga anak cucu keturunannya yang kemudian menjelma dan bersemayam
di tempat dan benda-benda yang ada di sekelilingnya. Sehingga mereka percaya bahwa
ada kekuatan pada benda-benda mati sampai menggapnya benda sakral yang perlu
diperlakukan istimewa.
Fenomena totemisme menyajikan masalah semacam
ini, analisis yang cermat menunjukkan bahwa kesatuan konsep ini adalah
subjektif, bukan yang obyektif.
apa yang benar dari bidang penyelidikan yang
lebih luas adalah bidang sempit yang sama benarnya. seni dekoratif seperti yang
diterapkan oleh seniman yang mencurahkan banyak waktu dan jenius inventif untuk
membuat satu objek yang indah, dan seni decoorative seperti yang diterapkan
dalam produksi pabrik, yang terjadi di industri primitif tertentu maupun di
industri modern, tidak sebanding, karena proses mental yang diterapkan dalam
dua bagian ini tidak sama. keduanya bukan merupakan penemuan gratis dari desain
dalam suatu teknik yang tidak dikenal hingga yang familiar lainnya yang dapat
dibandingkan. untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan ini dan yang lain
memperlakukan seni dekoratif seolah-olah proses phychological yang terlibat
adalah semua karakter yang sama berarti untuk mengaburkan masalah
Have grown out od linguistic
forms that have risen into consciousness. to eplain all these forms as members
of one series would be entirely unjustifiable.
the phenomenon of totemism
presents a problem of this kind, a careful analysis shows that the unity of
this concept is a subjective, not an objective one. what is true of wider fields of inquiry is equally
true narrower fields. decorative art as applied by an artist who devotes
muchtime and an inventive genius to the making of a single beautiful object,
and decoorative arts as applied in factory production, which occurs in certain
primitive industries as well as in modern industries, are not comparable, for
the mental processes applied in these two caases are not alike. neither are the
free invention of design in an unfamiliar tecchnique to another familiar one
comparable. to disregard these differences and to another treat decorative art
as though the phychological processes involved were all of the same character
means to obscurethe problem (Boas, 1916)
B.
Rumusan Masalah
1.
Mengetahui teori totemisme dan asal-usul
totemisme, animisme, dan dinamisme
2.
Mengetahui awal mula munculnya kepercayaan pada manusia pra-aksara
3.
Mengetahui eksistensi kepercayaan tetomisme, animisme, dan dinamisme saat
ini
4.
Metode Penelitian
Penelitian tentang “Teori dan Asal Tetomisme Usul Animisme Dan
Dinamisme” menggunakan metode pengumpulan data kualitatif melalui
analisis mengenai beberapa dokumen berupa jurnal dan e-book yang berisi data
dan fakta yang aktual Teori “Dan Asal Tetomisme Usul Animisme dan Dinamisme.”
5.
Hasil dan Pembahasan
1.
Teori Totemisme dan Definisi Totemisme, Animisme, dan
Dinamisme
1.1 Teori Totemisme dan usul Totemisme (Kepercayaan terhadap hewan yang
dianggap totem)
Totemisme adalah istilah menunjuk pada suatu kepercayaan atau agama yang hidup
pada sebuah komunitas atau organisasi yang mempercayai adanya daya atau sifat
ilahi yang dikandung sebuah benda atau makhluk hidup selain manusia. (Wikipedia, 2017)
Tetomisme adalah kepercayaan
atau agama yang dianut oleh manusia primitif. Kata “totem” itu sendiri berasal dari kata “ototeman”, dialek suku Ojibwa
di Amerika Utara, yang berarti kekerabatan dan kekeluargaan seperti saudara (Aji Raksa, 2011). Kata tersebut memiliki esensi adanya hubungan
kekerabatan antara hewan dan manusia. Manusia primitif percaya bahwa dahulu
nenek moyang mereka adalah hewan. Mereka pun percaya bahwa manusia dan hewan
memiliki ikatan kekeluargaan sehingga mereka tidak boleh menikah satu sama
lain.
Kepercayaan totemisme ini
tersebar di berbagai belahan dunia termasuk Amerika utara. Berbagai kelebihan yang dimiliki oleh hewan seperti ketajaman indera
pengelihatan dan penciuman, serta gerak hewan yang begitu cepat diduga menjadi
pemicu lahirnya agama ini. Karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh hewan
dan tidak dimiliki oleh manusia itulah yang membuat manusia meyakini adanya
kekuatan pada hewan.
Totemisme terbagi menjadi dua
yakni totemisme perorangan yang dianggap sebagai pelindung seseorang dan
totemisme kelompok yang dianggap sebagai pelindung suku atau kelompok.
Totemisme memiliki keterkaitan
yang erat dengan animisme yaitu mengenai asal usul manusia dengan nenek
moyangnya.
Totemisme dan keyakinan agama pada dasarnya adalah proses transmisi
kekuasaan dan kewajiban, yang secara sosial wajib, warisan Budaya olahraga
etnis tradisional yang memberi makna pada Totemisme dan keyakinan agama adalah
perombakan ciri-ciri etnis dan akumulasi kesadaran etnis, yang merupakan inti
dari rasa identitas etnik, warisan budaya olahraga etnis tradisional yang
memberi makna pada Totemisme dan keyakinan agama. pada intinya adalah replikasi
gen longitudinal dan rekombinasi budaya etnis.
Totemism and religious belief
is in essence the process of power and obligation transmission,which is
socially mandatory;the inheritance of traditional ethnic sports culture that
gave meanings to Totemism and religious belief is the remodeling of ethnic
traits and the accumulation of ethnic consciousness,constituting the kernel of
the sense of ethnic identity;the inheritance of traditional ethnic sports
culture that gave meanings to Totemism and religious belief is in essence the
longitudinal gene replication and recombination of ethnic culture. (Zhihuy, 2012)
1.1
Teori Totemisme
Durkheim berpendapat bahwa totemisme itu terdapat dalam masyarakat yang
memiliki kultur dan struktur sosial yang paling sederhana. Agama, menurutnya,
adalah suatu kesatuan sistem kepercayaan dan ibadat dalam kaitannya dengan
benda-benda suci (sacred) dan
terlarang, yaitu benda-benda yang disisihkan dari lain-lainnya. Kepercayaan dan
ibadat tadi menyatu kedalam kelompok moral yang dinamak jamaah, yakni semua
mereka yang mengikutinya. (Aji Raksa, 2011).
Bentuk Tuhan dalam agama
totemisme adalah yang terlihat dengan mata dan yang dapat disentuh dengan indera
perasa bukan dalam bentuk abstrak. Semuanya jelas dan dapat dibuktikan dengan
panca indera. Manusia primitif menjalin kehidupan yang baim dengan alam dan
hewan hal itulah yang menjadi dasar pemikiran mereka mengenai kekuatan magis
yang terdapat pada tumbuhan dan hewan. Hewan yang dianggap totem oleh manusia
primitif antara lain sapi, ular, dan harimau.
1.3 Usul Animisme (Kepercayaan Terhadap
Roh Nenek Moyang)
Animisme berasal
dari bahasa latin yaitu anima yang berarti Roh, kepercayaan animisme adalah
suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi baik itu hidup ataupun
mati mempunyai roh. Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di Bumi
ini memiliki jiwa yang harus dihormati agar tidak mengganggu manusia, Tetapi
malah membantu kehidupan mereka.
Manusia purba
mengalami beberapa fase dalam kehidupannya. Yakni hidup nomaden food gathering, semi nomaden, dan hidup
menetap food Producing. Sebelum
manusia purba hidup menetap dan bercocok tanam. Mereka lebih awal melakukan
perjalan hidup dengan berppindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat
lainnya yang memiliki banyak sumber makanan untuk mempertahankan hidupnya, pola
hidup manusia purba ini terus menerus hanya berorientasi pada kebutuhan harian
mereka. Yang bisa mereka lakukan hanyal berburu untuk mendapatkan makanan.
Seiring berjalannya waktu manusia purba kian dapat meningkatkan taraf hidupnya.
Sedikit demi sedikit orientasi kehidupannya mulai bertambah luas. Sapai
akhirnya manusia purba hidup menetap dan bercocok tanam. Mereka memiliki waktu
untuk merenungkan alam. Sejatinya manusia diberikan oleh Tuhan naluri untuk
beragama.
Rasa hormat yang
mendalam manusia purba kepada pemimpin sukunya menyebabkan pemimpin yang sudah
meninggal tetap diakui keberadaanya meskipun dalam dimensi yang berbeda.
Referensi mereka
mengenai sang pencipta ada pada hal-hal yang berdekatan dengannya. Salah
satunya adalah keyakinan pada roh manusia yang telah mati meninggalkan jasad.
Kepercayaan
animisme adalah kepercayan manusia yang sudah ada pada zaman primitif terhadap
roh nenek moyang yang diyakini ketika manusia sudah meninggal rohnya tidak pergi begitu saja tapi senantiasa
meliputi kehidupan mereka dan memberikan perlindungan kepada mereka. Roh yang
berpisah dari jasad dinamakan arwah. Roh tersebut bisa berbuat baik dan berbuat
jahat. Oleh karena itu manusia harus memujanya dengan memberikan sesajen.
Salah
satu kepercayaan yang dimiliki oleh manusia purba adalah kepercayaan animisme
yakni kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang yang bersemayam di semua benda
misalnya gunung, pohon, dan batu. Tradisi yang biasa mereka lakukan adalah
dengan menyediakan sesajen untuk roh-roh jahat agar mereka tidak mengganggu
kehidupan manusia.
Agama
Primitif Animisme Mereka Percaya pada roh itu
bukan hanya menempati makhluk hidup tetapi benda-benda matipun bernyawa juga,
sehingga nyawa itu terdapat dalam: batu-batuan, pohon-pohon besar, tombak,
kepala manusia yang dimumi, korwar, bukit-bukit, dan sebagainya.(Juliana, 2012)
Suku jawa sebelum kedatangan
pengaruh hinduisme telah hidup teratur dengan mitos animisme-dinamisme sebagai
akar religiositasnya, dan hukum adat sebagai pranata sosial, adanya hukum adat
sebagai warisan ini menunjukkkan bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli
telah hidup teratur di bawah pemerintahan atau kepala adat, walaupun masih
dalam bentuk yang sangat sederhana. Religi animisme dan dinamisme yang menjadi
akar budaya asli Indonesia, khususnya masyarakat jawa – cukup memiliki daya
tahan yang kuat terhadap pengaruh kebudayaan – kebudayaan yang berkembang maju.(m. dimyati huda, 2015)
Bukan untuk berdalih: seseorang
dapat menerima kenyataan empiris dari penggambaran empat kali lipat Philippe
Descola tentang animisme, totemisme, analogisme, dan naturalisme. Siapa pun
yang tidak terbujuk oleh Beyond nature and culture (Descola 2013) akan sulit
mempertahankan skeptisisme seperti itu jika mereka telah melihat eksposur
gambar sistem-sistem ini yang dipasang oleh Philippe di Quai Branly (Descola
2010). Namun, penafsiran saya tentang etnografi adalah bahwa mereka tidak
memiliki ontologi, karena kemanusiaan adalah landasan bersama dalam totemisme
dan analogisme sebagaimana dalam animisme. Apakah seseorang mengambil keputusan
animisme Philippe sebagai “atribusi oleh manusia kepada orang bukan manusia
dari interioritas yang identik dengan miliknya sendiri” (2013: 129), atau
sesuatu seperti “animis” oleh Graham Harvey adalah orang-orang yang mengakui
bahwa dunia ini penuh dengan orang, hanya beberapa di antaranya adalah manusia,
dan hidup selalu hidup dalam hubungan dengan orang lain ”(2006: xi), gagasan
tentang kepribadian subjektif makhluk bukan manusia ini berlaku juga pada
totemisme pola dasar penduduk Aborigin Australia dan analogi teladan penduduk
Hawaii asli seperti yang mereka lakukan ke animisme paradigmatik Amazonia.
Daripada ontologi yang berbeda secara radikal, di sini ada begitu banyak
organisasi yang berbeda dari prinsip-prinsip animis yang sama. Animisme klasik
adalah bentuk komunal, dalam arti bahwa semua individu manusia berbagi pada
dasarnya jenis hubungan yang sama untuk semua orang bukan manusia. Totemisme
adalah animisme segmentaris, dalam arti bahwa orang bukan manusia yang berbeda,
sebagai makhluk-makhluk, secara substantif diidentifikasi dengan berbagai
kolektif manusia, seperti garis keturunan dan klan. (Permintaan maaf kepada
Marx untuk adaptasi "makhluk-makhluk" ini.) Analogisme adalah
animisme hierarkis, dalam arti bahwa perbedaan yang terdiferensiasi dari apa
yang ada diliputi oleh keberadaan dewa-dewa kosmokratik dan bermanifestasi
sebagai begitu banyak contoh dari antropomorfik dewa.
Dengan berbagi landasan animis
yang sama, masing-masing jenis dominan ini, apalagi, dapat memasukkan
unsur-unsur yang lain sebagai bentuk sub-dominan: cara animisme komunal
Amerindian juga mengetahui aspek hierarkis sejauh para guru mahluk game
menguasai individu-individu spesies mereka; seperti juga dalam totem-isme
Australia leluhur Dreamtime meliputi hewan dan keturunan manusia. Untuk bagiannya,
analogisme atau animisme hirarkis orang Hawaii mencakup elemen totem dalam
bentuk leluhur yang berinkarnasi pada spesies alami yang secara khusus
dikaitkan dengan keturunan mereka. Ini bukan campuran historis ad hoc ontologi,
namun begitu banyak ekspresi subjektivitas animisme yang sama, tampaknya
tergantung pada konteks di mana sosok bukan manusia: apakah mitos, ritual,
magis, teknis, atau perdukunan; kolektif atau individual; bermimpi atau
berpengalaman; Dan seterusnya.
Selain itu, beberapa perintah
animis sendiri ditandai bentuk-bentuk antropomorfisme yang lebih generik:
disposisi untuk personifikasi yang, seperti yang diamati Eduardo Vivieros de
Castro, juga merupakan cara baku kita sendiri berbicara tentang lembaga,
negara, kapal, dan banyak hal lainnya, tidak ada mengambil yang naturalistik
pada mereka (pers. comm.). Diberikan atribut kepribadian, seperti
perspectivism, peter keluar melalui seri ini, menjadi sesuatu dari ontologi
direduksi menjadi epistemologi dalam antropomorfisme default, dan mungkin
menghilang sama sekali dalam naturalisme ilmiah. Meski begitu, kita tahu fisika
yang subjeknya adalah "dunia 'tubuh' yang berperilaku sesuai dengan
'hukum'" - untuk mengutip salah satu mutiara tempat tinggal Eduardo (2012:
118n) —keluar saja bank yang mengacaukan orang, partai politik yang perang
terhadap wanita, perusahaan yang sebagai orang legal memiliki kebebasan
berbicara, atau universitas yang memperdagangkan reputasi mereka demi uang.
Saya bahkan tidak akan berbicara tentang sifat manusia dari hewan peliharaan
kita, apalagi dongeng hewan kita, karena saya hanya memiliki sekitar delapan
halaman yang tersisa untuk menggambarkan alam semesta: alam semesta alternatif
untuk meja lipat empat Philippe, seperti yang ditunjukkan dalam diagram pohon yang
menyertainya (Gambar 1).
Membahas mitologi totemisme di
Arnhemland Selatan, Australia, Philippe mencatat kemiripan tertentu dengan
banyak narasi Amazon. "Dalam kedua kasus, makhluk-makhluk yang
petualangannya diceritakan tentu campuran manusia dan nonhumans yang hidup
dalam rezim yang sudah budaya dan sosial melalui dan melalui" (2013: 163).
Selain mahluk-mahluk campuran dari The Dreaming, apalagi, bahkan ada lebih
banyak lagi bentuk-bentuk animis, seperti matahari, yang, Aranda katakan dalam
mitos, datang ke bumi dalam bentuk seorang wanita dan seorang anggota bagian
tertentu. Dengan demikian, matahari "dianggap memiliki hubungan yang pasti
dengan berbagai individu, sama seperti manusia dari kelas itu" (Spencer
dan Gillen [1904] 1969: 624). Tampaknya, kemudian, bahwa fakta-fakta itu tidak
terlalu diperdebatkan, seperti halnya nilai konseptual yang akan diberikan
kepada mereka.
Not to quibble: one can accept
the empirical reality of Philippe Descola’s fourfold differentiation of
animism, totemism, analogism, and naturalism. Anyone not persuaded by Beyond
nature and culture (Descola 2013) would be hard put to maintain such skepticism
if they had seen the exposition of images of these systems mounted by Philippe
at Quai Branly (Descola 2010). My reading of the ethnography, however, is that
they are not equipollent ontologies, inasmuch as humanity is the common ground
of being in totemism and analogism as it is in animism proper. Whether one
takes Philippe’s determination of animism as “the attribution by humans to
nonhumans of an interiority identical to one’s own” (2013: 129), or something
like Graham Harvey’s “animists are people who recognize that the world is full
of persons, only some of whom are human, and life is always lived in
relationship with others” (2006: xi), these notions of the subjective
personhood of nonhuman beings apply as well to the archetypal totemism of
Aboriginal Australians and the exemplary analogism of native Hawaiians as they
do to the paradigmatic animism of Amazonia. Rather than radically distinct
ontologies, here are so many different organizations of the same animic
principles. Classical animism is a communal form, in the sense that all human
individuals share essentially the same kinds of relationships to all nonhuman
persons. Totemism is segmentary animism, in the sense that different nonhuman
persons, as species-beings, are substantively identified with different human
collectives, such as lineages and clans. (Apologies to Marx for this adaptation
of “species-being.”) Analogism is hierarchical animism, in the sense that the
differentiated plenitude of what there is is encompassed in the being of
cosmocratic god-persons and manifest as so many instantiations of the
anthropomorphic deity.
Sharing the same animic ground,
each of these predominant types, moreover, may include elements of the others
as subdominant forms: the way that Amerindian communal animism also knows a
hierarchical aspect insofar as the spirit masters of game animals rule the
individuals of their species; as likewise in Australian totem-ism the Dreamtime
ancestors encompass their animal and human descendants. For its part, the
analogism or hierarchical animism of Hawaiians includes a totemic element in
the form of ancestors incarnated in natural species thereupon distinctively
associated with their descendants. These are not ad hoc historical mixtures of
ontologies, however, but so many expressions of the same animic subjectivity,
apparently depending on the context in which the nonhuman persons figure:
whether mythical, ritual, magical, technical, or shamanic; collective or
individual; dreamed or experienced; and so forth.
Moreover, the several animic
orders are themselves marked forms of a more generic anthropomorphism: a
disposition for personification which, as Eduardo Vivieros de Castro observes,
is also our own default way of talking about institutions, nations, ships, and
many other things, absent a naturalistic take on them (pers. comm.). Granted
the attributes of personhood, such as perspectivism, peter out through this
series, becoming something of an ontology reduced to an epistemology in the
default anthropomorphism, and presumably disappearing altogether in scientific
naturalism. Even so, we know a physics whose subject matter is “a world of
‘bodies’ that behave according to ‘laws’”—to cite one of Eduardo’s throwaway
pearls (2012: 118n)—let alone banks that screw people, political parties that
war on women, corporations that as legal persons have freedom of speech, or
universities that trade their reputations for money.
Discussing the mythology of
totemism in South Arnhemland, Australia, Philippe notes a certain resemblance
to many Amazonian narratives. “In both cases, the beings whose adventures are
recounted are certainly a mixture of humans and nonhumans living within a
regime that is already cultural and social through and through” (2013: 163).
Beside such mixed beings of The Dreaming, moreover, there are even more purely
animic forms, such as the sun, which, the Aranda tell in myth, came to earth in
the form of a woman and a member of a certain section. Accordingly, the sun “is
regarded as having a definite relationship to various individuals, just as a
human being of that class has” (Spencer and Gillen [1904] 1969: 624). It seems,
then, that the facts are not at issue so much as the conceptual value one would attribute to them.(N. Bird-David, 1999)
1.4 Usul Dinamisme
Dinamisme
berasal dari bahasa yunani dunamos yang mempunyai arti kekuatan atau
daya,kepercayaan atau agama. Dinamisme adalah kepercayaan yang meyakini bahwa
semua benda yang ada di dunia ini memiliki kekuatan gaib. Benda-benda tersebut
dipercaya dapat memberi pengaruh baik dan pengaruh buruk bagi manusia, sehingga
benda-benda itu diperlakukan istimewa dan dianggap sakral. Tidak boleh disentuh
oleh sembarang orang. Benda-benda tersebut contohnya : Benda pusaka, tombak, keris, gamelan dan lambang kerajaan.
Secara khusus, kemunculan dinamisme adalah
karena adanya nisbah yang kuat antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai
objek. Namun, hubungan subjek dan objek ini tidak sama seperti relasi
subjek-objek seperti biasa. Hal ini karena pada konteks dinamisme, subjek dan
objek sangat berdekatan, bahkan bisa dikatakan, baik manusia maupun benda
sama-sama merupakan subjek. Pada taraf ini sebenarnya masyarakat primitif telah
menyadari bahwa manusia dan barang memiliki keterikatan pragmatik. Pola
pikir manusia primitif berbeda dengan manusia modern. Jika manusia modern
menganggap alam sebagai objek dan dirinya sebagai subjek yang dapat mengubah
serta mengekslpoitasi alam, maka manusia primitif memiliki pemahaman yang
berbeda. Artinya, dalam pandangan masyarakat primitf, manusia berposisi
sebagai subjek sedang alam semesta berposisi sebagai objek. Akan tetapi karena
mereka mengkeramatkan benda dan menganggap benda sebagai dzat yang berpribadi,
maka pada saat itu alam semesta otomatis dianggap sebagai subjek yang juga bisa
berposisi sebagai ‘esensi’ yang bisa menyebabkan perubahan pada kehidupan
manusia (tidak hanya pasif seperti pemahaman manusia moderan, namun juga
aktif). (alimtiyaz, 2012).
Kemunculan
kepercayaan ini tidak jauh berbeda latar belakangnya dengan kemunculan
kepercayaan animisme. Perkembangan taraf hidup manusia dan meningkatnya rasio
akal karena ada celah manusia purba
untuk merenungkan tentang Tuhan. Terbatasnya referensi manusia purba untuk
menemukan Tuhannya mengantarkannya untuk menuangkan naluri agamanya pada apa
yang ada di sekitarnya yang dapat dibuktikan dengan panca inderanya. Yakni
benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib yang akan menguntungkan
hidupnya sehingga benda tersebut dirawat,dipelihara dengan baik dan sakral.
2
Awal mula munculnya kepercayaan manusia Purba
Tuhan melahirkan
manusia dengan fitrah sebagai hamba yang ber-Tuhan. Sudah seharusnya manusia
memikirkan dan merenungkannya. segala yang ada di dunia ini tidak terjadi
begitu saja. Sehebat apapun manusia pastilah ada yang jauh lebih hebat dan
kekal yang terdapat di luar dari dirinya. Buktinya adalah penciptaan alam
semesta yang dapat kita lihat saat ini. kita memakai pakaian untuk melindungi
tubuh dari paparan sinar matahari dan cuaca yang buruk. Apakah pakaian itu ada
dengan sendirinya? Tentu tidak, pasti ada yang mencipakannya. Kursi tempat kita
duduk apakah ada begitu saja ? mustahil. Pasti kursi itu pun ada penciptanya.
Begitu pun dengan manusia. Manusia yang memiliki akal, apakah tercipta begitu
saja? Tidak. Tentu ada yang menciptakannya, sang maha karya yang maha kuasa dan
maha mengetahui.
Manusia hidup
dalam dimensi ruang dan waktu berpacu dengan akal dan menghasilkan sebuah
peradaban. Perkembangan kepercayaan tidak terjadi begitu saja. Ada proses yang
Tuhan ajarkan pada kita. Seperti ia menciptakan langit dan bumi yang sebagian
orang menyebutkan dalam waktu tujuh haru tujuh malam. Tuhan yang maha kuasa
tentu bisa saja menciptakannya dalam sekejap mata, namun alangkah bijaknya ia mengajarkan
manusia dengan halus, pelan, dan pasti karena kekuasaan mutlak milik Tuhan tapi
Tuhan begitu bijak mengajarkan seorang hamba yang tidak berdaya dengan pelan.
Mengajarkan manusia pentingnya sebuah proses untuk menjemput Ridho-Nya.
Manusia di belahan
bumi manapun diberikan Tuhan naluri untuk beragama. Membaca fenomena alam dan
menafsirkannya. Dengan akal manusia wajib untuk belajar. karena dengan
pengalaman belajar itulah yang akan membuat manusia kembali pada pelukan sang
Tuhan.
Manusia purba
mengalami beberapa fase dalam kehidupannya. Yakni hidup nomaden food gathering, semi nomaden, dan hidup
menetap food Producing. Sebelum
manusia purba hidup menetap dan bercocok tanam. Mereka lebih awal melakukan
perjalan hidup dengan berppindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat
lainnya yang memiliki banyak sumber makanan untuk mempertahankan hidupnya, pola
hidup manusia purba ini terus menerus hanya berorientasi pada kebutuhan harian
mereka. Yang bisa mereka lakukan hanyal berburu untuk mendapatkan makanan.
Seiring berjalannya waktu manusia purba kian dapat meningkatkan taraf hidupnya.
Sedikit demi sedikit orientasi kehidupannya mulai bertambah luas. Sapai
akhirnya manusia purba hidup menetap dan bercocok tanam. Mereka memiliki waktu
untuk merenungkan alam. Sejatinya manusia diberikan oleh Tuhan naluri untuk
beragama.
Referensi mereka
mengenai sang pencipta ada pada hal-hal yang berdekatan dengannya. Salah
satunya adalah keyakinan pada roh manusia yang telah mati meninggalkan jasad.
Manusia purba
percaya bahwa alam lah yang telah memberikan kehidupan kepadanya. Sehingga ia
memercayai bahwa Tuhannya adalah benda yang ada di sekelilingnya. Ada kekuatan
super natural yang terdapat pada benda yang akan membawa keberuntungan
kepadanya sehinggga benda-benda itu harus diperlkukan dengan hormat.
3
Eksistensi kepercayaan totemisme, animisme, dan dinamisme
saat ini
Meskipun
kepercayaan animisme dan dinamisme sudah ada sejak zaman pra aksara yakni saat
manusia belum mengenal huruf, bukan berarti di era modern ini kita tidak bisa
lagi menemukannya. Masih terdapat suku-suku di Indonesia yang masih menganut
kepercayaan yang sudah ada sejak masa purba ini. Di antaranya suku-suku yag
tersebar di Papua, Maluku, dan suku Toraja. Pada umumnya mereka yang masih menganut
kepercayaan primitif berada di tempat yang
sangat sulit dijangkau atau bisa dibilang terisolasi, tidak tersentuh oleh
peradaban modern. Mereka masih mempertahankan adat tradisinya yang mereka
pertahankan turun-tumurun ribuan tahun yang lau.
Mereka memilih
untuk mempertahankan kepercayaan yang dianutnya dibandingkan dengan kepercayaan
yang kini berkembang. Mereka memilihh untuk tertutup dari kontaminasi dunia
luar yang dianggap senang untuk merusak alam.
6.
Kesimpulan
Dari pembahasan
di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa totemisme, animisme, dan dinamisme
adalah kepercayaan yang lahir sejak zaman pra aksara yakni saat manusia belum mengenal
tulisan. Pemikiran manusia purba mengenai Tuhan masihlah sangat sederhana,
yakni dengan bukti-bukti yang dapat dilihat oleh panca indera.
Manusia terlahir
dengan fitrah agama Tuhannya. Tuhan telah membekali kita akal untuk berfikir
dan mentadaburi alam semesta dan memasrahkan aqidah hanya kepada sang pemilik.
Sebagai makhluk
yang dianugerahi akal sudah selayaknya kita banyak belajar agar kita memiliki
referensi yang luas dan dapat melihat kebenaran dengan hati yang tajam. Dengan
penuh harapan Tuhan akan tunjukan jalan.
7.
Saran
Dalam penulisan makalah ini,
penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terlampir dan masih banyak hal
berkaitan yang belum tertuang. Maka dari itu, dengan harapan agar kedepannya
penelitian ini dapat dibahas secara lebih matang dan tuntas, penulis
menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat menuangkan sumber-sumber
yang akurat dan kaya akan referensi dan tentu dapat dipertanggungjawabkan.
Penulis juga menyarankan kepada peneliti selanjutnya agar dapat menguasai
teknik penulisan untuk menghindari terjadinya plagiarisme.
DAFTAR PUSTAKA
alimtiyaz. (2012). No Title.
Boas, F. (1916). The
Origin of Totemism. American Anthropologist. https://doi.org/10.1525/aa.1916.18.3.02a00020
Juliana, A. (2012).
No Title. Jurnal Umum Animisme.
m. dimyati huda.
(2015). No Title. PERAN DUKUN TERHADAP PERKEMBANGAN PERADABAN BUDAYA
MASYARAKAT JAWA.
N. Bird-David.
(1999). No Title. “Animism” Revisited.
Zhihuy, W. (2012).
No Title. Totemism and Religious Belief:Spiritual Strength of Traditional
Ethnic Sports Culture.
alimtiyaz. (2012). No Title.
Boas, F. (1916). The
Origin of Totemism. American Anthropologist.
https://doi.org/10.1525/aa.1916.18.3.02a00020
Juliana, A. (2012).
No Title. Jurnal Umum Animisme.
m. dimyati huda.
(2015). No Title. PERAN DUKUN TERHADAP PERKEMBANGAN PERADABAN BUDAYA
MASYARAKAT JAWA.
N. Bird-David.
(1999). No Title. “Animism” Revisited.
Zhihuy, W. (2012).
No Title. Totemism and Religious Belief:Spiritual Strength of Traditional
Ethnic Sports Culture.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar