Iklan

Kamis, 30 Mei 2024

Jurnal Artikel Teori dan Asal Usul Tetomisme Animisme dan Dinamisme

Teori dan Asal Usul Tetomisme, Animisme, dan Dinamisme

Ilustrasi Roh


Abstrak

Tujuan pembuatan makalah ini yaitu untuk memberikan informasi mengenai asal- usul kepercayaan yang lahir pada masa purba Totemisme(kepercayaan kepada hewan yang dianggap suci), Dinamisme(kepercayaan kepada benda-benda yang dianggap sakti), dan Animisme(kepercayaan kepada roh nenek moyang yang sangat dihormati) dan hubungannya dengan siklus kehidupan manusia purba yang terus berkembang dan mengalami kemajuan iptek yang signifikan, sampai manusia purba menggunakan akalnya untuk berfikir kritis terhadap penciptan semesta beserta isinya. Dan penciptaan dirinya sendiri, sampai mereka mampu melahirkan kebudayaan yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi suatu tradisi yang dianggap suci dan sakral, dan terlarang apabila ditinggalkan, karena akan membawa kesialan bagi pelakunya.  Memberikan wawasan tentang teori kepercayaan totemisme yang dikemukakan oleh ilmuwan terkemuka. Selain itu dalam makalah ini juga dibahas mengenai asal-usul kepercayaan pada manusia purba. Serta eksistensi kepercayaan purbakala yang identik dengan hal-hal mistis yang berbanding terbalik dengan era global yang harus serba rasional. Tidak sampai di situ makalah ini juga menyajikan tradisi yang biasa dilakukan dalam menganut kepercayaan primitif ini, alasan mereka memuja roh nenek moyang dan mempertahankan kepercayaan primitifnya serta tertutup terhadap dunia luar hingga saat ini. Makalah ini juga menjelaskan alasan manusia purba menyubjektifkan alam dan mengobjektifkan dirinya sebagai hamba yang tidak memiliki kekuasaan atas alam.

Kata kunci: Kepercayaan, Purba, Animisme, Dinamisme, Totemisme, sakral

A.    Pendahuluan

Masyarakat indonesia adalah masyarakat yang pluralis. Terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, budaya, dan agama. Di indonesia budaya bisa menjadi sebuah agama. Diwariskan turun temurun dari nenek moyang yang diklaim rohnya memiliki kekuatan. Sehingga apapun yang dilakukan nenek moyangnya menjadi sumber rujukan bagi mereka untuk menjalankan kehidupan termasuk dalam kehidupan beragama. Dahulu kala beban yang dipikul oleh manusia zaman purba begitu berat. Waktu mereka dihabiskan untuk berburu demi mempertahankan kehidupannya. Namun seiring dengan berjalannya waktu manusia yang diberikan akal oleh Tuhan mengembangkan kehidupan dan mulai membangun sebuah peradaban yang mebuat kehidupannya satu langkah lebih baik. Mereka mulai hidup menetap dan bercocok tanam. Mulai memiliki waktu luang untuk memikirkan beragam hal termasuk memikirkan sang pemilik kekuatan yang telah memberikan mereka makan, yang menciptakan tumbuhan dan hewan yang menyebabkan mereka dapat mempertahankan hidupnya dan melestarikan keturunannya. Kepercayaan itu datang dari dalam diri mereka melalui fenomena-fenomena yang terjadi di kehidupan sekitarnya. Baik yang tidak disengaja maupun yang terjadi begitu saja dengan natural. Kepercayaan terhadap ilahi telah muncul sejak zaman pra-aksara, mereka manusia pada zaman ini banyak tersentuh dengan kegiatan-kegiatan yang tentu langsung berdekatan dengan alam. Manusia yakin bahwa alam ini tidak berlangsung dengan sendirinya pasti ada yang menciptakan alam beserta isinya yang tentu diciptakan oleh sang maha kuasa pemilik kekuatan. Fenomena-fenomena alam seperti gempa bumi, gunung meletus membawa mereka pada subeuh kepercayaan ada kekuatan ghaib yang menyebabkan hal tersebut. Mereka meyakini roh-roh nenek moyangnya adalah sumber kekuatan dari berbagai hal yang terjadi di bumi ini. Mereka yakin bahwa nenek moyangnyalah yang akan menjaga anak cucu keturunannya yang kemudian menjelma dan bersemayam di tempat dan benda-benda yang ada di sekelilingnya. Sehingga mereka percaya bahwa ada kekuatan pada benda-benda mati sampai menggapnya benda sakral yang perlu diperlakukan istimewa.

Fenomena totemisme menyajikan masalah semacam ini, analisis yang cermat menunjukkan bahwa kesatuan konsep ini adalah subjektif, bukan yang obyektif.

apa yang benar dari bidang penyelidikan yang lebih luas adalah bidang sempit yang sama benarnya. seni dekoratif seperti yang diterapkan oleh seniman yang mencurahkan banyak waktu dan jenius inventif untuk membuat satu objek yang indah, dan seni decoorative seperti yang diterapkan dalam produksi pabrik, yang terjadi di industri primitif tertentu maupun di industri modern, tidak sebanding, karena proses mental yang diterapkan dalam dua bagian ini tidak sama. keduanya bukan merupakan penemuan gratis dari desain dalam suatu teknik yang tidak dikenal hingga yang familiar lainnya yang dapat dibandingkan. untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan ini dan yang lain memperlakukan seni dekoratif seolah-olah proses phychological yang terlibat adalah semua karakter yang sama berarti untuk mengaburkan masalah

Have grown out od linguistic forms that have risen into consciousness. to eplain all these forms as members of one series would be entirely unjustifiable.

the phenomenon of totemism presents a problem of this kind, a careful analysis shows that the unity of this concept is a subjective, not an objective one. what is  true of wider fields of inquiry is equally true narrower fields. decorative art as applied by an artist who devotes muchtime and an inventive genius to the making of a single beautiful object, and decoorative arts as applied in factory production, which occurs in certain primitive industries as well as in modern industries, are not comparable, for the mental processes applied in these two caases are not alike. neither are the free invention of design in an unfamiliar tecchnique to another familiar one comparable. to disregard these differences and to another treat decorative art as though the phychological processes involved were all of the same character means to obscurethe problem (Boas, 1916)

 

B.    Rumusan Masalah

1.     Mengetahui  teori totemisme dan asal-usul totemisme, animisme, dan dinamisme

2.     Mengetahui awal mula munculnya kepercayaan pada manusia pra-aksara

3.     Mengetahui eksistensi kepercayaan tetomisme, animisme, dan dinamisme saat ini

 

4.     Metode Penelitian

Penelitian tentang “Teori dan Asal Tetomisme Usul Animisme Dan Dinamisme” menggunakan metode pengumpulan data kualitatif melalui analisis mengenai beberapa dokumen berupa jurnal dan e-book yang berisi data dan fakta yang aktual Teori Dan Asal Tetomisme Usul Animisme dan Dinamisme.”

5.     Hasil dan Pembahasan

1.     Teori Totemisme dan Definisi Totemisme, Animisme, dan Dinamisme

1.1  Teori Totemisme dan usul Totemisme (Kepercayaan terhadap hewan yang dianggap totem)

Totemisme adalah istilah menunjuk pada suatu kepercayaan atau agama yang hidup pada sebuah komunitas atau organisasi yang mempercayai adanya daya atau sifat ilahi yang dikandung sebuah benda atau makhluk hidup selain manusia. (Wikipedia, 2017)

Tetomisme adalah kepercayaan atau agama yang dianut oleh manusia primitif. Kata “totem” itu sendiri berasal dari kata “ototeman”, dialek suku Ojibwa di Amerika Utara, yang berarti kekerabatan dan kekeluargaan seperti saudara (Aji Raksa, 2011). Kata tersebut memiliki esensi adanya hubungan kekerabatan antara hewan dan manusia. Manusia primitif percaya bahwa dahulu nenek moyang mereka adalah hewan. Mereka pun percaya bahwa manusia dan hewan memiliki ikatan kekeluargaan sehingga mereka tidak boleh menikah satu sama lain.

Kepercayaan totemisme ini tersebar di berbagai belahan dunia termasuk Amerika utara. Berbagai kelebihan yang dimiliki oleh hewan seperti ketajaman indera pengelihatan dan penciuman, serta gerak hewan yang begitu cepat diduga menjadi pemicu lahirnya agama ini. Karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh hewan dan tidak dimiliki oleh manusia itulah yang membuat manusia meyakini adanya kekuatan pada hewan.

Totemisme terbagi menjadi dua yakni totemisme perorangan yang dianggap sebagai pelindung seseorang dan totemisme kelompok yang dianggap sebagai pelindung suku atau kelompok.

Totemisme memiliki keterkaitan yang erat dengan animisme yaitu mengenai asal usul manusia dengan nenek moyangnya.

Totemisme dan keyakinan agama pada dasarnya adalah proses transmisi kekuasaan dan kewajiban, yang secara sosial wajib, warisan Budaya olahraga etnis tradisional yang memberi makna pada Totemisme dan keyakinan agama adalah perombakan ciri-ciri etnis dan akumulasi kesadaran etnis, yang merupakan inti dari rasa identitas etnik, warisan budaya olahraga etnis tradisional yang memberi makna pada Totemisme dan keyakinan agama. pada intinya adalah replikasi gen longitudinal dan rekombinasi budaya etnis.

Totemism and religious belief is in essence the process of power and obligation transmission,which is socially mandatory;the inheritance of traditional ethnic sports culture that gave meanings to Totemism and religious belief is the remodeling of ethnic traits and the accumulation of ethnic consciousness,constituting the kernel of the sense of ethnic identity;the inheritance of traditional ethnic sports culture that gave meanings to Totemism and religious belief is in essence the longitudinal gene replication and recombination of ethnic culture. (Zhihuy, 2012)

 

1.1  Teori Totemisme

 

Durkheim berpendapat bahwa totemisme itu terdapat dalam masyarakat yang memiliki kultur dan struktur sosial yang paling sederhana. Agama, menurutnya, adalah suatu kesatuan sistem kepercayaan dan ibadat dalam kaitannya dengan benda-benda suci (sacred) dan terlarang, yaitu benda-benda yang disisihkan dari lain-lainnya. Kepercayaan dan ibadat tadi menyatu kedalam kelompok moral yang dinamak jamaah, yakni semua mereka yang mengikutinya. (Aji Raksa, 2011).

 

Bentuk Tuhan dalam agama totemisme adalah yang terlihat dengan mata dan yang dapat disentuh dengan indera perasa bukan dalam bentuk abstrak. Semuanya jelas dan dapat dibuktikan dengan panca indera. Manusia primitif menjalin kehidupan yang baim dengan alam dan hewan hal itulah yang menjadi dasar pemikiran mereka mengenai kekuatan magis yang terdapat pada tumbuhan dan hewan. Hewan yang dianggap totem oleh manusia primitif antara lain sapi, ular, dan harimau.

 

1.3  Usul  Animisme (Kepercayaan Terhadap Roh Nenek Moyang)

Animisme berasal dari bahasa latin yaitu anima yang berarti Roh, kepercayaan animisme adalah suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi baik itu hidup ataupun mati mempunyai roh. Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di Bumi ini memiliki jiwa yang harus dihormati agar tidak mengganggu manusia, Tetapi malah membantu kehidupan mereka.

Manusia purba mengalami beberapa fase dalam kehidupannya. Yakni hidup nomaden food gathering, semi nomaden, dan hidup menetap food Producing. Sebelum manusia purba hidup menetap dan bercocok tanam. Mereka lebih awal melakukan perjalan hidup dengan berppindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya yang memiliki banyak sumber makanan untuk mempertahankan hidupnya, pola hidup manusia purba ini terus menerus hanya berorientasi pada kebutuhan harian mereka. Yang bisa mereka lakukan hanyal berburu untuk mendapatkan makanan. Seiring berjalannya waktu manusia purba kian dapat meningkatkan taraf hidupnya. Sedikit demi sedikit orientasi kehidupannya mulai bertambah luas. Sapai akhirnya manusia purba hidup menetap dan bercocok tanam. Mereka memiliki waktu untuk merenungkan alam. Sejatinya manusia diberikan oleh Tuhan naluri untuk beragama.

Rasa hormat yang mendalam manusia purba kepada pemimpin sukunya menyebabkan pemimpin yang sudah meninggal tetap diakui keberadaanya meskipun dalam dimensi yang berbeda.

Referensi mereka mengenai sang pencipta ada pada hal-hal yang berdekatan dengannya. Salah satunya adalah keyakinan pada roh manusia yang telah mati meninggalkan jasad.

Kepercayaan animisme adalah kepercayan manusia yang sudah ada pada zaman primitif terhadap roh nenek moyang yang diyakini ketika manusia sudah meninggal  rohnya tidak pergi begitu saja tapi senantiasa meliputi kehidupan mereka dan memberikan perlindungan kepada mereka. Roh yang berpisah dari jasad dinamakan arwah. Roh tersebut bisa berbuat baik dan berbuat jahat. Oleh karena itu manusia harus memujanya dengan memberikan sesajen.

Salah satu kepercayaan yang dimiliki oleh manusia purba adalah kepercayaan animisme yakni kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang yang bersemayam di semua benda misalnya gunung, pohon, dan batu. Tradisi yang biasa mereka lakukan adalah dengan menyediakan sesajen untuk roh-roh jahat agar mereka tidak mengganggu kehidupan manusia.

Agama Primitif Animisme Mereka Percaya pada roh itu bukan hanya menempati makhluk hidup tetapi benda-benda matipun bernyawa juga, sehingga nyawa itu terdapat dalam: batu-batuan, pohon-pohon besar, tombak, kepala manusia yang dimumi, korwar, bukit-bukit, dan sebagainya.(Juliana, 2012)

Suku jawa sebelum kedatangan pengaruh hinduisme telah hidup teratur dengan mitos animisme-dinamisme sebagai akar religiositasnya, dan hukum adat sebagai pranata sosial, adanya hukum adat sebagai warisan ini menunjukkkan bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli telah hidup teratur di bawah pemerintahan atau kepala adat, walaupun masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Religi animisme dan dinamisme yang menjadi akar budaya asli Indonesia, khususnya masyarakat jawa – cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh kebudayaan – kebudayaan yang berkembang maju.(m. dimyati huda, 2015)

Bukan untuk berdalih: seseorang dapat menerima kenyataan empiris dari penggambaran empat kali lipat Philippe Descola tentang animisme, totemisme, analogisme, dan naturalisme. Siapa pun yang tidak terbujuk oleh Beyond nature and culture (Descola 2013) akan sulit mempertahankan skeptisisme seperti itu jika mereka telah melihat eksposur gambar sistem-sistem ini yang dipasang oleh Philippe di Quai Branly (Descola 2010). Namun, penafsiran saya tentang etnografi adalah bahwa mereka tidak memiliki ontologi, karena kemanusiaan adalah landasan bersama dalam totemisme dan analogisme sebagaimana dalam animisme. Apakah seseorang mengambil keputusan animisme Philippe sebagai “atribusi oleh manusia kepada orang bukan manusia dari interioritas yang identik dengan miliknya sendiri” (2013: 129), atau sesuatu seperti “animis” oleh Graham Harvey adalah orang-orang yang mengakui bahwa dunia ini penuh dengan orang, hanya beberapa di antaranya adalah manusia, dan hidup selalu hidup dalam hubungan dengan orang lain ”(2006: xi), gagasan tentang kepribadian subjektif makhluk bukan manusia ini berlaku juga pada totemisme pola dasar penduduk Aborigin Australia dan analogi teladan penduduk Hawaii asli seperti yang mereka lakukan ke animisme paradigmatik Amazonia. Daripada ontologi yang berbeda secara radikal, di sini ada begitu banyak organisasi yang berbeda dari prinsip-prinsip animis yang sama. Animisme klasik adalah bentuk komunal, dalam arti bahwa semua individu manusia berbagi pada dasarnya jenis hubungan yang sama untuk semua orang bukan manusia. Totemisme adalah animisme segmentaris, dalam arti bahwa orang bukan manusia yang berbeda, sebagai makhluk-makhluk, secara substantif diidentifikasi dengan berbagai kolektif manusia, seperti garis keturunan dan klan. (Permintaan maaf kepada Marx untuk adaptasi "makhluk-makhluk" ini.) Analogisme adalah animisme hierarkis, dalam arti bahwa perbedaan yang terdiferensiasi dari apa yang ada diliputi oleh keberadaan dewa-dewa kosmokratik dan bermanifestasi sebagai begitu banyak contoh dari antropomorfik dewa.

Dengan berbagi landasan animis yang sama, masing-masing jenis dominan ini, apalagi, dapat memasukkan unsur-unsur yang lain sebagai bentuk sub-dominan: cara animisme komunal Amerindian juga mengetahui aspek hierarkis sejauh para guru mahluk game menguasai individu-individu spesies mereka; seperti juga dalam totem-isme Australia leluhur Dreamtime meliputi hewan dan keturunan manusia. Untuk bagiannya, analogisme atau animisme hirarkis orang Hawaii mencakup elemen totem dalam bentuk leluhur yang berinkarnasi pada spesies alami yang secara khusus dikaitkan dengan keturunan mereka. Ini bukan campuran historis ad hoc ontologi, namun begitu banyak ekspresi subjektivitas animisme yang sama, tampaknya tergantung pada konteks di mana sosok bukan manusia: apakah mitos, ritual, magis, teknis, atau perdukunan; kolektif atau individual; bermimpi atau berpengalaman; Dan seterusnya.

Selain itu, beberapa perintah animis sendiri ditandai bentuk-bentuk antropomorfisme yang lebih generik: disposisi untuk personifikasi yang, seperti yang diamati Eduardo Vivieros de Castro, juga merupakan cara baku kita sendiri berbicara tentang lembaga, negara, kapal, dan banyak hal lainnya, tidak ada mengambil yang naturalistik pada mereka (pers. comm.). Diberikan atribut kepribadian, seperti perspectivism, peter keluar melalui seri ini, menjadi sesuatu dari ontologi direduksi menjadi epistemologi dalam antropomorfisme default, dan mungkin menghilang sama sekali dalam naturalisme ilmiah. Meski begitu, kita tahu fisika yang subjeknya adalah "dunia 'tubuh' yang berperilaku sesuai dengan 'hukum'" - untuk mengutip salah satu mutiara tempat tinggal Eduardo (2012: 118n) —keluar saja bank yang mengacaukan orang, partai politik yang perang terhadap wanita, perusahaan yang sebagai orang legal memiliki kebebasan berbicara, atau universitas yang memperdagangkan reputasi mereka demi uang. Saya bahkan tidak akan berbicara tentang sifat manusia dari hewan peliharaan kita, apalagi dongeng hewan kita, karena saya hanya memiliki sekitar delapan halaman yang tersisa untuk menggambarkan alam semesta: alam semesta alternatif untuk meja lipat empat Philippe, seperti yang ditunjukkan dalam diagram pohon yang menyertainya (Gambar 1).

Membahas mitologi totemisme di Arnhemland Selatan, Australia, Philippe mencatat kemiripan tertentu dengan banyak narasi Amazon. "Dalam kedua kasus, makhluk-makhluk yang petualangannya diceritakan tentu campuran manusia dan nonhumans yang hidup dalam rezim yang sudah budaya dan sosial melalui dan melalui" (2013: 163). Selain mahluk-mahluk campuran dari The Dreaming, apalagi, bahkan ada lebih banyak lagi bentuk-bentuk animis, seperti matahari, yang, Aranda katakan dalam mitos, datang ke bumi dalam bentuk seorang wanita dan seorang anggota bagian tertentu. Dengan demikian, matahari "dianggap memiliki hubungan yang pasti dengan berbagai individu, sama seperti manusia dari kelas itu" (Spencer dan Gillen [1904] 1969: 624). Tampaknya, kemudian, bahwa fakta-fakta itu tidak terlalu diperdebatkan, seperti halnya nilai konseptual yang akan diberikan kepada mereka.

Not to quibble: one can accept the empirical reality of Philippe Descola’s fourfold differentiation of animism, totemism, analogism, and naturalism. Anyone not persuaded by Beyond nature and culture (Descola 2013) would be hard put to maintain such skepticism if they had seen the exposition of images of these systems mounted by Philippe at Quai Branly (Descola 2010). My reading of the ethnography, however, is that they are not equipollent ontologies, inasmuch as humanity is the common ground of being in totemism and analogism as it is in animism proper. Whether one takes Philippe’s determination of animism as “the attribution by humans to nonhumans of an interiority identical to one’s own” (2013: 129), or something like Graham Harvey’s “animists are people who recognize that the world is full of persons, only some of whom are human, and life is always lived in relationship with others” (2006: xi), these notions of the subjective personhood of nonhuman beings apply as well to the archetypal totemism of Aboriginal Australians and the exemplary analogism of native Hawaiians as they do to the paradigmatic animism of Amazonia. Rather than radically distinct ontologies, here are so many different organizations of the same animic principles. Classical animism is a communal form, in the sense that all human individuals share essentially the same kinds of relationships to all nonhuman persons. Totemism is segmentary animism, in the sense that different nonhuman persons, as species-beings, are substantively identified with different human collectives, such as lineages and clans. (Apologies to Marx for this adaptation of “species-being.”) Analogism is hierarchical animism, in the sense that the differentiated plenitude of what there is is encompassed in the being of cosmocratic god-persons and manifest as so many instantiations of the anthropomorphic deity.

Sharing the same animic ground, each of these predominant types, moreover, may include elements of the others as subdominant forms: the way that Amerindian communal animism also knows a hierarchical aspect insofar as the spirit masters of game animals rule the individuals of their species; as likewise in Australian totem-ism the Dreamtime ancestors encompass their animal and human descendants. For its part, the analogism or hierarchical animism of Hawaiians includes a totemic element in the form of ancestors incarnated in natural species thereupon distinctively associated with their descendants. These are not ad hoc historical mixtures of ontologies, however, but so many expressions of the same animic subjectivity, apparently depending on the context in which the nonhuman persons figure: whether mythical, ritual, magical, technical, or shamanic; collective or individual; dreamed or experienced; and so forth.

Moreover, the several animic orders are themselves marked forms of a more generic anthropomorphism: a disposition for personification which, as Eduardo Vivieros de Castro observes, is also our own default way of talking about institutions, nations, ships, and many other things, absent a naturalistic take on them (pers. comm.). Granted the attributes of personhood, such as perspectivism, peter out through this series, becoming something of an ontology reduced to an epistemology in the default anthropomorphism, and presumably disappearing altogether in scientific naturalism. Even so, we know a physics whose subject matter is “a world of ‘bodies’ that behave according to ‘laws’”—to cite one of Eduardo’s throwaway pearls (2012: 118n)—let alone banks that screw people, political parties that war on women, corporations that as legal persons have freedom of speech, or universities that trade their reputations for money.

Discussing the mythology of totemism in South Arnhemland, Australia, Philippe notes a certain resemblance to many Amazonian narratives. “In both cases, the beings whose adventures are recounted are certainly a mixture of humans and nonhumans living within a regime that is already cultural and social through and through” (2013: 163). Beside such mixed beings of The Dreaming, moreover, there are even more purely animic forms, such as the sun, which, the Aranda tell in myth, came to earth in the form of a woman and a member of a certain section. Accordingly, the sun “is regarded as having a definite relationship to various individuals, just as a human being of that class has” (Spencer and Gillen [1904] 1969: 624). It seems, then, that the facts are not at issue so much as the conceptual value one would attribute to them.(N. Bird-David, 1999)

1.4  Usul Dinamisme

Dinamisme berasal dari bahasa yunani dunamos yang mempunyai arti kekuatan atau daya,kepercayaan atau agama. Dinamisme adalah kepercayaan yang meyakini bahwa semua benda yang ada di dunia ini memiliki kekuatan gaib. Benda-benda tersebut dipercaya dapat memberi pengaruh baik dan pengaruh buruk bagi manusia, sehingga benda-benda itu diperlakukan istimewa dan dianggap sakral. Tidak boleh disentuh oleh sembarang orang. Benda-benda tersebut contohnya : Benda pusaka, tombak, keris, gamelan dan lambang kerajaan.

Secara khusus, kemunculan dinamisme adalah karena adanya nisbah yang kuat antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai objek. Namun, hubungan subjek dan objek ini tidak sama seperti relasi subjek-objek seperti biasa. Hal ini karena pada konteks dinamisme, subjek dan objek sangat berdekatan, bahkan bisa dikatakan, baik manusia maupun benda sama-sama merupakan subjek. Pada taraf ini sebenarnya masyarakat primitif telah menyadari bahwa manusia dan barang memiliki keterikatan pragmatik.  Pola pikir manusia primitif berbeda dengan manusia modern. Jika manusia modern menganggap alam sebagai objek dan dirinya sebagai subjek yang dapat mengubah serta mengekslpoitasi alam, maka manusia primitif memiliki pemahaman yang berbeda. Artinya,  dalam pandangan masyarakat primitf, manusia berposisi sebagai subjek sedang alam semesta berposisi sebagai objek. Akan tetapi karena mereka mengkeramatkan benda dan menganggap benda sebagai dzat yang berpribadi, maka pada saat itu alam semesta otomatis dianggap sebagai subjek yang juga bisa berposisi sebagai ‘esensi’ yang bisa menyebabkan perubahan pada kehidupan manusia (tidak hanya pasif seperti pemahaman manusia moderan, namun juga aktif). (alimtiyaz, 2012).

Kemunculan kepercayaan ini tidak jauh berbeda latar belakangnya dengan kemunculan kepercayaan animisme. Perkembangan taraf hidup manusia dan meningkatnya rasio akal  karena ada celah manusia purba untuk merenungkan tentang Tuhan. Terbatasnya referensi manusia purba untuk menemukan Tuhannya mengantarkannya untuk menuangkan naluri agamanya pada apa yang ada di sekitarnya yang dapat dibuktikan dengan panca inderanya. Yakni benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib yang akan menguntungkan hidupnya sehingga benda tersebut dirawat,dipelihara dengan baik dan sakral.

 

2      Awal mula munculnya kepercayaan manusia Purba

Tuhan melahirkan manusia dengan fitrah sebagai hamba yang ber-Tuhan. Sudah seharusnya manusia memikirkan dan merenungkannya. segala yang ada di dunia ini tidak terjadi begitu saja. Sehebat apapun manusia pastilah ada yang jauh lebih hebat dan kekal yang terdapat di luar dari dirinya. Buktinya adalah penciptaan alam semesta yang dapat kita lihat saat ini. kita memakai pakaian untuk melindungi tubuh dari paparan sinar matahari dan cuaca yang buruk. Apakah pakaian itu ada dengan sendirinya? Tentu tidak, pasti ada yang mencipakannya. Kursi tempat kita duduk apakah ada begitu saja ? mustahil. Pasti kursi itu pun ada penciptanya. Begitu pun dengan manusia. Manusia yang memiliki akal, apakah tercipta begitu saja? Tidak. Tentu ada yang menciptakannya, sang maha karya yang maha kuasa dan maha mengetahui.

Manusia hidup dalam dimensi ruang dan waktu berpacu dengan akal dan menghasilkan sebuah peradaban. Perkembangan kepercayaan tidak terjadi begitu saja. Ada proses yang Tuhan ajarkan pada kita. Seperti ia menciptakan langit dan bumi yang sebagian orang menyebutkan dalam waktu tujuh haru tujuh malam. Tuhan yang maha kuasa tentu bisa saja menciptakannya dalam sekejap mata, namun alangkah bijaknya ia mengajarkan manusia dengan halus, pelan, dan pasti karena kekuasaan mutlak milik Tuhan tapi Tuhan begitu bijak mengajarkan seorang hamba yang tidak berdaya dengan pelan. Mengajarkan manusia pentingnya sebuah proses untuk menjemput Ridho-Nya.

Manusia di belahan bumi manapun diberikan Tuhan naluri untuk beragama. Membaca fenomena alam dan menafsirkannya. Dengan akal manusia wajib untuk belajar. karena dengan pengalaman belajar itulah yang akan membuat manusia kembali pada pelukan sang Tuhan.

Manusia purba mengalami beberapa fase dalam kehidupannya. Yakni hidup nomaden food gathering, semi nomaden, dan hidup menetap food Producing. Sebelum manusia purba hidup menetap dan bercocok tanam. Mereka lebih awal melakukan perjalan hidup dengan berppindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya yang memiliki banyak sumber makanan untuk mempertahankan hidupnya, pola hidup manusia purba ini terus menerus hanya berorientasi pada kebutuhan harian mereka. Yang bisa mereka lakukan hanyal berburu untuk mendapatkan makanan. Seiring berjalannya waktu manusia purba kian dapat meningkatkan taraf hidupnya. Sedikit demi sedikit orientasi kehidupannya mulai bertambah luas. Sapai akhirnya manusia purba hidup menetap dan bercocok tanam. Mereka memiliki waktu untuk merenungkan alam. Sejatinya manusia diberikan oleh Tuhan naluri untuk beragama.

Referensi mereka mengenai sang pencipta ada pada hal-hal yang berdekatan dengannya. Salah satunya adalah keyakinan pada roh manusia yang telah mati meninggalkan jasad.

Manusia purba percaya bahwa alam lah yang telah memberikan kehidupan kepadanya. Sehingga ia memercayai bahwa Tuhannya adalah benda yang ada di sekelilingnya. Ada kekuatan super natural yang terdapat pada benda yang akan membawa keberuntungan kepadanya sehinggga benda-benda itu harus diperlkukan dengan hormat.

3      Eksistensi kepercayaan totemisme, animisme, dan dinamisme saat ini

Meskipun kepercayaan animisme dan dinamisme sudah ada sejak zaman pra aksara yakni saat manusia belum mengenal huruf, bukan berarti di era modern ini kita tidak bisa lagi menemukannya. Masih terdapat suku-suku di Indonesia yang masih menganut kepercayaan yang sudah ada sejak masa purba ini. Di antaranya suku-suku yag tersebar di Papua, Maluku, dan suku Toraja. Pada umumnya mereka yang masih menganut kepercayaan primitif  berada di tempat yang sangat sulit dijangkau atau bisa dibilang terisolasi, tidak tersentuh oleh peradaban modern. Mereka masih mempertahankan adat tradisinya yang mereka pertahankan turun-tumurun ribuan tahun yang lau.

Mereka memilih untuk mempertahankan kepercayaan yang dianutnya dibandingkan dengan kepercayaan yang kini berkembang. Mereka memilihh untuk tertutup dari kontaminasi dunia luar yang dianggap senang untuk merusak alam.

6.     Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa totemisme, animisme, dan dinamisme adalah kepercayaan yang lahir sejak zaman pra aksara yakni saat manusia belum mengenal tulisan. Pemikiran manusia purba mengenai Tuhan masihlah sangat sederhana, yakni dengan bukti-bukti yang dapat dilihat oleh panca indera.

Manusia terlahir dengan fitrah agama Tuhannya. Tuhan telah membekali kita akal untuk berfikir dan mentadaburi alam semesta dan memasrahkan aqidah hanya kepada sang  pemilik.

Sebagai makhluk yang dianugerahi akal sudah selayaknya kita banyak belajar agar kita memiliki referensi yang luas dan dapat melihat kebenaran dengan hati yang tajam. Dengan penuh harapan Tuhan akan tunjukan jalan.

7.     Saran

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terlampir dan masih banyak hal berkaitan yang belum tertuang. Maka dari itu, dengan harapan agar kedepannya penelitian ini dapat dibahas secara lebih matang dan tuntas, penulis menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat menuangkan sumber-sumber yang akurat dan kaya akan referensi dan tentu dapat dipertanggungjawabkan. Penulis juga menyarankan kepada peneliti selanjutnya agar dapat menguasai teknik penulisan untuk menghindari terjadinya plagiarisme.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

alimtiyaz. (2012). No Title.

Boas, F. (1916). The Origin of Totemism. American Anthropologist. https://doi.org/10.1525/aa.1916.18.3.02a00020

Juliana, A. (2012). No Title. Jurnal Umum Animisme.

m. dimyati huda. (2015). No Title. PERAN DUKUN TERHADAP PERKEMBANGAN PERADABAN BUDAYA MASYARAKAT JAWA.

N. Bird-David. (1999). No Title. “Animism” Revisited.

Zhihuy, W. (2012). No Title. Totemism and Religious Belief:Spiritual Strength of Traditional Ethnic Sports Culture.

alimtiyaz. (2012). No Title.

Boas, F. (1916). The Origin of Totemism. American Anthropologist. https://doi.org/10.1525/aa.1916.18.3.02a00020

Juliana, A. (2012). No Title. Jurnal Umum Animisme.

m. dimyati huda. (2015). No Title. PERAN DUKUN TERHADAP PERKEMBANGAN PERADABAN BUDAYA MASYARAKAT JAWA.

N. Bird-David. (1999). No Title. “Animism” Revisited.

Zhihuy, W. (2012). No Title. Totemism and Religious Belief:Spiritual Strength of Traditional Ethnic Sports Culture.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...