Iklan

Kamis, 30 Mei 2024

Jurnal Artikel Awal Mula Studi Agama-Agama Masyarakat

 JURNAL ARTIKEL
AWAL MULA STUDI AGAMA-AGAMA MASYARAKAT


Abstrak

Dalam beberapa dekade terakhir, studi agama semakin menggairahkan dan menarik perhatian berbagai pihak. Yang terlibat dalam studi agama tidak hanya para agamawan dan ilmuwan dengan berbagai bidangnya, tetapi juga para politisi dan pemegang kebijakan di berbagai lingkungan. Studi agama dipandang sudah menjadi kebutuhan yang mutlak diperlukan dalam tatanan kehidupan modern yang semakin komplek. Banyak pakar menggantungkan harapan pada intensifikasi dan ekstensifikasi kajian agama guna mewujudkan kehidupan sosial yang harmonis di era globalisasi ini. Dokumen tentang studi agama untuk pertama kali dijumpai di kalangan masyarakat Yunani sekitar 5 abad sebelum Masehi. Herodotus (484-425 sM), seorang sejarawan Yunani Kuno, tercatat sebagai orang pertama yang menaruh minat dan memperhatikan agama-agama yang dianut oleh orang-orang di luar Yunani. Untuk itu, ia mengunjungi lebih dari 50 bangsa dan suku bangsa serta membuat catatan tentang adat kebiasaan mereka, termasuk tentang keberagamaannya. Dalam uraiannya, ia telah mengemukakan berbagai kesamaan yang ada di antara agama-agama bangsa Mesir, Persia, dan Asiria dengan agama orang-orang Yunani. Herodotus diakui telah mempergunakan teknik yang banyak, yang sampai saat ini masih dianggap penting dalam studi agama. Obyek kajian ilmu agama adalah semua agama , baik agama-agama masa lalu, maupun agama-agama masa sekarang, akan tetapi untuk keberlangsungan sebuah ilmu Studi agama memerlukan juga beberapa metodologi untuk memahami sebuah agama. Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini disajikan definisi studi agama-agama masyarakat, sejarah agama-agama masyarakat, manfaat, tujuan serta metodologi studi agama-agama masyarakat.

Kata kunci: agama, sejarah, studi agama.

A.    Pendahuluan

Studi agama ini tidak dapat lepas dari kehidupan. Termasuk di Indonesia yang bermacam-macam budaya, suku, dan agama. Pada tahun 2000 di Universitas Gajah Mada membuat trobosan baru dengan diakannya studi agama yang kini bernama “studi lintas agama dan budaya” atau center for religion dan cross-cultural. Studi ini sangat berperan penting dalam kemajuan studi agama agama. Dan studi agama agama masyarakat ini menjadi berkembang pesat. Studi agama agama ini sangat penting karena agama dan kehidupan beragama merupakan fenomena yang tak terlepas dari kehidupan perjalanan sejarah manusia.Studi agama agama masyarakat ini tidak terlepas dari metodelogi, pendekatan, urgensi, lingkup, sasaran, tujuan, dan lain.

Studi agama agama masyarakat ini bertujuan untuk memberi kemungkinan bagi seseorang yang meliabtkan diri dalam studi agama untuk memiliki pandangan yang sempurna tentang apa arti pengalaman dan ekspresi-ekspresi semacam apa yang bisa ditimbulkan .

B.    Rumusan Masalah

1.     Apa itu studi agama-agama masyarakat ?

2.     Bagaimana history studi agama-agama masyarakat?

3.     Bagaimana metode studi agama-agama masyarakat?

4.     Apa manfaat dari studi agama-agama masyarakat?

5.     Apa tujuan dari studi agama-agama masyarakat?

 

C.    Metode Penelitian

Penelitian tentang “Awal Studi Agama Agama Masyarakat” menggunakan metode pengumpulan data kualitatif melalui analisis mengenai beberapa dokumen berupa jurnal dan e-book yang berisi data dan fakta yang actual mengenai Awal Studi Agama Agama Masyarakat. Kami Kemudian dibagian akhir akan ditarik kesimpulan menurut pemikiran kami.

 

D.    Pembahasan

1.     Pengertian Studi Agama Agama Masyarakat

Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya, sedangkan menurut bahasa “a” artinya tidak dan “gam” pergi. Apabila digabungkan menjadi tidak pergi atau tetap.

Menurut pendapat A. Mukti Ali (Ali 2018) dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perbandingan Agama, Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistima studi agama merupakan kajian ilmiah dan objektif. Ilmu perbandingan agama didefinisikan sebagai: “sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala daripada suatu kepercayaan dalam hubungannya dengan agama-agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan, juga perbedaan. Dari pembahasan yang sedemikian itu, maka struktur yang asasi daripada pengalaman keagamaan manusia daripada manusia dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang itu akan dipelajari dan dinilai.”

Menurut istilah M.Amin Abdullah (Huda 2002) di bagian awal tulisannya, llmu agama-agama (The Science of Religions) dalam tradisi keilmuan yang bersifat historis-empiris mempunyai beberapa sinonim. Di antaranya adalah Comparative Religions, The Scientific study of Religion, Religionwissenschaft, Allgemeine Religionsgeschichte, Phenomenology of Religios, History of Religions, dan sebagainya. Dalam studi agama dengan wilayah telaah yang ditujukan pada fenomena kehidupan beragama manusia pada umumnya, biasanya didekati dengan berbagai disiplin keilmuan yang bersifat normatif-empiris, bukan normatif-dogmatis. Maka muncullah cabang-cabang keilmuan agama-agama seperti Sejarah Agama, (History of Religion), Psikologi Agama (Psychology of Religion), Antropologi Agama (Antropology of Religion),  Sosiologi Agama (Sociology of Religion), dan sebagainya.

Dapat disimpulkan bahwa studi agama-agama adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji gejala-gejala kepercayaan agama-agama di masyarakat yang mempengaruhi pola kehidupan suatu masyarakat beragama serta hubungan antar agama. Hal ini termasuk persamaaan dan perbedaan kepercayaan secara sistematis, metodelogi, dan objektif. Namun definisi ini dapat berubah seiring bejalannya karena perubahan waktu zaman yang mempengaruhi perubahan secara sosial.

2.     Sejarah Studi Agama-Agama Masyarakat

Sebagai ilmu yang otonon studi agama, atau disebut pula (scence of religion) mulai dirintis pada abad XIX. Tokoh pertama kali yang di anggap mempopulerkannnya secara sistematis adalah Friedrich Max Muller (1823-1900M) yang dipandang sebagai bapak studi agama modern menggunakan sebutan Religionswissenschaft, pengetahuan tentang agama, yang mengandung makna pengetahuan dalam arti science dan pengetahuan dalam arti knowledge tentang agama . Muller menggunakan ungkapan wissenschaft karena menyadari bahwa studi agama meliputi dua wilayah kajian; saintifik dan non-saintifik. Namun, kesulitan mencari padanan kata ini dalam bahasa Inggris, apalagi ditambah dengan kegandrungan ilmuwan moderen dengan kajian saintifik yang empirik, membuat banyak ilmuwan lebih memperhatikan segi empirik dari suatu agama. Studi agama dalam arti sains meniscayakan objek kajiannya bersifat empiris dan historis. Ini berarti bahwa bahasannya berkaitan dengan pengalaman beragama seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan sosialnya. Padahal, kajian agama tidak hanya berbicara tentang hal-hal yang empiris dan historis, tetapi juga membahas hal-hal yang berada di luar jangkauan sains (non empiris), yang bersifat metafisis dan ghaib. Ini menunjukkan bahwa studi agama juga membahas doktrin atau ajaran dari suatu agama sebagaimana diyakini oleh penganutnya. Muller juga menggunakan sebutan Comparative Religions. Sebutan Perbandingan Agama termasuk nama yang cukup populer di Indonesia untuk mengungkapkan bidang studi agama. Dalam pengertian ini, wilayah kajian studi agama mencakup hal-hal yang bersifat empiris (realitas keberagamaan umatnya) dan juga hal-hal yang bersifat metafisis (ajaran atau doktrin yang diyakini kebenarannya oleh umatnya).(Ali 2018)

Dalam pengertian sejarah agama, studi agama dipahami sebagai kajian filosofis terhadap agama sebagai sesuatu yang mendasari semua fenomena historis berbagai agama. Di sini, berbagai aspek agama dijumpai dan dipelajari dengan menggunakan metode perbandingan. Fokus kajian di sini, sesungguhnya, bukanlah agama, melainkan fenomena sosiologis dari suatu masyarakat yang beragama. Yang dibicarakan adalah peran dari suatu agama dalam kehidupan sosial suatu masyarakat atau sebaliknya peran kebudayaan suatu masyarakat terhadap perkembangan agama tertentu dalam perjalanan sejarah. Paling tidak, seperti yang dikatakan W.C. Smith, meskipun studi terhadap agama adalah studi terhadap pribadi seseorang, namun ia menangani wilayah yang lebih personal yang tak selalu dapat ditangkap, ia mengkaji sesuatu yang tidak secara langsung dapat diamati. Pengetahuan ini bukan untuk mengkaji benda-benda seperti yang dilakukan para saintis, melainkan mengkaji kualitas kehidupan pribadi. (Ali 2018)

Mircea Eliade, dalam tulisannya Kronologi Studi Agama sebagai Cabang Ilmu, menegaskan bahwa ilmu ini mulai dirintis dari abad ke-1921. Ia mencatat bahwa Max Muller (1823-1900M) adalah perintis pertama ilmu ini. Pernyataan ini tentu saja tidak berarti bahwa sebelum itu tidak/belum ada studi agama. Bahkan, Mukti Ali menegaskan bahwa yang meletakkan dasar-dasar ilmu perbandingan agama adalah Ali ibn Hazm (994-1064) dengan kitabnya al-Fashl fi al-Milal w-alAhwa’ w-al-Nihal, atau Muhammad Abd al-Karim al-Syahrastani (1071-1153) dengan kitabnya al-Milal w-al-Nihal.

Dokumen tentang studi agama untuk pertama kali dijumpai di kalangan masyarakat Yunani sekitar 5 abad sebelum Masehi. Herodotus (484-425 sM), seorang sejarawan Yunani Kuno, tercatat sebagai orang pertama yang menaruh minat dan memperhatikan agama-agama yang dianut oleh orang-orang di luar Yunani. Untuk itu, ia mengunjungi lebih dari 50 bangsa dan suku bangsa serta membuat catatan tentang adat kebiasaan mereka, termasuk tentang keberagamaannya. Dalam uraiannya, ia telah mengemukakan berbagai kesamaan yang ada di antara agama-agama bangsa Mesir, Persia, dan Asiria dengan agama orang-orang Yunani. Sejalipun karya karyanya lebih banyak memuat data deskriptif, ketimbang data analitis, namun herodutus telah memberikan kontribui yang amat signifikan bagi studi agama selanjutnya.

Di samping karya-karyanya itu, herodotus juga mengemukakakn hipotesis studi-studi agama dan hubungan mereka dengan kultus dan mitologi Yunani, serta mengusulkan apa yang disebutkannya sebagai teori perkembangan sejarah tiga taraf yaitu taraf manusia, taraf pahlawan, dan taraf dewa-dewa.[1]

Kendati belum dapat dikatakan sebagai teori perbandingan agama seperti versi modern namun perkembangan herodotus merupakan embrio teori yang cukup menarik, khususnya dalam memahami agama zaman Yunani Kuno. Selain Herodotus, ada beberapa tokoh yang mengkaji tentang studi agama, yaitu :

1.     Tahun 410-370SM, Demokritos, berkenaan dengan dasar-dasar agama asing yang telah dikenalnya dari berbagai perjalanannya

2.     Tahun 429-347SM, Plato, dia sering membuat perbandingan agama-agama suku bar-bar

3.     Tahun 308-322SM, Aristoteles, pencetus awal sistematis tentang degenerasi keagamaan dan selalu berkembang setiap waktu

4.     Tahun 372-487SM, Theophratus, dia membuat 6 jilid sejarah keagamaan, oleh karena itu dia disebut sebagai ilmuan pertama di bidang studi agama.

Studi agama yang membatasi diri hanya pada kajian ilmiah lebih tepat disebut studi keberagamaan, bukan studi agama. Hal ini terlihat dengan jelas pada pernyataan Ninian Smart, dalam uraiannya yang berjudul Batas-batas Studi Agama Ilmiah. Ia menulis sbb.:

“Kemudian, apa studi ilmiah agama itu? Untuk menjawab secara ringkas dan dalam pola yang agak tajam, adalah sebuah upaya yang bersifat aspectual, polimetodis, pluralistic, dan tanpa batas yang tegas. Ia bersifat aspectual dalam arti bahwa agama harus diperlakukan sebagai salah satu aspek dari eksistensi. Orang bersikap dan bereaksi secara religious, inilah yang diangkat oleh studi agama; sebagaimana ekonomi mengangkat perilaku ekonomi manusia. Studi agama bersifat polimetodis dalam arti bahwa berbagai metode atau disiplin yang berbeda digunakan untuk menangani aspek di atas. Oleh karena itu, orang perlu menangani agama dengan metode sejarah, penyelidikan sosiologis, fenomenologis, dan sebagainya. Ia pluralistic karena ada banyak agama-agama dan tradisi keagamaan, dan akan tampak bahwa tidak ada studi agama yang dilaksanakan dengan penuh yang tidak tertarik kepada lebih dari satu tradisi. Perlu ditekankan fakta elementer ini karena, pada masa lalu, teologi cenderung membatasi diri pada satu tradisi saja. Studi agama bersifat tanpa batas yang tegas, karena tidak mungkin atau tidak realistis untuk mengeneralisasi definisi yang baku tentang agama, atau lebih tepatnya. Berbagai definisi akan mencakup tentang kemiripan-kemiripan, sebagaimana diindikasikan oleh Wittgenstein.”

Dengan tegas dinyatakan di sini bahwa yang diangkat dalam studi agama ilmiah ialah sikap dan reaksi religius manusia, bukan ajarannya yang terlepas dari manusianya. Sikap dan reaksi religius tersebut sesungguhnya bukanlah agama melainkan keberagamaan dari para penganutnya. Ia merupakan respons manusia baik secara individu maupun berkelompok terhadap suatu agama yang mereka anut. Studi agama ilmiah inilah yang melahirkan sebutan-sebutan Islam Santri dan Islam Abangan, Islam Ekstrim dan Islam Moderat, Islam Inklusif dan Islam Ekslusif dan berbagai sebutan lainnya. Semua atribut ini seharusnya tidak dilekatkan pada Islam, melainkan pada orang/penganutnya. Yang bersifat santri atau abangan, ekstrim atau moderat, inkslusif atau ekslusif, dan lain-lainya adalah orang/penganutnya bukan ajarannya. Atribut ini semua berkaitan dengan penganutnya bukan dengan agamanya. Suatu agama tertentu tak mungkin mengandung sekaligus sifat-sifat ekstrim dan moderat, fundamental dan permisif. (Ali 2018)

Studi agama dengan pendekatan historis yang bersifat empirik dan sosiologis ini telah dikembangkan oleh para pakar dari berbagai bidang ilmu, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, dan lain-lain. Penjelasan psikologis terhadap agama misalnya telah diusahakan oleh Wilhelm Wundt (1832-1920M), William James (1842-1910M), dan Sigmund Freud (1856-1939M). Fenomenologi agama menemukan otoritas pertamanya dalam diri Gerardus van der Leew (1890- 1950).

Masing-masing pendekatan, normatif dan historis, dinilai punya kelemahan sendiri-sendiri. Karena itu, studi agama tidak mungkin hanya dengan mengkaji aspek doktrinal tanpa keterkaitan dengan aspek sosio-praksis yang menyertainya.  Lebih jauh dikatakan bahwa untuk menolong melerai atau setidaknya menjernihkan bercampuraduknya dimensi doktrinal-teologis dan kultural-historis, diperlukan refleksi-kritis yang biasa diwakili oleh pendekatan kritis-filosofis.

Lebih jauh dijelaskan bahwa Jurusan Sejarah Agama-agama di universitas didirikan pertama kali di Jenewa, Swiss, pada th. 1873; kemudian pada tahun 1876 diikuti dengan pembukaan empat jurusan di Belanda, lalu pada tahun 1879 dibuka lagi satu jurusan di College de France, dan pada tahun 1885 berdiri lagi sebuah seksi khusus Ilmu-ilmu Agama di Ecole des Hautes Etudes di Sorbone.

Ketertarikan kepada agama-agama asing juga telah bangkit di Barat selama Abad Pertengahan dengan kehadiran Islam yang mengancam. Tahun 1141 Peter the Venerable telah memiliki al-Quran yang diterjemahkan oleh Robert de Retines, dan sekolah untuk kajian bahasa Arab didirikan tahun 1250. Saat itu, Islam telah memiliki karya-karya penting dalam kajian agama Pagan. Al-Biruni (973-1048M) telah memberikan uraian yang cukup berharga mengenai agama dan Filsafat India; Syahrastani (w. 1153M) adalah penulis buku tentang aliran-aliran dalam Islam; Ibn Hazm (994-1064M) telah menyusun buku yang sangat besar dan berharga, di mana ia membahas tentang Mazdaen dan Dualisme Manichean, Brahmanisme, Yahudi, Kristen, atheisme, dan berbagai sekte dalam Islam.

3.     Sejarah Studi Agama-agama di Indonesia

Di Indonesia, studi agama dalam arti studi perbandingan agama sudah berlangsung sejak lama. Syekh Nuruddin al-Raniri (w. 1658) telah menulis sebuah buku yang diberinya judul Tibyan fi Ma`rifat al-Adyan, Petunjuk dalam Memahami Berbagai Agama. Karya ini ditulisnya atas permintaan Sultanah Safiatuddin (Aceh) yang ingin mengetahui berbagai agama. Selanjutnya, beberapa perguruan di Sumatera Barat pada dekade ke-4 abad kedua puluh telah mengajarkan perbandingan agama kepada para siswanya. Tercatat misalnya, alJami`ah al-Islamiah di Sungayang, Batusangkar (1931), Normaal Islam di Padang (1931), Training College di Payakumbuh (1934), memasukkan mata pelajaran Ilmu Agama-agama dalam kurikulumnya. Begitu pula, pada tahun 1951, Pesantren Perstuan Islam menetapkan “Mengenal Agama-agama Lain” sebagai mata pelajaran yang harus diikuti para santrinya.

4.     Teologi, Science of Religion, dan Studi Agama

Dalam bahasa Inggris tiga disiplin di atas disebut dengan Theology, Science of Religion dan Religious Studies. Teologi telah lama menjadi kosakata yang cukup mapan dalam bahasa Indonesia, sedangkan “Studi Agama” mulai dipakai secara luas sebagai terjemahan dari istilah Religious Studies. Setidaknya sampai saat ini, kita masih sulit mencari terjemahan yang tepat untuk istilah science of religion. Secara literal frasa tersebut dapat diterjemahkan dengan istilah Ilmu Agama. Tapi ilmu agama di dalam bahasa Indonesia telah dipakai atau cenderung dipakai sebagai terjemahan yang maknanya dekat dengan ahli teologi. Oleh karena itu dalam tulisan ini Science of Religion sengaja tidak diterjemahkan. Istilah Religious Studies dan Studi Agama sama-sama dipakai secara tukar-menukar untuk pengertian yang sama. Mengapa dipakai secara bersama-sama? Tujuannya untuk mengulang dan memastikan bahwa Studi Agama yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Religious Studies sebagai sebuah disiplin. Pada tingkat ini ada tumpang tindih, kadang sulit dibedakan, antara istilah Religious Studies dan Study of Religion. Kita belum membicarakan perbedaan keduanya dalam tulisan ini.

Meskipun kajian tentang agama telah muncul jauh sebelumnya bersamaan dengan perkembangan ilmu filsafat sejak abad 5 SM, namun kajian agama sebagai disiplin yang otonom baru dimulai pada abad 19 (Eliade 2000, 70). Bersamaan dengan proses penjajahan bangsa-bangsa Eropa Barat di Afrika dan Asia (the age of discovery), para sarjana serta universitas-universitas di Eropa Barat memiliki perhatian pada kajian-kajian oriental. Dari waktu ke waktu mereka mengembangkan disiplin ilmu-ilmu seperti antropologi, sosiologi, arkeologi, dan lain-lain. Ketertarikan para sarjana tersebut bukan saja pada aspek-aspek “sekuler” dari masyarakat Timur, tetapi juga aspek-aspek “spiritual” atau “agama”. Meskipun, perbedaan antara “sekuler” dan “agama” tentu tidak sepenuhnya clear cut, bahkan tidak jarang sulit atau hampir tidak mungkin dapat dibedakan. Disiplin ilmu yang memberikan perhatian lebih pada aspek agama tersebut kemudian dibangun dengan label Religionswissenschaft (Smith 2000, 73-74). Religionswissenschaft ini pada gilirannya menjadi disiplin ilmu yang kemudian secara luas dalam bahasa Inggris disebut sebagai Science of Religion. Sampai di sini Science of Religion berada dalam posisi yang berbeda secara diametral dengan teologi. Penyederhanaan yang mungkin dapat dikemukakan adalah bahwa di tengah-tengah atau di antara Science of Religion dan Theology terdapat Religious Studies. Awalnya, Religious Studies lahir dari rahim teologi, melalui disiplin Ilmu Perbandingan Agama (Comparative Religions).

         "Teologi komparatif", sebagai label perkembangan terbaru dan disiplin yang baru lahir, mungkin terlihat sedikit canggung, terutama jika seseorang mengingat bagaimana, sekitar 150 tahun yang lalu, studi perbandingan agama muda berjuang untuk membebaskan diri dari teologi denominasi yang dianggap statis , dogmatis dan parokial. Tidak perlu pergi ke sini ke dalam rincian sejarah intelektual dan kelembagaan yang agak rumit. Namun, orang harus ingat bahwa metode komparatif dalam Sejarah agama, khususnya di sekolah fenomenologinya, berusaha untuk memasukkan, dalam dokumentasi yang akan dikumpulkan dan dianalisis, jika tidak semua agama di masa lalu dan sekarang, setidaknya contoh representatif dari keragaman empiris agama atau, untuk menjadi lebih akurat, dari keragaman jenis dan bentuk keagamaan: program yang agak ambisius, tetapi kondisi yang diperlukan jika seseorang berniat, melalui perbandingan data empiris dan mungkin metode "variasi bebas" atau simulasi model, untuk membawa ke pola umum ringan dan struktur yang lebih dalam, jenis agama yang berbeda dan berbeda dan bahkan, dalam kasus para sarjana dengan pikiran yang lebih spekulatif, beberapa 'agama'.(Scheuer 2012).

 

Apa karakter yang membedakan Religious Studies dengan teologi? Menarik mendiskusikan empat karakter “studi agama ilmiah” yang dibangun oleh Ninian Smart (2000, 148-149) yang menurut hemat penulis dapat dipinjam untuk mendeskripsikan karakter Religious Studies. Pertama, dalam Religious Studies agama bersifat aspektual atau menjadi aspek studi. Dengan bahasa lain, objek materi dari Studi Agama adalah agama. Tentu muncul pertanyaan apa itu agama? Apa agama dapat ditangkap sebagai aspek atau materi studi ilmiah? Kalau ada pertanyaan untuk Studi Agama, seharusnya pertanyaan itu berlaku juga untuk semua disiplin ilmu. Seperti, di disiplin Ilmu Politik: apa itu politik? Di disiplin Ilmu Budaya: apa itu budaya? Intinya, dalam studi akademik baik itu agama, politik, ataupun budaya adalah sebenarnya konstruksi.

Ketika Jonathan Z. Smith (1982, xi) menulis bahwa ‘Religion is solely the creation of the scholar’s study […] Religion has no existence apart from the academy’, tidak berarti Studi Agama kehilangan objek studinya. Bagi Smith, “tidak ada” agama di luar konstruksi akademis di kalangan para sarjana, sebuah paradigma baru yang mengkritik para sarjana lain, terutama dari kalangan Science of Religion yang menempatkan agama dalam kategori esensialis atau sui generis.

Dalam Studi Agama, sikap atau reaksi religius seseorang atau kelompok sosial yang diangkat sebagai objek studi setara sebagaimana juga dalam disiplin ilmu lain. Misalnya ilmu ekonomi yang menjadikan perilaku ekonomi manusia menjadi objek studi ekonomi. Sampai di sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa objek material studi agama adalah aspek agama dari diri manusia atau masyarakat. Sebagaimana juga objek material ilmu politik adalah aspek politik dan objek material dari ilmu ekonomi adalah aspek ekonomi dari diri manusia atau masyarakat.

5.     Metode studi agama agama islam

Metode kombinasi sistematik dari proses-proses kognitif, dengan menggunakan teknik-teknik khusus.  Klasifikasi, konseptualisasi, abstraksi, penilaian, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, argumen dari analogi, dan akhirnya pemahaman itu sendiri adalah proses-proses kognitif (Zarkasi 2016). Setiap metode berbeda – beda tergantung dari pemikiran manusia, peradabandan dan tugas tugas pemikiran tersebut.terdapat beberapa metode, yaitu:

1.     Metode Teologi

Pendekatan teologis berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu sendiri, dimana agama tidak lain merupakan hak prerogatif tuhan sendiri. Realitas sejati dari agama adalah sebagaimana yang dikatakan oleh masing-masing agama.  Metode ini dilakukan dengan cara meneliti agama lain dengan agama peneliti agar menambah keyakinan dan pembenaran dengan agama yang dianutnya. Pendekatan teologis memahami agama secara harfiah atau pemahaman yang menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya (Zarkasi 2016).

Dalam pemahaman keagaman, metode teologi ini bersangkutan tentang simbol – simbol agama yang membenarkan agama itu sendiri dan agama lain salah ( fanatik ).

2.     Metode Histori

Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut (Zarkasi 2016).

6.     Manfaat studi agama-agama

Secara umum sosioantropologi berpendapat bahwa agama mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia. Kajian fungsional tentang agama sangat menekankan hal ini. Beberapa fungsi spiritual dari agama yang disebutkan dalam berbagai definisi tentang agama adalah:

a.     Memberikan makna tertinggi (the provision of ultimate meaning) Usaha untuk menafsirkan hal yang tak diketahui dan mengontrol hal yang tak terkontrol (the attempt to interpret The unknown and to control the uncontrollable),

b.     Personifikasi dari pemikiran-pemikiran manusia (personification of human ideals)

c.     Integrasi dari kultur dan legitimasi dari sistem sosial (integration of the culture and legitimation of the social system)

d.     Projeksi dari makna-makna kemanusia- an dan pola sosial kepada suatu entitas yang maha kuat-maha tinggi (projection of human meanings and social patterns onto a superior entity), dan

e.     Usaha untuk menangani masalah-masalah utama dalam kehidupan manusia di muka bumi (the effort to deal with ultimate problems of human existence). (Marzali 2012)

 

7.     Tujuan studi agama-agama

a.     Di Indonesia, dimana peneliti agama adalah orang yang beragama, maka mereka menduduki dua posisi yang bertentangan dalam waktu yang bersamaan. Di satu sisi mereka adalah religious man, orang yang beragama, di sisi lain mereka kita adalah saintist yang sedang belajar tentang agama-agama manusia. Memelajari agama dari sudut sosioantropologi dapat bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang luas tentang berbagai agama manusia di muka bumi, atau melihat agama sendiri dalam konteks keanekaragaman agama tersebut, atau menemukan hakekat sejati dari manusia sebagai makhluk yang mengandung sifat keilahian. (Marzali 2012)

b.     Penelitian ini menemukan bahwa inti dari studi agama menurut Ahmad Shalaby adalah dengan melakukan studi agama akan mengharuskan peneliti untuk mengetahui agama-agama dan sejarah setiap agama melalui sejarah yang panjang. (Prof and Shalaby 2008)

 

Kesimpulan

Studi agama telah menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan masyarakat modern disebabkan antara lain adanya kebutuhan akan terciptanya hubungan yang harmonis dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Meskipun motivasi dan tujuan orang melakukan studi agama bisa beragam, namun tak mungkin dipungkiri bahwa pengembangan studi agama merupakan salah satu langkah yang sangat strategis dan efektif untuk memenuhi tuntutan hidup rukun dan harmonis di era global. Metode Tipologi oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama yang nantinya dari sit akan mendapatkan pengetahuan yang menyeluruh.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Pemikiran Mukti. 2018. “Pemikiran Mukti Ali.” (June).

Huda, Sokhi (State Islamic University Sunan Ampel ). 2002. “Studi Agama-Agama: Wacana Pengantar Metodologis.” (December 2002): 20. https://www.researchgate.net/publication/321361697.

Marzali, Amri. 2012. “Agama Dan Kebudayaan.” (1958): 57–75.

Prof, Perspektif, and Ahmad Shalaby. 2008. “Studi Agama Perspektif Prof. Dr. Ahmad Shalaby.”

Scheuer, Jacques. 2012. “Comparative Theology and Religious Studies in a Non-Religious Environment.” : 973–82.

Zarkasi, Ahmad. 2016. “Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama-.......” : 1–16.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...