JURNAL ARTIKELAWAL MULA STUDI AGAMA-AGAMA MASYARAKAT
Abstrak
Dalam beberapa dekade terakhir, studi agama semakin menggairahkan dan
menarik perhatian berbagai pihak. Yang terlibat dalam studi agama tidak hanya
para agamawan dan ilmuwan dengan berbagai bidangnya, tetapi juga para politisi
dan pemegang kebijakan di berbagai lingkungan. Studi agama dipandang sudah
menjadi kebutuhan yang mutlak diperlukan dalam tatanan kehidupan modern yang
semakin komplek. Banyak pakar menggantungkan harapan pada intensifikasi dan
ekstensifikasi kajian agama guna mewujudkan kehidupan sosial yang harmonis di
era globalisasi ini. Dokumen
tentang studi agama untuk pertama kali dijumpai di kalangan masyarakat Yunani
sekitar 5 abad sebelum Masehi. Herodotus (484-425 sM), seorang sejarawan Yunani
Kuno, tercatat sebagai orang pertama yang menaruh minat dan memperhatikan
agama-agama yang dianut oleh orang-orang di luar Yunani. Untuk itu, ia
mengunjungi lebih dari 50 bangsa dan suku bangsa serta membuat catatan tentang
adat kebiasaan mereka, termasuk tentang keberagamaannya. Dalam uraiannya, ia
telah mengemukakan berbagai kesamaan yang ada di antara agama-agama bangsa
Mesir, Persia, dan Asiria dengan agama orang-orang Yunani. Herodotus diakui
telah mempergunakan teknik yang banyak, yang sampai saat ini masih dianggap
penting dalam studi agama. Obyek kajian ilmu agama adalah semua agama , baik agama-agama masa lalu,
maupun agama-agama masa sekarang, akan tetapi untuk keberlangsungan sebuah ilmu
Studi agama memerlukan juga beberapa metodologi untuk memahami sebuah agama.
Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini disajikan definisi studi
agama-agama masyarakat, sejarah agama-agama masyarakat, manfaat, tujuan serta
metodologi studi agama-agama masyarakat.
Kata kunci: agama, sejarah, studi agama.
A.
Pendahuluan
Studi agama ini tidak
dapat lepas dari kehidupan. Termasuk di Indonesia yang bermacam-macam budaya,
suku, dan agama. Pada tahun 2000 di Universitas Gajah Mada membuat trobosan
baru dengan diakannya studi agama yang kini bernama “studi lintas agama dan
budaya” atau center for religion dan cross-cultural. Studi ini sangat berperan
penting dalam kemajuan studi agama agama. Dan studi agama agama masyarakat ini
menjadi berkembang pesat. Studi agama agama ini sangat penting karena agama dan
kehidupan beragama merupakan fenomena yang tak terlepas dari kehidupan
perjalanan sejarah manusia.Studi agama agama masyarakat ini tidak terlepas dari
metodelogi, pendekatan, urgensi, lingkup, sasaran, tujuan, dan lain.
Studi agama agama masyarakat ini bertujuan untuk memberi kemungkinan
bagi seseorang yang meliabtkan diri dalam studi agama untuk memiliki pandangan
yang sempurna tentang apa arti pengalaman dan ekspresi-ekspresi semacam apa
yang bisa ditimbulkan .
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu
studi agama-agama masyarakat ?
2.
Bagaimana
history studi agama-agama masyarakat?
3.
Bagaimana
metode studi agama-agama masyarakat?
4.
Apa
manfaat dari studi agama-agama masyarakat?
5.
Apa
tujuan dari studi agama-agama masyarakat?
C.
Metode Penelitian
Penelitian tentang “Awal Studi Agama Agama Masyarakat” menggunakan metode pengumpulan
data kualitatif melalui analisis mengenai beberapa dokumen berupa jurnal dan
e-book yang berisi data dan fakta yang actual mengenai Awal Studi Agama Agama Masyarakat. Kami Kemudian dibagian akhir akan
ditarik kesimpulan menurut pemikiran kami.
D.
Pembahasan
1.
Pengertian Studi Agama Agama Masyarakat
Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya, sedangkan menurut bahasa “a” artinya tidak dan “gam”
pergi. Apabila digabungkan menjadi tidak pergi atau tetap.
Menurut pendapat A. Mukti Ali (Ali 2018) dalam bukunya yang berjudul Ilmu
Perbandingan Agama, Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistima
studi agama merupakan kajian ilmiah dan objektif. Ilmu perbandingan agama
didefinisikan sebagai: “sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk
memahami gejala-gejala daripada suatu kepercayaan dalam hubungannya dengan
agama-agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan, juga perbedaan. Dari
pembahasan yang sedemikian itu, maka struktur yang asasi daripada pengalaman
keagamaan manusia daripada manusia dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan
orang itu akan dipelajari dan dinilai.”
Menurut istilah M.Amin Abdullah (Huda 2002) di bagian awal tulisannya, llmu agama-agama (The Science
of Religions) dalam tradisi keilmuan yang bersifat
historis-empiris mempunyai beberapa sinonim. Di antaranya adalah Comparative Religions, The Scientific study
of Religion, Religionwissenschaft, Allgemeine Religionsgeschichte,
Phenomenology of Religios, History of Religions, dan sebagainya. Dalam
studi agama dengan wilayah telaah yang ditujukan pada fenomena kehidupan
beragama manusia pada umumnya, biasanya didekati dengan berbagai disiplin
keilmuan yang bersifat normatif-empiris, bukan normatif-dogmatis. Maka
muncullah cabang-cabang keilmuan agama-agama seperti Sejarah Agama, (History of Religion), Psikologi Agama (Psychology of Religion), Antropologi
Agama (Antropology of Religion), Sosiologi Agama (Sociology of Religion), dan sebagainya.
Dapat disimpulkan bahwa studi agama-agama adalah suatu cabang ilmu
pengetahuan yang berusaha mengkaji gejala-gejala kepercayaan agama-agama di
masyarakat yang mempengaruhi pola kehidupan suatu masyarakat beragama serta hubungan
antar agama. Hal ini termasuk persamaaan dan perbedaan kepercayaan secara
sistematis, metodelogi, dan objektif. Namun definisi ini dapat berubah seiring bejalannya
karena perubahan waktu zaman yang mempengaruhi perubahan secara sosial.
2. Sejarah Studi Agama-Agama Masyarakat
Sebagai ilmu yang otonon studi agama, atau disebut pula (scence of religion) mulai dirintis pada
abad XIX. Tokoh pertama kali yang di anggap mempopulerkannnya secara sistematis
adalah Friedrich Max Muller (1823-1900M) yang
dipandang sebagai bapak studi agama modern menggunakan sebutan Religionswissenschaft, pengetahuan
tentang agama, yang mengandung makna pengetahuan dalam arti science dan
pengetahuan dalam arti knowledge tentang agama . Muller menggunakan ungkapan
wissenschaft karena menyadari bahwa studi agama meliputi dua wilayah kajian;
saintifik dan non-saintifik. Namun, kesulitan mencari padanan kata ini dalam
bahasa Inggris, apalagi ditambah dengan kegandrungan ilmuwan moderen dengan
kajian saintifik yang empirik, membuat banyak ilmuwan lebih memperhatikan segi
empirik dari suatu agama. Studi agama dalam arti sains meniscayakan objek
kajiannya bersifat empiris dan historis. Ini berarti bahwa bahasannya berkaitan
dengan pengalaman beragama seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan
sosialnya. Padahal, kajian agama tidak hanya berbicara tentang hal-hal yang
empiris dan historis, tetapi juga membahas hal-hal yang berada di luar
jangkauan sains (non empiris), yang bersifat metafisis dan ghaib. Ini
menunjukkan bahwa studi agama juga membahas doktrin atau ajaran dari suatu
agama sebagaimana diyakini oleh penganutnya. Muller juga menggunakan sebutan
Comparative Religions. Sebutan Perbandingan Agama termasuk nama yang cukup
populer di Indonesia untuk mengungkapkan bidang studi agama. Dalam pengertian
ini, wilayah kajian studi agama mencakup hal-hal yang bersifat empiris
(realitas keberagamaan umatnya) dan juga hal-hal yang bersifat metafisis
(ajaran atau doktrin yang diyakini kebenarannya oleh umatnya).(Ali 2018)
Dalam
pengertian sejarah agama, studi agama dipahami sebagai kajian filosofis terhadap
agama sebagai sesuatu yang mendasari semua fenomena historis berbagai agama. Di
sini, berbagai aspek agama dijumpai dan dipelajari dengan menggunakan metode
perbandingan. Fokus kajian di sini, sesungguhnya, bukanlah agama, melainkan
fenomena sosiologis dari suatu masyarakat yang beragama. Yang
dibicarakan adalah peran dari suatu agama dalam kehidupan sosial suatu
masyarakat atau sebaliknya peran kebudayaan suatu masyarakat terhadap
perkembangan agama tertentu dalam perjalanan sejarah. Paling tidak, seperti
yang dikatakan W.C. Smith, meskipun studi terhadap agama adalah studi terhadap
pribadi seseorang, namun ia menangani wilayah yang lebih personal yang tak
selalu dapat ditangkap, ia mengkaji sesuatu yang tidak secara langsung dapat
diamati. Pengetahuan ini bukan untuk mengkaji benda-benda seperti yang
dilakukan para saintis, melainkan mengkaji kualitas kehidupan pribadi. (Ali 2018)
Mircea
Eliade, dalam tulisannya Kronologi Studi Agama sebagai Cabang Ilmu, menegaskan
bahwa ilmu ini mulai dirintis dari abad ke-1921. Ia mencatat bahwa Max Muller
(1823-1900M) adalah perintis pertama ilmu ini. Pernyataan ini tentu saja tidak
berarti bahwa sebelum itu tidak/belum ada studi agama. Bahkan, Mukti Ali menegaskan bahwa yang meletakkan
dasar-dasar ilmu perbandingan agama adalah Ali ibn Hazm (994-1064) dengan
kitabnya al-Fashl fi al-Milal w-alAhwa’ w-al-Nihal, atau Muhammad Abd al-Karim
al-Syahrastani (1071-1153) dengan kitabnya al-Milal w-al-Nihal.
Dokumen
tentang studi agama untuk pertama kali dijumpai di kalangan masyarakat Yunani
sekitar 5 abad sebelum Masehi. Herodotus (484-425 sM), seorang sejarawan Yunani
Kuno, tercatat sebagai orang pertama yang menaruh minat dan memperhatikan
agama-agama yang dianut oleh orang-orang di luar Yunani. Untuk itu, ia
mengunjungi lebih dari 50 bangsa dan suku bangsa serta membuat catatan tentang
adat kebiasaan mereka, termasuk tentang keberagamaannya. Dalam uraiannya, ia
telah mengemukakan berbagai kesamaan yang ada di antara agama-agama bangsa
Mesir, Persia, dan Asiria dengan agama orang-orang Yunani. Sejalipun karya karyanya lebih banyak memuat data
deskriptif, ketimbang data analitis, namun herodutus telah memberikan kontribui
yang amat signifikan bagi studi agama selanjutnya.
Di samping karya-karyanya itu, herodotus juga mengemukakakn hipotesis
studi-studi agama dan hubungan mereka dengan kultus dan mitologi Yunani, serta
mengusulkan apa yang disebutkannya sebagai teori perkembangan sejarah tiga
taraf yaitu taraf manusia, taraf pahlawan, dan taraf dewa-dewa.[1]
Kendati belum dapat dikatakan sebagai teori perbandingan agama seperti
versi modern namun perkembangan herodotus merupakan embrio teori yang cukup
menarik, khususnya dalam memahami agama zaman Yunani Kuno. Selain Herodotus,
ada beberapa tokoh yang mengkaji tentang studi agama, yaitu :
1.
Tahun 410-370SM, Demokritos, berkenaan dengan dasar-dasar agama asing yang
telah dikenalnya dari berbagai perjalanannya
2.
Tahun 429-347SM, Plato, dia sering membuat perbandingan agama-agama suku bar-bar
3.
Tahun 308-322SM, Aristoteles, pencetus awal sistematis tentang degenerasi
keagamaan dan selalu berkembang setiap waktu
4.
Tahun 372-487SM, Theophratus, dia membuat 6 jilid sejarah keagamaan, oleh
karena itu dia disebut sebagai ilmuan pertama di bidang studi agama.
Studi
agama yang membatasi diri hanya pada kajian ilmiah lebih tepat disebut studi
keberagamaan, bukan studi agama. Hal ini terlihat dengan jelas pada pernyataan
Ninian Smart, dalam uraiannya yang berjudul Batas-batas Studi Agama Ilmiah. Ia
menulis sbb.:
“Kemudian,
apa studi ilmiah agama itu? Untuk menjawab secara ringkas dan dalam pola yang
agak tajam, adalah sebuah upaya yang bersifat aspectual, polimetodis,
pluralistic, dan tanpa batas yang tegas. Ia bersifat aspectual dalam arti bahwa
agama harus diperlakukan sebagai salah satu aspek dari eksistensi. Orang
bersikap dan bereaksi secara religious, inilah yang diangkat oleh studi agama;
sebagaimana ekonomi mengangkat perilaku ekonomi manusia. Studi agama bersifat
polimetodis dalam arti bahwa berbagai metode atau disiplin yang berbeda
digunakan untuk menangani aspek di atas. Oleh karena itu, orang perlu menangani
agama dengan metode sejarah, penyelidikan sosiologis, fenomenologis, dan
sebagainya. Ia pluralistic karena ada banyak agama-agama dan tradisi keagamaan,
dan akan tampak bahwa tidak ada studi agama yang dilaksanakan dengan penuh yang
tidak tertarik kepada lebih dari satu tradisi. Perlu ditekankan fakta elementer
ini karena, pada masa lalu, teologi cenderung membatasi diri pada satu tradisi
saja. Studi agama bersifat tanpa batas yang tegas, karena tidak mungkin atau
tidak realistis untuk mengeneralisasi definisi yang baku tentang agama, atau
lebih tepatnya. Berbagai definisi akan mencakup tentang kemiripan-kemiripan,
sebagaimana diindikasikan oleh Wittgenstein.”
Dengan
tegas dinyatakan di sini bahwa yang diangkat dalam studi agama ilmiah ialah
sikap dan reaksi religius manusia, bukan ajarannya yang terlepas dari
manusianya. Sikap dan reaksi religius tersebut sesungguhnya bukanlah agama melainkan keberagamaan
dari para penganutnya. Ia merupakan respons manusia baik secara individu maupun
berkelompok terhadap suatu agama yang mereka anut. Studi agama ilmiah inilah
yang melahirkan sebutan-sebutan Islam Santri dan Islam Abangan, Islam Ekstrim dan
Islam Moderat, Islam Inklusif dan Islam Ekslusif dan berbagai sebutan lainnya.
Semua atribut ini seharusnya tidak dilekatkan pada Islam, melainkan pada
orang/penganutnya. Yang bersifat santri atau abangan, ekstrim atau moderat,
inkslusif atau ekslusif, dan lain-lainya adalah orang/penganutnya bukan
ajarannya. Atribut ini semua berkaitan dengan penganutnya bukan dengan
agamanya. Suatu agama tertentu tak mungkin mengandung sekaligus sifat-sifat
ekstrim dan moderat, fundamental dan permisif. (Ali 2018)
Studi
agama dengan pendekatan historis yang bersifat empirik dan sosiologis ini telah
dikembangkan oleh para pakar dari berbagai bidang ilmu, seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, dan lain-lain. Penjelasan psikologis terhadap agama
misalnya telah diusahakan oleh Wilhelm Wundt (1832-1920M), William James
(1842-1910M), dan Sigmund Freud (1856-1939M). Fenomenologi agama menemukan
otoritas pertamanya dalam diri Gerardus van der Leew (1890- 1950).
Masing-masing
pendekatan, normatif dan historis, dinilai punya kelemahan sendiri-sendiri.
Karena itu, studi agama tidak mungkin hanya dengan mengkaji aspek doktrinal tanpa
keterkaitan dengan aspek sosio-praksis yang menyertainya. Lebih jauh dikatakan bahwa untuk menolong
melerai atau setidaknya menjernihkan bercampuraduknya dimensi
doktrinal-teologis dan kultural-historis, diperlukan refleksi-kritis yang biasa
diwakili oleh pendekatan kritis-filosofis.
Lebih
jauh dijelaskan bahwa Jurusan Sejarah Agama-agama di universitas didirikan
pertama kali di Jenewa, Swiss, pada th. 1873; kemudian pada tahun 1876 diikuti
dengan pembukaan empat jurusan di Belanda, lalu pada tahun 1879 dibuka lagi
satu jurusan di College de France, dan pada tahun 1885 berdiri lagi sebuah
seksi khusus Ilmu-ilmu Agama di Ecole des Hautes Etudes di Sorbone.
Ketertarikan
kepada agama-agama asing juga telah bangkit di Barat selama Abad Pertengahan
dengan kehadiran Islam yang mengancam. Tahun 1141 Peter the Venerable telah
memiliki al-Quran yang diterjemahkan oleh Robert de Retines, dan sekolah untuk
kajian bahasa Arab didirikan tahun 1250. Saat itu, Islam telah memiliki
karya-karya penting dalam kajian agama Pagan. Al-Biruni (973-1048M) telah
memberikan uraian yang cukup berharga mengenai agama dan Filsafat India;
Syahrastani (w. 1153M) adalah penulis buku tentang aliran-aliran dalam Islam; Ibn Hazm
(994-1064M) telah menyusun buku yang sangat besar dan berharga, di mana ia
membahas tentang Mazdaen dan Dualisme Manichean, Brahmanisme, Yahudi, Kristen,
atheisme, dan berbagai sekte dalam Islam.
3. Sejarah Studi Agama-agama di Indonesia
Di
Indonesia, studi agama dalam arti studi perbandingan agama sudah berlangsung
sejak lama. Syekh Nuruddin al-Raniri (w. 1658) telah menulis sebuah buku yang
diberinya judul Tibyan fi Ma`rifat
al-Adyan, Petunjuk dalam Memahami Berbagai Agama. Karya ini ditulisnya atas
permintaan Sultanah Safiatuddin (Aceh) yang ingin mengetahui berbagai agama.
Selanjutnya, beberapa perguruan di Sumatera Barat pada dekade ke-4 abad kedua
puluh telah mengajarkan perbandingan agama kepada para siswanya. Tercatat
misalnya, alJami`ah al-Islamiah di Sungayang, Batusangkar (1931), Normaal Islam
di Padang (1931), Training College di Payakumbuh (1934), memasukkan mata
pelajaran Ilmu Agama-agama dalam kurikulumnya. Begitu pula, pada tahun 1951,
Pesantren Perstuan Islam menetapkan “Mengenal Agama-agama Lain” sebagai mata
pelajaran yang harus diikuti para santrinya.
4.
Teologi, Science of Religion, dan Studi Agama
Dalam
bahasa Inggris tiga disiplin di atas disebut dengan Theology, Science of
Religion dan Religious Studies. Teologi telah lama menjadi kosakata yang cukup
mapan dalam bahasa Indonesia, sedangkan “Studi Agama” mulai dipakai secara luas
sebagai terjemahan dari istilah Religious Studies. Setidaknya sampai saat ini,
kita masih sulit mencari terjemahan yang tepat untuk istilah science of
religion. Secara literal frasa tersebut dapat diterjemahkan dengan istilah Ilmu
Agama. Tapi ilmu agama di dalam bahasa Indonesia telah dipakai atau cenderung
dipakai sebagai terjemahan yang maknanya dekat dengan ahli teologi. Oleh karena
itu dalam tulisan ini Science of Religion sengaja tidak diterjemahkan. Istilah
Religious Studies dan Studi Agama sama-sama dipakai secara tukar-menukar untuk
pengertian yang sama. Mengapa dipakai secara bersama-sama? Tujuannya untuk
mengulang dan memastikan bahwa Studi Agama yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah Religious Studies sebagai sebuah disiplin. Pada tingkat ini ada tumpang
tindih, kadang sulit dibedakan, antara istilah Religious Studies dan Study of
Religion. Kita belum membicarakan perbedaan keduanya dalam tulisan ini.
Meskipun
kajian tentang agama telah muncul jauh sebelumnya bersamaan dengan perkembangan
ilmu filsafat sejak abad 5 SM, namun kajian agama sebagai disiplin yang otonom
baru dimulai pada abad 19 (Eliade 2000, 70). Bersamaan dengan proses penjajahan
bangsa-bangsa Eropa Barat di Afrika dan Asia (the age of discovery), para sarjana
serta universitas-universitas di Eropa Barat memiliki perhatian pada
kajian-kajian oriental. Dari waktu ke waktu mereka mengembangkan disiplin
ilmu-ilmu seperti antropologi, sosiologi, arkeologi, dan lain-lain.
Ketertarikan para sarjana tersebut bukan saja pada aspek-aspek “sekuler” dari
masyarakat Timur, tetapi juga aspek-aspek “spiritual” atau “agama”. Meskipun,
perbedaan antara “sekuler” dan “agama” tentu tidak sepenuhnya clear cut, bahkan
tidak jarang sulit atau hampir tidak mungkin dapat dibedakan. Disiplin ilmu
yang memberikan perhatian lebih pada aspek agama tersebut kemudian dibangun
dengan label Religionswissenschaft (Smith 2000, 73-74). Religionswissenschaft
ini pada gilirannya menjadi disiplin ilmu yang kemudian secara luas dalam bahasa
Inggris disebut sebagai Science of Religion. Sampai di sini Science of Religion
berada dalam posisi yang berbeda secara diametral dengan teologi.
Penyederhanaan yang mungkin dapat dikemukakan adalah bahwa di tengah-tengah
atau di antara Science of Religion dan Theology terdapat Religious Studies.
Awalnya, Religious Studies lahir dari rahim teologi, melalui disiplin Ilmu
Perbandingan Agama (Comparative Religions).
"Teologi komparatif", sebagai
label perkembangan terbaru dan disiplin yang baru lahir, mungkin terlihat
sedikit canggung, terutama jika seseorang mengingat bagaimana, sekitar 150
tahun yang lalu, studi perbandingan agama muda berjuang untuk membebaskan diri
dari teologi denominasi yang dianggap statis , dogmatis dan parokial. Tidak
perlu pergi ke sini ke dalam rincian sejarah intelektual dan kelembagaan yang
agak rumit. Namun, orang harus ingat bahwa metode komparatif dalam Sejarah
agama, khususnya di sekolah fenomenologinya, berusaha untuk memasukkan, dalam
dokumentasi yang akan dikumpulkan dan dianalisis, jika tidak semua agama di
masa lalu dan sekarang, setidaknya contoh representatif dari keragaman empiris
agama atau, untuk menjadi lebih akurat, dari keragaman jenis dan bentuk
keagamaan: program yang agak ambisius, tetapi kondisi yang diperlukan jika
seseorang berniat, melalui perbandingan data empiris dan mungkin metode
"variasi bebas" atau simulasi model, untuk membawa ke pola umum
ringan dan struktur yang lebih dalam, jenis agama yang berbeda dan berbeda dan
bahkan, dalam kasus para sarjana dengan pikiran yang lebih spekulatif, beberapa
'agama'.(Scheuer 2012).
Apa
karakter yang membedakan Religious Studies dengan teologi? Menarik
mendiskusikan empat karakter “studi agama ilmiah” yang dibangun oleh Ninian
Smart (2000, 148-149) yang menurut hemat penulis dapat dipinjam untuk
mendeskripsikan karakter Religious Studies. Pertama, dalam Religious Studies
agama bersifat aspektual atau menjadi aspek studi. Dengan bahasa lain, objek
materi dari Studi Agama adalah agama. Tentu muncul pertanyaan apa itu agama?
Apa agama dapat ditangkap sebagai aspek atau materi studi ilmiah? Kalau ada
pertanyaan untuk Studi Agama, seharusnya pertanyaan itu berlaku juga untuk
semua disiplin ilmu. Seperti, di disiplin Ilmu Politik: apa itu politik? Di
disiplin Ilmu Budaya: apa itu budaya? Intinya, dalam studi akademik baik itu
agama, politik, ataupun budaya adalah sebenarnya konstruksi.
Ketika
Jonathan Z. Smith (1982, xi) menulis bahwa ‘Religion is solely the creation of
the scholar’s study […] Religion has no existence apart from the academy’,
tidak berarti Studi Agama kehilangan objek studinya. Bagi Smith, “tidak ada”
agama di luar konstruksi akademis di kalangan para sarjana, sebuah paradigma
baru yang mengkritik para sarjana lain, terutama dari kalangan Science of
Religion yang menempatkan agama dalam kategori esensialis atau sui generis.
Dalam
Studi Agama, sikap atau reaksi religius seseorang atau kelompok sosial yang
diangkat sebagai objek studi setara sebagaimana juga dalam disiplin ilmu lain.
Misalnya ilmu ekonomi yang menjadikan perilaku ekonomi manusia menjadi objek
studi ekonomi. Sampai di sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa objek
material studi agama adalah aspek agama dari diri manusia atau masyarakat.
Sebagaimana juga objek material ilmu politik adalah aspek politik dan objek
material dari ilmu ekonomi adalah aspek ekonomi dari diri manusia atau
masyarakat.
5. Metode studi agama agama islam
Metode kombinasi
sistematik dari proses-proses kognitif, dengan menggunakan teknik-teknik
khusus. Klasifikasi, konseptualisasi,
abstraksi, penilaian, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi,
argumen dari analogi, dan akhirnya pemahaman itu sendiri adalah proses-proses
kognitif (Zarkasi 2016). Setiap metode berbeda – beda
tergantung dari pemikiran manusia, peradabandan dan tugas tugas pemikiran
tersebut.terdapat beberapa metode, yaitu:
1. Metode Teologi
Pendekatan
teologis berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu
sendiri, dimana agama tidak lain merupakan hak prerogatif tuhan sendiri.
Realitas sejati dari agama adalah sebagaimana yang dikatakan oleh masing-masing
agama. Metode ini dilakukan
dengan cara meneliti agama lain dengan agama peneliti agar menambah keyakinan
dan pembenaran dengan agama yang dianutnya. Pendekatan teologis memahami agama secara harfiah atau pemahaman yang
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa
wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dengan yang lainnya (Zarkasi 2016).
Dalam
pemahaman keagaman, metode teologi ini bersangkutan tentang simbol – simbol
agama yang membenarkan agama itu sendiri dan agama lain salah ( fanatik ).
2.
Metode Histori
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan
pelaku dari peristiwa tersebut (Zarkasi 2016).
6.
Manfaat studi
agama-agama
Secara umum sosioantropologi berpendapat bahwa agama mempunyai fungsi
dalam kehidupan manusia. Kajian fungsional tentang agama sangat menekankan hal
ini. Beberapa fungsi spiritual dari agama yang disebutkan dalam berbagai
definisi tentang agama adalah:
a.
Memberikan makna tertinggi (the provision of
ultimate meaning) Usaha untuk menafsirkan hal yang tak diketahui dan mengontrol
hal yang tak terkontrol (the attempt to interpret The unknown and to control
the uncontrollable),
b.
Personifikasi dari pemikiran-pemikiran manusia
(personification of human ideals)
c.
Integrasi dari kultur dan legitimasi dari
sistem sosial (integration of the culture and legitimation of the social
system)
d.
Projeksi dari makna-makna kemanusia- an dan
pola sosial kepada suatu entitas yang maha kuat-maha tinggi (projection of
human meanings and social patterns onto a superior entity), dan
e.
Usaha untuk menangani masalah-masalah utama
dalam kehidupan manusia di muka bumi (the effort to deal with ultimate problems
of human existence). (Marzali 2012)
7.
Tujuan studi
agama-agama
a.
Di Indonesia, dimana peneliti agama adalah
orang yang beragama, maka mereka menduduki dua posisi yang bertentangan dalam
waktu yang bersamaan. Di satu sisi mereka adalah religious man, orang yang
beragama, di sisi lain mereka kita adalah saintist yang sedang belajar tentang
agama-agama manusia. Memelajari agama dari sudut sosioantropologi dapat
bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang luas tentang berbagai agama
manusia di muka bumi, atau melihat agama sendiri dalam konteks keanekaragaman
agama tersebut, atau menemukan hakekat sejati dari manusia sebagai makhluk yang
mengandung sifat keilahian. (Marzali 2012)
b.
Penelitian ini menemukan bahwa inti dari studi
agama menurut Ahmad Shalaby adalah dengan melakukan studi agama akan
mengharuskan peneliti untuk mengetahui agama-agama dan sejarah setiap agama
melalui sejarah yang panjang. (Prof and
Shalaby 2008)
Kesimpulan
Studi agama telah menjadi suatu kebutuhan dalam
kehidupan masyarakat modern disebabkan antara lain adanya kebutuhan akan
terciptanya hubungan yang harmonis dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.
Meskipun motivasi dan tujuan orang melakukan studi agama bisa beragam, namun
tak mungkin dipungkiri bahwa pengembangan studi agama merupakan salah satu
langkah yang sangat strategis dan efektif untuk memenuhi tuntutan hidup rukun
dan harmonis di era global. Metode Tipologi oleh banyak ahli sosiologi dianggap
objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu
dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama yang nantinya
dari sit akan mendapatkan pengetahuan yang menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Pemikiran Mukti. 2018. “Pemikiran Mukti Ali.” (June).
Huda, Sokhi (State Islamic University Sunan Ampel ). 2002.
“Studi Agama-Agama: Wacana Pengantar Metodologis.” (December 2002): 20.
https://www.researchgate.net/publication/321361697.
Marzali, Amri. 2012. “Agama Dan Kebudayaan.” (1958): 57–75.
Prof, Perspektif, and Ahmad Shalaby. 2008. “Studi Agama
Perspektif Prof. Dr. Ahmad Shalaby.”
Scheuer, Jacques. 2012. “Comparative Theology and Religious
Studies in a Non-Religious Environment.” : 973–82.
Zarkasi, Ahmad. 2016. “Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi
Agama-.......” : 1–16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar