CATATAN PELAJAR: [Part 1] Kisah Kelahiran Nabi Muhammad SAW Yang Penuh Keberkahan

Friday 14 September 2018

[Part 1] Kisah Kelahiran Nabi Muhammad SAW Yang Penuh Keberkahan


      Rasulullah saw., dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Mekkah pada Senin pagi, 9 Rabi'ul Awwal, permulaan tahun dari Peristiwa Gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M, berdasarkan penelitian ulama besar Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri dan peneliti astronomi Mahmud Basya.

     Ibnu Sa'ad meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah saw., berkata, "Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di Syam." Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Irbadh bin Sariyah, yang isinya mirip dengan riwayat tersebut.

    Diriwayatkan juga bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran Beliau yaitu runtuhnya empat belas balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah orang-orang Majusi, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja-gereja itu ambles ke dalam tanah. Peristiwa-peristiwa tersebut diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, namun Muhammad Al-Ghazali tidak mengakuinya.

      Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat mertuanya, Abdul Muthalib, untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya. Abdul Muthalib pun datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau kedalam Ka'bah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilih nama Muhammad (nama ini belum dikenal bangsa Arab) bagi beliau. Beliau dikhitan pada hari ketujuh, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Arab.

        Wanita yang pertama kali menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuwaibah - dia adalah seorang hamba sahaya Abu Lahab - yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh. Sebelumnya, wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muthalib. Setelah itu dia menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.

       Tradisi yang berjalan dikalangan bangsa Arab relatif sudah maju, dimana mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya. Tujuannya adalah menjauhkan anak-anak mereka dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab. Maka Abdul Muthalib mencari para wanita yang bisa menyusui beliau. Dia meminta kepada seorang wanita dari Bani Sa'ad bin Bakar agar menyusui beliau, Halimah binti Abu Dzu'aib, dengan didampingi suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza yang berjulukan Abu Kabsyah dari kabilah yang sama.

       Saudara-saudara sepersusuan Rasulullah saw, adalah Abdullah bin Harits, Unaisah binti Al-Harits, Hadzafah atau Jadzafah binti Al-Harits. Selain menyusui Rasulullah saw, Halimah juga menyusui Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthalib, anak paman atau sepupu Rasulullah saw,.

        Paman beliau saw, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib juga disusui di Bani Sa'ad bin Bakar. Suatu hari ibu susuan Rasulullah saw, juga pernah menyusui Hamzah bin Abdul Muthalib selagi beliau masih dalam susuannya. Dengan demikian, Hamzah adalah saudara sepersusuan Rasulullah saw, dari dua pihak, yaitu dari Tsuwaibah dan Halimah As-Sa'diyah.

         Halimah As-Sa'diyah bisa merasakan keberkahan yang dibawa oleh Rasulullah saw, sehingga mengundang decak kekaguman. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq yang mengisahkan bahwa Halimah pernah kelluar bersama dengan suami dan anak yang disusuinya, serta beberapa wanita dari Bani Sa'ad. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui.

        Dia berkata, "Itu terjadi pada masa paceklik, tidak banyak kekayaan yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor unta yang sudah tua dan tidak bisa diambi air susunya lagi walau setetes pun. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur, karena harus meninabobokan bayi kami yang terus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan, sekaliipun kami masih mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Aku pun pergi sambil menunggangi keledai betina milik kami dan hampir tidak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu semakin lemah kondisinya.

        Akhirnya kami serombongan tiba di Mekkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah saw, pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, karena kami memang mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata, 'Dia adalah anak yatim.' Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau saw, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. 

      Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah siap-siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku, 'Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama wanita teman-temanku tanpa membawa bayi yang kususui. Demi Allah, aku akan benar-benar mendatangi anak yatim itu dan membawanya.' Suaminya menjawab, 'Jangan lakukan itu.' Aku pun berkata, 'Mudah-mudahan Allah memberkahi kita dengan mengambil anak itu'.

         Halimah melanjutkan kisahnya, "Aku pun pergi menemui bayi itu (Rasulullah saw) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala putingku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa meminum air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa meminum air susu sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal, sebelum itu kami tidak pernah tidur sedikit pun karena mengurus bayi kami. Kemudian suamiku menghampiri untanya yang sudah tua, ternyata air susunya menjadi penuh, maka kami memerahya. Suamiku bisa meminum air susu unta tua kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami."

          Esok harinya suamiku berkata kepadaku. "Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh berkah." Halimah pu berkata, "Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu."

Berlanjut Ke Part 2


Sumber dari buku "Sirah Nabawiyah" Karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri

1 comment: