Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah – Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
mata kuliah Fiqih Muamalah II tentang “Asuransi”
Kami menyadari dalam penyusunan makalah
ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam penyusunan kata,
bahasa, dan sistematika pembahasannya. Sebab kata pepatah “tak ada gading yang
tak retak atau dengan pepatah lain tak ada ranting yang tak akan patah”. Oleh
sebab itu kami sangat mengharapkan masukan atau kritikan serta saran yang
bersifat membangun untuk mendorong kami
menjadi lebih baik kedepanya.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih
kepada pembaca yang sudah berkenan membaca makalah ini. Kami berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis
khususnya, Aamiin.
Bandung, 30 April
2018
Tim penyusun
H. Ihktilaf Ulama yang Membolehkan Asuransi......................................21-22
I. Manfaat
Asuransi........................................................................................22-23
Hidup penuh dengan risiko
yang terduga maupun tidak terduga, oleh karena
itulah kita perlu memahami
tentang asuransi. Beberapa kejadian alam yang terjadi pada tahun-tahun
belakangan ini dan memakan banyak korban, baik korban jiwa maupun korban harta,
seperti mengingatkan kita akan perlunya asuransi. Bagi setiap anggota
masyarakat termasuk dunia usaha, risiko untuk mengalami ketidakberuntungan
(misfortune) seperti ini selalu ada (Kamaluddin:2003). Dalam rangka mengatasi
kerugian yang timbul, manusia mengembangkan mekanisme yang saat ini kita kenal
sebagai asuransi.
Fungsi utama asuransi adalah sebagai mekanisme untuk
mengalihkan risiko (risk transfer mechanism), yaitu mengalihkan risiko dari
satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Pengalihan risiko ini
tidak berarti menghilangkan kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung menyediakan
pengamanan financial (financial security) serta ketenangan (peace of mind) bagi
tertanggung. Sebagai imbalannya, tertanggung membayarkan premi dalam jumlah
yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin
dideritanya (Morton:1999). Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan
kerugian-kerugian kecil yang sudah pasti sebagai pengganti kerugian-kerugian
yang besar yang belum pasti (Abbas Salim: Principles of Insurance)
Dari perumusan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa orang bersedia membayar kerugian yang sedikit untuk masa sekarang agar
bisa menghadapi kerugian besar yang mungkin terjadi pada waktu mendatang.
1.
Apa itu asuransi
sya’riah?
2.
Bagaimana sejarah
asuransi sya’riah?
3.
Bagaimana dasar hukum
asurani sya’riah?
4.
Apa saja
prinsip-prinsip asuransi sya’riah?
5.
Apa saja
jenis-jenis asuransi sya’riah?
6.
Bagaimana
perbedaan asuransi sya’riah dengan konvensional?
7. Bagaimana
pelaksanaan asuransi syari’ah di masyarakat?
8. Bagaimana Ihktilaf Ulama yang Membolehkan Asuransi?
9.
Apa saja manfaat asuransi dalam kehidupan
sehari-hari?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian asuransi sya’riah
2.
Mengetahui
sejarah asuransi syari’ah
3.
Mengetahui dasar
hukum asuransi sya’riah
4.
Mengetahui
prinsip-prinsip asuransi sya’riah
5.
Mengetahui jenis-jenis
asuransi sya’riah
6.
Mengetahui
perbedaan asuransi sya’riah dengan konvensional
7.
Mengetahui
pelaksanaan asuransi sya’riah di masyarakat
8.
Mengetahui Ihktilaf Ulama yang Membolehkan Asuransi
9.
Mengetahui
manfaat asuransi
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Asuransi
Asuransi dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah
insurance, artinya asuransi dan jaminan. Dan dalam Bahasa Belanda menurut Wirjono
Prodjodikoro dikenal dengan istilah assurantie, artinya asuransi, dan
verzekering, artinya pertanggungan. Sementara Bahasa Arab menyebutnya dengan istilah
ta’mîn (pengamanan), di samping juga beberapa istilah lainnya, di antaranya,
takâful, tadlâmun, ta’âhud, yang semuanya dapat diartikan sebagai langkah
penjaminan atau pertanggungan.
Sedangkan secara terminologi asuransi adalah suatu
ikatan yang berbentuk penggabungan kesepakatan untuk saling menolong, yang
telah diatur dengan sistim yang rapi untuk sejumlah manusia yang semuanya telah
siap untuk menghadapi suatu peristiwa. Dengan redaksi yang lain, Wirjono Prodjodikoro
menyatakan bahwa asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin
berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai
pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat
dari suatu peristiwa
yang belum jelas. Sementara Abbas Salim mengatakan asuransi adalah suatu kemauan
mendapat kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti
(substitusi) kerugian-kerugaian besar yang belum pasti.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, asuransi didefinisikan
dengan transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban
membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya
kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai
dengan perjanjian yang dibuat. Pada Pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian sebagai berikut:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara
dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan”.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa
asuransi merupakan salah satu bentuk pertanggungan terhadap musibah yang
diperkirakan sewaktu-waktu akan terjadi. Karena itu, muncullah berbagai macam
jenis asuransi atau pertanggungan, seperti asuransi jiwa, asuransi kecelakaan,
asuransi kebakaran, asuransi pendidikan, bahkan asuransi yang berkaitan dengan
pertanian dan pelaksanaan ibadah haji. Definisi-definisi di atas sekalipun
secara redaksional ada sedikit perbedaan, namun terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa secara substansial asuransi bertujuan untuk saling membantu dan menolong
sesama. Mushtafâ Ahmad al-Zarqâ’ menyatakan bahwa akad asuransi itu merupakan suatu
sistim tadlâmun dan ta’âwun yang bertujuan untuk menutupi kerugian yang
disebabkan oleh musibah.
2.
Sejarah Asuransi
Dalam
ajaran Islam, asuransi sebenarnya sudah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah
saw. Cikal-bakal konsep asuransi syariah menurut sebagian ulama adalah ad-diyah
`alā al-`āqilah. Al-`āqilah adalah kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam
datang. Jika salah seorang anggota suku terbunuh oleh anggota suku lain,
pewaris korban akan dibayar uang darah (al-diyah) sebagai kompensasi oleh
saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh tersebut dikenal
dengan al-`āqilah. Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fatḥ al-Bārī, sebagaimana dikutip oleh Syakir Sula, mengatakan bahwa
pada perkembangan selanjutnya setelah Islam datang, sistem `āqilah disahkan
oleh Rasulullah menjadi bagian dari Hukum Islam. Menurut Muhsin Khan, ide pokok
dari al-`āqilah berasal dari suku Arab yang pada zaman dulu harus selalu siap
untuk melakukan kontribusi finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris
korban. Kesiapan untuk membayar kontribusi keuangan sama dengan premi praktik
asuransi. Sementara itu, kompensasi yang dibayar berdasarkan al-`āqilah sama
dengan nilai pertanggungan dalam praktik asuransi sekarang, karena itu
merupakan bentuk perlindungan finansial untuk pewaris terhadap kematian yang
tidak diharapkan dari sang korban. Al-`āqilah bahkan tertuang dalam konstitusi
pertama di dunia, yang dibuat oleh Rasulullah yang dikenal dengan Konstitusi
Madinah (622 M). Konstitusi tersebut diperuntukkan bagi penduduk Madinah,
seperti Muhajirin, Anshor, Yahudi, dan Kristen. Dalam konstitusi ini
diperkenalkan asuransi sosial yang tecermin dalam beberapa bentuk, yakni:
a.
Melalui praktik al-diyah. Al-Diyah atau uang darah harus dibayarkan
oleh al-`āqilah (keluarga dekat si pembunuh) kepada keluarga korban untuk
menyelamatkan pembunuh dari beban hukum. Hal ini disebutkan dalam Pasal 3
Konstitusi Madinah, “Kaum Muhajirin dari suku Quraisy akan bertanggung jawab
atas perkataan mereka dan akan membayar uang darah dalam bentuk kerja sama
antar mereka”.
b.
Melalui pembayaran fidyah (tebusan). Nabi Muhammad saw. juga
melaksanakan ketetapan pada konstitusi awal tersebut berkaitan dengan
menyelamatkan nyawa para tawanan dan beliau menyatakan bahwa siapa saja yang
menjadi tawanan perang musuh, maka al-`āqilah dari tawanan tersebut harus
membayar tebusan kepada musuh untuk membebaskan tawanan tersebut. Pembayaran
tebusan semacam ini dapat dianggap sebagai bentuk lain dari asuransi sosial.
Dalam Konstitusi Madinah Pasal 4-12a disebutkan bahwa para mujahidin dari suku
Quraisy akan bertanggung jawab atas pembebasan tawanan dengan cara pembayaran
tebusan sehingga kerja sama antar kaum mukmin dapat sesuai dengan prinsip
kearifan dan keadilan. Aturan ini juga berlaku bagi suku-suku lain yang tinggal
di Madinah seperti Banu Harits, Banu Najjar, Banu Jusham, dan lain-lain.
c.
Masyarakat bertanggung jawab untuk membentuk sebuah usaha bersama
melalui prinsip saling kesepahaman dalam menyediakan bantuan pertolongan yang
diperlukan bagi orang-orang yang membutuhkan,sakit, dan miskin.
Praktik asuransi ini terus dikembangkan
pada masa Khulafa’ al-Rasyidin, khususnya pada masa Umar bin Khattab. Pada
waktu itu, pemerintah mendorong para penduduk untuk melakukan al-`āqilah secara
nasional. Pada masa pemerintahan ini Umar r.a. memerintahkan didirikannya
sebuah Dīwān al-Mujāhidīn di beberapa distrik. Siapa saja yang namanya tercatat
dalam Dīwān al-Mujāhidīn harus membayar uang darah akibat melakukan pembunuhan
yang dilakukan oleh seseorang dalam suku mereka. Di dunia Islam, praktik
asuransi selalu dikembangkan walaupun ada pasang surutnya. Sebagai contoh
misalnya pada abad 14-17 Masehi, asuransi yang berdasarkan syariah Islam
dikembangkan oleh Aliran Sufi Kazeruniyya, walaupun pada akhirnya mengalami
kemunduran. Pada abad ke-19, seorang ahli hukum Mazhab Hanafi Ibnu Abidin mendiskusikan
ide asuransi dan dasar-dasar hukumnya. Ibnu Abidin adalah orang pertama yang
melihat asuransi sebagai sebuah lembaga resmi, bukan sebagai praktik adat.
Pendapat Ibnu Abidin ini merupakan pembuka mata bagi orang Islam yang belum
menerima legalitas praktik asuransi. Ide-idenya kemudian mendorong orang Islam
lainnya untuk menerima ide pelibatan dalam bisnis asuransi. Pada abad 20,
seorang ahli Hukum Islam Muhammad Abduh mengeluarkan dua fatwa yang melegalkan
praktik asuransi. Dalam fatwanya Abduh menggunakan beberapa sumber untuk
menyatakan mengapa dia membolehkan praktik asuransi jiwa. Salah satu fatwanya
memandang hubungan antara pihak tertanggung dan pihak asuransi sebagai kontrak
muḍārabah, sedangkan fatwa yang lain
melegitimasi sebuah model transaksi yang sama dengan wakaf asuransi jiwa.
Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang
pertanggungan merupakan sebuah institusi modern hasil temuan dari dunia Barat
yang lahir bersamaan dengan adanya pencerahan. Institusi ini bersama dengan
lembaga keuangan bank menjadi motor penggerak ekonomi pada era modern dan
berlanjut pada masa sekarang. Dasar yang menjadi semangat operasional asuransi
modern adalah berorientasikan pada sistem kapitalis yang intinya hanya bermain
dalam pengumpulan modal untuk keperluan pribadi atau golongan tertentu, dan
kurang atau bahkan tidak mempunyai akar untuk mengembangkan ekonomi pada
tataran yang komprehensif. Sedangkan asuransi yang berdasarkan syariah lebih
banyak bernuansa sosial daripada bernuansa ekonomi atau profit oriented. Hal
ini disebabkan adanya aspek tolong-menolong yang menjadi dasar utama dalam
menegakkan praktik asuransi dalam Islam. Islam memandang pertanggungan sebagai
suatu fenomena sosial yang dibentuk atas dasar saling tolong-menolong dan rasa
kemanusiaan. Saling menanggung dalam Islam sangatlah ditekankan, dan saling
menanggung tersebut dalam Islam sering disebut dengan takāful. Moh. Ma’sum
Billah memaknai takāful dengan jaminan bersama yang disediakan oleh sekelompok
masyarakat yang hidup dalam satu lingkungan yang sama terhadap risiko atau
bencana yang menimpa jiwa seseorang, harta benda, atau segala sesuatu yang
berharga.8 Selain Ma’sum Billah, Muhammad bin Ahmad ash-Shalih juga menggunakan
istilah takāful. Selain kata takāful, taḍamun juga memiliki makna yang sama dengan takāful, yakni saling
menanggung. Yang menggunakan kata tadamun antara lain adalah Muhammad Sauqi
al-Fanjari yang mempunyai makna tanggung jawab sosial bersama. Di samping itu,
al-Fanjari juga menggunakan al-ta’mīn. Beberapa ulama lain yang menggunakan
kata alta’mīn adalah Husein Hamid Hassan, Isa Abduh, Wahbah az-Zuhaily, dan
(alm.) Satria Effendi M. Zein. Satria Effendi M. Zein memberikan istilah
al-ta’mīn sebagai padanan kata asuransi. Beliau mendifinisikan al-ta’mīn
sebagai transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban
membayar iuran dan pihak lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada
pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan
perjanjian yang dibuat”. Dari gambaran tersebut jelas bahwa pertanggungan dalam
Islam kadang disebut dengan takāful dan kadang disebut dengan al-ta’mīn. Kata
takāful digunakan di Malaysia karena takāful sudah menjadi merek dagang atau
merek perusahaan pertanggungan yang ada di Malaysia, yaitu PT Syarikat Takaful
Malaysia. Sedangkan al-ta’mīn digunakan mazhab Mesir karena mereka lebih
mengacu pada pemaknaan arti kata yang murni dan belum dijadikan lebel sebuah
perusahaan pertanggungan.
3.
Dasar Hukum Asuransi Syariah
Pada saat ini
masalah kekhawatiran, keamanan, risiko jiwa dan harta, serta perlunya asuransi
merupakan isu yang sangat menyibukkan pikiran manusia karena cukup banyak orang
yang dilanda ketakutan, kegelisahan memikirkan keselamatan diri, keluarga, dan
harta benda yang mereka miliki. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila ada
orang yang mencoba meminimalisir risiko jiwa dan harta benda yang mereka
miliki. Dalam rangka meminimalisasi risiko kerugian tersebut, muncullah
berbagai perusahaan asuransi yang menawarkan rasa aman dari berbagai ketakutan
dan kekhawatiran. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah asuransi diperbolehkan
menurut hukum Islam? Pendapat Abu Zahrah yang dikutip oleh Husain Syahatah,
asuransi kolektif (ta`āwun) adalah halal. Menurutnya, asuransi jenis ini
merupakan implementasi sikap tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan yang
diperintahkan Allah. Dalam Alquran Surat al-Ma’idah ayat 2 Allah berfirman:
“…Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah : 2)
Menurut
Husaini, tolong-menolong juga berlaku dalam asuransi kolektif swadaya yang
bersifat sukarela maupun asuransi kolektif pemerintah yang bersifat harus.
Sebab, pada hakikatnya ia adalah firma bersama milik para penggunanya, mereka
sama-sama menjadi penanggung sekaligus tertanggung asuransi. Syaratnya, dana
yang diperoleh halal dan tidak mengandung syubhat. Di samping itu model
asuransi seperti ini juga pernah diterapkan pada awal Islam dalam bentuk
persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dalam Alquran memang tidak ada
ayat yang jelas dan tegas mengenai masalah asuransi. Meskipun demikian dalam
ayat Alquran tetap menyebutkan nilai-nilai yang ada kaitannya dengan masalah
asuransi, seperti tolong-menolong, kerja sama, dan semangat untuk melakukan
proteksi terhadap apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam surat
al- Mā’idah ayat 2 sebagaimana sudah dikemukakan, disebutkan bahwa manusia
diciptakan di dunia tidak sendiri tetapi bersama dengan manusia lain. Dalam
fitrahnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, tetapi
harus bersama-sama dengan manusia lain yang hidup dalam masyarakat. Agar hidup
manusia itu ringan, manusia harus saling tolong-menolong dengan sesama manusia.
Asuransi Islam pada hakikatnya adalah saling tolong antar sesamanya. Dengan
tolong-menolong kehidupan manusia akan lebih mudah dan sejahtera, karena tidak
seorang pun tahu nasibnya di masa akan datang. Hal ini sesuai dengan firman
Allah surat Luqmān ayat 34:
“Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah
yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada
seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok; dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Luqman : 34)
Dari ayat yang sudah dikemukakan jelas bahwa pengetahuan manusia
sangat terbatas, biasanya manusia hanya bisa merencanakan, sedangkan apa yang
akan terjadi besuk pagi atau di masa yang akan datang ia tidak tahu. Sebagai
manusia, dia hanya diberi kemampuan untuk mengatur hidup dan kehidupannya agar
mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara untuk
mencapai kebahagiaan tersebut adalah dengan menyiapkan bekal (proteksi) untuk
kepentingan di masa yang akan datang, agar segala sesuatu yang bernilai negatif,
dalam bentuk musibah, kecelakaan, kebakaran atau kematian, dapat diminimalisasi
kerugiannya. Dalam al- Qur’an Allah swt. mengingatkan agar manusia
mempersiapkan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit di masa yang
akan datang, dan inilah salah satu prinsip yang menjadi tolok ukur dari nilai
filosofi asuransi Islam, selain dalam bentuk semangat tolong-menolong dan
bekerja sama. Peringatan itu ada dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 46-49, yang
artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami
tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan tujuh ekor sapi
betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) yang
kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.”
Dalam ayat berikutnya, yakni Surat Yusuf ayat 47, Yusuf berkata: “Supaya kamu
bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasanya; maka yang kamu tuai
hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan”. Dalam ayat
48 disebutkan: “Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit,
yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit),
kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan”; Dalam surat yang sama
ayat 49 disebutkan: “Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya
manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur”.
Dalam Surat al-Hasyr ayat 18 Allah juga berfirman,: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa
yang telah dibuat untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Di samping ayat Alquran, Rasulullah saw. juga mengingatkan perlunya
tolong-menolong sebagaimana beliau bersabda,
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling berempati, mengasihi
dan bersimpati di antara mereka sama seperti tubuh yang jika salah satu anggota
tubuh yang mengeluh (sakit) maka seluruh anggota tubuh lainnya akan meresponnya
dengan begadang (tidak bisa tidur) dan demam” (HR Bukhari dan Muslim).
4.
Prinsip-prinsip Asuransi
Sebagaimana sudah dikemukakan pada awal pembahasan bahwa asuransi
Islam juga sudah dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Hal ini
menunjukkan bahwa menurut hukum Islam, asuransi diperbolehkan asal praktik yang
dilakukan seperti akadnya, pengelolaan dana, investasi dana, kepemilikan dana,
unsur preminya, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan teknik operasionalnya
tetap berlandaskan pada al-Qur’an dan al- Sunnah. Masalah ini harus benar-benar
diperhatikan karena prinsip-prinsip umum dalam mu’āmalah juga melandasi
asuransi Islam. Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam asuransi Islam
adalah sebagai berikut:
1.
Tauḥīd (ketakwaan). Jika dicermati ayat-ayat al-Qur’an tentang mu’āmalah,
maka akan terlihat dengan jelas bahwa Allah selalu menyeru kepada umat-Nya agar
mu’āmalah yang dilakukannya membawanya kepada ketakwaan Allah. Seorang muslim
ketika membeli dan menjual, menyewakan dan mempekerjakan, melakukan penukaran
dengan lainnya dalam harta atau berbagai kemanfaatan, ia selalu tunduk kepada
aturan Allah dalam mu’āmalah-nya. Ia tidak akan berusaha dengan sesuatu yang
haram seperti riba, penimbunan, zalim, menipu, berjudi, mencuri, menyuap dan
menerima suapan. Allah meletakkan prinsip tauḥīd (ketakwaan) sebagai prinsip utama dalam mu’āmalah. Oleh karena
itu, segala aktivitas dalam mu’āmalah harus senantiasa mengarahkan para
pelakunya dalam rangka untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
2.
Prinsip kedua dalam mu’āmalah adalah bersikap adil. Cukup banyak
ayat al-Qur’an yang memerintahkan umat manusia untuk bersikap adil terhadap
siapapun termasuk terhadap dirinya sendiri. Al-`Adl ‘Yang Maha-adil’ adalah
termasuk di antara nama-nama Allah (Asma’ al-Husna). Lawan kata dari keadilan
adalah kezaliman (al-ẓulm), yaitu sesuatu yang telah diharamkan Allah atas diri-Nya
sebagaimana telah diharamkan-Nya atas hamba-hambanya. Allah mencintai
orang-orang yang berbuat adil dan membenci orang-orang yang berbuat zalim,
bahkan melaknat mereka. Firman Allah dalam Surat Hūd: 18, yang artinya:
“Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim”. Sikap adil
dibutuhkan ketika menentukan nisbah muḍārabah, musyāwarah, wakālah, waḍī`ah dan sebagainya, dalam bank syariah. Sikap adil juga diperlukan
ketika asuransi syariah (asuransi Islam) menentukan bagi hasil dalam surplus
under writing dan bagi hasil investasi antara perusahaan dan peserta. Karena
itulah, transparansi dalam perbankan dan asuransi syariah menjadi sangat
penting.
3.
Larangan melakukan kezaliman. Kezaliman adalah kebalikan dari
prinsip keadilan. Karena itu, Islam sangat ketat dalam memberikan perhatian
terhadap pelanggaran kezaliman, penegakan larangan terhadapnya, kecaman keras
kepada orang-orang yang zalim, ancaman terhadap mereka dengan siksa yang paling
keras di dunia dan akhirat. Dalam surat al-Syūrā ayat 40 Allah berfirman:
“Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”, dan dalam surat
al-Baqarah ayat 258 Allah berfirman: “Allah tidak memberikan petunjuk kepada
orang-orang yang zalim”. Mustaq Ahmad mengatakan bahwa para pelaku bisnis
muslim diharuskan berhati-hati agar jangan sampai melakukan tindakan yang
merugikan dan membahayakan orang lain, atau bahkan merugikan dirinya sendiri
akibat tindakan-tindakannya dalam dunia bisnis.17 Al-Qur’an memperingatkan para
pelaku bisnis yang tidak memperhatikan kepentingan orang lain, sebagaimana
Islam juga memperingatkan sesuatu yang akan menimbulkan kerugian pada orang
lain. Perbuatan itu bukan hanya tidak disetujui, namun lebih dari itu perilaku
demikian sangatlah dikutuk. Al-Qur’an telah menentukan hal tersebut dalam
beberapa ayat, antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 41: “Dan janganlah kamu
menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah hanya kepada Akulah kamu
bertakwa”.
4.
Al-Ta`āwun. Prinsip keempat
yang menjadi landasan etika dalam mu’āmalah secara Islami adalah ta`āwun.
Ta`āwun merupakan salah satu prinsip utama dalam interaksi mu’āmalah. Bahkan
ta`āwun dapat menjadi fondasi dalam membangun sistem masyarakat, yang kaya
memperhatikan yang miskin dalam hal kebutuhan financial, dan yang miskin
membantu orang kaya dalam hal tenaga atau yang lainnya. Ta`āwun merupakan inti
dari konsep takāful, dimana antar satu peserta dengan perserta lainnya saling
menanggung risiko, yakni , melalui mekanisme dana Tabarru’ dengan akad yang
benar yaitu ‘Aqd Takafulli atau ‘Aqd Tabarru’. Takāful dapat menjadi solusi
agar masyarakat lepas dari kemiskinan, karena perhatian orang-orang yang kaya
terhadap yang miskin telah diatur dalam syariah. Janganlah kekayaan itu hanya
berputar di sekitar orang-orang kaya saja, di sekitar para konglomerat saja.
5.
Al-Amānah (tepercaya/jujur). Menurut Yusuf al-Qaradlawi, di antara
nilai transaksi yang terpenting dalam bisnis adalah al-amānah atau ‘kejujuran’.
Ia merupakan puncak moralitas iman dan karateristik yang paling menonjol dari
orang-orang yang beriman. Bahkan, kejujuran merupakan karateristik para Nabi.
Tanpa kejujuran, kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia
tidak akan berjalan dengan baik. Sebaliknya, kebohongan adalah cabang
kemunafikan dan merupakan salah satu ciri orang-orang munafik. Cacat pasar
perdagangan di dunia kita dan yang paling banyak memperburuk citra perdagangan
adalah kebohongan, manipulasi dan mencampuradukkan antara kebenaran dengan
kebatilan, baik secara dusta dalam menerangkan spesifikasi barang dagangan dan
mengunggulkannya atas yang lainnya, atau dalam memberitahukan tentang harga
belinya atu harga jualnya kepada orang lain maupun tentang banyaknya pemesanan
dan lain sebagainya. Di sinilah letaknya kenapa al-amanah menjadi salah satu
prinsip dalam mu’āmalah. Kejujuran, profesionalisme, dan termasuk penempatan
seseorang sesuai keahlian dan kemampuannya merupakan bagian dari prinsip
al-amānah dalam mu’āmalah yang Islami.
6.
Al-Riḍā (suka sama suka) Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”.
Menurut Abul A’la al-Maududi, ayat tersebut telah menetapkan dua perkara
sebagai syarat sahnya suatu perdagangan. Pertama, hendaknya perdagangan itu
dilakukan dengan suka sama suka di antara kedua belah pihak. Kedua, hendaklah
keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas dasar kerugian pihak yang lain.
Itulah yang dijelaskan dalam firman- Nya: “…dan janganlah kamu membunuh
dirimu…”. Para ahli tafsir, kata Maududi, menafsirkannya dengan dua makna, yang
kedua-duanya relevan dengan pembahasan ini. Makna pertama, janganlah kamu
bunuhmembunuh di antara sesamamu. Adapun makna kedua, janganlah kamu membunuh
dengan tanganmu sendiri. Di sinilah pentingnya prinsip al-riḍā (suka sama suka) dalam mu’āmalah. Karena, tanpa dilandasi dengan
keridaan, maka seluruh akad dalam mu’āmalah akan menjadi batal. Dengan demikian,
kedudukan prinsip keridaan sangat penting dalam akad-akad yang dibuat dalam
mu’āmalah yang dilandasi hukum syariah. Menurut Fathi Ahmad Abdul Karim,
akad-akad dalam Islam tidak akan sempurna kecuali jika berlaku dengan prinsip
suka sama suka dan mufakat antara kedua belah pihak penyelenggara akad. Islam
telah mengadakan pemeliharaan dan tuntunan yang sempurna dalam rangka
implementasi prinsip keridaan kepada kedua belah pihak dengan mensyaratkan
kedua pihak penyelenggara akad itu harus sama-sama mukallaf (telah dewasa dan
berakal sehat), agar ada ruang untuk tawarmenawar di antara kedua belah pihak.
7.
Larangan melakukan risywah (sogok/suap). Larangan risywah atau
‘sogok’ merupakan prinsip mu’āmalah yang sangat berat dalam implementasinya.
Hal ini disebabkan risywah sudah hampir menjadi kultur dalam masyarakat korup.
Dalam Islam, risywah hukumnya haram, karena perbuatan ini dapat merusak tatanan
profesionalisme dalam bisnis. Hak seseorang dalam suatu bisnis bisa lepas
disebabkan adanya risywah yang dilakukan oleh pihak lain (kompetitor). Risywah
dapat dimanfaatkan untuk membenarkan masalah yang batil (haram) atau sebaliknya
bagi orang-orang yang tidak beriman. Oleh karena itu, Rasulullah melaknat
pemberi dan penerima risywah. “Rasulullah melaknat orang yang memberi risywah”
(HR Abu Daud dan Tirmizi). Ahmad Muhammad Al-Assal mengatakan bahwa Rasulullah
sendiri pernah melaknat orang yang memberikan uang sogok (risywah) agar
mencapai kedudukan yang tidak semestinya atau mengambil yang bukan haknya.
Beliau pun melaknat orang yang menerima uang sogok, dan juga melaknat orang
yang menjadi perantara uang sogok.
8.
Al-Maṣlaḥah (kemaslahatan). Menurut Ibnul
Qayyim, basis syariat adalah hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan sempurna, rahmat, kebahagiaan,
dan kebijaksanaan. Apa pun yang mengubah keadilan menjadi penindasan, rahmat
menjadi kesulitan, kesejahteraan menjadi kesengsaraan, dan hikmah menjadi
kebodohan tidak ada hubungannya dengan syariat.
9.
Al-Khidmah (pelayanan). Rasulullah bersabda, “Seorang Imam
(pemimpin) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan diminta
pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim). Rasulullah
mengatakan bahwa pengurus itu adalah pelayan masyarakat. Dalam makna yang luas,
berarti bahwa perusahaan dalam bisnis apa pun apalagi bisnis yang terkait
dengan pelayanan, harus benar-benar mampu memberikan pelayanan yang optimal
kepada customer. Karena pelayanan (khidmah) adalah salah satu bagian penting
dalam mu’āmalah yang Islami. Untuk melayani customer seseorang harus
menggunakan prinsip-prinsip pelayanan yang baik seperti murah senyum, bertutur
kata yang baik, bermuka manis sehingga menyenangkan bagi mereka yang dilayani.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman dalam surat al-Hijr ayat 88: “Dan berendah
dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”. Seorang pelaku bisnis muslim
diharuskan untuk berperilaku sopan dalam bisnis mereka sesuai yang dianjurkan
al-Qur’an dan sunnah. Sopan santun adalah fondasi dasar dan inti dari kebaikan
tingkah laku, dan ia juga merupakan dasar dari jiwa melayani dalam bisnis.
Sifat ini sangat dihargai dengan nilai yang tinggi, dan bahkan mencakup semua
sisi hidup manusia.
10.
Larangan melakukan taṭfīf (Kecurangan). Taṭfīf dalam bahasa Arab artinya berdikit-dikit, berhemat-hemat alias
pelit. Sedangkan almutaffif adalah orang yang mengurangi bagian orang lain
tatkala ia melakukan timbangan/takaran untuk orang lain. Salah satu bentuk
penipuan dalam bisnis adalah mengurangi takaran dan timbangan. Al- Qur’an
menganggap penting persoalan ini, karena itu menjauhi taṭfīf ditempatkan sebagai salah satu prinsip dalam mu’āmalah. Dalam
al-Qur’an disebutkan bahwa menjauhi taṭfīf (kecurangan) merupakan salah satu dari sepuluh wasiatnya di
akhir surat al-An’ām: “…Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.
Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya…”. (Q.S.
Al-An`am: 152). Di samping itu, dalam Surat Bani Isra’il ayat 35 Allah juga
berfirman: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan timbangan yang jujur dan lurus. Yang demikian itu lebih utama dan lebih
baik akibatnya”. Dari ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam hukum Islam,
mengurangi takaran dan timbangan hukumnya haram, karena hal tersebut merupakan
salah satu bentuk kecurangan yang sangat dilarang oleh Allah.
11.
Menjauhi garār, maisīr, dan ribā. Prinsip yang paling utama dalam
mu’āmalah Islam khususnya untuk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah menjauhi
ribā, garār, dan maisīr. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba”. Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa Islam
menghalalkan perdagangan dan melarang riba. Pengertian riba tidak ada dalam
al-Qur’an dan al-Hadis. Namun demikian, dari praktik yang dilarang Rasulullah
dapat dikatakan bahwa riba adalah mengambil tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil. Razi dalam kitab Tafsīr al-Kabīr mengajukan beberapa alasan mengenai pengharaman riba, yaitu:
a. Ribā adalah mengambil harta orang
lain tanpa nilai imbangan apa pun. Padahal, menurut Rasulullah saw., harta
seseorang adalah seharam darahnya bagi orang lain;
b. Ribā dilarang karena menghalangi
manusia untuk terlibat dalam usaha yang aktif;
c. Kontrak ribā adalah media yang
digunakan oleh orang untuk mengambil kelebihan dari modal. Perbuatan ini haram
dan bertentangan dengan keadilan dan persamaan;
d. Kontrak ribā memunculkan hubungan
yang tegang di antara sesama manusia;
e. Keharaman ribā dibuktikan dengan
ayat al-Qur’an, dan seseorang tidak perlu tahu alasan pengharamannya.
Adapun yang dimaksud maisīr adalah perjudian. Zarqa, mengatakan
bahwa adanya unsur garār menimbulkan al-qumar, sedangkan al-qumar sama dengan
al-maisīr, gambling atau perjudian. Artinya, ada satu pihak yang untung dan ada
pihak lain yang dirugikan. Menurut Husain Hamid Hasan, akad judi adalah akad
garār, karena masing-masing pihak yang berjudi menentukan akad jumlah uang yang
diambil atau yang diberikan, dan menentukan jumlah yang diberikan bisa
ditentukan nanti tergantung suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang
diketahui jumlah yang diterima dan jika kalah maka diketahui jumlah yang
diberikan. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab
tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period. Juga adanya
unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana
untung-rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan. M. Anwar Ibrahim mengatakan
bahwa ahli fikih telah sepakat bahwa garār adalah untung-untungan yang sama
kuat antara ada dan tidak ada, atau sesuatu yang mungkin terwujud dan tidak
mungkin terwujud. Ketiga hal inilah, yakni ribā, maisīr, dan garār yang secara
hakiki menjadi dasar para ulama mengharamkan semua transaksi perbankan ,
asuransi , penggadaian , bursa efek , leasing, modal, ventura, dan sebagainya
yang tidak menggunakan prinsip-prinsip syariah. Karena, dalam operasionalnya
pasti terdapat salah satu atau kalau tidak ketiga-tiganya transaksi yang garār,
maisīr,dan ribā.
5.
Jenis-Jenis Asuransi
Ada dua jenis risiko
yang dapat diasuransikan:
1.
Takâful keluarga (asuransi jiwa), meliputi:
a. Takâful Berencanan Waktu
10, 15 atau 20 tahun
b. Takâful Pembiayaan
(Asuransi Kredit).
c. Takâful Pendidikan;
d. Takâful Kolektif
2.
Takaful umum (asuransi kerugian), meliputi
a. Takâful kebakaran;
b. Takâful kendaraan bermotor;
c. Takâful kecelakaan diri;
d. Takâful pengangkatan
laut, darat, dan udara;
e. Takâful rekayasa/engineering.
Secara teknis, dalam konsep takaful semua peserta
asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya. Misalnya kalau
peserta (A) meninggal, peserta (B), (C), dan (Z) harus membantunya demikian
sebaliknya. Masalah yang akan terjadi bila tuan (A) mengambil paket
asuransi 10 tahun dengan besar uang pertanggungan Rp 10 juta, misal pada tahun
ke 4, tuan A meninggal dan baru membayar premi Rp 4 juta, tetapi ahli warisnya
mendapat jumlah penuh Rp 10 juta. Pertanyaan dari mana sisa Rp 6 juta? Dalam
konsep takâful setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, masuk ke
rekening pemegang polis dan satu lagi dimasukkan ke rekening khusus peserta
yang harus diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain.
Dengan demikian dari rekening khusus inilah sisa Rp 6 juta tadi diambil dan
semua telah ikhlas untuk memberikan derma.
Dari deskripsi di atas menegaskan bahwa premi bulanan
yang dibayar oleh pemegang polis asuransi jiwa, sebagiannya merupakan common
fund atau dana bersama gotong-royong untuk membantu anggota yang meninggal
dunia sebelum tabungan/premi wajib berakhir. Demikian
pula halnya dengan asuransi kebakaran
atau kecelakaan, klaim atau ganti rugi yang diperoleh pemegang polis pada saat
kecelakaan atau musibah, dibayar dari common fund yang berasal dari premi
pemegang polis asuransi kerugian, kebakaran, atau kecelakaan. Common
fund yang berasal dari pemegang polis, baik untuk jenis asuransi jiwa, sosial,
dan kerugian tersebut dalam sistem ekonomi Islami-berdasar Syariah Islam tidak
dibenarkan untuk diinvestasikan dalam usaha spekulasi (adanya unsur
perjudian/gambling) dan memperoleh bunga (deposito), bunga sama halnya dengan
riba dan tidak dibenarkan sebagai sumber penghasilan. Setiap penanaman modal
dalam sistem ekonomi Islam, harus didasarkan pada prinsip bagi hasil/keuntungan
(risk bearing per capital) atau sebagai Pemodal Ventura, turut serta menanggung
resiko kerugian jika mitra usaha (bisnis atau Bank) mengalami kerugian.
6.
Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional
1.
Akad (Perjanjian)
Perjanjian transaksi
bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun
non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa
mendatang. Akad dalam praktik muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau
tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat
menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan
peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tabâduli) atau tolong menolong
(takâful).
Akad asuransi
konvensional didasarkan pada akad tabâduli atau perjanjian jual beli. Syarat
sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli,
harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian
yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya
penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak
dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan
oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena
hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang
pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan
disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan
usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar
ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut
pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa
besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa
besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
Akad dalam Islam
dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta
seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang
disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib
menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli.
Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita
mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai
maka kita wajib melakukan hal-hal berikut:
1.
Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan
polis);
2.
Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh
pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadâbuli atau akad takâfuli);
3.
Adanya saksi dari kedua belah pihak. Para saksi harus
cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. (Penulis
simpulkan dari firman Allah Swt. dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 282).
2.
Gharar (Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut
Mazhab Syâfi‘î adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita
dan akibat yang paling kita takuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada
asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi
yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia
seseorang berada ditangan Yang Maha Kuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung
membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak
tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya,
perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara finansial.
Dengan kata lain kedua
belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan
transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah
pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal
sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tabâduli
tersebut cacat secara hukum.
Pada asuransi syariah
akad tadâbuli (saling tukar) diganti dengan akad takâfuli (saling menjamin),
yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan
mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena
kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi
konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund).
Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta
(shâhib al-mâl) dan perusahaan asuransi syariah (mudhârib) tidak bisa mengklaim
menjadi milik perusahaan.
3.
Tabarru’ dan Tabungan
Tabarru’ berasal dari
kata , yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut
mutabarri (dermawan). Niat bertabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan
secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi
syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana
tabarru’ disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah,
dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru’ yang sudah diniatkan
oleh sesama peserta untuk saling menolong. Menyisihkan harta untuk tujuan
membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan
akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana
digambarkan dalam hadis Nabi Saw., “Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka
Allah akan memenuhi hajatnya.” (Bukhari Muslim dan Abu Daud).
Untuk produk asuransi
jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh
peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana
tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara
investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak
ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai
dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta
hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.
4.
Maisir (Judi)
Allah Swt. berfirman
dalam Q.s. al-Mâidah [5]: 90, sebagai berikut:
Hai orang-orang yang
beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Asuransi konvensional
terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan
al-qimar sama dengan al-maisir. Unsur maisir dalam asuransi konvensional karena
adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis
asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah
membayar preminya sebagian, maka ahli waris akan menerima sejumlah uang
tertentu. Pemegang polis tidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara
perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini
dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil
risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Tetapi apabila pemegang polis
mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Disebut judi jika perusahaan
asuransi mengandalkan banyak dan sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan
perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya klaim yang
dibayarkan.
5.
Riba
Dalam hal riba,
semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti
selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan
kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi
asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib
dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas
yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan
Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam
peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi
syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem
mudhârabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk
Dewan Pengawas Syariah. Allah Swt. berfirman dalam Q.s. Âli ‘Imran [3]: 130,
sebagai berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
6.
Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada
asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu
terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah
beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena
kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus.
Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa
kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan
menjadi milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang
diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan
merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan
karena suatu hal. Disatu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan,
sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi
ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling
menzalimi. Firman Allah Swt. (tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya
tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal
peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal
mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil
kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana
kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan
selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan
sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai
kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal
tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya
sangat tergantung dari hasil investasinya.
7.
Pelaksanaan asuransi sya’riah di masyarakat
Pelaksanaa asuransi sya’riah di masyarakat,
setelah kami mengamati salah satu lembaga asuransi sya’riah tepatnya di PT.
Asuransi Jasindo Syariah di Bandung. Pada pelaksanaannya asuransi syariah
berdiri dibawah induk/pusat asuransi syari’ah. Asuransi syari’ah ialah sejumlah
premi yang diberikan oleh peserta kepada pengelola sebagai tanggungan terhadap
risiko yang mungkin akan terjadi di masa depan dengan akad wakalah bil ujrah
yakni akad pemeberian kuasa dari peserta kepada pengelola untuk mengelola dana
peserta dan/atau melakukan kegiatan lain dengan imbalan pemberian ujrah (fee)
yang telah disepakati bersama diatas polis (bukti tertulis transaksi asuransi).
Pada pengelolaannya, berdasarkan akad wakalah bil ujrah maka kontribusi yang
dibayarkan peserta terdiri dari dana tabarru’ dan ujrah dengan besaran sebagai
berikut :
Tabarru : 50% (Lima puluh persen)
Wakalah Fee : 50 % (Lima puluh persen)
Sedang hasil investasi dana tabarru’ melalui akad
mudharabah akan diberikan sesuai risbah bagi hasil dengan besaran sebagai
berikut :
Dana Tabarru’ : 50%
(Lima puluh persen)
Pengelola : 50% (Lima puluh persen).
Ketika peserta memberikan premi pada pengelola maka 50%
tersebut akan digunakan untuk menanggung risiko yang mungkin dihadapi oleh
peserta/hak peserta untuk mendapatkan perlindungan dari asuransi. Dimana sesuai
prinsip asuransi sya’riah yaitu tolong menolong maka dihibahkan sejumlah 50%
(lima puluh persen) dari kontribusi sebagai tabarru’ untuk membantu peserta
lain yang tertimpa musibah.
Pada
asuransi Jasindo Sya’riah ini sudah berdiri selama dua tahun dimana sebelumnya
ada asuransi takaful kemudian beralih menjadi asuransi jasindo sya’riah.
Walaupun asuransi jasindo sya’riah ini tempatnya berdampingan dengan asurasi
jasindo konvensional, dalam manajemen dan pengelolaannya berbeda tidak ada
campur tangan dari asuransi konvensional.
8.
Ihktilaf Ulama yang Membolehkan Asuransi
Ada
baiknya, kita mengutip pandangan ulama Islam terhadap eksistensi asuransi pada
masa-masa awal sehingga melahirkan satu konsep yang disebut dengan asuransi
takaful. Tujuannya sama dengan asuransi, namun beda dalam banyak praktek dan
teori. Yang paling mengemuka dari pendapat-pendapat tersebut terbagi tiga,
yaitu: pertama, Mengharamkan. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya,
temasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, ‘Abd Allâh
al-Qalqi (mufti Yordania), Yusuf Qaradhâwi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i
(mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
a.
Asuransi sama dengan judi;
b.
Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti;
c.
Asuransi mengandung unsur riba/renten;
d.
Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang
polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi
yang sudah dibayar atau dikurangi;
e.
Premi-premi yang
sudah dibayar akan diputar dalam praktik-praktik riba;
f.
Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata
uang tidak tunai. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama
halnya dengan mendahului takdir Allah.
Kedua, Membolehkan. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh
Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas
Syariah Universitas Syria), Muhammad Yûsuf Musa (guru besar Hukum Isalm
pada Universitas Cairo Mesir), dan ‘Abd Rahman ‘Isa (pengarang kitab
al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkâmuha). Mereka beralasan:
a. Tidak ada nas (Alquran
dan Sunnah) yang melarang asuransi;
b. Ada kesepakatan dan
kerelaan kedua belah pihak;
c. Saling menguntungkan
kedua belah pihak;
d. Asuransi dapat
menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di
investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan;
e. Asuransi termasuk akad
mudhârbah (bagi hasil);
f. Asuransi termasuk
koperasi (syirkah ta’âwuniyah);
g. Asuransi dianalogikan
(qiyas) dengan sistem pensiun seperti taspen.
Ketiga, Asuransi sosial dibolehkan dan asuransi
komersial diharamkan. pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad
Abû Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Kairo). Alasan kelompok
ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama
pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhât adalah karena tidak ada dalil
yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Berdasarka Fatwa DSN-MUI No:
21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah sebagai berikut:
1.
Firman allah tentang perintah
mempersipkan hari depan :Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada allah. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Hasyr(59) ayat 18).
2.
Firman Allah tentang perintah saling
tolong-menolong dalam perbuatan positif, antara lain: Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada allah, sesungguhnya
allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah (5) ayat 2).
Sedangkan dengan kaidah fikih
menjelaskan atau menegaskan meliputi : (1) pada dasarnya, semua bentuk muamalah
boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. (2) segala mudharat
harusdihindarkan sedapat meungkin. (3) segala mudharat (bahaya) harus
dihilangkan.
Pada dasarnya pendapat para ulama
tentang masalah asuransi terbagi menjadi empat pendapat. Pendapat yang pertama,
yaitu yang melarang atau mengharamkan asuransi, pendapat yang kedua,
yaitu membolehkan asuransi serta yang ketiga, yaitu memboleh kan
asuransi tertentu, dan keempat yaitu memandang bahwa asuransi adalah syubhat.
Tetapi dapat di ambil kesimpulan
bahwa:
1. Asuransi
dengan segla bentukny diperbolehkan (seperti pendapat Mustafa Ahmad az-Zarqa),
jika terbatas dari unsur riba, maisir dan gharar, seperti yang emnjadi dasar
pemikiran kelompok ulama yang mengharamkan asuransi selama masih ada unsur
ribanya.
2. Jika
terjadi kecelakaan, bantuan hanya diberikan kepada mereka yang terikat oleh
kontrak ini dan para pemegang saham perusahaan.
3. Jumlah
asli ditambah dengan keuntungan diberikan kepada setiap pemegang saham yang
akan dianggap sebagai hartanya, sedangkan dana cadangan akan tetap sebagai
wakaf (tabarru’).
4. Perlu
adanya Dewan Pengawas Syari’ah Independen yang fungsinya betul-betul mengontrol
operasional sebuah perusahaan asuransi, apakah akad dan produk-produk yang
dikeluarkan perusahaan asuransi itu sudah sesuai dengan ketentuan syari’ah
Islam.
9.
Manfaat asuransi sya’riah dalam kehidupan
a.
Rasa aman dan perlindungan
Polis asuransi yang dimiliki oleh tertanggung akan
memberikan rasa aman dari risiko atau kerugian yang mungkin timbul. Karena
risiko atau kerugian tersebut benar-benar terjadi, pihak tertanggung (insured)
berhak atas nilai kerugian sebesar nilai polis atau ditentukan berdasarkan
perjanjian antara tertanggung dan penanggung.
b.
Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil
Prinsip keadilan diperhitungkan dengan matang untuk
menentukan nilai pertanggungan dan premi yang harus ditanggung oleh pemegang
polis secara periodik dengan memperhatikan secara cermat faktor-faktor yang
berpengaruh besar dalam asuransi tersebut.
c.
Alat penyebaran risiko
Risiko yang seharusnya ditanggung oleh tertanggung ikut
dibebankan juga pada penanggung dengan imbalan sejumlah premi tertentu yang
didasarkan atas nilai pertanggungan
d.
Sebagai amal kebaikan
Karena sebagian premi digunakan untuk membantu sesama
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Asuransi Sya’riah ialah program asuransi sesuai prinsip tolong menolong
dimana peserta memberikan sejumlah premi kepada pengelola sebagai
tanggungan/kemungkinan terjadinya sesutau pada peserta di masa yang akan
datang. Dimana premi tersebut dikelola dengan kesepakatan bahwa 50% dihibahkan sebagai tabarru’ untuk
membantu peserta lain yang tertimpa musibah dan 50% atas hak peserta untuk
mendapat perlindungan dari asuransi. Pada asuransi sya’riah ini sangat membantu
masyarakat dimana tidak hanya sebagai jaminan/perlindungan untuk dirinya namun
sebagiannya lagi sebagai bentuk sedekah untuk menolong sesama. Asuransi
sya’riah ini dalam akadnya sangat jelas dan terbuka, sehingga peserta dapat
mengetahui secara detail bagaimana pengelolaan uang premi asuransi tersebut.
B.
Saran
Untuk kepenulisan selanjutnya agar dapat menganalisis
lebih lanjut bagaimana pengelolaan di dalam perusahaan asuransi sya’riah
tersebut dapat menggunakan metode observasi dengan terjun ke lapangan secara
langsung.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Hasan. 2004. Asuransi Dalam Perspektif
Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media.
Ali, Zainuddin. 2008. Hukum
Asuransi Syari’ah. Jakarta: Sinar Grafika Anshori,
Abdul Ghofur. 2008. Asuransi
Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Anwar, Khoiril. 2007. Asuransi
Syariah Halal dan Maslahat. Solo: Tiga Serangkai.
Latumaerissa, Julius. 2017. Bank
& Lembaga Keuangan Lain : Teori dan Kebijakan. Jakarta : Mitra Wacana Media
Informasi dari Asuransi Jasindo Sya’riah di Bandung (2 Mei 2018)
Muslehuddin, Muhammad. 1999. Menggugat
Asuransi Modern. Jakarta: Lentera.
asslamualaikum catatan pelajar..
BalasHapusMasyaAllah sangat bermanfaat post nya, semoga pahala jariyah ya..
ijin copas ya..