Iklan

Sabtu, 04 Agustus 2018

[FIQIH] Makalah tentang Asuransi




Puji syukur  kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah – Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan  tugas  mata kuliah Fiqih Muamalah II tentang “Asuransi”
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam penyusunan kata, bahasa, dan sistematika pembahasannya. Sebab kata pepatah “tak ada gading yang tak retak atau dengan pepatah lain tak ada ranting yang tak akan patah”. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan masukan atau kritikan serta saran yang bersifat membangun untuk mendorong  kami menjadi lebih baik kedepanya.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang sudah berkenan membaca makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis khususnya, Aamiin.

Bandung, 30 April  2018

Tim penyusun




    H. Ihktilaf Ulama yang Membolehkan Asuransi......................................21-22
    I. Manfaat Asuransi........................................................................................22-23


Hidup penuh dengan risiko yang terduga maupun tidak terduga, oleh karena
itulah kita perlu memahami tentang asuransi. Beberapa kejadian alam yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini dan memakan banyak korban, baik korban jiwa maupun korban harta, seperti mengingatkan kita akan perlunya asuransi. Bagi setiap anggota masyarakat termasuk dunia usaha, risiko untuk mengalami ketidakberuntungan (misfortune) seperti ini selalu ada (Kamaluddin:2003). Dalam rangka mengatasi kerugian yang timbul, manusia mengembangkan mekanisme yang saat ini kita kenal sebagai asuransi.
            Fungsi utama asuransi adalah sebagai mekanisme untuk mengalihkan risiko (risk transfer mechanism), yaitu mengalihkan risiko dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Pengalihan risiko ini tidak berarti menghilangkan kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung menyediakan pengamanan financial (financial security) serta ketenangan (peace of mind) bagi tertanggung. Sebagai imbalannya, tertanggung membayarkan premi dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin dideritanya (Morton:1999). Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil yang sudah pasti sebagai pengganti kerugian-kerugian yang besar yang belum pasti (Abbas Salim: Principles of Insurance)
            Dari perumusan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang bersedia membayar kerugian yang sedikit untuk masa sekarang agar bisa menghadapi kerugian besar yang mungkin terjadi pada waktu mendatang.                     

1.      Apa itu asuransi sya’riah?
2.      Bagaimana sejarah asuransi sya’riah?
3.      Bagaimana dasar hukum asurani sya’riah?
4.      Apa saja prinsip-prinsip asuransi sya’riah?
5.      Apa saja jenis-jenis asuransi sya’riah?
6.      Bagaimana perbedaan asuransi sya’riah dengan konvensional?
7.      Bagaimana pelaksanaan asuransi syari’ah di masyarakat?
8.      Bagaimana Ihktilaf Ulama yang Membolehkan Asuransi?
9.      Apa saja manfaat asuransi dalam kehidupan sehari-hari?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian asuransi sya’riah
2.      Mengetahui sejarah asuransi syari’ah
3.      Mengetahui dasar hukum asuransi sya’riah
4.      Mengetahui prinsip-prinsip asuransi sya’riah
5.      Mengetahui jenis-jenis asuransi sya’riah
6.      Mengetahui perbedaan asuransi sya’riah dengan konvensional
7.      Mengetahui pelaksanaan asuransi sya’riah di masyarakat
8.      Mengetahui Ihktilaf Ulama yang Membolehkan Asuransi
9.      Mengetahui manfaat asuransi


PEMBAHASAN

1.      Pengertian Asuransi
Asuransi dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah insurance, artinya asuransi dan jaminan. Dan dalam Bahasa Belanda menurut Wirjono Prodjodikoro dikenal dengan istilah assurantie, artinya asuransi, dan verzekering, artinya pertanggungan. Sementara Bahasa Arab menyebutnya dengan istilah ta’mîn (pengamanan), di samping juga beberapa istilah lainnya, di antaranya, takâful, tadlâmun, ta’âhud, yang semuanya dapat diartikan sebagai langkah penjaminan atau pertanggungan.
Sedangkan secara terminologi asuransi adalah suatu ikatan yang berbentuk penggabungan kesepakatan untuk saling menolong, yang telah diatur dengan sistim yang rapi untuk sejumlah manusia yang semuanya telah siap untuk menghadapi suatu peristiwa. Dengan redaksi yang lain, Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas. Sementara Abbas Salim mengatakan asuransi adalah suatu kemauan mendapat kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugaian besar yang belum pasti.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, asuransi didefinisikan dengan transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Pada Pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian sebagai berikut:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu bentuk pertanggungan terhadap musibah yang diperkirakan sewaktu-waktu akan terjadi. Karena itu, muncullah berbagai macam jenis asuransi atau pertanggungan, seperti asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, asuransi kebakaran, asuransi pendidikan, bahkan asuransi yang berkaitan dengan pertanian dan pelaksanaan ibadah haji. Definisi-definisi di atas sekalipun secara redaksional ada sedikit perbedaan, namun terdapat benang merah yang menegaskan bahwa secara substansial asuransi bertujuan untuk saling membantu dan menolong sesama. Mushtafâ Ahmad al-Zarqâ’ menyatakan bahwa akad asuransi itu merupakan suatu sistim tadlâmun dan ta’âwun yang bertujuan untuk menutupi kerugian yang disebabkan oleh musibah.

2.      Sejarah Asuransi
Dalam ajaran Islam, asuransi sebenarnya sudah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah saw. Cikal-bakal konsep asuransi syariah menurut sebagian ulama adalah ad-diyah `alā al-`āqilah. Al-`āqilah adalah kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Jika salah seorang anggota suku terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban akan dibayar uang darah (al-diyah) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh tersebut dikenal dengan al-`āqilah. Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fatal-Bārī, sebagaimana dikutip oleh Syakir Sula, mengatakan bahwa pada perkembangan selanjutnya setelah Islam datang, sistem `āqilah disahkan oleh Rasulullah menjadi bagian dari Hukum Islam. Menurut Muhsin Khan, ide pokok dari al-`āqilah berasal dari suku Arab yang pada zaman dulu harus selalu siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris korban. Kesiapan untuk membayar kontribusi keuangan sama dengan premi praktik asuransi. Sementara itu, kompensasi yang dibayar berdasarkan al-`āqilah sama dengan nilai pertanggungan dalam praktik asuransi sekarang, karena itu merupakan bentuk perlindungan finansial untuk pewaris terhadap kematian yang tidak diharapkan dari sang korban. Al-`āqilah bahkan tertuang dalam konstitusi pertama di dunia, yang dibuat oleh Rasulullah yang dikenal dengan Konstitusi Madinah (622 M). Konstitusi tersebut diperuntukkan bagi penduduk Madinah, seperti Muhajirin, Anshor, Yahudi, dan Kristen. Dalam konstitusi ini diperkenalkan asuransi sosial yang tecermin dalam beberapa bentuk, yakni:
a.       Melalui praktik al-diyah. Al-Diyah atau uang darah harus dibayarkan oleh al-`āqilah (keluarga dekat si pembunuh) kepada keluarga korban untuk menyelamatkan pembunuh dari beban hukum. Hal ini disebutkan dalam Pasal 3 Konstitusi Madinah, “Kaum Muhajirin dari suku Quraisy akan bertanggung jawab atas perkataan mereka dan akan membayar uang darah dalam bentuk kerja sama antar mereka”.
b.      Melalui pembayaran fidyah (tebusan). Nabi Muhammad saw. juga melaksanakan ketetapan pada konstitusi awal tersebut berkaitan dengan menyelamatkan nyawa para tawanan dan beliau menyatakan bahwa siapa saja yang menjadi tawanan perang musuh, maka al-`āqilah dari tawanan tersebut harus membayar tebusan kepada musuh untuk membebaskan tawanan tersebut. Pembayaran tebusan semacam ini dapat dianggap sebagai bentuk lain dari asuransi sosial. Dalam Konstitusi Madinah Pasal 4-12a disebutkan bahwa para mujahidin dari suku Quraisy akan bertanggung jawab atas pembebasan tawanan dengan cara pembayaran tebusan sehingga kerja sama antar kaum mukmin dapat sesuai dengan prinsip kearifan dan keadilan. Aturan ini juga berlaku bagi suku-suku lain yang tinggal di Madinah seperti Banu Harits, Banu Najjar, Banu Jusham, dan lain-lain.
c.       Masyarakat bertanggung jawab untuk membentuk sebuah usaha bersama melalui prinsip saling kesepahaman dalam menyediakan bantuan pertolongan yang diperlukan bagi orang-orang yang membutuhkan,sakit, dan miskin.
Praktik asuransi ini terus dikembangkan pada masa Khulafa’ al-Rasyidin, khususnya pada masa Umar bin Khattab. Pada waktu itu, pemerintah mendorong para penduduk untuk melakukan al-`āqilah secara nasional. Pada masa pemerintahan ini Umar r.a. memerintahkan didirikannya sebuah Dīwān al-Mujāhidīn di beberapa distrik. Siapa saja yang namanya tercatat dalam Dīwān al-Mujāhidīn harus membayar uang darah akibat melakukan pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang dalam suku mereka. Di dunia Islam, praktik asuransi selalu dikembangkan walaupun ada pasang surutnya. Sebagai contoh misalnya pada abad 14-17 Masehi, asuransi yang berdasarkan syariah Islam dikembangkan oleh Aliran Sufi Kazeruniyya, walaupun pada akhirnya mengalami kemunduran. Pada abad ke-19, seorang ahli hukum Mazhab Hanafi Ibnu Abidin mendiskusikan ide asuransi dan dasar-dasar hukumnya. Ibnu Abidin adalah orang pertama yang melihat asuransi sebagai sebuah lembaga resmi, bukan sebagai praktik adat. Pendapat Ibnu Abidin ini merupakan pembuka mata bagi orang Islam yang belum menerima legalitas praktik asuransi. Ide-idenya kemudian mendorong orang Islam lainnya untuk menerima ide pelibatan dalam bisnis asuransi. Pada abad 20, seorang ahli Hukum Islam Muhammad Abduh mengeluarkan dua fatwa yang melegalkan praktik asuransi. Dalam fatwanya Abduh menggunakan beberapa sumber untuk menyatakan mengapa dia membolehkan praktik asuransi jiwa. Salah satu fatwanya memandang hubungan antara pihak tertanggung dan pihak asuransi sebagai kontrak muārabah, sedangkan fatwa yang lain melegitimasi sebuah model transaksi yang sama dengan wakaf asuransi jiwa. Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang pertanggungan merupakan sebuah institusi modern hasil temuan dari dunia Barat yang lahir bersamaan dengan adanya pencerahan. Institusi ini bersama dengan lembaga keuangan bank menjadi motor penggerak ekonomi pada era modern dan berlanjut pada masa sekarang. Dasar yang menjadi semangat operasional asuransi modern adalah berorientasikan pada sistem kapitalis yang intinya hanya bermain dalam pengumpulan modal untuk keperluan pribadi atau golongan tertentu, dan kurang atau bahkan tidak mempunyai akar untuk mengembangkan ekonomi pada tataran yang komprehensif. Sedangkan asuransi yang berdasarkan syariah lebih banyak bernuansa sosial daripada bernuansa ekonomi atau profit oriented. Hal ini disebabkan adanya aspek tolong-menolong yang menjadi dasar utama dalam menegakkan praktik asuransi dalam Islam. Islam memandang pertanggungan sebagai suatu fenomena sosial yang dibentuk atas dasar saling tolong-menolong dan rasa kemanusiaan. Saling menanggung dalam Islam sangatlah ditekankan, dan saling menanggung tersebut dalam Islam sering disebut dengan takāful. Moh. Ma’sum Billah memaknai takāful dengan jaminan bersama yang disediakan oleh sekelompok masyarakat yang hidup dalam satu lingkungan yang sama terhadap risiko atau bencana yang menimpa jiwa seseorang, harta benda, atau segala sesuatu yang berharga.8 Selain Ma’sum Billah, Muhammad bin Ahmad ash-Shalih juga menggunakan istilah takāful. Selain kata takāful, taamun juga memiliki makna yang sama dengan takāful, yakni saling menanggung. Yang menggunakan kata tadamun antara lain adalah Muhammad Sauqi al-Fanjari yang mempunyai makna tanggung jawab sosial bersama. Di samping itu, al-Fanjari juga menggunakan al-ta’mīn. Beberapa ulama lain yang menggunakan kata alta’mīn adalah Husein Hamid Hassan, Isa Abduh, Wahbah az-Zuhaily, dan (alm.) Satria Effendi M. Zein. Satria Effendi M. Zein memberikan istilah al-ta’mīn sebagai padanan kata asuransi. Beliau mendifinisikan al-ta’mīn sebagai transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”. Dari gambaran tersebut jelas bahwa pertanggungan dalam Islam kadang disebut dengan takāful dan kadang disebut dengan al-ta’mīn. Kata takāful digunakan di Malaysia karena takāful sudah menjadi merek dagang atau merek perusahaan pertanggungan yang ada di Malaysia, yaitu PT Syarikat Takaful Malaysia. Sedangkan al-ta’mīn digunakan mazhab Mesir karena mereka lebih mengacu pada pemaknaan arti kata yang murni dan belum dijadikan lebel sebuah perusahaan pertanggungan.

3.      Dasar Hukum Asuransi Syariah
Pada saat ini masalah kekhawatiran, keamanan, risiko jiwa dan harta, serta perlunya asuransi merupakan isu yang sangat menyibukkan pikiran manusia karena cukup banyak orang yang dilanda ketakutan, kegelisahan memikirkan keselamatan diri, keluarga, dan harta benda yang mereka miliki. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila ada orang yang mencoba meminimalisir risiko jiwa dan harta benda yang mereka miliki. Dalam rangka meminimalisasi risiko kerugian tersebut, muncullah berbagai perusahaan asuransi yang menawarkan rasa aman dari berbagai ketakutan dan kekhawatiran. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah asuransi diperbolehkan menurut hukum Islam? Pendapat Abu Zahrah yang dikutip oleh Husain Syahatah, asuransi kolektif (ta`āwun) adalah halal. Menurutnya, asuransi jenis ini merupakan implementasi sikap tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan yang diperintahkan Allah. Dalam Alquran Surat al-Ma’idah ayat 2 Allah berfirman:
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.  (QS. Al-Maidah : 2)
Menurut Husaini, tolong-menolong juga berlaku dalam asuransi kolektif swadaya yang bersifat sukarela maupun asuransi kolektif pemerintah yang bersifat harus. Sebab, pada hakikatnya ia adalah firma bersama milik para penggunanya, mereka sama-sama menjadi penanggung sekaligus tertanggung asuransi. Syaratnya, dana yang diperoleh halal dan tidak mengandung syubhat. Di samping itu model asuransi seperti ini juga pernah diterapkan pada awal Islam dalam bentuk persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dalam Alquran memang tidak ada ayat yang jelas dan tegas mengenai masalah asuransi. Meskipun demikian dalam ayat Alquran tetap menyebutkan nilai-nilai yang ada kaitannya dengan masalah asuransi, seperti tolong-menolong, kerja sama, dan semangat untuk melakukan proteksi terhadap apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam surat al- Mā’idah ayat 2 sebagaimana sudah dikemukakan, disebutkan bahwa manusia diciptakan di dunia tidak sendiri tetapi bersama dengan manusia lain. Dalam fitrahnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, tetapi harus bersama-sama dengan manusia lain yang hidup dalam masyarakat. Agar hidup manusia itu ringan, manusia harus saling tolong-menolong dengan sesama manusia. Asuransi Islam pada hakikatnya adalah saling tolong antar sesamanya. Dengan tolong-menolong kehidupan manusia akan lebih mudah dan sejahtera, karena tidak seorang pun tahu nasibnya di masa akan datang. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Luqmān ayat 34:
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok; dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Luqman : 34)
Dari ayat yang sudah dikemukakan jelas bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas, biasanya manusia hanya bisa merencanakan, sedangkan apa yang akan terjadi besuk pagi atau di masa yang akan datang ia tidak tahu. Sebagai manusia, dia hanya diberi kemampuan untuk mengatur hidup dan kehidupannya agar mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan tersebut adalah dengan menyiapkan bekal (proteksi) untuk kepentingan di masa yang akan datang, agar segala sesuatu yang bernilai negatif, dalam bentuk musibah, kecelakaan, kebakaran atau kematian, dapat diminimalisasi kerugiannya. Dalam al- Qur’an Allah swt. mengingatkan agar manusia mempersiapkan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit di masa yang akan datang, dan inilah salah satu prinsip yang menjadi tolok ukur dari nilai filosofi asuransi Islam, selain dalam bentuk semangat tolong-menolong dan bekerja sama. Peringatan itu ada dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 46-49, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” Dalam ayat berikutnya, yakni Surat Yusuf ayat 47, Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasanya; maka yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan”. Dalam ayat 48 disebutkan: “Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan”; Dalam surat yang sama ayat 49 disebutkan: “Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur”. Dalam Surat al-Hasyr ayat 18 Allah juga berfirman,: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Di samping ayat Alquran, Rasulullah saw. juga mengingatkan perlunya tolong-menolong sebagaimana beliau bersabda,
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling berempati, mengasihi dan bersimpati di antara mereka sama seperti tubuh yang jika salah satu anggota tubuh yang mengeluh (sakit) maka seluruh anggota tubuh lainnya akan meresponnya dengan begadang (tidak bisa tidur) dan demam” (HR Bukhari dan Muslim).


4.      Prinsip-prinsip Asuransi
Sebagaimana sudah dikemukakan pada awal pembahasan bahwa asuransi Islam juga sudah dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Hal ini menunjukkan bahwa menurut hukum Islam, asuransi diperbolehkan asal praktik yang dilakukan seperti akadnya, pengelolaan dana, investasi dana, kepemilikan dana, unsur preminya, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan teknik operasionalnya tetap berlandaskan pada al-Qur’an dan al- Sunnah. Masalah ini harus benar-benar diperhatikan karena prinsip-prinsip umum dalam mu’āmalah juga melandasi asuransi Islam. Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam asuransi Islam adalah sebagai berikut:
1.      Tauīd (ketakwaan). Jika dicermati ayat-ayat al-Qur’an tentang mu’āmalah, maka akan terlihat dengan jelas bahwa Allah selalu menyeru kepada umat-Nya agar mu’āmalah yang dilakukannya membawanya kepada ketakwaan Allah. Seorang muslim ketika membeli dan menjual, menyewakan dan mempekerjakan, melakukan penukaran dengan lainnya dalam harta atau berbagai kemanfaatan, ia selalu tunduk kepada aturan Allah dalam mu’āmalah-nya. Ia tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram seperti riba, penimbunan, zalim, menipu, berjudi, mencuri, menyuap dan menerima suapan. Allah meletakkan prinsip tauīd (ketakwaan) sebagai prinsip utama dalam mu’āmalah. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam mu’āmalah harus senantiasa mengarahkan para pelakunya dalam rangka untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
2.      Prinsip kedua dalam mu’āmalah adalah bersikap adil. Cukup banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan umat manusia untuk bersikap adil terhadap siapapun termasuk terhadap dirinya sendiri. Al-`Adl ‘Yang Maha-adil’ adalah termasuk di antara nama-nama Allah (Asma’ al-Husna). Lawan kata dari keadilan adalah kezaliman (al-ulm), yaitu sesuatu yang telah diharamkan Allah atas diri-Nya sebagaimana telah diharamkan-Nya atas hamba-hambanya. Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil dan membenci orang-orang yang berbuat zalim, bahkan melaknat mereka. Firman Allah dalam Surat Hūd: 18, yang artinya: “Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim”. Sikap adil dibutuhkan ketika menentukan nisbah muārabah, musyāwarah, wakālah, waī`ah dan sebagainya, dalam bank syariah. Sikap adil juga diperlukan ketika asuransi syariah (asuransi Islam) menentukan bagi hasil dalam surplus under writing dan bagi hasil investasi antara perusahaan dan peserta. Karena itulah, transparansi dalam perbankan dan asuransi syariah menjadi sangat penting.
3.      Larangan melakukan kezaliman. Kezaliman adalah kebalikan dari prinsip keadilan. Karena itu, Islam sangat ketat dalam memberikan perhatian terhadap pelanggaran kezaliman, penegakan larangan terhadapnya, kecaman keras kepada orang-orang yang zalim, ancaman terhadap mereka dengan siksa yang paling keras di dunia dan akhirat. Dalam surat al-Syūrā ayat 40 Allah berfirman: “Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”, dan dalam surat al-Baqarah ayat 258 Allah berfirman: “Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. Mustaq Ahmad mengatakan bahwa para pelaku bisnis muslim diharuskan berhati-hati agar jangan sampai melakukan tindakan yang merugikan dan membahayakan orang lain, atau bahkan merugikan dirinya sendiri akibat tindakan-tindakannya dalam dunia bisnis.17 Al-Qur’an memperingatkan para pelaku bisnis yang tidak memperhatikan kepentingan orang lain, sebagaimana Islam juga memperingatkan sesuatu yang akan menimbulkan kerugian pada orang lain. Perbuatan itu bukan hanya tidak disetujui, namun lebih dari itu perilaku demikian sangatlah dikutuk. Al-Qur’an telah menentukan hal tersebut dalam beberapa ayat, antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 41: “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah hanya kepada Akulah kamu bertakwa”.
4.       Al-Ta`āwun. Prinsip keempat yang menjadi landasan etika dalam mu’āmalah secara Islami adalah ta`āwun. Ta`āwun merupakan salah satu prinsip utama dalam interaksi mu’āmalah. Bahkan ta`āwun dapat menjadi fondasi dalam membangun sistem masyarakat, yang kaya memperhatikan yang miskin dalam hal kebutuhan financial, dan yang miskin membantu orang kaya dalam hal tenaga atau yang lainnya. Ta`āwun merupakan inti dari konsep takāful, dimana antar satu peserta dengan perserta lainnya saling menanggung risiko, yakni , melalui mekanisme dana Tabarru’ dengan akad yang benar yaitu ‘Aqd Takafulli atau ‘Aqd Tabarru’. Takāful dapat menjadi solusi agar masyarakat lepas dari kemiskinan, karena perhatian orang-orang yang kaya terhadap yang miskin telah diatur dalam syariah. Janganlah kekayaan itu hanya berputar di sekitar orang-orang kaya saja, di sekitar para konglomerat saja.
5.      Al-Amānah (tepercaya/jujur). Menurut Yusuf al-Qaradlawi, di antara nilai transaksi yang terpenting dalam bisnis adalah al-amānah atau ‘kejujuran’. Ia merupakan puncak moralitas iman dan karateristik yang paling menonjol dari orang-orang yang beriman. Bahkan, kejujuran merupakan karateristik para Nabi. Tanpa kejujuran, kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan dengan baik. Sebaliknya, kebohongan adalah cabang kemunafikan dan merupakan salah satu ciri orang-orang munafik. Cacat pasar perdagangan di dunia kita dan yang paling banyak memperburuk citra perdagangan adalah kebohongan, manipulasi dan mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebatilan, baik secara dusta dalam menerangkan spesifikasi barang dagangan dan mengunggulkannya atas yang lainnya, atau dalam memberitahukan tentang harga belinya atu harga jualnya kepada orang lain maupun tentang banyaknya pemesanan dan lain sebagainya. Di sinilah letaknya kenapa al-amanah menjadi salah satu prinsip dalam mu’āmalah. Kejujuran, profesionalisme, dan termasuk penempatan seseorang sesuai keahlian dan kemampuannya merupakan bagian dari prinsip al-amānah dalam mu’āmalah yang Islami.
6.      Al-Riā (suka sama suka) Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. Menurut Abul A’la al-Maududi, ayat tersebut telah menetapkan dua perkara sebagai syarat sahnya suatu perdagangan. Pertama, hendaknya perdagangan itu dilakukan dengan suka sama suka di antara kedua belah pihak. Kedua, hendaklah keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas dasar kerugian pihak yang lain. Itulah yang dijelaskan dalam firman- Nya: “…dan janganlah kamu membunuh dirimu…”. Para ahli tafsir, kata Maududi, menafsirkannya dengan dua makna, yang kedua-duanya relevan dengan pembahasan ini. Makna pertama, janganlah kamu bunuhmembunuh di antara sesamamu. Adapun makna kedua, janganlah kamu membunuh dengan tanganmu sendiri. Di sinilah pentingnya prinsip al-riā (suka sama suka) dalam mu’āmalah. Karena, tanpa dilandasi dengan keridaan, maka seluruh akad dalam mu’āmalah akan menjadi batal. Dengan demikian, kedudukan prinsip keridaan sangat penting dalam akad-akad yang dibuat dalam mu’āmalah yang dilandasi hukum syariah. Menurut Fathi Ahmad Abdul Karim, akad-akad dalam Islam tidak akan sempurna kecuali jika berlaku dengan prinsip suka sama suka dan mufakat antara kedua belah pihak penyelenggara akad. Islam telah mengadakan pemeliharaan dan tuntunan yang sempurna dalam rangka implementasi prinsip keridaan kepada kedua belah pihak dengan mensyaratkan kedua pihak penyelenggara akad itu harus sama-sama mukallaf (telah dewasa dan berakal sehat), agar ada ruang untuk tawarmenawar di antara kedua belah pihak.
7.      Larangan melakukan risywah (sogok/suap). Larangan risywah atau ‘sogok’ merupakan prinsip mu’āmalah yang sangat berat dalam implementasinya. Hal ini disebabkan risywah sudah hampir menjadi kultur dalam masyarakat korup. Dalam Islam, risywah hukumnya haram, karena perbuatan ini dapat merusak tatanan profesionalisme dalam bisnis. Hak seseorang dalam suatu bisnis bisa lepas disebabkan adanya risywah yang dilakukan oleh pihak lain (kompetitor). Risywah dapat dimanfaatkan untuk membenarkan masalah yang batil (haram) atau sebaliknya bagi orang-orang yang tidak beriman. Oleh karena itu, Rasulullah melaknat pemberi dan penerima risywah. “Rasulullah melaknat orang yang memberi risywah” (HR Abu Daud dan Tirmizi). Ahmad Muhammad Al-Assal mengatakan bahwa Rasulullah sendiri pernah melaknat orang yang memberikan uang sogok (risywah) agar mencapai kedudukan yang tidak semestinya atau mengambil yang bukan haknya. Beliau pun melaknat orang yang menerima uang sogok, dan juga melaknat orang yang menjadi perantara uang sogok.
8.      Al-Malaah (kemaslahatan). Menurut Ibnul Qayyim, basis syariat adalah hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan sempurna, rahmat, kebahagiaan, dan kebijaksanaan. Apa pun yang mengubah keadilan menjadi penindasan, rahmat menjadi kesulitan, kesejahteraan menjadi kesengsaraan, dan hikmah menjadi kebodohan tidak ada hubungannya dengan syariat.
9.      Al-Khidmah (pelayanan). Rasulullah bersabda, “Seorang Imam (pemimpin) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim). Rasulullah mengatakan bahwa pengurus itu adalah pelayan masyarakat. Dalam makna yang luas, berarti bahwa perusahaan dalam bisnis apa pun apalagi bisnis yang terkait dengan pelayanan, harus benar-benar mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada customer. Karena pelayanan (khidmah) adalah salah satu bagian penting dalam mu’āmalah yang Islami. Untuk melayani customer seseorang harus menggunakan prinsip-prinsip pelayanan yang baik seperti murah senyum, bertutur kata yang baik, bermuka manis sehingga menyenangkan bagi mereka yang dilayani. Dalam al-Qur’an Allah berfirman dalam surat al-Hijr ayat 88: “Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”. Seorang pelaku bisnis muslim diharuskan untuk berperilaku sopan dalam bisnis mereka sesuai yang dianjurkan al-Qur’an dan sunnah. Sopan santun adalah fondasi dasar dan inti dari kebaikan tingkah laku, dan ia juga merupakan dasar dari jiwa melayani dalam bisnis. Sifat ini sangat dihargai dengan nilai yang tinggi, dan bahkan mencakup semua sisi hidup manusia.
10.  Larangan melakukan tafīf (Kecurangan). Tafīf dalam bahasa Arab artinya berdikit-dikit, berhemat-hemat alias pelit. Sedangkan almutaffif adalah orang yang mengurangi bagian orang lain tatkala ia melakukan timbangan/takaran untuk orang lain. Salah satu bentuk penipuan dalam bisnis adalah mengurangi takaran dan timbangan. Al- Qur’an menganggap penting persoalan ini, karena itu menjauhi tafīf ditempatkan sebagai salah satu prinsip dalam mu’āmalah. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa menjauhi tafīf (kecurangan) merupakan salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An’ām: “…Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya…”. (Q.S. Al-An`am: 152). Di samping itu, dalam Surat Bani Isra’il ayat 35 Allah juga berfirman: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang jujur dan lurus. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya”. Dari ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam hukum Islam, mengurangi takaran dan timbangan hukumnya haram, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk kecurangan yang sangat dilarang oleh Allah.
11.  Menjauhi garār, maisīr, dan ribā. Prinsip yang paling utama dalam mu’āmalah Islam khususnya untuk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah menjauhi ribā, garār, dan maisīr. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa Islam menghalalkan perdagangan dan melarang riba. Pengertian riba tidak ada dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun demikian, dari praktik yang dilarang Rasulullah dapat dikatakan bahwa riba adalah mengambil tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Razi dalam kitab Tafsīr al-Kabīr mengajukan beberapa alasan mengenai pengharaman riba, yaitu:
a.      Ribā adalah mengambil harta orang lain tanpa nilai imbangan apa pun. Padahal, menurut Rasulullah saw., harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang lain;
b.      Ribā dilarang karena menghalangi manusia untuk terlibat dalam usaha yang aktif;
c.       Kontrak ribā adalah media yang digunakan oleh orang untuk mengambil kelebihan dari modal. Perbuatan ini haram dan bertentangan dengan keadilan dan persamaan;
d.      Kontrak ribā memunculkan hubungan yang tegang di antara sesama manusia;
e.       Keharaman ribā dibuktikan dengan ayat al-Qur’an, dan seseorang tidak perlu tahu alasan pengharamannya.
Adapun yang dimaksud maisīr adalah perjudian. Zarqa, mengatakan bahwa adanya unsur garār menimbulkan al-qumar, sedangkan al-qumar sama dengan al-maisīr, gambling atau perjudian. Artinya, ada satu pihak yang untung dan ada pihak lain yang dirugikan. Menurut Husain Hamid Hasan, akad judi adalah akad garār, karena masing-masing pihak yang berjudi menentukan akad jumlah uang yang diambil atau yang diberikan, dan menentukan jumlah yang diberikan bisa ditentukan nanti tergantung suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang diketahui jumlah yang diterima dan jika kalah maka diketahui jumlah yang diberikan. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period. Juga adanya unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung-rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan. M. Anwar Ibrahim mengatakan bahwa ahli fikih telah sepakat bahwa garār adalah untung-untungan yang sama kuat antara ada dan tidak ada, atau sesuatu yang mungkin terwujud dan tidak mungkin terwujud. Ketiga hal inilah, yakni ribā, maisīr, dan garār yang secara hakiki menjadi dasar para ulama mengharamkan semua transaksi perbankan , asuransi , penggadaian , bursa efek , leasing, modal, ventura, dan sebagainya yang tidak menggunakan prinsip-prinsip syariah. Karena, dalam operasionalnya pasti terdapat salah satu atau kalau tidak ketiga-tiganya transaksi yang garār, maisīr,dan ribā.

5.      Jenis-Jenis Asuransi
Ada dua jenis risiko yang dapat diasuransikan:
1.      Takâful keluarga (asuransi jiwa), meliputi:
a.      Takâful Berencanan Waktu 10, 15 atau 20 tahun
b.      Takâful Pembiayaan (Asuransi Kredit).
c.        Takâful Pendidikan;
d.      Takâful Kolektif
2.      Takaful umum (asuransi kerugian), meliputi
a.      Takâful kebakaran;
b.      Takâful kendaraan bermotor;
c.       Takâful kecelakaan diri;
d.      Takâful pengangkatan laut, darat, dan udara;
e.       Takâful  rekayasa/engineering.
Secara teknis, dalam konsep takaful semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya. Misalnya kalau peserta (A) meninggal, peserta (B), (C), dan (Z) harus membantunya demikian sebaliknya. Masalah yang akan terjadi bila tuan (A) mengambil paket asuransi 10 tahun dengan besar uang pertanggungan Rp 10 juta, misal pada tahun ke 4, tuan A meninggal dan baru membayar premi Rp 4 juta, tetapi ahli warisnya mendapat jumlah penuh Rp 10 juta. Pertanyaan dari mana sisa Rp 6 juta? Dalam konsep takâful setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan satu lagi dimasukkan ke rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain. Dengan demikian dari rekening khusus inilah sisa Rp 6 juta tadi diambil dan semua telah ikhlas untuk memberikan derma.
Dari deskripsi di atas menegaskan bahwa premi bulanan yang dibayar oleh pemegang polis asuransi jiwa, sebagiannya merupakan common fund atau dana bersama gotong-royong untuk membantu anggota yang meninggal dunia sebelum tabungan/premi wajib berakhir. Demikian pula halnya dengan asuransi  kebakaran atau kecelakaan, klaim atau ganti rugi yang diperoleh pemegang polis pada saat kecelakaan atau musibah, dibayar dari common fund yang berasal dari premi pemegang polis asuransi kerugian, kebakaran, atau kecelakaan. Common fund yang berasal dari pemegang polis, baik untuk jenis asuransi jiwa, sosial, dan kerugian tersebut dalam sistem ekonomi Islami-berdasar Syariah Islam tidak dibenarkan untuk diinvestasikan dalam usaha spekulasi (adanya unsur perjudian/gambling) dan memperoleh bunga (deposito), bunga sama halnya dengan riba dan tidak dibenarkan sebagai sumber penghasilan. Setiap penanaman modal dalam sistem ekonomi Islam, harus didasarkan pada prinsip bagi hasil/keuntungan (risk bearing per capital) atau sebagai Pemodal Ventura, turut serta menanggung resiko kerugian jika mitra usaha (bisnis atau Bank) mengalami kerugian.

6.      Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional
1.      Akad (Perjanjian)
Perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktik muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tabâduli) atau tolong menolong (takâful).
Akad asuransi konvensional didasarkan pada akad tabâduli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
Akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut:
1.      Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis);
2.      Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadâbuli atau akad takâfuli);
3.      Adanya saksi dari kedua belah pihak. Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah Swt. dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 282).
2.      Gharar (Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut Mazhab Syâfi‘î adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada ditangan Yang Maha Kuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara finansial.
Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tabâduli tersebut cacat secara hukum.
Pada asuransi syariah akad tadâbuli (saling tukar) diganti dengan akad takâfuli (saling menjamin), yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shâhib al-mâl) dan perusahaan asuransi syariah (mudhârib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.
3.      Tabarru’ dan Tabungan
Tabarru’ berasal dari kata , yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru’ disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru’ yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong. Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadis Nabi Saw., “Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya.” (Bukhari Muslim dan Abu Daud).
Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.
4.      Maisir (Judi)
Allah Swt. berfirman dalam Q.s. al-Mâidah [5]: 90, sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al-qimar sama dengan al-maisir. Unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahli waris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polis tidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak dan sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya klaim yang dibayarkan.
5.      Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudhârabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah Swt. berfirman dalam Q.s. Âli ‘Imran [3]: 130, sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
6.      Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Disatu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi. Firman Allah Swt. (tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya.

7.      Pelaksanaan asuransi sya’riah di masyarakat
      Pelaksanaa asuransi sya’riah di masyarakat, setelah kami mengamati salah satu lembaga asuransi sya’riah tepatnya di PT. Asuransi Jasindo Syariah di Bandung. Pada pelaksanaannya asuransi syariah berdiri dibawah induk/pusat asuransi syari’ah. Asuransi syari’ah ialah sejumlah premi yang diberikan oleh peserta kepada pengelola sebagai tanggungan terhadap risiko yang mungkin akan terjadi di masa depan dengan akad wakalah bil ujrah yakni akad pemeberian kuasa dari peserta kepada pengelola untuk mengelola dana peserta dan/atau melakukan kegiatan lain dengan imbalan pemberian ujrah (fee) yang telah disepakati bersama diatas polis (bukti tertulis transaksi asuransi). Pada pengelolaannya, berdasarkan akad wakalah bil ujrah maka kontribusi yang dibayarkan peserta terdiri dari dana tabarru’ dan ujrah dengan besaran sebagai berikut :
Tabarru            : 50% (Lima puluh persen)
Wakalah Fee   : 50 % (Lima puluh persen)
Sedang hasil investasi dana tabarru’ melalui akad mudharabah akan diberikan sesuai risbah bagi hasil dengan besaran sebagai berikut :
Dana Tabarru’ : 50% (Lima puluh persen)
Pengelola         : 50% (Lima puluh persen).
Ketika peserta memberikan premi pada pengelola maka 50% tersebut akan digunakan untuk menanggung risiko yang mungkin dihadapi oleh peserta/hak peserta untuk mendapatkan perlindungan dari asuransi. Dimana sesuai prinsip asuransi sya’riah yaitu tolong menolong maka dihibahkan sejumlah 50% (lima puluh persen) dari kontribusi sebagai tabarru’ untuk membantu peserta lain yang tertimpa musibah.
      Pada asuransi Jasindo Sya’riah ini sudah berdiri selama dua tahun dimana sebelumnya ada asuransi takaful kemudian beralih menjadi asuransi jasindo sya’riah. Walaupun asuransi jasindo sya’riah ini tempatnya berdampingan dengan asurasi jasindo konvensional, dalam manajemen dan pengelolaannya berbeda tidak ada campur tangan dari asuransi konvensional.

8.      Ihktilaf Ulama yang Membolehkan Asuransi
Ada baiknya, kita mengutip pandangan ulama Islam terhadap eksistensi asuransi pada masa-masa awal sehingga melahirkan satu konsep yang disebut dengan asuransi takaful. Tujuannya sama dengan asuransi, namun beda dalam banyak praktek dan teori. Yang paling mengemuka dari pendapat-pendapat tersebut terbagi tiga, yaitu: pertama, Mengharamkan. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, ‘Abd Allâh al-Qalqi (mufti Yordania), Yusuf Qaradhâwi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
a.       Asuransi sama dengan judi;
b.      Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti;
c.       Asuransi mengandung unsur riba/renten;
d.      Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi;
e.        Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktik-praktik riba;
f.       Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
Kedua, Membolehkan. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syariah Universitas Syria), Muhammad Yûsuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan ‘Abd Rahman ‘Isa (pengarang kitab al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkâmuha). Mereka beralasan:
a.       Tidak ada nas (Alquran dan Sunnah) yang melarang asuransi;
b.      Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak;
c.       Saling menguntungkan kedua belah pihak;
d.      Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan;
e.       Asuransi termasuk akad mudhârbah (bagi hasil);
f.       Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’âwuniyah);
g.      Asuransi dianalogikan (qiyas) dengan sistem pensiun seperti taspen.
Ketiga, Asuransi sosial dibolehkan dan asuransi komersial diharamkan. pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abû Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Kairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi  yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhât adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Berdasarka Fatwa DSN-MUI No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah sebagai berikut:
1.   Firman allah tentang perintah mempersipkan hari depan :Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Hasyr(59) ayat 18).
2.   Firman Allah tentang perintah saling tolong-menolong dalam perbuatan positif, antara lain: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada allah, sesungguhnya allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah (5) ayat 2).
Sedangkan dengan kaidah fikih menjelaskan atau menegaskan meliputi : (1) pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. (2) segala mudharat harusdihindarkan sedapat meungkin. (3) segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.
Pada dasarnya pendapat para ulama tentang masalah asuransi terbagi menjadi empat pendapat. Pendapat yang pertama, yaitu yang melarang atau mengharamkan asuransi, pendapat yang kedua, yaitu membolehkan asuransi serta yang ketiga, yaitu memboleh kan asuransi tertentu, dan keempat yaitu memandang bahwa asuransi adalah syubhat.
Tetapi dapat di ambil kesimpulan bahwa:
1.      Asuransi dengan segla bentukny diperbolehkan (seperti pendapat Mustafa Ahmad az-Zarqa), jika terbatas dari unsur riba, maisir dan gharar, seperti yang emnjadi dasar pemikiran kelompok ulama yang mengharamkan asuransi selama masih ada unsur ribanya.
2.      Jika terjadi kecelakaan, bantuan hanya diberikan kepada mereka yang terikat oleh kontrak ini dan para pemegang saham perusahaan.
3.      Jumlah asli ditambah dengan keuntungan diberikan kepada setiap pemegang saham yang akan dianggap sebagai hartanya, sedangkan dana cadangan akan tetap sebagai wakaf (tabarru’).
4.      Perlu adanya Dewan Pengawas Syari’ah Independen yang fungsinya betul-betul mengontrol operasional sebuah perusahaan asuransi, apakah akad dan produk-produk yang dikeluarkan perusahaan asuransi itu sudah sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam.

9.      Manfaat asuransi sya’riah dalam kehidupan
a.       Rasa aman dan perlindungan
Polis asuransi yang dimiliki oleh tertanggung akan memberikan rasa aman dari risiko atau kerugian yang mungkin timbul. Karena risiko atau kerugian tersebut benar-benar terjadi, pihak tertanggung (insured) berhak atas nilai kerugian sebesar nilai polis atau ditentukan berdasarkan perjanjian antara tertanggung dan penanggung.
b.      Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil
Prinsip keadilan diperhitungkan dengan matang untuk menentukan nilai pertanggungan dan premi yang harus ditanggung oleh pemegang polis secara periodik dengan memperhatikan secara cermat faktor-faktor yang berpengaruh besar dalam asuransi tersebut.
c.       Alat penyebaran risiko
Risiko yang seharusnya ditanggung oleh tertanggung ikut dibebankan juga pada penanggung dengan imbalan sejumlah premi tertentu yang didasarkan atas nilai pertanggungan
d.      Sebagai amal kebaikan
Karena sebagian premi digunakan untuk membantu sesama



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Asuransi Sya’riah ialah program asuransi sesuai prinsip tolong menolong dimana peserta memberikan sejumlah premi kepada pengelola sebagai tanggungan/kemungkinan terjadinya sesutau pada peserta di masa yang akan datang. Dimana premi tersebut dikelola dengan kesepakatan  bahwa 50% dihibahkan sebagai tabarru’ untuk membantu peserta lain yang tertimpa musibah dan 50% atas hak peserta untuk mendapat perlindungan dari asuransi. Pada asuransi sya’riah ini sangat membantu masyarakat dimana tidak hanya sebagai jaminan/perlindungan untuk dirinya namun sebagiannya lagi sebagai bentuk sedekah untuk menolong sesama. Asuransi sya’riah ini dalam akadnya sangat jelas dan terbuka, sehingga peserta dapat mengetahui secara detail bagaimana pengelolaan uang premi asuransi tersebut.


B.     Saran
Untuk kepenulisan selanjutnya agar dapat menganalisis lebih lanjut bagaimana pengelolaan di dalam perusahaan asuransi sya’riah tersebut dapat menggunakan metode observasi dengan terjun ke lapangan secara langsung.





DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan. 2004. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media.
Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Asuransi Syari’ah. Jakarta: Sinar Grafika Anshori,
Abdul Ghofur. 2008. Asuransi Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Anwar, Khoiril. 2007. Asuransi Syariah Halal dan Maslahat.  Solo: Tiga Serangkai.
Latumaerissa, Julius.  2017. Bank & Lembaga Keuangan Lain : Teori dan Kebijakan. Jakarta : Mitra Wacana Media
Informasi dari Asuransi Jasindo Sya’riah di Bandung (2 Mei 2018)
Muslehuddin, Muhammad. 1999. Menggugat Asuransi Modern. Jakarta: Lentera.



 

1 komentar:

  1. asslamualaikum catatan pelajar..
    MasyaAllah sangat bermanfaat post nya, semoga pahala jariyah ya..
    ijin copas ya..

    BalasHapus

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...