Iklan

Kamis, 02 Agustus 2018

[Fiqih] Makalah Akad dalam Islam


 KATA PENGANTAR        

            Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat  menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Solawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin umat yaitu Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini penulis susun untuk menyelesaikan salah satu mata kuliah  yaitu Fiqih II Muamalah, yang mana di dalamnya membahas mengenai Fiqih II Muamalah “Akad Dalam Islam”Makalah ini penulis susun berdasarkan referensi dari beberapa sumber baik dari media cetak maupun media elektronik. Dalam penyusunannya penulis banyak menghadapi rintangan terutama  mengenai fasilitas yang terbatas. Namun alhamdulillah dengan segenap kemampuan, keyakinan dan juga dukungan orang-orang terdekat, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah Fiqih II Muamalah “Akad Dalam Islam” ini tepat pada waktunya.
Dengan disusunnya makalah Fiqih II Muamalah “Akad Dalam Islam” penulis mengharapkan pembaca  dapat memperoleh wawasan yang lebih luas mengenai bagaimana tatacara bermuamalah salah satunya adalah akad dalam Islam.
Terimakasih tak lupa penulis ucapkan kepada Bapak dosen pembimbing penulis yakni Bapak Dr. H. Aceng Kosasih,M.Ag. dan Usup Romli,M.Pd.  yang telah mebimbibing penulis dalam proses penyusunan makalah ini. Penulis   menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam punyusunan makalah ini. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan agar di lain kesempatan penulis dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Sekian yang dapat penulis sampaikan pada kesempatan ini. Penulis berharap banyak manfaat yang dapat diperoleh umumnya bagi pembaca dan khususnya untuk penulis sendiri. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih.
Bandung,  05 Februari  2018
Kelompok 1

DAFTAR ISI



BAB I PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

           Aktivitas jual-beli yang terbaik dalam Islam adalah salah satu aktifitas yang dicontohkan oleh manusia terbaik sepanjang masa Rasulullah SAW. Selain jual beli aktifitas muamalah yang tak lumrah lainnya yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari ialah pinjam-meminjam, utang-piutang, sewa-menyewa, dan sebagainya. Namun seringkali dalam bermuamalah ada saja hal-hal yang  tidak sesuai dengan ketentuan syari’ah seperti riba yang jelas dilarang keras oleh Allah SWT yang mungkin dilakukan oleh pelaku karena keterbatasan pengetahuannya tentang hukum-hukum Islam. dalam bermumalah seringkali kata-kata dalam ijab kabul dilisankan dengan pengertian yang banyak mengandung arti (ambigu) apakah barang tersebut diserahkan sebagai pemberianpenjualan atau sebagai titipan hal tersebut tentu menimbulkan masalah baik di antara orang yang bersangkutan maupun (habluminanas), dan dengan zat yang maha mengetahui (habluminallah) yang dihadapannya kelak kita akan meberikan pertanggung jawaban atas segala yang kita perbuat ketidak jelasan dan ucapan ikrar yang dilafadzkan akan menimbulkan potenSi persengketaan yang menimbulkan permusuhan dan meretakan persaudaraan yang tentunya akan mendatangkan kemudorotan dan kemarahan darl Allah swt. 
         Dalam bermuamalah kita tidak hanya mellsankan sebuah akad namun kita juga perlu mellbatkan hatl yang sama sama ikhlas kita perlu mengisyaratkan sebuah kemauan dan kesungguhan dengan pihak-pihak yang bersangkutan bukan karena paksaan maupun ancaman. misalnya, antara penjual dan pembeli yang melakukan transaksi jual beli yang seringkali dlcampuri dengan paksaan baik dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli yang tentunya bertentangan dengan hukum syari'ah berakad tidak hanya dapat dilakukan dengan lisan ada beberapa yang dapat kita lakukan untuk berakad sehingga di era moderen dan digital ini semuanya bermuamalah tetap dapat dilakukan hal ini tentunya tak membatasr ruang kita untuk bermuamalah sesuai syari'at namun tetap mengikuti perkembangan zaman, yang seringkali menjadi permasalahan dan perselisihan di kalangan masyarakat yang banyak diakibatkan dan pesatnya kemajuan teknologi di era moderen ini. pengetahuan mengenai syariat islam bukanlah suatu penghambat kita untuk bermuamalah justru pengetahuan mengenai syari'at islam adalah cara untuk kita bermuamalah dengan seluas -luasnya tanpa menimbulkan hati yang penuh dengan keragu raguan untuk itu wajib hukumnya mencari ilmu bermuamalah yang letak kesahannya berada pada akad karena bermuamalah adalah sesuatu yang tak dapat d pisahkan dari kehidupan kita setiap hari tanpa terkecuali memgetahur hukum syari'atnya adalah anugerah yang dapat mengantarkan kita dari dunia fana' ini menuju kepada keridoannya

1.2.Rumusan Masalah

1.Apa definisi dari aqad?
2.Dasar hukum aqad ?
3.Bagaimana asal-usul aqad?
4.Apa saja yang termasuk rukun dan  syarat aqad?
5.Apa saja yang termasuk macam-macam aqad?
6. Apa saja asas-asas aqad?
7.Apa saja yang termasuk unsur-unsur aqad yang cacat ?
8. Perbedaan antara akad,tasharruf,dan iltizam
9. Bagaimana berakhirnya aqad?
10.Apa saja hikmah aqad?
11. Bagaimana Aqad dalam masa sekarang yang secara online ?



2.1 Definisi Akad

            Kata akad berasal dari kata al ‘aqd yang berarti mengikat,menyambung atau menghubungkan, bermakna afirmasi atau pengukuhan.. Jika dikatakan ‘aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung talil lalu mengikatnya, kemudian makna ini berpindah dari hal yang bersifat hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampak antara dua ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog. Dari sinilah kemudian makna akad diterjemahkan secara bahasa sebagai: “Menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakan isi sumpah atau meninggalkannya. Demikian juga halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkannya.”
Akad dalam terminologi ahli bahasa mencakup makna ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Makna secara bahasa ini sangat sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh kalangan ulama fiqh, di mana kita mendapati kalangan ulama fiqh menyebutkan akad adalah setiap ucapanyang keluar sebagai penjelasan dari dua keinginan yang ada kecocokan, sebagaimana mereka juga menyebutkan arti akad sebagai setiap ucapan yang keluar yang menerangkan keinginan walaupun sendirian.
            Abu Bakar Al-Jashshash berkata: “Setiap apa yang diikatkan oleh seorang terhadap satu urusan yang akan dilaksanakan secara wajib, karena makna asal dari akad adalah ikatan lalu alihkan kepada makna sumpah dan akad seperti akad jual beli dan yang lainnya , maka maksudnya adalah ilzȃm (mengharuskan) untuk menunaikan janji dan ini dapat terjadi jika ada harapan-harapan tertentu yang akan didapatkan pada waktu-waktu tertentu. Dinamakan jual beli, nikah, sewa menyewa, dan akad-akad jual beli yang yang lain karena setiap pihak telah memberikan komitmen untuk memenuhi janjinya dan dinamakan sumpah terhadap sesuatu di masa mendatang sebagai akad karena pihak yang bersumpah telah mengharuskan dirinya untuk memenuhi janjinnya baik dengan berbuat atau dengan meninggalkan. Perkongsian (syirkah), sebagai hasil (mudhȃrabah) dan yang lainnya dinamakan akad karena seperti yang kami jelaskan berupa wajibnya menunaikan janji seperti yang telah disyaratkan oleh kedua belah pihak tentang pembagian untung, kerja dan mengharuskan dirinya, demikian juga janji dan suka karena orang yang memberikan telah mewajibkan dirinya untuk menunaikan janjinya demikian juga setiap syarat yang ditetapkan oleh seorang bagi dirinya untuk melakukan sesuatu di masa mendatang dinamakan akad.”
Dari sini kita melihat bahwa Al-Jashshash mendefinisikan akad sebagai setiap ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan dan didefinisikan juga bagi setiap ucapan yang keluar untuk menjelaskan satu keinginan seorang diri.
            Sebagian ulama fiqh mendefinisikan sebagai ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan sedangkan jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan tidak dinamakan akad tapi dinamakan janji. Dengan landasan ini Ath-Thusi membedakan antara akad dan janji, karena akad mempunyai makna meminta diyakinkan atau ikatan, ini tidak akan terjadi kecuali dari dua belah pihak, sedangkan janji dapat dilakukan oleh satu orang.
            Adapun makna akad secara syar’i yaitu: “Hubungan antara Îjab dan qabûl dengan cara yang dibolehkan oleh syariat yang mempunyai pengaruh secara langsung.” Ini artinya bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang kemudian dua keinginan itu dinamakan Îjab dan qabûl.
              Jika terjadi Îjab dan qabûl dan terpenuhi semua syarat ada, maka syara’ akan menganggap ada ikatan di antara keduanya dan akan terlihat hasilnya pada barang yang diakadkan berupa harta yang menjadi tujuan kedua belah pihak membuat akad. Pengaruhnya adalah berupa keluarnya barang yang diakadkan dari kondisi pertama kepada kondisi baru, jika dia jual beli, maka barang yang dijual akan berpindah ke tangan pembeli dan nilai harga dari tangan pembeli ke tangan penjual.
            Dibatasinya makna ikatan harus dalam bentuk yang diperbolehkan oleh syariat untuk mengeluarkan semua ikatan yang tidak dibolehkan oleh syariat seperti jika ada orang berkata:  “Saya sewa engkau untuk membunuh si fulan dengan bayaran begini, atau merusakkan tanamannya, atau mencuri harta,” lalu ia menjawab: “Saya terima,” maka ini tidak boleh dan tidak ada pengaruh dari akad yang dibuat.
            Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan akad adalah Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.” Berkumpulnya serah terima di antara dua pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak. Terkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum.” Ikatan atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ dengan cara serah terima.Secara bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal.” Sementara akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan sesuatu yang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan. Terkadang kata akad menurut istilah dipergunakan dalam pengertian umum, yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi dirinya sendiri atau bagi barang lain dengan kata harus. Di antaranya adalah Firman Allah "Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." Jual beli dan sejenisnya adalah akad. Setiap hal yang diharuskan seseorang atas dirinya sendiri baik berupa nadzar, Sumpah dan sejenisnya, disebut juga sebagai akad.

2.2 Dasar hukum Akad


يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعامِ إِلاَّ ما يُتْلى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ ما يُرِيدُ
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah aqad aqad itu.Dihalalkan bagimu binatang ternak,kecuali yang akan dibacakan kepadamu.(yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya (QS Al-Maidah 5:1)
فَارْهَبُونِ وَإِيَّايَ بِعَهْدِكُمْ أُوفِ بِعَهْدِي وَأَوْفُوا
Penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya aku penuhi janji-Ku kepadamu (QS.Al-Baqarah 2:40)
تَفْعَلُونَ مَا اللَّهَ يَعْلَمُ نَّ إِ كَفِيلًا عَلَيْكُمْ اللَّهَ جَعَلْتُمُ وَقَدْ تَوْكِيدِهَا بَعْدَ الْأَيْمَانَ تَنْقُضُوا وَلَا عَاهَدْتُمْ إِذَا بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَوْفُوا

Dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. an-Nahl: 91)

2.3 Asal-usul ‘Akad

          Akad adalah bagian dari macam-macam tasharruf yang dimaksud dengan tasharruf ialah: "Segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara' menetapkan beberapa haknya." Tasharruf terbagi dua, yaitu tasharruf fi'il dan tasharruf qauli. Tasharruf fi'il ialah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain lidah, misalnya memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual beli, merusakkan benda orang lain. Tasharruf qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia, tasharruf qauli terbagi dua yaitu 'aqdi dan bukan 'aqdi. Yang dimaksud Tasharruf qauli 'aqdi ialah: “Sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan kedua belah pihak yang saling bertalian." Contohnya, jual beli, sewa-menyewa, ' di ada dua macam yaitu:
Tasharruf qauli bukan ‘aqdi ada dua macam yaitu
  1. Merupakan pe atu hak atau mencabut  suatu hak, seperti wakaf,talak, dan memerdekakan
  2. Tidak menyatakan suatu kehendak,tetapi dia mewujudkan tuntunan-tuntunan hak, misalnya gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan,jenis yang kedua ini tak ada ‘aqad,tetapi semata perkataan

2.4 Rukun dan Syarat Akad

Secara definisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu. Definisi syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada. Perbedaan antara rukun dan syarat menurut Ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya
tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri.
Dikalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad hanya sighat al-aqd yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqidain (subjek akad) dan mahallul ‘aqd (objek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua hal tersebut berada diluar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi,bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena adanya hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad. Rukun akad sebagai berikut :
a.aqid ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang, misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang, ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang yang memiliki haq (aqid ashli) dan terkadang merupakan wakil dari yang memiliki haq.
b.Ma’qud 'alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibbah (pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
c.Maudhu' al ’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya
tanpa ada pengganti (’iwadh). Tujuan pokok akad ijarah adalah memberikan manfaat dengan adanya pengganti. ' Tujuan pokok ijarah adalah memberikan manfaat dari seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti.
d.Shighat al ’aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya seseorang yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos.
Akad memiliki tiga rukun, yaitu adanya dua orang atau lebih yang melakukan akad, objek akad, dan lafazh (shighat) akad.
1. Dua Pihak atau Lebih yang Melakukan Akad
Dua orang atau lebih yang melakukan akad ini adalah dua orang atau lebih yang secara langsung terlibat dalam akad. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. Kelayakan terwujud dengan beberapa hal berikut:
Pertama, kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian.
Kedua, bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang di bawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya
Kemudian ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar arru'yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya. Nanti akan dijelaskan secara rinci.
2. Objek Akad (Transaksi)
Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah, yakni sebagai berikut:
* Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan. Oleh sebab itu, akad usaha ini tidak bisa diberlakukan pada benda najis secara dzati, seperti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
* Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yan disyariatkan. Karena fungsi legal dari satu komoditi menjadi dash nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan, atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan.
* Komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan Karena yang demikian itu termasuk gharar, dan itu dilarang.
* Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
* Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual langsung. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada di lokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung, harus diketahui wujud nya, seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya. Namun kalau barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli sekarang ini dalam akad jual beli as-Salam, di mana seorang langgan membeli barang yang diberi gambaran dan dalam kepemi likan penjual, maka disyaratkan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi
"Barangsiapa yang melakukan jual beli as-Salam hendaknya ia memesannya dalam satu takaran atau timbangan serta dalam bata waktu yang jelas."
Nanti akan dijelaskan secara rinci. Kepastian akad tersebut ditentukan oleh tidak adanya hal yang menyebabkan munculnya pilihan lain, seperti terlihatnya cacat barang dan sejenisnya.
3. lafazh (Shighat) Akad
Yang dimaksudkan dengan pengucapan akad itu adalah ungkapan yang dilontarkan oleh orang yang melakukan akad untuk menunjukkan keinginannya yang mengesankan bahwa akad itu sudah berlangsung. Tentu saja ungkapan itu harus mengandung serah terima (ijab-gubal).
Ijab (ungkapan penyerahan barang) adalah yang diungkapkan lebih dahulu, dan qabul (penerimaan) diungkapkan kemudian. Ini adalah madzhab Hanafiyah. Yang benar menurut mereka, ijab adalah yang diucapkan sebelum qabul, baik itu dari pihak pemilik barang atau pihak yang akan menjadi pemilik berikutnya.
Ijab menunjukkan penyerahan kepemilikan, sementara qabul menunjukkan penerimaan kepemilikan. Ini adalah madzhab mayoritas ulama. Maka yang benar menurut mereka bahwa ijab itu harus diungkapkan oleh pemilik barang pertama, seperti penjual, pemberi sewaan, wali calon istri dan lain sebagainya. Dan yang benar menurut mereka, qabul itu berasal dari orang yang akan menjadi pemilik kedua dari barang tersebut, seperti pembeli, penyewa, calon suami dan lain sebagainya. Jadi pemilik pertama yang mengucapkan ijab sementara calon pemilik kedua yang mengucapkan qabul. Tidak ada perbedaan bagi mereka, siapa pun yang mengucapkan pertama kali dan siapa yang belakangan.

 Syarat syarat aqad

Setiap pembentuk aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara' yang wajib disempurnakan, syarat syarat terjadinya akad ada dua macam.
a. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad sebagai berikut:
1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur), dan karena boros.
2) Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3) Akad itu diizinkan oleh syara', dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walupun dia bukan "aqid yang memiliki barang.
4) janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara', seperti jual beli mulasamah (saling merasakan).
5) Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbangan amanah (kepercayaan) .
6) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah ijabnya.
7) Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
b. Syarat syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa akad. juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.

2.5 Macam macam akad

Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian ini akan dijelaskan macam-macam akad.
1.Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
2. Aqad Mu'aIaq ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
3. Aqad Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.
Perwujudan akad tampak nyata pada dua keadaan berikut.
1. Dalam keadaan muwadha'ah (ml/"fair), yaitu kesepakatan dua orang secara rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya. Hal ini ada tiga bentuk seperti di bawah ini.
a. Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka berdua akan mengadakan jual beli atau yang lainnya secara lahiriah saja untuk menimbulkan sangkaan orang lain bahwa benda tersebut telah dijual, misalnya menjual harta untuk menghindari penguasa yang zalim atau penjualan harta untuk menghindari pembayaran utang. Hal ini disebut mu'tawadhah pada asal akad.
b. Mu'awadlah terhadap benda yang digunakan untuk akad, Misalnya dua orang bersepakat menyebut mahar dalam jumlah yang besar di hadapan naik, wali pengantin laki laki dan wali pengantin wanita sepakat untuk menyebut dalam jumlah yang besar, sedangkan mereka sebenarnya telah sepakat pada jumlah yang lebih kecil dari jumlah yang disebutkan di hadapan naib, hal ini disebut juga muwadha'ah fi al-badal
c. Mu’wadlah pada pelaku (isim musta'ar), ialah seseorang yang secara lahiriah membeli sesuatu atas namanya sendiri, secara batiniah untuk keperluan orang lain, misalnya seseorg membeli mobil atas namanya, kemudian diatur surat-su, dan keperluan-keperluan lainnya. Setelah selesai semuan dia mengumumkan bahwa akad yang telah ia lakuk Sebenarnya untuk orang lain, pembeli hanyalah merupa Wakil yang membeli dengan sebenarnya, hal ini sama dengan wakalah sirriyah (perwakilan rahasia).
2. Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main mengolok-olok (istihza) yang tidak dikehendaki adanya akibat hukum dari akad tersebut. Hazl berwujud beberapa bentu antara lain muwadha'ah yang terlebih dahulu dijanjikan, sepe kesepakatan dua orang yang melakukan akad bahwa akad ic hanya main-main, atau disebutkan dalam akad, seperti seseorang berkata; ”Buku ini pura-pura saya jual kepada Anda” ata dengan cara-cara lain yang menunjukkan adanya karinah hazl
Kecederaan kecederaan kehendak disebabkan hal-hal berikut.
-Ibrah, cacat yang terjadi pada keridhaan.
-Khilabah ialah bujukan yang membuat seseorang menju suatu benda, terjadi pada akad.
-Ghalath ialah persangkaan yang salah, misalnya seseorang membeli sebuah motor, ia menyangka motor tersebu mesinnya masih normal, tetapi sebenarnya motor tersebut telah turun mesin.
Selain akad munjiz, mu'alaq, dan mudhaf; macam-macam akad beraneka ragam tergantung dari sudut tinjauannya. Karena ada perbedaan-perbedaan tinjauan, akad akan ditinjau dari segi-segi berikut.
1.Ada dan tidaknya qismah pada akad, maka akad terbagi dua bagian:
a.Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah dan ijarah. Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2 Disyari'atkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi dua bagian:
a. Akad masyara'ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara' seperti gadai dan jual beli.
b. Akad mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara seperti menjual anak binatang dalam perut induknya.
3. Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi menjadi dua:
a. Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencukupi persyaratannya, baik syarat yang khusus maupun syarat yang umum.
b, Akad fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera karena kurang salah satu syarat syaratnya, baik syarat umum maupun syarat khusus, seperti nikah tanpa wali.
4, Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini benda akad terbagi dua:
a. Akad 'ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual beli.
b. Akad ghair 'ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barangbarang, karena tanpa penyerahan barangbarang pun akad sudah berhasil, seperti akad amanah.
5. Cara melakukannya, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
b. Akad ridha'iyah, yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya.
6. Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad.
b. Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta).
7.Luzum dan dapat dibatalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi empat:
a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak bisa dipindahkan kepada orang lain, seperti base. tubuh, tapi akad nikah dapat diakhiri dengan Cara yang dibenarkan syara' seperti talak dan Khulu’.
b.Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetujuan jual beli dan akad-akad lainnya.
c. Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn, orang yang menggadai sesuatu benda punya kebebasan kapan saja ia akan melepaskan mhn atau menebus kembali barangnya.
d. Akad Iazimah yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan atau yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang meniti kan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
8. Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga bagian
a. Akad mu’awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual beli.
b. Akad tabarru'at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibbah
c. Akad yang tabaru'at pada awalnya dan mu'awadhah pada akhirnya seperti qaradh dan  dasar kafalah
9.Harus dibayar ganti atau tidaknya,dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian:
a. Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diteraima seperti qaradh
b. Akad amanah yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh yang memegang barang, seperti titipan (ida').
c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan dhaman, menurut segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn (gadai).
10.Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima golongan:
a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli.
b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti syirkah dan mudharabah.
c. Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan kafalah.
d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
e. Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ida' atau titipan.
11. Faur dan istimrar, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad fauriyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja, seperti jual beli.
b. Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti i 'arah.
12. Asliyah dan thabi’iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual beli dan i'arah.
b. Akad thahi'iyah yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada utang.
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi lilihat dari beberapa segi. jika dilihat dari segi keabsahannya menurut yara', akad terbagi dua, yaitu:
1.Akad Sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun  dan Syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu;
a. Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), ialah akaq 3 yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya L dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. 
b.Akad mawquf, ialah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang telah mumayyiz. Dalam kasus seperti ini, akad ini baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum apabila jual beli itu diizinkan oleh wali anak kecil ini. Contoh lain dari akad mawquf adalah yang disebut dalam fiqh dengan ‘aqad al-fudhuli. Misalnya, Ahmad memberikan uang sebesar Rp. 2.000.000,kepada Hasan untuk membeli seekor kambing. Ternyata di tempat penjualan kambing, uang Rp. 2.000.000,itu dapat membeli dua ekor kambing, sehingga Hasan membeli dua ekor kambing. Keabsahan akad jual beli dengan dua ekor kambing ini amat tergantung kepada persetujuan Ahmad, karena Hasan diperintahkan hanya membeli seekor kambing. Apabila Ahmad menyetujui akad yang telah dilaksanakan Hasan itu maka jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui Ahmad maka jual beli itu tidak sah. Akan tetapi, ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menganggap jual beli mawquf itu sebagai jual beli yang batil.
Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya jual beli yang sahih itu, para ulama fiqh membaginya kepada dua macam, yaitu:
1.Akad yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad,sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad jual beli dan sewa-menyewa.
2. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti dalam akad al-wakalah (perwakilan) , al'ariyah (pinjam-meminjam), dan al-wadhi'ah (barang titipan).
Akad yang mengikat bagi pihak-pihak yang melangsungkan akad itu dibagi lagi oleh para ulama fiqh menjadi tiga macam, yaitu:
a. Akad yang mengikat dan tidak dapat dibatalkan sama sekali. Akad perkawinan termasuk akad yang tidak boleh dibatalkan, kecuali dengan cara-cara yang dibolehkan syara', seperti melalui talak dan al-khulu’ (tuntutan cerai yang diajukan istri kepada suaminya dengan kesediaan pihak istri untuk membayar ganti rugi).
b. Akad yang mengikat, tetapi dapat dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa-menyewa, perdamaian, al-muzara'ah (kerja sama dalam pertanian), dan al-musaqah (kerja sama dalam perkebunan). Dalam akad-akad seperti ini berlaku hak khiyar (hak memilih untuk meneruskan akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya atau membatalkannya).
c. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak yang berakad, seperti akad al-rahn dan al-kafalah.
Akad yang tidak Sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Kemudian, ulama Hanaiiyah membagi akad yang tidak sahih ini kepada dua macam, yaitu akad yang batil dan fasid.
Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara. Misalnya objek jual beli itu tidak jelas. Atau terdapat unsur tipuan ,seperti menjual ikan dalam lautan, atau salah Satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum. Adapun akad fasid menurut mereka merupakan suatu akad yang Pada dasarnya disyariatkan ,akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas.
Misalnya menjual rumah atau  kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang dijual atau tidak disebutkan brand dan jenis kendaraan yang dijual.sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli.Jual beli seperti ini,menurut para ulama Hanafiyah, adalah fasid,dan jual beli ini dianggap sah apabila unsur-unsur yang menyebabkan kefasidannya itu dihiangkan,nmisalnya dengan menjelaskan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang dijual atau menjelaskan brand dan jenis kendaraan yang dijual
Akan tetapi, jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa akad yang batil dan fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apa pun.“ dari segi penamaannya, para ulama fiqh membagi akad kepada dua macam, yaitu:
1. Al-Uqud al-musamma, yaitu akad yang ditentukan namanya oleh syara' serta dijelaskan hukumnya, seperti jual beli, sewamenyewa, perserikatan, hibah, al-wakalah, wakaf, al-hiwalah, aI-ji 'alah, wasiat, dan perkawinan.
2.Al‘Uqud ghair al-musamma, ialah akad-akad yang penamaannya dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat, seperti al-istishna', dan ba’i al-wafa.

2.6. Asas-asas aqad

1. Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS.al-Hadid (57): 4 yang artinya ”Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Kegiatan mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua,tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari\ Allah SWT.16
2. Asas Kebolehan (Mabda’ al-Ibahah) Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”. Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua hadis berikut ini: Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang artinya: “Apaapa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”. Hadis riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia. Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi. sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
3. Asas Keadilan (al-‘Adalah)
Dalam QS. Al-Hadid (57): 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya ”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Selain itu disebutkan pula dalam QS. Al-A’raf (7): 29 yang artinya “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”.Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.
4. Asas Persamaan atau Kesetaraan
Hubungan muamalat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seringkali terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Oleh karena itu sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara manusia yang satu dengan yang lain, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan. Tidak diperbolehkan terdapat kezaliman yang dilakukan dalam kontrak tersebut. Sehingga tidak diperbolehkan membeda-bedakan manusia berdasar perbedaan warna kulit, agama, adat dan ras. Dalam QS.al-Hujurat (49): 13 disebutkan yang artinya ”Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.

5. Asas Kejujuran dan Kebenaran (As}-S{idiq)
Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.33 QS.al-Ahzab (33): 70 disebutkan yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”.Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang
mendatangkan madharat dilarang.
6. Asas Tertulis (al-Kitabah)
Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan.20 Dalam QS.al-Baqarah (2); 282- 283 dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.
7. Asas Iktikad baik (Asas Kepercayaan atau Amanah)
Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi, ”Perjanjian harus dilaksanakan  dengan iktikad baik”. Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi kontrak atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan perjanjian.
8. Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun
tidak terdapat ketentuannya dalam al Qur’an dan Al Hadis.21 Asas kemanfaatan dan kemaslahatan ini sangat relevan dengan tujuan hukum Islam secara universal. Sebagaimana para filosof Islam di masa lampau seperti al-Ghazali (w.505/1111) dan asy-Syatibi (w 790/1388) merumuskan tujuan hukum Islam berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis sebagai mewujudkan kemaslahatan. Dengan maslahat
dimaksudkan memenuhi dan melindungi lima kepentingan pokok manusia yaitu melindungi religiusitas, jiwa-raga, akalpikiran, martabat diri dan keluarga, serta harta kekayaan.Sedangkan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan
bersifat khusus adalah:
9. Asas Ibahah (Mabda’ al- Ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muammalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.” Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalil-dalil syariah, orang tidak dapat membuat bentuk baru ibadah yang tidak pernah ditentukan oleh Nabi Saw. Bentuk-bentuk ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi Saw. Itu disebut bid’ah dan tidak sah hukumnya. Dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atau tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khusus perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian.
10. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah at- Ta’aqud)
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang Syariah dan memasukkan klausal apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentinganya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan batil. Namun demikian, di lingkungan mazhab-mazhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai luas dan sempitnya kebebasan tersebut. Nas-nas al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukan bahwa hukum Islam menganut kebebasan berakad. Asas kebebasan berakad ini merupakan konkretisasi lebih jauh dan spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah dalam muamalat.
Adanya asas kebebasan berakad dalam hukum Islam didasarkan kepada beberapa dalil antara lain adalah:
a. Firman Allah, Wahai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian)” (QS. 5:1)
b. Sabda Nabi Saw. “Orang-orang muslim itu senantiasa serta kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka.”
c. Sabda Nabi Saw., “Barang siapa menjual pohan korma yang sudah dikawinkan, maka buahnya adalah untuk penjual (tidak ikut terjual). Kecuali apabila pembeli mensyaratkan lain.”
d. Kaidah hukum Islam, pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan asas diri mereka melalui janji.
11. Asas Konsesualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitastertentu.

Para ahli hukum Islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme dari dalil-dalil hukum berikut.
a. Firman Allah, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali (jika makan harta sesamamu dilakukan) dengan cara tukar-tukar berdasarkan perizinan timbal-balik (kata sepakat) diantara kamu” (QS. 4: 29).
b. Firman Allah, “Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin diatas dasar senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai suatu yang sedap lagi baik akibatnya” (QS. 4: 4)
c. Sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kata sepakat (hadis riwayat ibn Hibban dan ibn Majah)
d. Kaidah hukum Islam. Pada asasnya perjanjian (akad) itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji.
12. Asas Janji itu Mengikat
Dalam al-Quran dan Hadis terdapat banyak perintah agar memenuhi janji. Dalam kaidah usul fikih, “ Perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib”. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Diantara ayat dan hadis dimaksud adalah.
a. Firman Allah, “…. Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintakan pertanggungjawabannya” (QS. 17:34).
b. Asar dai Ibn Mas ‘ud, “janji itu adalah utang”.
c. Ayat QS. 5: 1 dan hadis al-Hakim yang telah di kutip pada sub c. 2.1) dan 2.2) diatas
12. Asas Keseimbangan (Mabda’ at-Tawazun fi al- Mu’ awdhah)
Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menerapkan keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, dimana dalam konsep riba itu hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara kreditor bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif
13.Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”.28 Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua hadis berikut ini:
Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang artinya:
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”.29
Hadis riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia.30 Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang
14.Asas Perjanjian Itu Mengikat
Asas ini berasal dari hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: “Orang-orang muslim itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (Klausul-klausul) mereka, kecuali perjanjian (klausul) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian terikat kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian.Sehingga seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.
15. Asas Keseimbangan Prestasi
Yang dimaksudkan dengan asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.45 Dalam hal ini dapat diberikan ilustrasi, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
16. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum ini disebut secara umum dalam kalimat terakhir QS. Bani Israil (17): 15 yang artinya, ”….dan tidaklah Kami menjatuhkan hukuman kecuali setelah Kami mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan (aturan danancaman) hukuman itu….”. Selanjutnya di dalam QS.al-Maidah (5): 95 dapat dipahami Allah mengampuni apa yang terjadi di masa lalu. Dari kedua ayat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa asas kepastian hukum adalah tidak ada suatu perbuatanpun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut. Asas kepastian hukum ini terkait dengan akibat perjanjian. Dalam hal ini hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi, ”Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
17.Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan. Hal ini dapat dipahami dari bunyi pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: ”Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Sedangkan pasal 1340 KUH Perdata berbunyi ”Perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya”.48 Namun ketentuan ini terdapat pengecualian sebagaimana yang diintrodusir dalam pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi: ”Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang
dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Dengan demikian asas kepribadian dalam perjanjian dikecualikan apabila perjanjian tersebut dilakukan seseorang untuk orang lain yang memberikan kuasa bertindak hukum untuk dirinya atau orang tersebut berwenang atasnya.

2.7 Unsur Unsur Aqad yang Cacat

Pada proses perjanjian tidak selamanya menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan akad. Ada kalanya akad yang dilakukan itu mengandung kekurangan. Hal ini mengakibatkan akad tidak lagi sempurna. Akad ini disebut dengan akad yang cacat. Pada akad yang cacat, kekeliruan atau kesalahan (ghalath). Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga, dan juga dikaji pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warnanya abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. Hukum Perjanjian Islam adalah hukum yang memandang suatu persoalan/akad sebagai sesuatu yang sangat penting tanpa perjanjian yang benar dan shahih sebuah perjanjian (kontrak)/akad tidak menjadi sah dan tidak halal dalam mataagama, karena pentingnya maka akad dijelaskan di dalam Al Qur’an seperti tertuang di dalam Surah An Nisa’ ayat 29. Yang menjadi dasar hukum dari akad/perjanjian itu sendiri di dalam agama Islam. yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.Maksud dari akad cacat adalah hal-hal yang merusak terjadinya akad karena tidak terpenuhinya unsur sukarela antara pihak-pihak yang bersangkutan.Pada hakikatnya, suatu akad itu dipicu oleh kehendak, pilihan dan atas kerelaan diri sendiri. Namun unsur-unsur yang demikian letaknya di hati, maka dijadikanlah ijab qabul sebagai penerjemah bahasa hati.Dalam sighah harus selaras antara ijab dan qabul. Apabila suatu pihak
menawarkan (ijab) benda A dengan harga seratus rupiah, pihak lain harus menerima (qabul) dengan menyebutkan benda A senilai seratus rupiah pula, bukan denganbenda B yang harganya seratus lima puluh rupiah. Dan dalam sighah pula, kedua belah pihak harus jelas meyatakan penawarannya dan pihak yang lain harus dengan jelas menerima tawarannya (transparansi), qabul harus langsung diucapkan setelah ijab diucapkan. Ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab ditawarkan hari ini dan dijawab dua hari kemudian itu tidaklah sah, ijab dan qabul juga harus dilakukan di dalam satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus di dalam satu majelis yang sama. Salah satu rukun dari akad adalah aqidain atau pihak-pihak yang akan melakukan akad. Kriteria pelaku akadadalah ahliyah (kecakapan), wilayah (kuasa) dan ridha (kerelaan). Ahliyah (kecakapan) memiliki dua kriteria yaitu ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’; ahliyatul wujub adalah kelayakan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban, adapun ahliyatul ada’ adalah saat perkataan seseorang dan perbuatannya dianggap sah secara hukum syariah. Ahliyah ini terbagi menjadi dua; sempurna dan tidak sempurna. Periode sempurna adalah bagi mereka yang sudah baligh dan tidak lagi
terbatasi untuk melakukan segala sesuatu sesuai kehendak. Adapun tidak sempurna adalah mereka yang sudah tamyiz tapi belum mencapai baligh, atau karena hal lain yang menyebabkan daya akalnya tidak sempurna, seperti idiot. Jika tidak mempunyai ahliyah maupun wilayah, maka akad tersebut tidak bisa dilangsungkan.Adapun saat transaksi dilakukan oleh orang yang mempunyai kelayakan namun tidak mempunyai kuasa, seperti menjual milik orang lain, maka keabsahannya tergantung kepada izin pemilik barang.
Jumhur ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa suatu akad tidaklah sah apabila mengandung unsur riba. Ada beberapa hal yang dapat menghilangkan riba yaitu ikrah (pemaksaan), mabuk, hazl (terucap diluar keinginannya), ghalath (keliru), tadlis (menyembunyikan aib) dan ghabn (penipuan). Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada dua. Yang pertama shahih atau sah yang artinya semua rukun akad beserta semua kondisinya sudah terpenuhi, yang kedua, batil yaitu apabila salah satu dari rukun akad tidak terpenuhi maka akad tersebut menjadi batal atau tidak sah, apalagi kalau adaunsur Maisir, Gharar dan Riba di dalamnya. Ketiga unsur tersebut sebaiknya dihindari dalam transaksi yang menggunakan akad syariah.Maisir adalah segala permainan yang mengandung unsur taruhan, dimana
pihak yang menang mengambil harta atau materi dari pihak yangkalah. Gharar diibaratkan dengan suatu keadaan yang tidak menyajikan informasi memadai tentang subjek atau objek akad. Sedangkan Riba adalah setiap kelebihan yang tidak syar’i antara nilai barang yang diberikan dan nilai yang diterima. Sebagai contoh aplikatif ulasan Wahbah Az-Zuhaili tentang jual beli yang dilarang dalam
beberapa kategori .Pertama; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan dari aqidan. Seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil, orang yang diancam atau dipaksa,dan seorang mahjur ‘alaih. Kedua; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat dari sighah. Seperti jual beli dengan syarat yang dilarang, tidak ada kesesuaian antara ijab dan qabul, dan jual beli dengan kata atau isyarat yang tidak difahami. Ketiga; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat dari mahallul ‘aqd.Seperti jual beli barang yang haram dan najis, jual beli ma’dum, jual beli barang yang tidak bisa diterima langsung, termasuk di dalamnya jual beli yang mengandung unsur gharar.Keempat; karena ada sifat atau syarat yang dilarang, misalnya bai’ ‘inah, riba,jual beli orang kota dengan harga mahal untuk orang desa yang belum mengetahui harga, jual beli saat panggilan shalat jumat dan sebagainya.Dengan demikian yang menjadi unsur-usur dari akad yang cacat adalah:
1. Paksaan/Intimidasi (Ikrah).
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yangtidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan.
2. Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath).
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak.Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal yaitu pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapiternyata cincin itu terbuat dari tembaga dan pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.
3. Penyamaran Harga Barang (Ghabn).
Ghabn secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya.
4. At-Tadlis/at-Taghrir (Penipuan) yaitu menyembunyikan cacat pada objek akad agar tampak tidak seperti sebenarnya atau perbuatan pihak penjual terhadap barang yang dijual dengan maksud untuk memperoleh harga yang
lebih besar.
5. Al-Jahalah yaitu hal mengakibatkan persengketaan yang menyebabkan rusaknya akad.
6. Al-Gharar yaitu semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan, atau perjudian

2.8 Perbedaan antara akad,tasharruf,dan iltizam

llzam ialah pengaruh yang umum bagi setiap akad. Ada juga yang menyatakan bahwa ilzam ialah ketidakmungkinan bagi ya melakukan akad untuk mencabut akadnya secara sepihak tanpa persetujuan pihak yang lain. Iltizam ialah keharusan mengerjak sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu untuk kepentingan orang lain. Ada juga yang menyatakan bahwa iltizam ialah: “seseorang yang dibebani pekerjaan menurut syara’ untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk kemashatan orang lain”
1. Pengertian Tasharruf
Tasharruf menurut istilah ulama fiqh adalah: ”Setiap yang keluar dari seseorang yang sudah mumayyiz dengan kehendak sendiri dan dengannya syara' menetapkan beberapa konsekuensi, baik berupa ucapan atau yang setingkat dengan ucapan berupa aksi atau isyarat. sehingga makna tasharrufdengan pengertian ini lebih umum dari makna akad, karena akad walapun bagian dari tasharruf hanya saja ia sekadar tasharruf qauli (ucapan) belaka yang terjadi karena dua keinginan yang sama seperti jual beli, nikah, dan yang lainnya dari bentuk-bentuk akad sedangkan tasharruftidak harus begitu dan masuk di dalamnya berbagai macam bentuk perjanjian, komitmen, pengguguran hak yang akan harus dilaksanakan oleh yang memberi tanpa harus ada ucapan penerimaan dari pihak yang lain, seperti wakaf, talak, ibra' (membebaskan tanggungan), mengembalikan barang yang dijual dengan khiyar syarat atau ru 'yah (melihat), maka semua akad dinamakan tasharruf dan tidak sebaliknya.

2. Makna Iltizam
Iltizam adalah sebuah tasharruf (perbuatan) yang mengandung keinginan untuk melahirkan satu hak atau mengakhiri satu hak atau menggugurkannya baik datang dari satu pihak seperti wakaf, talak yang tidak ada nilai hartanya, juga ibra ', atau datang dari kedua belah pihak seperti akad jual beli dan sewa.
Atau juga didefinisikan sebagai: ” Menjadi wajibnya satu urusan bagi seseorang baik karena pilihan dan keinginan sendiri atau karena keinginan syara'.
Dengan begitu makna iltizam sama dengan makna akad secara umum, yaitu setiap ucapan yang keluar untuk menjelaskan dua keinginan yang sama atau keinginan satu pihak, sehingga makna iltizcim lebih umum dari makna akad secara khusus yaitu setiap ucapan yang keluar untuk menjelaskan dua keinginan yang ada kecocokan, karena iltizam mencakup setiap ucapan yang keluar untuk menjelaskan dua keinginan dari kedua belah pihak dan juga termasuk keinginan satu pihak saja, maka setiap akad adalah iltizam dan tidak semua iltizam adalah akad.
Ketika yang menjadi objek kajian ini adalah khiydr dalam akad sedangkan khiyiir itu sendiri artinya pihak yang berakad mempunyai hak untuk meneruskan akad jual beli atau membatalkannya dan jika diteruskan akan ada konsekuensinya dan jika dibatalkan, maka tidak ada pengaruhnya dan masalah ini berkaitan tentang akad yang shahih, maka sudah menjadi keharusan bagi kami untuk menjelaskan tentang akad dari aspek konsekuensi yang timbul sebagai akibat dari akad, dan dari sisi ini terbagi kepada akad yang sah dan akad tidak sah. Pada kesempatan ini kami hanya akan menjelaskan tentang akad yang sah saja karena akad yang tidak sah tidak ada konsekuensi apa pun.

2.9 Berakhirnya Akad

Para ulama fiqih menyatakan bahawa suatu akad dapat berakhir  apabila
1.Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
2.Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3.Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
a.jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
b. berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c. akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
d. tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.
4.Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini para ulama fiqh menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad. Akad yang berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad, di antaranya akad sewa-menyewa, al-rahn, al-kafalah, al-syirkah, al-wakalah, dan al-muzara’ah. Akad juga akan berakhir dalam ba ’I al-fudhul (suatu bentuk jual beli yang keabsahan akadnya tergantung pada persetujuan orang lain) apabila tidak mendapat persetujuan dari pemilik modal.

2.10 Hikmah Akad

Diadakannya akad dalam muamalah antarsesama manusia tentu mempunyai hikmah, antara lain:
1. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
2.Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar'i.
3.Akad merupakan “payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.

2.11 Akad dalam masa sekarang

1. Simulasi Transaksi Dropshipping
Untuk memudahkan dalam memahami konsep akad salam dan wakalah dalam transaksi online sistem dropshipping, berikut penulis berikan gambaran simulasi  transaksi dropshipping ini pada pasar online FJB KASKUS dengan sistem dropshipping. Ruchdi ingin mencari supplier sepatu dengan brand converse untuk kemudian ia jual kembali, lalu ia melakukan browsing di KASKUS untuk mencari supplierdengan harga jual termurah dan juga dapat dipercaya. Kemudian ia menemukan lapak dari “Soshi K-Shop” yang menjual sepatu dengan brand converse tersebut dengan membuka sistem dropshipping.Selanjutnya Ruchdi menghubungi “Soshi K-Shop”untuk meminta pricelist dari barang yang dijualnya sekaligus ketentuan dan syarat menjadi dropshipper.Setelah memenuhi persyaratan dan ketentuan menjadi dropshipper, maka “Soshi KShop” memberikan pricelist lengkap tentang barang dagangannya berikut fotofotonya. Terjadilah kesepakatan “Soshi K-Shop” sebagai supplier dengan Ruchdi sebagai dropshipper tentang ketetapan harga jual.  Setelah itu, Ruchdi mulai memasarkan produknya di KASKUS dengan melampirkan foto-foto yang diberikan “Soshi K-Shop” dan menjualnya dengan harga yang telah ditetapkan sebelumnya untuk menjaga persaingan harga pasar.  Pada tahap selanjutnya lagi, ada customer yang menghubungi Ruchdi untuk membeli sepatu converse tersebut, setelah deal dengan customernya dan customernya mentransfer sejumlah uang kepada Ruchdi, kemudian Ruchdi menghubungi “Soshi K-Shop” selaku supplier untuk mengirimkan barang tersebut ke alamat customer yang memesan kepada Ruchdi. Dikirimlah barang pesanan tersebut oleh “Soshi K-Shop” kepada customernyaRuchdi dengan mengatasnamakan Ruchdi sebagai pengirim barang tersebut, sehingga ketika barang tersebut sampai ketangan customer, maka yang customer tahu adalah bahwa Ruchdi lah sebagai penjual yang mengirim barang tersebut.Dari simulasi diatas, penulis mencoba menggambarkan skema dropshipping dengan memasukkan pihak-pihak yang terlibat, kemudian membandingkannya  dengan skema akad salam dan juga akad wakalah untuk menemukan persamaan dan perbedaannya. Selanjutnya menelaah syarat dan rukun akad salam dan wakalah apakah terdapat dalam skema dropshipping. Dengan demikian maka akan diketahui apakah akad salam dan wakalah nya sah atau tidak.
2. Implementasi akad Salam dalam Jual Beli Online Sistem Dropshipping
Akad salam merupakan salah satu jenis bentuk jual beli yang diperbolehkan  dalam Islam. Transaksi salam akan sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Dalam akad salam, dropshipper bertindak sebagai penjual (tangan kedua) dimana penjual pertama adalah supplier. Namun tidak terdapat akad salam antara supplier dengan dropshipper. Akad salam terdapat ketika terjadi transaksi antara dropshipper dengan customer (konsumen), dimana konsumen melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada dropshipper atas barang yang ingin dibeli, kemudian dropshipper memesankan barang yang diinginkan oleh konsumen tersebut kepada supplier sesuai dengan kriteria pesanan si konsumen. Implementasi akad salam yang telah disesuaikan dengan simulasi transaksi dropshipping adalah sebagai berikut:
a. Muslam (Pembeli)
Pembeli, dalam akad salam harus cakap hukum dan tidak ingkar janji atas transaksi yang telah disepakati.
b. Muslam ilaih (Penjual)
Penjual merupakan pihak yang menyediakan barang. Penjual disyaratkan harus cakap hukum dan tidak boleh ingkar janji.
c. Hasil produksi/barang yang diserahkan (muslam fihi). Hasil produksi merupakan objek barang yang akan diserahkan oleh penjual sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam akad. Hasil produksi tidak termasuk dalam katageri barang yang dilarang (barang
najis, haram, samar/tidak jelas/syubhat) atau barang yang dapat menimbulkan kemudaratan.
d. Harga
Harga disepakati pada saat awal akad antara pembeli dan penjual, dan pembayarannya dilakukan pada saat awal kontrak. Harga barang harus ditulis jelas dalam kontrak, serta tidak boleh berubah selama masa akad. Adapun dalam jual beli online sistem dropshipping, sesuai dengan simulasi yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat akad salam dalam sistem tersebut. Yaitu:
a. Orang yang berakad. Yaitu Ruchdi sebagai penjual, “Soshi KShop”sebagai supplier dan Putra sebagai customer Ruchdi.
b. Objek barang. Terdapat objek barang yang jelas yaitu, sepatu dengan brand converse.
c. Shigat (Ijab dan Qabul). Kesepakatan yang terjalin baik antara customer dengan Ruchdi ataupun Ruchdi dengan “Soshi K-Shop” merupakan shigat.
Sementara itu syarat yang disyariatkan dalam menggunakan sistem dropshipping pun telah sesuai dengan fikih. Yaitu:
a. Syarat orang yang berakad
Sesusai ketentuan syarat akad salam dimana para pelaku akad harus berakal dan baligh. Disini baik Ruchdi, “Soshi K-Shop” maupun Putra merupakan pihak yang telah memenuhi syarat.
b. Syarat yang terkait dengan barang
Barang yang diperjualbelikan merupakan barang yang nyata wujudnya, kondisinya sempurna, dan barang dalam keadaan ready stock.
c. Syarat tentang waktu dan tempat penyerahan barang dan pembayaran
Waktu penyerahan barang biasanya menghabiskan waktu sekitar 2 sampai 3 hari setelah barang dipesan. Dan tempat penyerahan barang bisa ditentukan oleh si customer. Para pihak yang melakukan akad telah memenuhi syarat dengan menggunakan nilai rupiah sebagai alat transaksi dan juga Putra telah melunasi seluruh pembayaran kepada Ruchdi pada awal akad.
Jika terjadi wanprestasi seperti:
a. Supplier tidak mengirim barang pada tanggal yang sudah ditentukan oleh Ruchdi (dropshipper) dan Putra (customer), maka Ruchdi tetap harus memenuhi kewajiban mengirim barang kepada pada Putra pada tanggal tersebut.
b. Jika supplier mengirim barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi atau rusak maka Ruchdi tetap wajib mengirim barang kepada Putra sesuai spesifikasi yang sudah disepakati bersama.8
3. Implementasi akad Wakalah dalam Jual Beli Online Sistem Dropshipping Berbeda dengan akad salam yang orientasinya merupakan akad jual beli untuk mencari profit. Akad wakalah merupakan akad yang bersifat tabarru’, yang orientasinya tidak mencari profit, melainkan tolong menolong dengan mengharapkan balasan dari Allah SWT. Namun dalam pengembangannya, akad wakalah ini bisa juga tidak hanya sekedar bersifat tabarru’, namun dapat juga mengambil fee didalamnya. Akad ini disebut wakalah bil ujroh. Transaksi wakalah akan sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Implementasinya dalam simulasi transaksi dropshipping adalah sebagai berikut:
a. Orang yang mewakilkan (muwakkil), syarat bagi orang yang mewakilkan adalah dia berstatus sebagai pemilik urusan/benda dan menguasainya serta dapat bertindak terhadap harta tersebut dengan dirinya sendiri. Jika  muwakkil itu bukan pemiliknya atau bukan orang yang ahli maka batal.
b. Wakil (orang yang mewakili), syarat bagi orang yang mewakili adalah orang yang berakal. Jika ia idiot, gila, belum dewasa maka batal. Orang yang sudah berstatus sebagai wakil tidak boleh berwakil kepada orang lain kecuali atas seizin dari muwakkil pertama atau karena terpaksa seperti pekerjaan yang diwakilkan terlalu banyak sehingga ia tidak dapat mengerjakannya sendiri maka boleh berwakil kepada orang lain.9
c. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syaratnya:
1) Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakannya shalat, puasa, dan membaca ayat Alquran, karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
2) Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu, tidak sah berwakil menjual sesuatu yang dimilikinya.
3) Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti sesorang berkata, “aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”.
d. Shigat, yaitu lafaz mewakilkan, shigat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhaannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.Adapun dalam jual beli online sistem dropshipping, sesuai dengan simulasi yang telah dijelaskan sebelumnya, selain terdapat akad salam di dalamnya, maka dapat disimpulkan juga bahwa terdapat salah satu akad lain, yaitu akad wakalah.Yakni:
a. Terdapat orang yang mewakilkan (muwakkil), yaitu “Soshi K-Shop”sebagai supplier dan terdapat orang yang mewakili (wakil), yaitu Ruchdi sebagai dropshipper.
b. Bagi muwakkil, ia adalah asli pemilik benda/barang, bukan orang lain. Sehingga jika terjadi “cacat” pada benda/barang maka si muwakkil dapat bertanggung jawab. Disini “Soshi K-Shop” sebagai pemilik barang asliyang dapat bertanggung jawab. Sementara itu, syarat yang disyariatkan pun dalam menggunakan sistem dropshipping telah sesuai dengan fikih. Yaitu:
a. Syarat penggantian, sesuai dengan ketentuan syarat untuk sesuatu yang diwakilkan dalam akad wakalah dimana boleh untuk mewakilkan sesuatu. Disini Ruchdi sebagai seorang dropshipper bertindak sebagai penjual, mewakilkan “Soshi K-Shop” untuk menjualkan barang dagangan milik“Soshi K-Shop”
b. Syarat mewakilkan, Ruchdi mewakilkan “Soshi K-Shop” dalam menjual barang dagangannya ketika ia telah menyatakan berwakil. Disini barang dimiliki oleh Ruchdi untuk diwakilkan, maka “Soshi K-Shop” tidak menjual barang tersebut kepada pihak lain karena sudah “dimiliki”
Ruchdi yang kemudian untuk dijual.
c. Syarat diketahui dengan jelas. Disini diketahui dengna jelas bahwa barang yang diperjual belikan adalah sepatu dengan brand converse. d. Sighat. Kesepakatan yang terjalin dengan baik antara “Soshi K-Shop selaku supplier dan Ruchdi selaku dropshipper merupakan sighat.

BAB III PENUTUP 

3.1 Kesimpulan

Bermuamalah adalah hal yang setiap hari menyapa kita akad adalah hal yang sangat penting yang menetukan sah dan tidaknya suatu transaksi maupun amalan muamalah lainnya. Untuk itu penting dan wajib hukumnya bagi kita mempelajari ilmu untuk berakad dan bermuamalah agar kita senantiasa berada dalam kehalalan yaitu suatu yang Allah ridhoi.

3.2 Saran

Saya selaku penyusun sangat menyadari masih jauh dari sempurna dan tentunya banyak sekali kekurangan dalam pembutan makalah ini.Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan kami.
Oleh karena itu, Saya  selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.Kami juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA


Ghazaly Abdul Rahman, Ihsan Ghufron,dan Shidiq Sapiudin.2010.Fiqh Muamalat.Jakarta:Prenada Media Group
Azzam Abdul Aziz Muhammad.2010. Fiqh Muamalat .Jakarta:Amzah
Suhendi,Hendi.2002. Fiqh Muamalah.Jakarta:RajaGrafindo Persada
Ash-shawi,Shalah ,al-mushlih,Abdullah.2015.Fikih Ekonomi Islam.Jakarta:Darul Haq
Muayyad,U.(2015). Asas-Asas Perjanjian dalam Hukum Perjanjian Islam,Vol 8.
12-14.
Yulianti,R.T.(2008). Asas-Asas Perjanjian (Akad)dalam Hukum Kontrak Syari’ah,vol.II.101-102

Ardi,M (2016) .Asas-Asas Perjanjian (Akad),Hukum Kontrak Syariah dalam Penerapan Salam dan Istisna,vol14.267-270

Kalbuadi,P(2015).Jual beli online dengan menggunakan sistem dropshipping menurut sudut pandang akad jual beli islam,75-82

Pdf unsur-unsur yang terdapat dalam suatu akad sehingga akad tersebut dikatakan akad yang cacat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...