CATATAN PELAJAR: [Fiqih] Konsep Jual Beli dalam Islam

Friday 3 August 2018

[Fiqih] Konsep Jual Beli dalam Islam



KATA PENGANTAR

 Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa solawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw., yang telah membimbing umatnya hingga sampai pada zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan ini.

Makalah ini susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih Muamalah, yang membahas tentang “KONSEP JUAL BELI DALAM ISLAM”. Kami menyadari bahwa masih terdapat beberapa kelemahan atau kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, segala tegur sapa, kritik, koreksi dan saran yang diberikan akan sangat membantu kami dalam menyusun makalah selanjutnya.

            Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis khususnya, Aamiin.
Bandung, Februari 2018


Tim penyusun





           

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak dapat hidup sendiri dan selalu  membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Terutama dalam hal muamalah, seperti jual beli, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Namun sering kali dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temui kecurangan-kecurangan dalam urusan muamalah ini dan merugikan masyarakat. Untuk menjawab segala problema tersebut, agama memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kita yang telah diatur sedemikian rupa dan termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits, dan tentunya untuk kita pelajari dengan sebaik-baiknya pula agar hubungan antar manusia berjalan dengan lancar dan teratur.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan namun kadang kala kita tidak mengetahui apakah caranya sudah memenuhi syara’ ataukah belum. Kita perlu mengetahui bagaimana cara berjual beli menurut syariat..
Oleh karena itu, dalam makalah ini, sengaja kami bahas mengenai jual beli, karena sangat kental dengan kehidupan masyarakat. Disini pula akan banyak dibahas mulai dari tata cara jual beli yang benar sampai hal-hal yang diharamkan atau dilarang, tujuannya untuk mempermudah praktek muamalah kita dalam kehidupan sehari-hari dan supaya kita tidak mudah untuk terjerat dalam lingkaran kecurangan yang sangat meresahkan dan merugikan masyarakat.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah “bagaimana konsep jula beli dalam Islam”, yang kemudian dirinci menjadi beberapa focus masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Jual beli?
2.      Apa dasar hukum jual beli?
3.      Bagaimana rukun dan syarat jual beli?
4.      Bagaimana adab dan etika jual beli?
5.      Apa saja jual beli yang dibolehkan dan diharamkan?
6.      Apa pengertian dan macam-macam khiyar?
7.      Bagaimana praktik jual beli khususnya jual beli secara online dan sistem kredit?
8.      Apa pengertian jual beli salam dan ji’alah?
9.      Apa saja hikmah dari jual beli?

C.    Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:


1.      Mengetahui pengertian jual beli
2.      Mengetahui dasar hukum jual beli
3.      Mengetahui rukun dan syarat jual beli
4.      Mengetahui adab dan etika jual beli
5.      Mengetahui macam jual beli yang dihalalkan dan diharamkan
6.      Mengetahui pengertian dan macam maam khiyar
7.      Mengetahui praktik jual beli khususnya jual beli online dan sistem kredit
8.      Mengetahui pengertian jual beli salam dan ji’alah
9.      Mengetahui hikmah jual beli

       BAB II

A.    Pengertian Jual beli

Jual beli secara bahasa merupakan masdar dari kata bi’tu diucapkan ba’a-yabi’u bermakna memiliki dan membeli. Begitu juga kata syara mengandung dua makna tersebut, kata aslinya keluar dari kata alba’u karena masing masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskannya untuk mengambil dan memberikan sesuatu.
Pengertian jual beli secara syara adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan memberi kepemilikan.
Pendapat lain, jual beli ( al bay’) secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad yanh saling mengganti. Menurut syekh al qalyubi dalam hasyiyah bahwa : akad saling mengganti dengan harta yang berakibat terhadap kepemilikan suatu benda atau mamfaat untuk waktu tempo selamanya. 

B.     Dasar hukum jual beli


وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:
“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”(al-Baqarah/2: 275)
Dalil dari sunnah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh imam bukhari dari riwayat ibnu abbas radhiallahuanhu dia berkata , “ pasar Ukadz, Mujnah, dan Dzulmajaz adalah pasar pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang islam, mereka membencinya turunlah ayat firman Allah SWT:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ۚ
Artinya:
 “ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia ( rejeki hasil perniagaan ) dari Tuhanmu ... “ (Al – Baqarah : 198)

Kemudian dasar hukum jual beli dari hadits Rasulullah SAW;
Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra. Ia berkata, bahwasannya Rasulullah  SAW pernah ditanya: Usaha apakah yang paling halal itu (ya Rasulullah)? Maka beliau menjawab, “Yaitupekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli itu baik.” (HR. Imam Bazzar. Imam Hakim menyatakan shahihnya hadits ini)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)
Berdasarkan hadits-hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan.
1.      Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).

2.      Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).

C.    Rukun dan Syarat jual beli

1.      Rukun Jual beli
Jual beli yang sesuai dalam syariat islam harus sesuai dengan rukun dan syarat dari jual beli tersebut, sementara rukun dan syarat meupakan sesuatu yang harus dipenuhi agar jual beli dianggap sah. Karena Jual beli merupakan suatu akad. Maka harus di penuhi rujun dan syaratnya.
Mengenai rukun dan syarat jual beli, para ulama berbeda pendapat. Menrut mazhab Hanafi, rukun jual beli hanya ijab qabul dan yang menjadi rukun jual beli hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjua beli.  Ada dua indicator yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak, yaitu dalam bentuk perkataan ( ijab qabul ) dan dalam bentuk perbuatan ( penyerahan barang dan penerimaan uang).
            Jumhur Ulama membagi rukun jual beli menjadi empat :
a.       Orang yang berakad
b.      Sighat
c.       Ada barang yang dibeli.
d.      Ada nila tukar pengganti barang.
Namun mazhab Hanafi menganggap bawa orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang diatas termasuk syarat jual beli, bukan rukun.
2.      Syarat Jual beli
Jumhur ulama menjelaskan bahwa syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli itu yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
a.       Syarat orang yang berakad
Ulama fiqih sepakat, bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli harus memenuhi syarat – syarat:
1)      Berakal. Jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli itu harus telah akil baligh dan berakal. Apabila orang yang bertransaksi itu masih mumayyiz, maka transaksi jual beli itu tidak sah. Sekalipun mendapat izin dari walinya.
2)      Orang yang melakukan transaksi itu adalah orang yang berbeda. Maksudnya adalah bahwa seorang tidak boleh menjadi pembeli dan penjua pada waktu yang bersamaan.
b.      Syarat Yang terkait dengan Ijab Qabul
Ulama fiqih sepakat bahwa urusan utama jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli melalui terlihatnya ijab qabul yang diungkapkan secara jelas sehingga tidak terjadi penipuan dan dengan ijab qabul dpat mengikat kedua belah pihak. Syarat sebagai berikut  :
1)      Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang mengucapkan harus telah akil baligh dan berakal, sedangkan untuk mazhab Hanafi mensyaratkan bahwa hanya berakal saja.
2)      Kabul harus sesuai dengan ijab. Sebagai contoh : “ saya jual mobil ini dengan harga serratus juta rupiah”, lalu pembeli menjawab : “ Saya beli degan harga serratus juta rupiah.”

3)      Ijab qabul harus dilakukan dalam satu transaksi, dan tidak boleh terpisah. Mksudnya kedua belah pihak yang melakukan transaksi harus hadir pada waktu bersamaan.
c.     Syarat yang diperjual belikan
Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.
1)      Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
2)      Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang.
3)      Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya.
4)      Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar

d.   Syarat nilai tukar ( harga barang )
Ulama fiqih memberikan penjelasan bahwa syarat nilai tukar adalah sebagai berikut :
1)      Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2)      Dapat diserahkan pada waktu transaksi, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila dibayar kemudian (berhutang ) maka waktu pembayaran harus jelas waktunya.
3)      Jika jual beli itu dilakukan dengan cara barter, mka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara’seperti babi dan khamar.
Disamping itu, ulama fiqih juga mengemukakan beberapa syarat lain. Bahwa suatu jual beli baru dianggap sah apabila :Pertama, jual beli terhindar dari cacat.Mulai dari barang yang diperjual belikan tidak jelas sampai adanya paksaan dalam transaksi jual beli tersebut. Kedua, jika barang yang menjadi objek jual beli itu bergerak, maka otomatis menjadi milik pembeli dan harga menjadi milik penjual. Namun jika barangnya tidk bergerak, maka barang tersebut boleh dikuasai setelah surat menyurat diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di tempat tersebut.
Selanjutnya, apabila barang yang diperjualbelikkan bukan merupakan milik kekuasaan penuh dari orang yang berakad, maka jual beli tersebut tidak dapat dilakukan. Dan jika transaksi yang dilakukan terbebas dari khiyar, maka masing masing dari pihak sudah saling terikat. Maksud dari khiyar disini adalah masih adanya hak untuk meneruskan attau melanjutkan, maka masih belum terikat dan dapat dibatalkan. Apabila syarat syarat diatas telah terpenuhi, maka proses jual beli dianggap sah.

D.    Adab dan etika jual beli

Etika dalam berbisnis seperti yang telah diteladani Rasulullah yaitu Nabi Muhammad saw. Dimana sewaktu muda beliau berbisnis dengan memperhatikan kejujuran, kepercayaan dan ketulusan serta keramah-tamahan. Kemudian mengikutinya dengan penerapan prinsip bisnis dengan nilai siddiq, amanah, tablig dan fatanah, serta moral dan keadilan.
Sifat yang diajarkan islam dengan sgala akhlak yang mulia ( mahmudah ) merupakan sifat yang sebenarnya itu pula yang mesti diterapkan oleh para pengusaha produsen maupun konsumen atau baik penjual maupun pembeli sifat-sifat seperti berlaku jujur ( al-amanah ), berbuat baik kepada orang tua ( birr al-walidain ), memelihara kesucian diri ( al-iffah ), kasih saying ( al – Rahman dan al – barri) berlaku hemat ( al-iqtisad ), menerima apa adanya dan sederhana ( qana’ah dan zuhud ), perikelakuan baik ( ihsan ), kebenaran ( sidiq ), pemaaf (‘afu), keadilan (‘adl ), keberanian (ayaja’ah ), mali (haya’), kesabaran (sabr), berterimakasih ( syukur), penyantun (hindun), rasa sepenanggungan (muwasat ), kuat ( quwwah ) adalah sifat yang mesti

ditetapkan oleh umat islam secara umum di masyarakat dan sifat itu pula yang menjadikan Nabi Muhammad sebagai seorang pedagang yang berhasil tatkala melakukan perjalanan niaga baik untuk barang bawaan pamannya atapun Khadijah sebelum menjadi istrinya.
Menurut beberapa jurnal dan referensi lainnya, sifat dan perilaku itu dapat disebutkan secara ringkas diantaranya yaitu :
1.      Kejujuran. Mencakup seperti tidak melakukan penipuan, tidak menyembunyikan cacat pada barang dagang, menimbang barang dengan tepat, dll.
2.      Tidak bersumah palsu. Apalagi dengan maksud agar barang jualannya cepat laku dan habis terjual. Islam sangat mengecam hal itu karena termasuk pekerjaan yang tidak disukai islam.
3.      Amanah. Amanah memiliki arti kepercayaan yang diberikan kepada seseorang berkaitan dengan harta benda.
4.      Takaran yang benar. Nilai timbangan dan ukrang yang tepat serta standar benar benar harus di utamakan. Terdapat di surat Al-Muthaffifin.
5.      Gharar.
Gharar menurut Bahasa berrti al-khatar aitu sesuatu yang tidak diketahui pasti benar atau tidaknya, atau biasa disebut belum pasti yang dapat merugikan pihak – pihak yang bertransaksi diantara mereka atau yang biasa disebut dengan spekulatif. Atau biasa disebut dengan istilah juzaf yaitu jual beli yang biasanya suat barang ditakar tetapi kemudian tidak dilakukan dengan takaran.
6.      Tidak melakukan judi dalam jual beli semisal dengan cara melemparkan kepada suatu barang yang akan dibeli jika tidak maka pembelian tidak terjadi namun ngks dari harga telah terbayarkan kepada penjual.
7.      Tidak melakukan al-ghab (penipuan dan tadlis menyembunyikan kondisi utuh dari barang baik secara kualitas maupun kuantitas).
8.      Menjauhi Ikhtikar atau penimbunan barang. Ini tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat karena barang yang dibutuhkan tidak ada di pasar. Semisal,  Tujuan penimbunan dilakukan dengan sengaja sampai dengan batas waktu untuk menunggu tingginya harga barang tersebut.
9.      Saling menguntungkan. Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam bisnis para hak harus merasa puas dan untung.
10.  Larangan menjual barang haram, dalam hal zatnya. Hal iu karena akan berdampak pada tidak berkahnya transaksi jual beli tersebut.
11.  Larangan mengambil Riba. Krena segala macam riba itu diharamkan dalam islam.
12.  Larangan menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain yaitu ketika suatu barang telah disepakati antara penjual dan pembeli yang pertama lalu dating serang pembeli yang menawar dengan harga yang lebih mahal.
13.  Larangan brjualan ketika dikumandangkan azan jumat. Hal ini dipruntukkan untuk menghargai masuknya ibadah jumat.

E.     Jual beli yang dibolehkan dan diharamkan

1.      Macam jual beli yang di halalkan
a.       Hukum Mata Uang Kertas
Menggunakan mata uang kertas untuk membayarkan kewajiban, seperti : zakat, nafaqah, dan lain lain. Ini hukumnya halal. Sebagaimana apabila seseorang telah mempunyai uang yang cukup maka wajib baginya menunaikan ibadah haji atau membayar utang yang ditangguhnya. Namun, uang kertas sama hukumnya dengan mata uang emas dan perak, yaitu harus bertransaksi dengan sama sama dalam bobot ? timbangan dan harus di serahterimakan sebelum kedua belah pihak berpisah. Atau dengan kata lain uang kertas tidak boleh dilakukan dengan cara riba.
b.      Hukum Perdagangan mata uang
Melakukan perdagangan dengan cara jual beli satu mata uang dengan mata uang lainnya disebut juga musharafah( pertukaran mata uang ), baik dilakukan di bank maupun pasar bebas. Apabila mata uang yang ditukarkan sejenis, maka harus memenuhi  2 syarat yaitu mempunyai ukuran yang sama dan diserahterima dalam majelis akad, namun apabila jenis mata uangnya

berbeda, maka harus memenuhi satu syarat yaitu diserahterimakan secara langsung di tempat akad, dan dibolehkan adanya selisih atau perbedaan jumlah.
c.       Hukum menjual darah
Darah termasuk barang najis yang tidak boleh dipergunakan dan diambil ebaga obat atau untuk keperluan lain. Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat dan menjadikan bagi setiap penyakit disertai obatnya. Maka berobatlah kalian dan jangan berobat dengan Sesutu yang haram.”(HR. Abu Dawud). Tetapi apabila seseorang menderita penyakit yang sangat parah dan memerlukan darah untuk penyembuhannya, maka diperbolehkan, bahkan dapat dihukumi wajib karena untuk menyelamatkan nyawanya.
Adapun mengenai pembayaran atas penggunaan darah itu diharamkan oleh Allah kecuali apabila terdapat kesulitan untuk mendapatkan darah kecuali membeli, maka dibolehkan. Dan bagi pemili darah diharamkan untuk meminta pembayaran atau menjualnya.
d.      Hukum menjual beli minyak kasturi dalam botolnya.
Disebutkan dalam kitab al-iqna’ dan Syarah-nya : Tidak dibolehkan menjual minyak kasturi dalam botolnya. Sedangkan dalam kitab al-Huda memungkinkan unuk dikompromikan, yakni ada beberapa hal yang tidak dapat diketahui semua orang, tetapi hanya diketahui oleh orang orang ahli saja. Maka menjual barang tersebut kepada orang yang sudah mempunyai pemahaman tentangnya diperbolehkan, karena tidak adanya sesuatu yang tidak diketahui. Tetapi jika dijual kepada selain mereka tidak dibolehkan, karena tidak adanya pemahaman tentang barang tersebut.
e.       Hukum jual-beli radio
Tidak ada larangan menjual dan membeli radio sebagaimana barang mubah lainnya. Tetapi menjualnya harus kepada orang yang mengetahui kegunaannya, yaitu untuk mendengarkan alat-alat musik, lagu-lagu,dan sebagainya.

f.       Hukum menjual Mushaf
Hukum menjual mushaf kepada kaum muslimin adalah mubah dan tidak diharamkan karena umumnya karena umumnya kebutuhan sedangkan yang dilarang adalah jika mushaf tersebut tidak dimuliakan dalam menjaganya dan mempergunakannya dalam jual-beli tersebut.
g.      Hukum menjual amanah ( Titipan )
Disebutkan dalam al-iqna’ dari pendapat Syekh Taqiyyudin mengenai hukum menjual amanah, bahwa itu termasuk akad yang batil. Maka wajib mengembalikan jual-beli tersebut kepada penjualnya dan pembeli harus mengembalikan barang yang telah diterimanya dari penjual dan memberi upah atas barang yang telah dia manfaatkan.
Apabila uang hasil penjualan sudah dimanfaatkan, dan pembeli tidak mendapatkan pengembalian dari pembayaranny, maka apabila keduanya sepakat, saling mengembalikan apa yang sudah diterima sementara pembeli telah mengambil manfaat dari barang tersebut, dan penjual telah memanfaatkan uang hasil penjualannya, keduanya tidak wajib memberikan upah atas pemanfaatannya.
h.      Hukum menjual pupuk kompos yang suci
Tidak masalah menjual kompos yang suci, seperti kompos kotoran kambing, unta, dan sapi. Kotoran binatang yang halal dimakan dagingnya hukumnya suci dan tidak masalah menjualnya dan hasil penjualan boleh dipergunakan. Tetapi apabila kotoran dari hewan yang meragukan atau syubhat adalah kompos yang najis atau terkena najis,  maka itu tidak diperbolehkan menjual dan menggunakan hail penjualannya.
i.        Hukum Menjual kontrak
Jika hukum menjual kontrak yang sesuai dengan rukun dan syarat dalam jual-beli itu halal, tetapi jika mengambil keuntungan dari transaksi tersebut maka hukumnya haram. Seperti jika anda sudah mengontrak pada seseorang untuk mencarikan pekerja dengan imbalan tertentu, dan anda meminta “uang pelicin” kepada para calon pekerja yang memnginginkan pekerjaan tersebut,

maka itu haram hukumnya karena anda telah mengambilnya dengan cara yang zalim, dan wajib mengembalikan uang tersebut kepada para calon pekerja.
j.        Hukum mengambil uang panjar
Hukum mengambil uang panjar itu tidak masalah asalkan terdapat kesepakatan dahulu antara penjual dan pembelinya bahwa jual-beli yang dilakukan tidak sempurna.
k.      Hukum Muamalah yang batil.
Jika yang terjadi seperti ini “ ada seseorang yang sedang membutuhkan uang, lalu ia meminjamkan uang sebesar 12.000 real Ia menjual mobilnya kepada orang tersebut, dan mencatatnya dengan harga 21.000 real, orang tersebut belum pernah melihat mobil yang di belinya. Ia dengan orang tersebut sudah menyepakati pembayaran dan membayar setengah dari harga mobil tersebut. Pada peristiwa ini telah terjadi muamalah yang batil, karena terjadinya riba fadhl dan riba nasi’ah sekaligus.Seharusnya orang tersebut hanya menerima uang pokoknya saja.
l.        Hukum jual beli kaset video dan majalah
Sebenarnya menjual kaset video yang isinya mengandung unsur unsur syar’I masih dipebolehkan, tetapi jika menjual yang mengandung unsur perzinahan, fitnah, dan perbuatan yang menyimpang, maka itu haram dan tidak diperbolehkan. Terdapat dalam Q.S Al-Maidah : 2 .
m.    Hukum ‘Inah
Jika terdapat seseorang yang membeli sesuatu kepada seseorang, dan menjualnya kembali pada pemiliknya dengan cara tempo dan dengan harga yang lebih mahal, itu tidak dierbolehkan karena masuk kedalam ‘inah. Karena meskipun tidak bertujuan melakukan jual-beli yang pertama agar dapat melakukan ual-beli yang kedua, tetapi terdapat jalan dan wasilah ke riba, dan wasilah kepada riba itu dilarang.

F.     Khiyar

1.      Pengertian Khiyar

Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratanyang artinya memilih yang terbaik. Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.Sayyid Sabiq memberikan definisi khiyar sebagai berikutkhiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskan (akad jual beli) atau membatalkannya.Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan penyesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu kalau pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya, kalau kedua belah pihak menghendakinya.
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju.
2.      Dasar Hukum Khiyar
Berdasarkan prinsip wajib menegakkan kejujuran dan kebenaran dalam perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara sunnah tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Al-Harits:Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari)
Disamping itu ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Umar; Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari)
Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (‘aib) yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan oleh syari‟at Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqih adalah disyari‟atkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu
3.      Macam-macam Khiyar
Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syari’at Islam adalah adanya hak kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan atau membatalkan transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah untuk kemaslahatan bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi itu sendiri, memelihara kerukunan, hubungan baik serta menjalin cinta kasih di antara sesama manusia. Adakalanya seseorang sudah terlanjur membeli barang,

sekiranya hak khiyar ini tidak ada, maka akan menimbulkan penyesalan salah satu pihak dan dapat menjurus pada kemarahan, kedengkian, dendam dan persengketaan dan juga perbuatan buruk lainnya yang dilarang oleh agama.
Syari’at bertujuan melindungi manusia dari keburukan-keburukan itu, maka syari’at menetapkan adanya hak khiyar dalam rangka tegaknya keselamatan, kerukunan dan keharmonisan dalam hubungan antar manusia. Berdasarkan dari hal tersebut ada beberapa macam khiyar yang perlu untuk diketahui. Adapun macam khiyar tersebut antar lain:
a.       Khiyar Majelis
Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai sempurna, berlaku dan wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan tempat berkumpul dan terjadinya akad apapun keadaan pihak yang berakad. Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟ bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah.
Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah memalingkan badan untuk meninggalkan tempat transaksi. Pada prinsipnya khiyar majlis berakhir dengan adanya dua hal:
1)      Keduanya memilih akan terusnya akad
2)      Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli
Tidak ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang mengatakan bolehnya khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang boleh, dan bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk

mem-fasakh atau meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih meneruskan akad.
b.      Khiyar Syarat
Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia bisa membatalkannya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah suatu bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.
Dasar hukum khiyar syarat adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu UmarDari Ibnu Umar r.a dari Rasulullah saw beliau bersabda: “ Apabila dua orang melakukan jual beli, maka masing-masing pihak berhak melakukan khiyar, baik kedua-duanya maupun salah satunya. Apabila salah satu dari keduanya melakukan khiyar terhadap yang lainnya, kemudian mereka berdua melakukan jual beli atas dasar kesepakatan mereka, maka jual beli telah wajib dilaksanakan. Apabila mereka berpisah setelah melakukan jual beli dan salah satu pihak tidak meninggalkan jual beli, maka jual beli wajib dilaksanakan”. (HR. Muttafaq ‘alaih, dan redaksi dari Muslim)
Khiyar syarat disyari‟atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang berakad, atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang kemungkinan di dalamnya terdapat unsur penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang yang berakad dalam masa khiyar syarat dan waktu yang telah ditentukan satu kesempatan untuk menunggu karena memang diperlukan. Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa khiyar syarat sah jika waktunya diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak termasuk barang yang cepat rusak dalam tempo ini.
c.       Khiyar Aib
Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang diduga sebelumnya. Khiyar ‘aib merupakan hak pembatalan jual beli dan pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang.
Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang mengakibatkan berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli dibidangnya. Menurut ijma‟ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh dilakukan pada waktu akad berlangsung, sebagaimana yang diterangkan dalam suatu hadis, yaitu hadis ‘Uqbah bin Amir r.a, dia berkata,  Aku mendengar Rasulullah bersabda:
Dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang muslim adalah saudaranya muslim lainnya, tidak halal bagi seorang muslim apabila menjual barang jualannya kepada muslim lain yang didalamnya ada cacat, melainkan ia harus menjelaskan (aib atau cacatnya) itu kepadanya”. ( HR. Al-Hakim dari ‘Uqbah Ibnu Amir).
Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar setelahnya.Alasannya ia telah rela dengan barang tersebut beserta kondisinya. Namun jika pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut dan mengetahuinya setelah akad, maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli berhak melakukan khiyar antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi sesuai dengan adanya cacat. Dimyauddin Djuwaini mengatakan bahwa khiyar ‘aib bisa dijalankan dengan syarat sebagai berikut:
1)      Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah terima, jika aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.
2)      Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.

3)      Pembeli tidak mengetahui adanya ‘aib atas obyek transaksi, baik ketika melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembelimengetahui sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.
4)      Tidak ada persyaratan bara’ah (cuci tangan) dari „aib dalam kontrak jual beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
5)      ‘Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akadpembeli diperbolehkan memilih antara mengembalikan yang telah dibeli dan mengambil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh ganti apapun dari pihak penjual. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa pembeli tetap membawa barang yang dibelinya sedang penjual memberikan ganti rugi cacatnya kebanyakan fuqaha anshar membolehkannya.
d.      Khiyar Ru’yah
Khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.
Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Sedangkan menurut Imam Syafi’i khiyar ru’yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula dianggap tidak sah.Syarat Khiyar Ru’yah bagi yang membolehkannya antara lain:
1)      Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
2)      Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat transaksi.
3)      Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.

G.    Praktik jual beli di masyarakat

1.      Jual beli secara online

Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya sistem penukaran barang  hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran antara  penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang disertai dengan transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan kemudahan  fasilitas dan  semakin canggihnya tekhnologi, proses jual beli yang tadinya mengharuskan cara manual bisa saja dilakukan via internet.
Pertanyaan ini mirip dengan yang pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Adapun jawabannya adalah bahwasannya Hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya  dengan dasar pengambilan hukum;
a. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:

وَالْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِمَعَانِيهَا لَا لِصُوَرِ الْأَلْفَاظِ وَعَنِ الْبَيْعِ وَ الشِّرَاءِ بِوَاسِطَةِ التِّلِيفُونِ وَالتَّلَكْسِ وَالْبَرْقِيَاتِ كُلُّ هذِهِ الْوَسَائِلِ وَأَمْثَالِهَا مُعْتَمَدَةُ الْيَوْمِ وَعَلَيْهَا الْعَمَلُ
Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.

b. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:

وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا مَرَّ (بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ثَمَنًا أَوْ مُثَمَّنًا وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا يَأْتِي أَوْ رَآهُ فِي ضَوْءٍ إنْ سَتَرَ الضَّوْءُ لَوْنَهُكَوَرَقٍ أَبْيَضَ فِيمَا يَظْهَرُ
Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual beli barang ghaib), yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari. Meskipun barang tersebut ada dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail atau sudah terkenal secara luas -mutawatir-, seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut kajian yang kuat.
Dalam pandangan madzhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua),  barang yang diperjual belikan disyaratkan dapat  dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli karena Rasulullah melarang praktek yang demikian, sebagaimana  dalam sebuah hadis dinyatakan:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan. (HR.Muslim).
2. Jual beli dengan sistem kredit
Salah satu kegiatan bisnis yang terjadi di zaman modern ini adalah jual beli barang secara kredit dengan harga yang labih tinggi dari pada biasanya. Prakteknya adakalanya si tukang kredit memasang dua harga, jika beli secara kredit harganya sekian dan kalau tunai harganya sekian.
Tetapi adakalanya memang si tukang kredit hanya menjual barang secara kredit saja. Tentu harga jual barang secara kredit lebih mahal dari pada jual

kontan. Bagaimana status hukum dari transaksi seperti ini?
Para ulama merumuskan kaidah tentang hukum transaksi (mu’amalah) bahwa pada prinsipnya hukum bertransaksi adalah boleh (mubah) kecuali kalau di dalamnya terdapat unsur penipuan (gharar), sepekulasi (maysir), riba dan  barangnya dijual dua kali.
Ada istilah yang umum yakni transaksi “dijual dua” yakni menjual suatu barang kepada dua orang atau lebih, atau mentransaksikan suatu barang dengan harga kredit dan harga tunai tetapi si pembeli langsung membawanya tanpa menjelaskan apakah membeli dengan secara tunai atau dengan secara kredit.
Nah, untuk transaksi model kredit ini, para ulama berbeda pendapat:
a. Jumhur ahli fiqih, seperti mazhab Hanafi, Syafi'i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi berpendapat, bahwa jual-beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang membolehkan.
b. Jumhur ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.
c. Pendapat lainnya mengatakan bahwa upaya menaikkan harga di atas yang sebenamya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (tambahan harga karena limit waktu) yang jelas dilarang oleh nash Al-Qur’anul Karim. Jadi, menurut hemat saya, transaksi jual beli secara kredit hukumnya sah dan halal asalkan akad (transaksinya) antara penjual dan pembeli dilakukan secara jelas (aqd sharih). Artinya, antara penjual dan pembeli sama-sama mengetahui dan terdapat kesepakatan harga barang dan batas waktu pada saat akad. Transaksi jual beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih ’adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan mensepakati batas waktu dan harga barang). Jangan sampai akad sudah selesai dan barang sudah di bawa pulang sementara antara penjual dan pembeli belum ada kesepakatan, apakah membeli secara tunai atau kontan. Sehingga si pembeli memutuskan sendiri dalam akadnya setelah beberapa waktu dari waktu transaksi. Ketidakjelasan seperti ini hukumnya haram karena akadnya tidak jelas (sharih).

H. Jual beli Salam dan Ji’alah

1. Pengertian Jual Beli as - Salam

As-salam dalam istilah fikih disebut juga as-salaf kedua kata memiliki makna yang sama, yaitu mendahulukan pembayaran dan mengakhirkan barang. Penggunaan kata as-salam biasanya digunakan oleh orang-orang Hijaz, sedangkan penggunaan kata as-salaf biasanya digunakan oleh orang-orang Irak. Secara terminologis, salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.1 Menurut Sayyid Sabiq, as-salam adalah penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tangguan dengan pembayaran segera atau disegerakan. Selain definisi tersebut, terdapat beberapa definisi lain mengenai salam yang berkembang dikalangan fuqaha, antara lain:
Syafi’iyah dan Hambali mendefinisikan jual beli salam adalah:
“Akad yang disepakati dengan menetukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya lebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majlis akad”
Malikiyah mendefinisikan jual beli salam sebagai berikut :
Jual beli yang modalnya dibayar dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang disepakati.Diriwayatkan pula hadith oleh Imam Bukhari dari'Abdurrahman bin Abzaa dan 'Abdullah bin Abi Aufaa yang berbunyi;
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Sulaiman Asy- Syaibaniy dari Muhammad bin Abi Al Mujalid berkataAbdullah bin

Syaddad dan Abu Burdah mengutusku untuk menemui 'Abdurrahman bin Abzaa dan 'Abdullah bin Abi Aufaa lalu aku menanyakan keduanya tentang jual beli As- Salaf. Keduanya berkata: "Kami pernah mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu datang kepada kami bangsa blasteran dari penduduk negeri Syam, kemudian kami berjual beli dengan cara As-Salaf pada biji gandum, padi dan kismis untuk jangka waktu tertentu". Dia berkata; Aku tanyakan: "Apakah saat itu mereka memiliki pertanian atau tidak?" Keduanya menjawab: "Kami tidak pernah menanyakan hal itu kepada mereka.
Sabda Rasulullah ini muncul ketika beliau pertama kali hijrah ke Madinah, dan mendapati parta penduduk Madinah melakukan transaksi jual beli salam . Jadi Rasulullah Saw membolehkan jual beli salam asal akad yang dipergunakan jelas, ciri-ciri barang yang dipesan jelas, dan ditentukan waktunya.Berdasarkan hadith tersebut, jual beli salam ini hukumnya dibolehkan, selama ada kejelasan ukuran, timbangan, dan waktunya yang ditentukan. Dasar hukum jual beli ini telah sesuai dengan tuntutan syariat dan kaidah-kaidahnya. Bahkan dalam prakteknya, jual beli salam juga tidak menyalahi qiyas yang membolehkan penangguhan penyerahan barang seperti halnya dibolehkannya penangguhan dalam pembayaran.
Adapun rukun jual beli salam menurut jumhur ulama
a. Al-aqid,
adalah orang yang melakukan akad. Dalam perjanjian salam, aqid pihak penjual disebut dengan al - muslam ilaih (orang yang diserahi) dan pihak pembeli disebut al – muslam atau pemilik as - sala m (yang menyerahkan). Keberadaan aqid sangatlah penting, sebab tidak dapat dikatakan akad jika tidak ada aqid begitu pula tidak akan terjadi Ijab dan qabul salam tanpa adanya aqid
b. Objek jual beli
Yaitu harga dan barang yang dipesan. Barang yang dijadikan sebagai objek jual beli disebut al - Muslam Fih. Barang yang dipesanharus jelas ciri-cirinya dan waktu penyerahannya. Harga dalam jual beli
c. Shigat (Ijab dan Qabul
Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul(penerimaan ikatan)sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan. Yang dimaksud dengan “sesusai kehendak syari’at” adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh, apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaanorang lain. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab kepada pihak lain (yang menyatakan qabul).

2. Pengupahan (Ji’alah)

a. Pengertian dan Dasar Hukum Ji’alah
Ji’alah menurut bahasa ialah upah atau pemberian sedangkan menurut istilah adalah apa yang diberikan kepada seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya.Sedangkan ji’alah menurut istilah adalah sejenis akad untuk suatu manfaat materi yang diduga kuat dapat diperoleh.
Menurut Helmi Karim ji’alah adalah upah atas suatu prestasi, baik prestasi itu tercapai karena sesuatu tugas tertentu yang diberikan kepadanyaatau prestasi karena suatu ketangkasan yang ditunjukkan dalam suatu perlombaan.Pengertian upah menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia adalah uang atau alat pembayaran lain yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa atau sebagai pembayaran tenaga yang sudah dilakukan untuk mengerjakan sesuatu.Sedangkan upah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang, sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang- undangan termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu jasa dan atau pekerjaan yang telah atau sedang dilakukan.
Afzalurrahman juga mengatakan bahwa upah adalah harga yang dibayarkan pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan. Seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberi imbalan atas jasanya. Dengan kata lain upah adalah harga dari tenaga yang dibayar atas jasanya dalam

produksi.Menurut pernyataan Benham : “Upah dapat didefinisikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh orang yang memberi pekerjaan kepada seorang pekerja atas jasanya sesuai perjanjian”.
Menurut Taqiyudin An-Nabani upah juga dikatakan dengan ijarah, yakni transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid dijelaskan yang dimaksud dengan upah adalah Al- Ju’l, yakni pemberian upah atas suatu manfaat yang diduga bakal terwujud. Menurut Muhammad Rawwas Qal’ahji dalam buku Mausu’ah Fiqhi Umar Ibnil Khattab r.a. yang di maksud dengan ji’alah adalah
دينار فله حصاضى عليّ ردّ من آقوله علمه عسر مجهول معين او عمل على معلوم عواض التزام هي الجعالة
Artinya: “Ji’alah adalah kewajiban memberikan upah yang jelas atas suatupekerjaan tertentu atau pekerjaan yang tidak jelas dan belumdiketahui. Misalnya ada yang berkata “siapa yang bisamengembalikan kuda saya, maka akan saya beri satu dinar”.
Sebagai dasar dan landasan hukum dibolehkannya ji’alah adalah firman Allah SAW dalam al-Qur’an;
زَعِيمٌ بِهِ وَأَنَا بَعِيرٍ حِمْلُ بِهِ جَاءَ وَلِمَنْ الْمَلِكِ صُوَاعَ نَفْقِدُ قَالُوا
Artinya : “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”(Q.S. Yusuf; 72)

b. Rukun dan Syarat Ji’alah
Rukun dan syarat pengupahan (ji’alah) adalah sebagai beikut :
1) Lafadz, kalimat itu harus mengandung arti izin kepada orang yang akan bekerja
2) Orang yang menjanjikan upah, dalam hal ini orang yang menjanjikan upah itu boleh orang yang memberikan pekerjaan itu sendiri atau orang lain.
3) Pekerjaan yang akan dilakukan
4) Upah, harus jelas berapa yang akan diberikan sesuai dengan transaksi yang telah dilakukan.
c. Sistem Pengupahan

Dalam Pengupahan terdapat dua sistem, yaitu :
1) Sistem Pengupahan dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan, seperti dalam shalat, puasa, haji dan membaca al-Qur’an dipersilisihkan kebolehannya oleh para ulama’ karena berbeda cara pandangan terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Menurut Imam Hanafi bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, dan membaca al-Qur’an yang pahalanya dijadikan kepada orang tertentu haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut. Mazhab Syafi’i dan Maliki ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mangajar al-Quran dan ilmu-ilmu, karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagai imbalan mangajar al-Qur’an dan pengajaran ilmu baik secara bulanan atau sekaligus karena nash yang melarang tidak ada.Pendapat lain yang dikemukakan oleh Sabiq (1983:205) ulama’ memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti para pengajar al-Qur’an.
Menurut Imam Hambali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan adzan, qamat, mengajarkan al-Qur’an, fiqh, hadis, badal haji dan puasa qadha’ adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Tapi boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada masalih, seperti mengajarkan al-Qur’an, hadits dan fiqh, dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca al-Qur’an, shalat dan lainnya.
2) Sistem Pengupahan dalam Pekerjaan yang Bersifat Matrial
Dalam melakukan pekerjaan dan besarnya pengupahan seseorang itu ditentukan melalui standar kompetensi yang dimilikinya, yaitu:
a. Kompetensi teknis, yaitu pekerjaan yang bersifat ketrampilan teknis, contoh pekerjaan berkaitan dengan mekanik perbengkelan, pekerjaan di proyek-proyek yang bersifat fisik, pekerjaan di bidang industri mekanik lainnya.
b. Kompetensi sosial, yaitu pekerjaan yang bersifat hubungan kemanusiaan, seperti pemasaran, hubungan kemasyarakatan, dan lainnya.
c. Kompetensi manajerial, yaitu pekerjaan yang bersifat penataan dan pengaturan usaha, seperti manajer keuangan dan lainnya.
d. Kompetensi intelektual, yaitu tenaga di bidang perencanaan, konsultan, dosen, guru dan lainnya.
Jumhur ulama’ tidak meberikan batasan maksimal atau minimal, jadi diperbolehkan dengan sepanjang waktu dengan tetap ada, sebab tidak ada dalil yang mengharuskan membatasinya.
Ulama’ Hanafiyah tidak menetapkan pekerjaan tentang awal waktu akad. Sedangkan Ulama’ Syafi’iyah mensyaratkan sebab kalau tidak dibatasi hal itu menyebabkan tidak diketahuinya awal waktu yang wajib dipenuhi.
d. Operasionalisasi Ji’alah
Adapun operasionalisasi ji’alah adalah:
1) Pengupahan (ji’alah) adalah akad yang diperbolehkan kedua belah pihak yang bertransaksi dalam pengupahan diperbolehkan membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai, maka pekerjaan tidak mendapatkan apa-apa. Jika pekerjaan terjadi ditengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaan.
2) Dalam pengupahan, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang berkata, ” barang siapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia mendapat hadiah satu dinar” maka orang yang berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati menemukannya setelah sebulan atau setahun.
3) Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, maka upah atau hadiahnya dibagi secara merata antara mereka.
4) Pengupahan tidak tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi seseorang tidak boleh berkata, ”barang siapa menyakiti atau memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan upah sekian.
5) Barang siapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau mengerjakan sesuatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau didalamnya terdapat upah, ia tidak berhak atas upah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara suka rela sejak awal. Jadi ia tidak berhak mendapatkan upah tersebut

kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuannya maka ia diberi upah sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
6) Jika seseorang berkata, ”barang siapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas upah”, maka ji’alah seperti itu diperbolehkan, kecuali ia berkata ”barang siapa makan dan tidak memakan sesuatu daripadanya, ia berhak atas upah”, maka ji’alah tidak sah.
7) Jika pemilik upah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ji’alah, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pemilik ji’alah dengan disuruh sumpah. Jika keduanya berbeda pendapat tentang pokok ji’alah, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.
e. Pembatalan ji’alah
Tiap-tiap kedua belah pihak, boleh membatalkan atau menghentikan perjanjian sebelum bekerja dan dia tidak mendapat upah walaupun dia sudahbekerja. Tetapi kalau yang membatalkan dari pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dikerjakan. Ji’alah adalah jenis akad jaiz, yang kedua belah pihak boleh memfasakhnya. Adalah menjadi haknya si pemegang (pelaksana) ji’alah untuk memfasakh, sebelum ia menyukseskan pekerjaan, dan ia pun berhak untuk membatalkan sesudah itu, jika ia merelakan hanya gugur.

I.    Hikmah dari Jual Beli

1.    Mencari dan mendapatkan karunia Allah
Setiap perbuatan dan amal yang kita lakukan haruslah diniatkan semata-mata demi menggapai ridho Allah. Semua sholat, puasa dan ibadah yang kita lakukan semata-mata karena mengerjakan perintah dari Allah SWT. Begitu juga dalam hal mua’malah.
2.    Menjauhi Riba
Dengan adanya hukum jual beli yang sesuai syari’at maka transaksi dalam islam dapat terhindar dari hal-hal yang merugikan, seperti penipuan, suap-menyuap, dsb. Allah SWT pun telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
3.    Menegakkan keadilan dan keseimbangan dalam ekonomi
Praktik jual beli yang sesuai syari’at dapat menghindarkan kita dari unsur-unsur merugikan, sehingga dapat menghasilkan keadilan bagi pihak pembeli dan penjual. Dengan terhindarnya dari praktik-praktik negatif tersebut maka keseimbangan ekonomi masyarakat pun akan terwujud.
4.    Menjaga kehalalan rezeki
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, dengan adanya praktik jual beli berdasarkan syar’at islam sehingga harta dan rezeki kita dapat menjadi halal sekaligus terhindar dari riba.
5.    Produktivitas dan perputaran ekonomi
Ekonomi akan berjalan secara dinamis dan tidak dikuasai oleh satu orang saja yang mengkonsumsi barang atau jasa. Untuk itu proses jual beli yang dilakukan dengan adil dan seimbang akan membuat keberkahan rezeki bagi masyarakat.
6.    Silaturahmi dan memperbanyak jejaringan.
Berbagai kebutuhan akan kita beli di orang yang berbeda, untuk itu setiap transaksi jual beli kita akan mendapatkan orang-orang yang berbeda disetiap harinya. Untuk itu jejaringanpun akan semakin banyak. Dengan silaturahmi dan jejaringan, tentunya hal tersebut dapat menambahkan keberkahan harta dan rezeki kita.


BAB III

PENUTUP 

A.    Kesimpulan

Bagi umat Islam yang melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada norma-norma hukum Islam, akan mendapatkan berbagai hikmah diantaranya; (a) bahwa jual beli (bisnis) dalam Islam dapat bernilai sosial atau tolong menolong terhadap sesama, akan menumbuhkan berbagain pahala, (b) bisnis dalam Islam merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersihan dan halalnyabarang yang dimakan untuk dirinya dan keluarganya, (c) bisnis dalam Islam merupakan cara untuk memberantas kemalasan, pengangguran dan pemerasan kepada orang lain, (e) berbisnis dengan jujur, sabar, ramah, memberikan pelayanan yang memuaskan sebagai mana diajarkan dalam Islam akan selalu menjalin persahabatan kepada sesama manusia.

DAFTAR PUSTAKA


Li, B. A. B. and Khiyar, A. P. ‘Jusmaliani dkk, Bisnis Berbasis Syariah, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, halaman. 14. 16’, pp. 16-37.
Ghazaly, A.R. and Muamalat, F. ‘No Title’,pp. 1-12.
Rahmat Syafi’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001)
Siswadi (2013) ‘Jual Beli Dalam Prespektif Islam’, Ummul Qaro, 3(Jurnal Ummul Qura Vol. III, No. 2, Agustus 2013), pp. 59-65.
Muhammad A ‘Fiqh Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam’, Jakarta: AMZAH, 2010.
Syaifullah, S ‘Etika Jual Beli dalam Islam’, Palu,(Jurnal Studia Islamika Vol.XI, No. 2, Desember 2014, 371-387.

1 comment:

  1. Harrah's Las Vegas Casino & Resort - DRMCD
    Harrah's Las Vegas is located bet365 just 고양 출장안마 outside of the 충청북도 출장샵 Las Vegas Strip and just a short drive from 태백 출장샵 other Las Vegas Strip attractions. 경상남도 출장안마 The casino's sister property,

    ReplyDelete