Iklan

Jumat, 13 Juli 2018

Makalah [Fiqih] Syirkah (Kerjasama)



KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa solawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw., yang telah membimbing umatnya hingga sampai pada zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan ini.
Makalah ini susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih Muamalah, yang membahas tentang “SYIRKAH”. Kami menyadari bahwa masih terdapat beberapa kelemahan atau kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, segala tegur sapa, kritik, koreksi dan saran yang diberikan akan sangat membantu kami dalam menyusun makalah selanjutnya.
            Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis khususnya, Aamiin.
Bandung, Maret 2018


      Tim penyusun





           


BAB 1
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
            Syirkah atau sering juga disebut dengan syarikah atau musayarakah adalah bentuk perseroan dalam Islam yang pola operasionalnya melekat prinsip kemitraan usaha dan bagi hasil. Secara prinsip, syirkah berbeda dengan model perseroan dalam sistem ekonomi kapitalisme. Perbedaaan-perbedaan yang ada tidak hanya terletak pada tidak adanya praktik bunga dalam model ini, tetapi juga berbeda dalam hal transaksi pembentukannya, operasionalnya maupun pembentukan keuntungan dan tanggung jawab kerugian (Faruq, 2000).
Model syirkah merupakan sebuah konsep yang secara tepat dapat memecahkan permasalahan permodalan. Satu sisi, prinsip Islam menyatakan bahwa segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh orang lain berhak memperoleh kompensasi yang saling menguntungkan, baik terhadap barang modal, tenaga atau barang sewa. Di sisi lain Islam menolak dengan tegas kompensasi atas barang modal berupa bunga (Chapra, 1999).
Ahli ekonomi Islam mendukung pentingnya syirkah dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kesulitan ekonomi sering terjadi karena pemilik modal tidak mampu mengelola modalnya atau memiliki kemampuan mengelola modal tetapi tidak memiliki modal tersebut. Semua hal tersebut dapat terpecahkan dalam syirkah yang dibenarkan dalam syariat Islam (Qardawi, 1997). Dalam kerangka keterbatasan modal bagi para pelaku usaha, Islam memberikan alternatif kemitraan berupa pembiayaan tanpa riba. Pembiayaan tanpa riba yang dimaksud adalah qard al-hasan dan syirkah. Qard al-hasan adalah pembiayaan yang dilakukan tanpa kompensasi apapun. Bentuk pembiayaan ini hanya bersifat tolong memolong dengan saling keridhaan antar pelaku usaha. Biasanya model qarh al-hasan ini dilakukan dalam jangka pendek. Berdasarkan sifatnya tersebut maka syirkah menjadi alternatif lain dalam umat Islam melakukan usaha yang mengharapkan kompensasi keuntungan dalam usaha yang dilakukan (Yusanto, 2009).
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah “bagaimana konsep syirkah (kerja sama) ?”, yang kemudian dirinci menjadi beberapa fokus masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian syirkah ?
2.      Apa dasar hukum syirkah ?
3.      Apa saja macam-macam syirkah ?
4.      Bagaimana rukun dan syarat syirkah ?
5.      Bagaimana praktek syirkah dalam kehidupan ?
6.      Cara membagi keuntungan dan kerugian dalam syirkah ?
7.      Bagaimana pailit dalam syirkah ?
8.      Apa saja hal yang membatalkan syirkah ?
9.      Apa perbedaan syirkah dan mudharabah ?
10.  Apa saja hikmah syirkah ?
C.   Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui pengertian syirkah.
2.      Mengetahui dasar hukum syirkah.
3.      Mengetahui rukun dan syarat syirkah.
4.      Mengetahui macam-macam syirkah.
5.      Mengetahui praktek syirkah dalam kehidupan.
6.      Mengetahui cara membagi keuntungan dan kerugian dalam syirkah.
7.      Mengetahui pailit dalam syirkah.
8.      Mengetahui hal yang membatalkan syirkah.
9.      Mengetahui perbedaan syirkah dan mudharabah.
10.   Mengetahui hikmah syirkah.



1.      Menurut Bahasa
Syirkah (شِرْكَتٌ) adalah :
الْاِخْتِلَاطُ اَيْ خَلْطُ اَحَدِ الْمَا لَيْنِ بِا لْاَخَرِبِحَيْثُ لَا يَمْتَازَانِ عَنْ بَعْضِهِمَا
Bercampur yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan anatara keduanya.
2.      Menurut Istilah
Keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang ditetapkan berdasarkan perjanjian utnuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan atau kerugian dalam bagian yang ditentukan.
3.      Menurut Pandangan Ulama
a.     Menurut Hanafiah
اَلشِّرْكَةُ هِيَ عِبَارَةٌ عَنْ عَقْدٍ بَيْنَ الْمُتَشَارِكَيْنِ فِيْ رَاْ سِ الْمَالِ وَالرِّبْحِ
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang beserikat didalam modal dan keuntungan.
b.      Menurut Malikiyah
الْشِّرْكَةُ هِيَ اِذْنٌ فِي التَّصَرُّفِ لَهُمَا مَعَ اَنْفُسِهِمَا اَيْ اَنْ يَاْذَنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الشَرِيْكَيْن لِصَاحِبِهِ فِيْ اَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ مَالٍ لَهُمَا مَعَ اِبْقَاءِ حَقِّ التَصَّرُّف لِكُلِّ مِنْهُمَا
Syirkah adalah persetujuan untuk melakukan tasarruf bagi keduanya beserta diri mereka; yakni setiap orang yang berserikat memberika persetujuan kepada teman serikatnya untuk melakukan tasarruf terhadap harta keduanya disamping masih tetapnya hak tasarruf bagi masing-masing peserta.
c.       Menurut Syafi’iyah
وَفِي اشَّرْعِ : عِبَارَةٌ عَن ثُبُوْتِ الْحَقِّ فِيْ الشَّيْءِ الْوَاحِدِ لِشَخْصَيْنِ فَصَا عِدًا عَلَي جِهَةِ اشُّيُوْع
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama.

d.      Menurut Hanabilah
أَلشِّرْكَةُ هِيَ الْاِجْتِمَا عُ فِيْ اسْتِحْقَاقٍ اَوْتَصَرُّف
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan hak atau tasarruf.

e.      Dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith dikemukakan :
اَلشِّرْكَةُ عَقْدٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ اَوْاَكْثَرَ لِلْقِيَامِ بِعَمَلٍ مُشْتَرَي
Syirkah adalah suatu akad antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama.

f.       Menurut Anis
شَرِكَتْ شِرْكَةً : كَا نَ لِكُلِّ مِنْهُمَا نَصِيْبٌ مِنْه
Ia bersekutu dalam suatu persekutuan: masing-masing dari kedua peserta itu memiliki bagian dari padanya.
Pengertian Syirkah dengan ikhtilah (percampuran) banyak ditemukan dalam literatur fiqih mazhab empat, baik Maliki, Hanafi, Syafi’i, maupun Hanbali. Diartikan ikhtilah karena didalamnya terjadi percampuran harta beberapa orang yang berserikat, dan harta tersebut kemudian menjadi satu kesatuan modal bersama.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa definisi menurut Hanafiah dan yang tercantum dalam Kamus Al-Mu’jam Al-Wasith adalah definisi yang lebih sesuai dengan konteks pembahasan bab ini. Hal ini dikarenakan di dalamnya disebutkan substansi dari topik yang dikaji, yaitu bahwa  syirkah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk bekerja sama dalam suatu kegiatan usaha, dimana modal dan keuntungan dimiliki oleh dan dibagi bersama kepada semua pihak yang berserikat.
B.   Dasar Hukum Syirkah
1.      Alquran

a.       Firman Allah swt, dalam surat :
وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۗ وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ غَيۡرَ مُضَآرّٖۚ وَصِيَّةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٞ ١٢
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An-Nisa : 12)

b.      Firman Allah swt, dalam surat yang lain :
قَالَ لَقَدۡ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعۡجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦۖ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡخُلَطَآءِ لَيَبۡغِي بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٞ مَّا هُمۡۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسۡتَغۡفَرَ رَبَّهُۥ وَخَرَّۤ رَاكِعٗاۤ وَأَنَابَ۩ ٢٤
Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim


 kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS. Sad :24)
2.      Hadis
a.       Hadis Abu Hurairah:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ, رَفَعَهُ قَلَ : اِنَّ الله يَقُوْلُ : اَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ, مَا لَمْ يَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَاِذَاخَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Dari Abu Hurairah, ia merafa’kannya kepada Nabi, beliau bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman: Saya adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selagi salat satunya tidak mengkhianati temannya, maka saya akan keluar dari antara keduanya.
(HR. Abu Dawud)
b.      Hadis Al-Saib Al-Makhzumi:
وعن السَّائِبِ الْمَخْزُوْمِيْ رضي الله عنه اَنَّهُ كَانَ شَرِيْكَ النَّبِيِّ صلي الله عليه و سلم قَبْلَ الْبِعْثَةِ, فَجَاءَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَقَلَ : مَرْحَبًا بِاَخِيْ وَ شَرِيْكِيْ
Dari Al-Saib Al-Makhzumi r.a bahwa sesungguhnya ia adalah sekutu Nabi saw sebelum Nabi diutus. Kemudian ia datang pada hari pembebasan Kota Mekkah maka Nabi bersabda: Selamar datang kepada saudaraku dan teman serikatku.
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
c.       Hadis Abdullah bin Mas’ud:
وَعَنْ عَبْدِالله بْنِ مَسْعُوْد رضي الله عنه قَالَ: اشْتَرَكْتُ اَنَا وَعَمَّارُ وَسَعْدٌ فِيْمَا نُصِيْبُ يَوْمَ بَدْرٍ, فَجَاءَ سَعْدٌ بِاَسِيْرَيْنِ, وَلَمْ اَجِئْ اَنَا وَعَمَّارُ بِشَيْءٍ
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: Saya bersekutu dengan ‘Ammar dan Sa’ad dalam hasil yang kami peroleh pada Perang Badar. Kemudian Sa’ad datang dengan membawa dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar datang dengan tidak membawa apa-apa.
(HR. An-Nasa’i)
d.      Hadis
Tangan Allah di atas dua orang yang berserikat selagi keduanya tidak berkhianat.
(HR. ad-Daruquthni)
Secara garis besar syirkah terbagi kepada dua bagian:
a.       Syirkah Al-Amlak
b.      Syirkah Al-‘Uqud

1.      Syirkah Al-Amlak
Pengertian syirkah al-amlak adalah:
هِيَ اَنْ يَتَمَلَّكَ شَخْصَانِ فَاَكْثَرَ عَيْنًا مِنْ غَيْرِ عَقْدِ الشِّرْكَة
Syirkah milik adalah kepemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap suatu barang tanpa melalui akad syirkah.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa syirkah milik adalah suatu syirkah di mana dua orang atau lebih bersama-sama memiliki suatu barang tanpa melakukan akad syirkah. Contoh, dua orang diberi hibah sebuah rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki oleh dua orang melalui hibah, tanpa akad syirkah antara dua orang yang diberi hibah tersebut.
Syirkah milik terbagi kepada dua bagian:
a.  Syirkah Ikhtiyariyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul karena perbuatan orang-orang yang berserikat. Contoh A dan B membeli sebidang tanah, atau dihibahi atau diwarisi sebuah rumah oleh orang lain, dan keduanya (A dan B) menerima hibah atau wasiat tersebut. Dalam contih ini pembeli yaitu A dan B, orang yang dhibahi, dan orang yang diberi wasiat (A dan B) bersama-sama memiliki tanah atau rumah tersebut, secara sukarela tanpa paksaan dari pihak lain.
b. Syirkah Jabariyah, yaitu susatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul bukan karena perbuatan orang-orang yang berserikat, melainkan harus terpaksa diterima oleh mereka. Contohnya, A dan B menerima warisan sebuah rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki bersama oleh A dan B secara otomatis (paksa), dan keduanya tidak bisa menolak.
Hukum kedua syirkah ini adalah bahwa masing-masing orang yang berserikat seolah-olah orang lain dalam bagian teman serikatnya. Ia tidak boleh melakukan tasarruf terhadap barang yang menjadi bagian temannya tanpa izin temannya itu, karena meskipun mereka bersama-sama menjadi pemilik atas barang tersebut, namun masing-masing anggota serikat tidak memiliki kekuasaan atas barang yang menjadi bagian temannya.

2.      Syirkah Al-‘Uqud
Pengertian syirkah al-‘uqud adalah sebagai berikut:
هِيَ عِبَارَةٌ عَنِ الْعَقْدِ الوْاَقِعِ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَاَكْثَرَ لِلْاِشْتِرَاَكِ فِيْ مَالٍ وَرِبْحِهِ
Syirkah ‘uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu di dalam modal dan keuntungannya.
            Syirkah ‘uqud terbagi kepada beberapa bagian.
a. Menurut Hanabilah, syirkah ‘uqud itu ada lima macam :
1) Syirkah ‘inan.
2) Syirkah mudharabah.
3) Syirkah wujuh
4) Syirkah abdan
5) Syirkah mufawadhah
b. Menurut Hanafiah, syirkah ‘uqud itu ada enam macam :
            1) Syirkah amwal
                        a) Mufawadhah
                        b) ‘Inan
            2) Syirkah a’mal:
                        a) Mufawadhah
                        b) ‘Inan
            3) Syirkah wujuh:
                        a) Mufawadhah
                        b) ‘Inan
c) Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, syirkah itu ada empat macam:
            1) Syirkah abdan
            2) Syirkah mufawadhah


3) Syirkah wujuh
            4) Syirkah ‘Inan
            Dari jenis-jenis syirkah yang telah dikemukakan di atas, para ulama sepakat bahwa syirkah ‘inan hukumnya dibolehkan. Sedangkan syirkah yang lainnya diperselisihkan. Syafi’iyah menganggap semua syirkah hukumnya batal kecuali syirkah ‘inan dan syirkah mudharabah. Hanabilah membolehkan semua jenis syirkah, kecuali syirkah mufawadhah.Malikiyah membolehkan semua syirkah, kecuali syirkah wujuh. Sedangkan Hanafiah membolehkan semua jenis syirkah tanpa kecuali, apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi.

a.      Syirkah ‘Inan

وَهِيَ اَنْ يَشْتَرِكَ اثْنَانِ فِيْ مَالٍ لَهُمَا عَلَي اَنْ يَتَّجِرَا فِيْهِ وَاِّلرِّبْحُ بَيْنَهُمَا
Syirkah ‘inan adalah suatu persekutuan atau kerja sama antara dua pihak dalam harta (modal) untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi diantara mereka.
Dari definisi tersebut dapat dipahami abhwa syirkah ‘inan adalah persekutuan dalam modal dan keuntungan, termasuk kerugian. Dengan demikian, dalam syirkah’inan seorang persero tidak dibenarkan hanya bersekutu dalam keuntungan saja, sedangkan kerugian ia bebaskan.
Dalam syirkah ‘inan tidak disyaratkan adanya persamaan dalam modal, tasarruf (tindakan hukum), dan keuntungan serta kerugian. Dengan demikian, dalam syirkah ‘inan, antara peserta yang satu dengan peserta yang lainnya, modal yang diinvestasikan-nya boleh sama dan boleh berbeda. Misalkan A, B, C masing-masing menanamkan modal untuk perusahaan Rp50.000,00. Atau A menanamkan modal Rp.50.000,00, B Rp40.000,00 dan C hanya Rp20.000,00.
Dalam hal modal yang diinvestasikan sama, maka keuntungan yang dibagikan boleh sama antara para peserta dan boleh pula berbeda. Hal tersebut tergantung pada kesepakatan yang dibuat oleh para peserta pada eaktu terbentuknya akad. Adapun dalam hal kerugian maka perhitungannya disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan.
اَلرِّبْحُ عَلَي مَا شَرَطَا،وَالْوَضِيْعَةُعَلَي قَدْرِ الْمَالَيْنِ
Keuntungan diatur sesuai dengan syarat yang mereka sepakati, sedangkan kerugian tergantung pada besarnya modal yang diinvestasikan.

b.      Syirkah Mufawadhah
Mufawadhah dalam arti bahasa adalah al-musawah, yang artinya ‘persamaan” karena didalamnya terdapat unsur persamaan dalam modal, keuntungan, melakukan tasarruf, dan lain-lainnya. Menurut satu pendapat, Mufawadhah diambil dari kata at-tafwidh (penyerahan), karena masing-masing peserta menyerahkan hak untuk melakukan tasarruf kepada teman serikat yang lainnya.
Dalam arti istilah:
وَهِيَ فِي الْاِصْطِلَاحِ: اَنْ يَتَعَاقَدَ اِثْنَانِ فَاَكْثَرَ عَلَي اَنْ يَشْتَرِكَا فِيْ عَمَلٍ بِشَرْطِ اَنْ يَكُوْنَا مُتَسَاوَيَيْنِ فِيْ رَاْسِ مَا لِهِمَا وَتَصَرُّفِهِمَا وَدِيْنِهِمَا اَيْ (مِلَّتِهِمَا) وَيَكُوْنُ كُلُ وَاحِدٍ مِنُهُمَا كَفِيْلًاعَنِ الْاَخَرِفِيْمَا يَجِبُ عَلَيْهِ مِنْ شِرَاءٍ وَبَيْعٍ
Syirkah mufawadhah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk bersekutu (bersama-sama) dalam mengerjakan suatu perbuatan dengan syarat keduanya sama dalam modal,tasarruf, dan agamanya, dan masing-masing peserta menjadi penaggung jawab atas yang lainnya di dalam hal-hal yang wajib dikerjakan, baik berupa penjualan maupun pembelian. 

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa dalam syirkah mufawadhah terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1)      Persamaan dalam modal. Apabila salah satu peserta modalnya lebih besar daripada peserta lainnya, maka syirkah hukumnya tidak sah.
2)      Persamaan dalam hak tasarruf. Maka tidak sah syirkah antara anak yang masih di bawah umur dan orang dewasa. Karena hak tasarruf keduanya tidak sama.
3)      Persamaan dalam agama.
4)      Tiap-tiap peserta harus menjadi penanggung jawab atas peserta yang lainnya dalam hak dan kewajiban, sekaligus sebagai wakil. Dengan demikian, tindakan hukum peserta yang satu tidak boleh lebih besar daripada tindakan hukum peserta yang lainnya.
Menurut Hanafiah dan Malikiyah, syirkah ini hukumnya dibolehkan karena banyak dilakukan orang selama beberapa waktu, tetapi tidak ada seorang pun yang menolaknya, sedangkan Imam Syafi’i tidak membolehkannya. Beliau mengatakan:
اِذَا لَمْ تَكُنْ شِرْكَةُ الْمُفَا وَضَةِ بَاطِاَةً فَلَا بَاطِلَ اَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا
Apabila syirkah mufawadhah tidak dianggap batal, maka tidak ada lagi sesuatu yang batal yang saya ketahui di dunia ini.
Syafi’i berpendapat bahwa syirkah mufawadhah adalah suatu akad yang tidak ada dasarnya dalam syara’. Untuk mewujudkan persamaan dalam berbagai hal merupakan hal yang sulit, karena di dalamnya ada unsur gharar (tipuan) dan ketidakjelasan. Sedangkan hadis yang digunakan sebagai dasar oleh Hanafiah, merupakan hadis yang tidak sahih dan tidak dapat diterima.

c.       Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh didefinisikan oleh Sayid Sabiq sebagai berikut.
هِيَ اَنْ يَشْتَرِيَ اِثْنَانِ فَاَكْثَرَ مِنَ النَّاسِ دُوْنَ اَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ رَاْسُ مَالٍ اِعْتِمَادًا عَلَي جَاهِهِمْ وَثِقَةِ التُّجَّارِ بِهِمْ, عَلَي اَنْ تَكُوْنَ الشِّرْكَةُ بَيْنَهُمْ فِي الرِّبْحِ
Syirkah wujuh adalah pembelian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dari orang lain tanpa menggunakan modal, dengan berpegang kepada penampilan mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dengan ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan.
Dari definisi tersebut dapat diapahami bahwa syirkah wujuh adalah suatu syirkah atau kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli suatu barang tanpa menggunakan modal. Mereka berpegang kepada penampilan mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka. Dengan demikian, transaksi yang dilakukan adalah dengan cara berutang dengan perjanjian tanpa pekerjaan dan tanpa harta (modal).
Menurut Hanafiah, dan Hanabilah, syirkah wujuh hukumnya boleh, karena bentuknya berupa satu jenis pekerjaan. Kepemilikan terhadap barang yang dibeli boleh berbeda anatara para peserta dengan peserta yang lainnya. Sedangkan


 keuntungan dibagi di antara para peserta, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing-masing dalam kepemilikan atas barang yang dibeli. Akan tetapi, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah wujuh hukumnya batal, alasannya karena syirkah selalu berkaitan dengan harta dan pekerjaan. Sedangkan dalam syirkah wujuh, keduanya (harta dan pekerjaan) tidak ada, yang ada hanya penampilan para anggota serikat, yang diandalkan untuk mendapatkan kepercayaan dari para pedagang.
d.      Syirkah Abdan
Syirkah abdan didefinisikan oleh Sayid Sabiq sebagai berikut.
هِيَ اَنْ يَتَّفِقَ اِثْنَانِ عَلَي اَنْ يَتَقَبَّلَا عَمَلًا مِنَ الْاَعَمَالِ عَلَي اَنْ تَكُوْنَ اُجْرَةُ هَذَا الْعَمَلِ بَيْنَهُمَا حَسْبَ الْاِتِّفَاقِ
Syirkah abdan adalah kesepakatan antara dua orang (atau lebih) untuk menerima suatu pekerjaan dengan ketentuan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan.

Dari definisi tersebut dapat  dipahami bahwa syirkah abdan atau disebut juga syirkah a’mal adalah suatu bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan bersama-sama, dan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama. Contohnya, tukang batu dengan beberapa temannya berserikat (bekerja sama) dalam mengerjakan pembangunan sebuah gedung sekolah. Kerja sama tersebut bisa dalam satu jenis pekerjaan yang sama, seperti tukang batu dengan tukang batu, dan bisa juga dalam jenis-jenis pekerjaan yang berbeda. Misalnya kerja sama antara tukang batu dan tukang kayu dalam mengerjakan pembangunan sebuah gedung kantor. Syirkah ini bisa disebut syirkah abdan, syirkah a’mal. Syirkah ash-shanai, atau syirkah taqabbul.
Menurut Malikiyah, Hanafiah, Hanabilah, syirkah abdan hukumnya boleh. Karena tujuan utamanya adalah memperoleh keuntungan. Dalil dibolehkannya syirkah abdan adalah hadis Ibnu Mas’ud:
وَعَنْ عَبْدِ الله بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: اِشْتَرَكْتُ اَنَا وَعَمَّارُ وَسَعْدٌ فِيْمَا نُصِيْبُ يَوْمَ بَدْرٍ, فَجَاءَ سَعْدٌ بِاَسِيْرَيْنِ وَلَمْ اَجِئْ اَنَا وَعَمَّارُ بِشَيْءٍ
Dari Abdullah ibnu Mas’ud ia berkata: “Saya, Ammar, dan Sa’ad bersekutu dalam hasil yang diperoleh pada Perang Badar. Maka Sa’ad datang dengan membawa dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar tidak memperoleh apa-apa.” (HR. An-Nasai)

Hadis ini menggambarkan tentang kerja sama antara para sahabat dalam hasil rampasan perang. Kerja sama tersebut dilakukan dengan menggunakan tenaga, tidak menggunakan uang (modal). Ini menunjukkan bahwa syirkah abdan itu dibolehkan. Hanya saja Malikiyah mengajukan beberapa syarat untuk keabsahan syirkah abdan ini, yaitu
1)      Pekerjaan atau profesi antara para peserta harus sama. Apabila profesinya berbeda maka hukumnya tidak boleh, kecuali garapan pekerjaannya saling mengikat. Misalnya tukang kayu dan tukang batu mengerjakan sebuah rumah. Dalam contoh ini hukum syirkah-nya dibolehkan karena pekerjaan yang satu bergantung kepada pekerjaan yang lainnya.
2)      Tempat pekerjaannya juga harus satu lokasi. Apabila lokasi keduanya berbeda, maka syirkah-nya tidak sah.
3)      Pembagian upah harus sesuai dengan kadar pekerjaan yang disyaratkan bagi setiap anggota seikat.
Menurut Syafi’iyah, dan Hanafiah, syirkah abdan hukumnya batal, karena menurut mereka syirkah itu hanya khusus dalam mobil saja, bukan dalam pekerjaan.
1.      Rukun Syirkah
a)      Ucapan (Sighah) penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul).
b)      Pihak yang berkontrak.
c)      Objek kesepakatan berupa modal dan kerja.

2.      Syarat Syirkah
a)      Syarat-Syarat Umum Syirkah ‘Uqud
1)      Tasarruf yang menjadi objek akad syirkah harus bisa diwakilkan


Dalam syirkah ‘uqud keuntungan yang diperoleh merupakan milik bersama yang harus dibagi sesuai dengan kesepakatan. Kepemilikan bersama dalam keuntungan tersebut menghendaki agar setiap anggota serikat menjadi wakil dari anggota serikat lainnya dalam pengelolaan harta (modal), di samping bertindak atas namanya sendiri. Atas dasar itu maka setiap anggota serikat memberikan kewenangan kepada anggota seikat lainnya untuk melakukan tasarruf, baik dalam hal penjualan, pembelian maupun penerimaan kontrak kerja. Dengan demikian, masing-masing peserta menjadi wakil bagi peserta lainnya.
2)      Pembagian keuntungan harus jelas
Bagian keuntungan untuk masing-masing anggita serikat nisbahnya harus ditentukan dengan jelas, misalnya 20%, 10%, 30%, atau 40%. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka syirkah menjadi fasid, karena keuntungan merupakan salah satu ma’uqud ‘alaih.
3)      Keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama secara keseluruhan; tidak ditentukan untuk A 100, B 200 misalnya. Apabila keuntungan telah ditentukan, maka akad syirkah menjadi fasid. Hal itu karena syirkah mengharuskan adanya oenyertaan dalam keuntungan, sedangkan penentuan kepada orang tertentu akan menghilangkan hakikat perkongsian.

b)     Syarat Khusus untuk Syirkah Amwal
Untuk keabsahan syirkah amwal, baik syirkah ‘inan maupun syirkah mufawadhah, harus memenuhi beberapa syarat berikut.
1)      Modal syirkah harus berupa barang yang ada
Menurut jumhur fuqaha modal syirkah harus berupa barang yang ada, baik pada waktu akad maupun pada saat jual beli. Dengan demikian, modal ridak boleh berupa utang, atau harta yang tidak ada di tempat akad. Hal ini oleh karena tujuan syirkah adalah memperoleh keuntungan yang didapatkan melalui tasarruf tidak bisa dengan utang atau barang yang tidak ada di tempat akad.
Menurut Hanafiah, Malikiyah, dan Hanabilah, modal dari para peserta tidak harus dicampur menjadi satu, karen amenurut mereka dalam syirkah yang penting akadnya, bukan hartanya. Akan tetapi, emenurut Syafi’iyah, modal dari peserta harus dicampur menjadi satu, sehingga tidak bisa dibedakan antara modal yang satu dengan modal lainnya. Hal terebut dikarenakan arti syirkah adalah ikhtilath (campur), dan percampuran tidak akan terwujud apabila harta masih bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lain.
2)      Modal syirkah harus berharga secara mutlak
Ulama mazhab empat sepakat bahwa modal syirkah harus berupa sesuatu yang bernilai secara mutlak, seperti uang. Oleh karena itu, tidak sah modal syirkah dengan barang-barang, baik berupa benda tetap maupun benda bergerak. Hal ini karena syirkah dengan modal barang, bukan uang menyebabkan ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan, dan hal itu memicu terjadinya perselisihan dan pertentangan di antara para peserta. Menurut Imam Malik, modal syirkah tidak mesti berupa uang, melainkan boleh juga dengan barang dengan memperkirrakan nilainya, baik jenisnya sama atau berbeda. Alasannya adalah bahwa syirkah dilakukan dengan modal yang jelas, sehingga mirip dengan uang.

c)      Syarat Khusus untuk Syirkah Mufawadhah
Ulama Hanafiah mengemukakan syarat-syarat khusus sebagai berikut.
1)      Masing-masing anggota sertikat memiliki kecapakan (ahliyah) utnuk melakukan wakalah dan kafalah, yaitu harus merdeka, baligh, berakal, dan cerdas (rusyd).
2)      Persamaan dalam modal, baik ukuran maupun harganya.
3)      Segala sesuatu yang layak menjadi modal dari salah seorang anggota serikat harus dimasukkan ke dalam syirkah.
4)      Pembagian keuntungan harus sama. Apabila pembagian keuntungan tidak sama, maka syirkah-nya bukan mufawadhah.
5)      Persamaan dalam kegiatan perdagangan. Atas dasar syarat ini, Abu Hanifah mensyaratkan syirkah mufawadhah antara sesama muslim, dan tidak boleh dengan orang kafir.
6)      Dalam melakukan transaksi (akad) harus menggunakan kata mufawadhah.

Apabila salah satu sghn yarat tidak ada, maka syirkah akan berubah menjadi syirkah ‘inan, karena syarat-syarat tersebut tidak diperlukan dalam syirkah ‘inan. Dengan demikian, dalam syirkah ‘inan tidak disyaratkan kecapakan dalam wakalah, persamaan dalam modal dana keuntungan, dan persamaan dalam kegiatan perdagangan, sebagaimana yang disyaratkan dalam syirkah mufawadhah.

d)     Syarat-Syarat Syirkah A’mal (Abdan)
Apabila bentuk syirkah a’mal ini mufawadhah maka berlakulah syarat-syarat syirkah mufawadhah, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Apabila bentuknya syirkah ‘inan maka tidak ada persyaratan syirkah mufawadhah terse-but, kecuali kecapakan (ahliyah) dalam wakalah. Oleh karena itu, Imama Abu Hanifah mengatakan, “Setiap akad yang di dalamnya dibolehkan kafalah diboleh-kan pula syirkah, dan apa yang tidak boleh wakalah, tidak boleh para syirkah.
Apabila pekerjaan memerlukan alat, sedangkan alat itu dipakai oleh salah seorang anggita serikat maka hal itu tidak mempengaruhi syirkah, dengan ketentuan alat itu tidak disewakan untuk orang lain. Apabila alat itu disewakan untuk menggarap pekerjaan lain maka upahnya untuk orang yang memiliki alat, dan syirkah menjadi fasid.

e)      Syarat-Syarat Syirkah Wujuh
Apabila bentuk syirkah wujuh ini mufawadhah maka berlakulah syarat-syarat syirkah mufawadhah, sebagaimana disebutkan di atas, yang intinya persamaan dalam berbagai hal. Akan tetapi, apabila bentuknya syirkah ‘inan maka tidak ada persyaratan syirkah mufawadhah, seperti persamaan dalam tasarruf, pembagian keuntungan, dan sebagainya.
1.      Dua orang bekerja sama secara sukarela untuk mengelola sebuah warung makan, dengan perhitungan laba dibagi dua setelah dikurangi modal. (Syirkah Ikhtiar)

2.      Dua orang bekerja sama namun salah satu tidak memiliki modal, dia menawarkan jasa untuk menjaga saja warung makan tersebut, sehingga dia hanya memperoleh laba hanya sebagian dari keuntungan. (Syirkah Jabr)
3.      Dua orang sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan mengelola warung makan. Masing-masing memberikan kontribusi modal sebesar Rp 5 juta dan keduanya sama-sama bekerja. (Syirkah al-Inan)

4.      A dan B adalah tokoh terpercaya dalam berdagang. Lalu mereka bekerja sama dengan membeli barang dari C dan menjualkan barang tersebut dengan kesepakatan 50% dari barang yang dijualkan mereka, sedangkan harga pokok dikembalikan pada C. (Syirkah al-Wujuh)


5.      A sebagai pemodal memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B sebagai pengelola modal dalam usaha warung makan. Atau  pihak A dan B memberikan modal, pihak C hanya kontribusi kerja sama. (Syirkah al-Mudarabah)

6.      A sebagai pedagang jus buah, dan B sebagai pedagang cireng bekerja sama, maka hasilnya akan dibagi dengan ketentuan tertentu. (Syirkah Abdan


7.      A sebagai pemodal, memberikan modal pada B dan C sebagai insiyur warung makan, dengan kesekapatan saling kontribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat berkontribusi modal untuk membeli suatu barang atas dasar kepercayaan pihak D kepada A dan B. (Syirkah Al-Mufawadah)

8.      Modal di serahkan kepada pengelola modal (nasabah) secara tunai atau bertahap sesuai kesepakatan berupa uang atau nilai satuan uang. Hasil dari usaha dibagi dengan persetujuan dalam akad. Dan pihak bank berhak mengawasi pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan nasabah. (Bank Syariah)

1.      Cara Membagi Keuntungan dalam Syirkah
Keuntungan harus dikuantifikasi atau dinilai jumlahnya.tersebut untuk mempertegas dasar kontrak musyarakah pada perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan dan penghentian musyarakah. Jika para mitra mengatakan bahwa “keuntungan akan dibagi di antara kita” maka dalam hal ini, keuntungan akan dialokasikan menurut saham masing-masing dalam modal.
Setiap keuntungan mitra harus merupakan bagian proporsional dari seluruh keuntungan musyarakah. Seorang mitra tidak dibenarkan untuk menentukn bagian keuntungannya sendiri pada awal kontrak, karena hal itu melemahkan musyarakah dan melanggar prinsip keadilan. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau persentase itu diberikan kepadanya. Contohnya, bila seorang dari mereka (mitra) mengatakan “Saya akan mendapat sepuluh jika kita mendapatkan lebih dari itu”, dan mitra lainnya menyepakati, kontrak tersebut sah. Syarat-syarat tersebut pun bersifat mengikat.
2.      Cara Membagi Kerugian dalam Syirkah
Para ulama sepakat bahwa kerugian harus dibagi diantara para mitra secara proporsional terhadap saham masing-masing dalam modal. Mereka mendukung pendapat ini dengan perkataan Ali bin Abi Thalib r.a., “Keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional denagn modal mereka”. Dalam hal musyarakah berkelanjutan (going concern) dibolehkan untuk menunda alokasi kerugian supaya bisa dikompensasikan untuk menunda alokasi kerugian supaya bisa dikompensasikan denagn keuntungan pada masa-masa berikutnya.
Dalam sebuah usaha bisnis secara mandiri atau secara kerja sama tidak selamanya dapat mencapai keberhasilan, tapi kadang mengalami kebangkrutan.
1.      Konsep Dasar
Pailit (at-taflis) ialah seseorang yang mempunya utang, sedangkan seluruh kekayaannya habis sehingga tidak tersisa sedikit pun untuk membayar utangnya.

2.      Hukum-Hukum At-Taflis
a.       Orang yang mengalami bangkrut (at-taflis) dikenakan al-hajru jika para kreditur menghendakinya.
b.      Seluruh aset orang yang mengalami at-taflis (bangkrut) dijual, kecuali pakaiannya dan sesuatu yang harus dimilikinya, seperti makanan, kemudian hasil penjualannya dibagi secara rata di antara para kreditur.
c.       Jika di antara salah satu kreditur menemukan barangnya dalam keadaan utuh tanpa perubahan sedikit pun pada orang yang mengalami bangkrut (at-taflis), ia lebih berhak mengambilnya dari pada kreditur lainnya, karena Rasulullah Saw. Bersabda: :Barang siapa menemukan barang pada orang yang telah bangkrut, ia lebih berhak terhadapnya”. (HR. Muttafaq Alaih). lainnya Ini dengan syarat, ia tidak pernah mengambil sedikit pun dari uang hasil penjualan barang tersebut. Jika ia pernah mengambilnya, ia mempunya hak yang sama dengan para kreditor.
d.      Barang siapa terbukti mengalami kesulitan keuangan, dalam arti tidak mempunyai kekayaan yang bisa dijual untuk melunasi utangnya, ia tidak boleh ditagih.
e.       Jika harta orang yang mengalami kebangkrutan (at-taflis) telah dibagi-bagi, kemudian datanglah seorang kreditur yang tidak pernah mengetahui pemberlakuan al-hajru terhadapnya dan juga tidak mengetahui penjualan asetnya, maka ia menemui para kreditur dan meminta hak yang sama dengan mereka.
f.       Siapa saja yang mengetahui pemberlakuan al-hajru pada salah seorang debitur (orang yangbangkrut), kemudian ia melakukan transaksi bisnis dengannya, ia tidak mempunyai hak yang sama seperti para kreditur lainnya dan utangnya tetap menjadi tanggungan debitur tersebut (orang yang bangkrut) hingga ia bisa membayarnya.
Hal-hal yang membatalkan syirkah ada yang sifatnya umum dan berlaku untuk semua syirkah, dan ada yang khusus untuk syirkah tertentu, tidak untuk syirkah yang lain.

1.      Hal-Hal yang Membatalkan Syirkah Secara Umum
Sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum adalah sebagai berikut :
a.       Pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad syirkah merupakan akad yang jaiz dan ghair lazim, sehingga memungkinkan untuk fasakh.
b.      Meninggalnya salah seorang anggota serikat.
Apabila salah seorang anggota serikat meninggal dunia, maka syirkah menjadi batal atau fasakh karena batalnya hak milik, dan hilangnya kecakapan untuk melakukan tasarruf karena meninggal, baik anggota serikat yang lain mengetahuinya atau tidak.
c.       Murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke Darul Harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
d.      Gilanya peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status wakil dari wakalah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakalah.

2.      Hal-Hal yang Membatalkan Syirkah Secara Khusus
Adapun hal-hal yang menyebabkan batalnya syirkah secara khusus adalah :
a.       Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat sebelum digunakan untuk membeli barang dalam syirkah amwal.
b.      Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufawadhah ketika akad akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.
Syirkah adalah akad kerja sama atau usaha dua atau lebih pemilik modal atau keahlian untuk melakukan jenis usaha yang halal dan produktif. Sedangkan Mudharabah adalah seseorang menyerahkan modal tertentu kepada orang lain untuk dikelola dalam usaha perdagangan, dimana keuntungannya dibagi di antara keduanya menurut persyaratan yang telah ditentukan. Adapun kerugian hanya ditanggung pemodal, karena pelaksana telah menanggung kerugian tenaganya, maka tidak perlu dibebani oleh kerugian lainnya.
Jadi perbedaan nya dalam hal pembagian untung rugi dan keterlibatan peserta dalam usaha yang sedang dikerjakan.
Hikmah melaksanakan Syirkah dalam kehidupan diantaranya :
1. Terkumpulnya modal dengan jumlah yang besar, sehingga dapat digunakan untuk mengadakan pekerjaan-pekerjaan besar pula.
2. Dapat memperlancar laju ekonomi makro.
3. Terciptanya lapangan pekerjaan yang lebih luas dan memadai.
4. Terjalinya rasa persaudaraan diantara sesama pemegang modal dan mitra kerja yang lain.
5. Pemikiran untuk memajukan perusahaan menjadi lebih banyak karena berasal dari banyak orang pula.














Syirkah adalah suatu perjanjian antara dua orang / lebih yang menghendaki tetapnya kerjasama dalam suatu usaha atau perdagangan. Secara garis besar perkongsian terbagi menjadi dua yaitu amlak (perkongsian ikhtiar dan ijbar) dan uqud yang terbagi menjadi beberapa macam menurut ulama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ulama fiqih sepakat bahwa perkongsian ‘Inan dibolehkan sedangkan bentuk-bentuk lainnya masih diperselisihkan.
Syirkah sebagai sarana sarana muslim untuk bisa bermualah dengan muslim lainnya dengan ketentuan sesuai syariat.





 

 

 

 




Nawawi, I. (2012). Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia.
Aini, Musthofa dkk. (2006). Konsep ideal dalam Islam. Terjemahan Minhajul Muslim. Jakarta: Darul Haq
Muslich, A. W. (2015). Fiqh Muamalah. Amzah
http://yoyoprayogo.blogspot.co.id/2010/10/syirkah-dan-hikmahnya.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...