Segala puji dan
syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa solawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad saw., yang telah membimbing umatnya hingga sampai pada
zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan ini.
Makalah ini susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih Muamalah, yang membahas tentang “SYIRKAH”. Kami menyadari bahwa masih terdapat
beberapa kelemahan atau kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, segala
tegur sapa, kritik, koreksi dan saran yang diberikan akan sangat membantu kami
dalam menyusun makalah selanjutnya.
Kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penulis khususnya, Aamiin.
Bandung, Maret 2018
Tim penyusun
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syirkah atau sering juga disebut dengan syarikah
atau musayarakah adalah bentuk perseroan dalam Islam yang pola
operasionalnya melekat prinsip kemitraan usaha dan bagi hasil. Secara prinsip, syirkah
berbeda dengan model perseroan dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Perbedaaan-perbedaan yang ada tidak hanya terletak pada tidak adanya praktik
bunga dalam model ini, tetapi juga berbeda dalam hal transaksi pembentukannya,
operasionalnya maupun pembentukan keuntungan dan tanggung jawab kerugian
(Faruq, 2000).
Model syirkah merupakan sebuah konsep yang
secara tepat dapat memecahkan permasalahan permodalan. Satu sisi, prinsip Islam
menyatakan bahwa segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh orang lain berhak
memperoleh kompensasi yang saling menguntungkan, baik terhadap barang modal,
tenaga atau barang sewa. Di sisi lain Islam menolak dengan tegas kompensasi
atas barang modal berupa bunga (Chapra, 1999).
Ahli ekonomi Islam mendukung pentingnya syirkah dalam
pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kesulitan ekonomi sering terjadi karena pemilik
modal tidak mampu mengelola modalnya atau memiliki kemampuan mengelola modal
tetapi tidak memiliki modal tersebut. Semua hal tersebut dapat terpecahkan
dalam syirkah yang dibenarkan dalam syariat Islam (Qardawi, 1997). Dalam kerangka keterbatasan modal bagi para
pelaku usaha, Islam memberikan alternatif kemitraan berupa pembiayaan tanpa
riba. Pembiayaan tanpa riba yang dimaksud adalah qard al-hasan dan syirkah.
Qard al-hasan adalah pembiayaan yang dilakukan tanpa kompensasi apapun.
Bentuk pembiayaan ini hanya bersifat tolong memolong dengan saling keridhaan
antar pelaku usaha. Biasanya model qarh al-hasan ini dilakukan dalam
jangka pendek. Berdasarkan sifatnya tersebut maka syirkah menjadi
alternatif lain dalam umat Islam melakukan usaha yang mengharapkan kompensasi
keuntungan dalam usaha yang dilakukan (Yusanto, 2009).
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka rumusan masalahnya adalah “bagaimana konsep syirkah (kerja
sama) ?”, yang kemudian dirinci menjadi beberapa fokus masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian syirkah ?
2. Apa dasar hukum
syirkah ?
3. Apa saja macam-macam syirkah
?
4. Bagaimana rukun
dan syarat syirkah ?
5. Bagaimana praktek syirkah dalam
kehidupan ?
6. Cara membagi keuntungan dan
kerugian dalam syirkah ?
7. Bagaimana pailit dalam syirkah
?
8. Apa saja hal yang membatalkan syirkah
?
9. Apa perbedaan syirkah
dan mudharabah ?
10. Apa saja hikmah syirkah
?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini
adalah sebagai
berikut:
1.
Mengetahui
pengertian syirkah.
2.
Mengetahui
dasar hukum syirkah.
3.
Mengetahui
rukun dan syarat syirkah.
4.
Mengetahui macam-macam syirkah.
5.
Mengetahui praktek syirkah dalam kehidupan.
6.
Mengetahui cara membagi keuntungan dan kerugian dalam syirkah.
7.
Mengetahui pailit dalam syirkah.
8.
Mengetahui hal yang membatalkan syirkah.
10. Mengetahui hikmah syirkah.
1.
Menurut Bahasa
Syirkah
(شِرْكَتٌ) adalah :
الْاِخْتِلَاطُ اَيْ خَلْطُ اَحَدِ الْمَا لَيْنِ بِا لْاَخَرِبِحَيْثُ لَا
يَمْتَازَانِ عَنْ بَعْضِهِمَا
Bercampur yakni bercampurnya
salah satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan
anatara keduanya.
2.
Menurut Istilah
Keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan
sejumlah modal yang ditetapkan berdasarkan perjanjian utnuk bersama-sama
menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan atau kerugian dalam bagian
yang ditentukan.
3.
Menurut Pandangan Ulama
a.
Menurut
Hanafiah
اَلشِّرْكَةُ هِيَ عِبَارَةٌ
عَنْ عَقْدٍ بَيْنَ الْمُتَشَارِكَيْنِ فِيْ رَاْ سِ الْمَالِ وَالرِّبْحِ
Syirkah adalah suatu ungkapan
tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang beserikat didalam modal dan
keuntungan.
b. Menurut Malikiyah
الْشِّرْكَةُ هِيَ اِذْنٌ فِي
التَّصَرُّفِ لَهُمَا مَعَ اَنْفُسِهِمَا اَيْ اَنْ يَاْذَنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ
الشَرِيْكَيْن لِصَاحِبِهِ فِيْ اَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ مَالٍ لَهُمَا مَعَ
اِبْقَاءِ حَقِّ التَصَّرُّف لِكُلِّ مِنْهُمَا
Syirkah adalah persetujuan
untuk melakukan tasarruf bagi keduanya beserta diri mereka; yakni setiap orang
yang berserikat memberika persetujuan kepada teman serikatnya untuk melakukan
tasarruf terhadap harta keduanya disamping masih tetapnya hak tasarruf bagi
masing-masing peserta.
c. Menurut Syafi’iyah
وَفِي اشَّرْعِ : عِبَارَةٌ عَن
ثُبُوْتِ الْحَقِّ فِيْ الشَّيْءِ الْوَاحِدِ لِشَخْصَيْنِ فَصَا عِدًا عَلَي
جِهَةِ اشُّيُوْع
Syirkah menurut syara’ adalah
suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih
secara bersama-sama.
d. Menurut Hanabilah
أَلشِّرْكَةُ هِيَ الْاِجْتِمَا
عُ فِيْ اسْتِحْقَاقٍ اَوْتَصَرُّف
Syirkah adalah berkumpul atau
bersama-sama dalam kepemilikan hak atau tasarruf.
e.
Dalam
kamus Al-Mu’jam Al-Wasith dikemukakan :
اَلشِّرْكَةُ عَقْدٌ بَيْنَ
اثْنَيْنِ اَوْاَكْثَرَ لِلْقِيَامِ بِعَمَلٍ مُشْتَرَي
Syirkah adalah suatu akad
antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan secara
bersama-sama.
f.
Menurut Anis
شَرِكَتْ شِرْكَةً : كَا نَ
لِكُلِّ مِنْهُمَا نَصِيْبٌ مِنْه
Ia bersekutu dalam suatu persekutuan:
masing-masing dari kedua peserta itu memiliki bagian dari padanya.
Pengertian Syirkah dengan ikhtilah (percampuran)
banyak ditemukan dalam literatur fiqih mazhab empat, baik Maliki, Hanafi,
Syafi’i, maupun Hanbali. Diartikan ikhtilah karena didalamnya terjadi
percampuran harta beberapa orang yang berserikat, dan harta tersebut kemudian
menjadi satu kesatuan modal bersama.
Dari
beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
definisi menurut Hanafiah dan yang tercantum dalam Kamus Al-Mu’jam Al-Wasith
adalah definisi yang lebih sesuai dengan konteks pembahasan bab ini. Hal
ini dikarenakan di dalamnya disebutkan substansi dari topik yang dikaji, yaitu
bahwa syirkah adalah suatu akad
atau perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk bekerja sama dalam suatu
kegiatan usaha, dimana modal dan keuntungan dimiliki oleh dan dibagi bersama
kepada semua pihak yang berserikat.
1.
Alquran
a. Firman Allah swt, dalam surat :
وَلَكُمۡ
نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ
لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ
يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ
يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا
تَرَكۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۗ وَإِن كَانَ
رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ فَلِكُلِّ
وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمۡ
شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ
غَيۡرَ مُضَآرّٖۚ وَصِيَّةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٞ ١٢
Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An-Nisa : 12)
b. Firman Allah swt,
dalam surat yang lain :
قَالَ
لَقَدۡ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعۡجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦۖ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡخُلَطَآءِ
لَيَبۡغِي بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
وَقَلِيلٞ مَّا هُمۡۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسۡتَغۡفَرَ رَبَّهُۥ
وَخَرَّۤ رَاكِعٗاۤ وَأَنَابَ۩ ٢٤
Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan
meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim
kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah
mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta
ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS. Sad :24)
2.
Hadis
a. Hadis Abu Hurairah:
عَنْ اَبِيْ
هُرَيْرَةَ, رَفَعَهُ قَلَ : اِنَّ الله يَقُوْلُ : اَنَا ثَالِثُ
الشَّرِيْكَيْنِ, مَا لَمْ يَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَاِذَاخَانَهُ خَرَجْتُ
مِنْ بَيْنِهِمَا
Dari Abu Hurairah, ia
merafa’kannya kepada Nabi, beliau bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman: Saya
adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selagi salat satunya tidak
mengkhianati temannya, maka saya akan keluar dari antara keduanya.
(HR. Abu Dawud)
b. Hadis Al-Saib
Al-Makhzumi:
وعن السَّائِبِ
الْمَخْزُوْمِيْ رضي الله عنه اَنَّهُ كَانَ شَرِيْكَ النَّبِيِّ صلي الله عليه و
سلم قَبْلَ الْبِعْثَةِ, فَجَاءَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَقَلَ : مَرْحَبًا بِاَخِيْ وَ
شَرِيْكِيْ
Dari Al-Saib Al-Makhzumi r.a
bahwa sesungguhnya ia adalah sekutu Nabi saw sebelum Nabi diutus. Kemudian ia
datang pada hari pembebasan Kota Mekkah maka Nabi bersabda: Selamar datang
kepada saudaraku dan teman serikatku.
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
c. Hadis Abdullah bin
Mas’ud:
وَعَنْ عَبْدِالله
بْنِ مَسْعُوْد رضي الله عنه قَالَ: اشْتَرَكْتُ اَنَا وَعَمَّارُ وَسَعْدٌ فِيْمَا
نُصِيْبُ يَوْمَ بَدْرٍ, فَجَاءَ سَعْدٌ بِاَسِيْرَيْنِ, وَلَمْ اَجِئْ اَنَا وَعَمَّارُ
بِشَيْءٍ
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a.
ia berkata: Saya bersekutu dengan ‘Ammar dan Sa’ad dalam hasil yang kami
peroleh pada Perang Badar. Kemudian Sa’ad datang dengan membawa dua orang
tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar datang dengan tidak membawa apa-apa.
(HR. An-Nasa’i)
d. Hadis
Tangan Allah di
atas dua orang yang berserikat selagi keduanya tidak berkhianat.
(HR. ad-Daruquthni)
Secara garis besar syirkah
terbagi kepada dua bagian:
a.
Syirkah Al-Amlak
b.
Syirkah Al-‘Uqud
1.
Syirkah Al-Amlak
Pengertian syirkah
al-amlak adalah:
هِيَ اَنْ يَتَمَلَّكَ شَخْصَانِ فَاَكْثَرَ عَيْنًا مِنْ غَيْرِ عَقْدِ الشِّرْكَة
Syirkah milik
adalah kepemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap suatu barang tanpa
melalui akad syirkah.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa syirkah milik adalah
suatu syirkah di mana dua orang atau lebih bersama-sama memiliki suatu
barang tanpa melakukan akad syirkah. Contoh, dua orang diberi hibah
sebuah rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki oleh dua orang melalui
hibah, tanpa akad syirkah antara dua orang yang diberi hibah tersebut.
Syirkah milik terbagi
kepada dua bagian:
a. Syirkah
Ikhtiyariyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul karena
perbuatan orang-orang yang berserikat. Contoh A dan B membeli sebidang tanah,
atau dihibahi atau diwarisi sebuah rumah oleh orang lain, dan keduanya (A dan
B) menerima hibah atau wasiat tersebut. Dalam contih ini pembeli yaitu A dan B,
orang yang dhibahi, dan orang yang diberi wasiat (A dan B) bersama-sama
memiliki tanah atau rumah tersebut, secara sukarela tanpa paksaan dari pihak
lain.
b. Syirkah Jabariyah, yaitu susatu bentuk kepemilikan bersama yang
timbul bukan karena perbuatan orang-orang yang berserikat, melainkan harus
terpaksa diterima oleh mereka. Contohnya, A dan B menerima warisan sebuah
rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki bersama oleh A dan B secara
otomatis (paksa), dan keduanya tidak bisa menolak.
Hukum kedua syirkah ini adalah bahwa masing-masing orang yang
berserikat seolah-olah orang lain dalam bagian teman serikatnya. Ia tidak boleh
melakukan tasarruf terhadap barang yang menjadi bagian temannya tanpa
izin temannya itu, karena meskipun mereka bersama-sama menjadi pemilik atas
barang tersebut, namun masing-masing anggota serikat tidak memiliki kekuasaan
atas barang yang menjadi bagian temannya.
2.
Syirkah Al-‘Uqud
Pengertian syirkah al-‘uqud adalah
sebagai berikut:
هِيَ عِبَارَةٌ عَنِ الْعَقْدِ الوْاَقِعِ بَيْنَ
اثْنَيْنِ فَاَكْثَرَ لِلْاِشْتِرَاَكِ فِيْ مَالٍ وَرِبْحِهِ
Syirkah ‘uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang
terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu di dalam modal dan
keuntungannya.
Syirkah
‘uqud terbagi kepada beberapa bagian.
a. Menurut Hanabilah, syirkah ‘uqud
itu ada lima macam :
1) Syirkah ‘inan.
2) Syirkah mudharabah.
3) Syirkah wujuh
4) Syirkah abdan
5) Syirkah mufawadhah
b. Menurut Hanafiah, syirkah ‘uqud itu
ada enam macam :
1)
Syirkah amwal
a)
Mufawadhah
b)
‘Inan
2) Syirkah a’mal:
a)
Mufawadhah
b)
‘Inan
3) Syirkah wujuh:
a)
Mufawadhah
b)
‘Inan
c) Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, syirkah
itu ada empat macam:
1)
Syirkah abdan
2) Syirkah mufawadhah
3) Syirkah wujuh
4) Syirkah ‘Inan
Dari jenis-jenis syirkah
yang telah dikemukakan di atas, para ulama sepakat bahwa syirkah ‘inan
hukumnya dibolehkan. Sedangkan syirkah yang lainnya diperselisihkan.
Syafi’iyah menganggap semua syirkah hukumnya batal kecuali syirkah
‘inan dan syirkah mudharabah. Hanabilah membolehkan semua jenis syirkah,
kecuali syirkah mufawadhah.Malikiyah membolehkan semua syirkah,
kecuali syirkah wujuh. Sedangkan Hanafiah membolehkan semua jenis syirkah
tanpa kecuali, apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi.
a. Syirkah ‘Inan
وَهِيَ اَنْ يَشْتَرِكَ اثْنَانِ فِيْ مَالٍ
لَهُمَا عَلَي اَنْ يَتَّجِرَا فِيْهِ وَاِّلرِّبْحُ بَيْنَهُمَا
Syirkah ‘inan adalah suatu persekutuan atau kerja sama
antara dua pihak dalam harta (modal) untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi
diantara mereka.
Dari definisi tersebut dapat dipahami abhwa syirkah
‘inan adalah persekutuan dalam modal dan keuntungan, termasuk kerugian.
Dengan demikian, dalam syirkah’inan seorang persero tidak dibenarkan
hanya bersekutu dalam keuntungan saja, sedangkan kerugian ia bebaskan.
Dalam syirkah ‘inan tidak disyaratkan adanya
persamaan dalam modal, tasarruf (tindakan hukum), dan keuntungan serta
kerugian. Dengan demikian, dalam syirkah ‘inan, antara peserta yang satu
dengan peserta yang lainnya, modal yang diinvestasikan-nya boleh sama dan boleh
berbeda. Misalkan A, B, C masing-masing menanamkan modal untuk perusahaan
Rp50.000,00. Atau A menanamkan modal Rp.50.000,00, B Rp40.000,00 dan C hanya
Rp20.000,00.
Dalam hal modal yang diinvestasikan sama, maka
keuntungan yang dibagikan boleh sama antara para peserta dan boleh pula
berbeda. Hal tersebut tergantung pada kesepakatan yang dibuat oleh para peserta
pada eaktu terbentuknya akad. Adapun dalam hal kerugian maka perhitungannya
disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan.
اَلرِّبْحُ عَلَي مَا
شَرَطَا،وَالْوَضِيْعَةُعَلَي قَدْرِ الْمَالَيْنِ
Keuntungan
diatur sesuai dengan syarat yang mereka sepakati, sedangkan kerugian tergantung
pada besarnya modal yang diinvestasikan.
b. Syirkah
Mufawadhah
Mufawadhah dalam arti bahasa adalah al-musawah, yang artinya ‘persamaan” karena
didalamnya terdapat unsur persamaan dalam modal, keuntungan, melakukan tasarruf,
dan lain-lainnya. Menurut satu pendapat, Mufawadhah diambil dari kata at-tafwidh
(penyerahan), karena masing-masing peserta menyerahkan hak untuk
melakukan tasarruf kepada teman serikat yang lainnya.
Dalam arti istilah:
وَهِيَ فِي الْاِصْطِلَاحِ: اَنْ يَتَعَاقَدَ
اِثْنَانِ فَاَكْثَرَ عَلَي اَنْ يَشْتَرِكَا فِيْ عَمَلٍ بِشَرْطِ اَنْ يَكُوْنَا
مُتَسَاوَيَيْنِ فِيْ رَاْسِ مَا لِهِمَا وَتَصَرُّفِهِمَا وَدِيْنِهِمَا اَيْ
(مِلَّتِهِمَا) وَيَكُوْنُ كُلُ وَاحِدٍ مِنُهُمَا كَفِيْلًاعَنِ الْاَخَرِفِيْمَا
يَجِبُ عَلَيْهِ مِنْ شِرَاءٍ وَبَيْعٍ
Syirkah mufawadhah adalah suatu akad yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih untuk bersekutu (bersama-sama) dalam mengerjakan
suatu perbuatan dengan syarat keduanya sama dalam modal,tasarruf, dan agamanya,
dan masing-masing peserta menjadi penaggung jawab atas yang lainnya di dalam
hal-hal yang wajib dikerjakan, baik berupa penjualan maupun pembelian.
Dari definisi tersebut dapat diketahui
bahwa dalam syirkah mufawadhah terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi, yaitu:
1) Persamaan
dalam modal. Apabila salah satu peserta modalnya lebih besar daripada peserta
lainnya, maka syirkah hukumnya tidak sah.
2) Persamaan
dalam hak tasarruf. Maka tidak sah syirkah antara anak yang masih
di bawah umur dan orang dewasa. Karena hak tasarruf keduanya tidak sama.
3) Persamaan
dalam agama.
4) Tiap-tiap
peserta harus menjadi penanggung jawab atas peserta yang lainnya dalam hak dan
kewajiban, sekaligus sebagai wakil. Dengan demikian, tindakan hukum peserta
yang satu tidak boleh lebih besar daripada tindakan hukum peserta yang lainnya.
Menurut Hanafiah dan Malikiyah, syirkah ini hukumnya dibolehkan
karena banyak dilakukan orang selama beberapa waktu, tetapi tidak ada seorang
pun yang menolaknya, sedangkan Imam Syafi’i tidak membolehkannya. Beliau
mengatakan:
اِذَا لَمْ تَكُنْ شِرْكَةُ الْمُفَا وَضَةِ
بَاطِاَةً فَلَا بَاطِلَ اَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا
Apabila syirkah mufawadhah tidak dianggap batal, maka
tidak ada lagi sesuatu yang batal yang saya ketahui di dunia ini.
Syafi’i berpendapat bahwa syirkah mufawadhah adalah suatu akad
yang tidak ada dasarnya dalam syara’. Untuk mewujudkan persamaan dalam berbagai
hal merupakan hal yang sulit, karena di dalamnya ada unsur gharar
(tipuan) dan ketidakjelasan. Sedangkan hadis yang digunakan sebagai dasar oleh
Hanafiah, merupakan hadis yang tidak sahih dan tidak dapat diterima.
c. Syirkah
Wujuh
Syirkah wujuh didefinisikan oleh Sayid Sabiq sebagai berikut.
هِيَ اَنْ يَشْتَرِيَ
اِثْنَانِ فَاَكْثَرَ مِنَ النَّاسِ دُوْنَ اَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ رَاْسُ مَالٍ اِعْتِمَادًا
عَلَي جَاهِهِمْ وَثِقَةِ التُّجَّارِ بِهِمْ, عَلَي اَنْ تَكُوْنَ الشِّرْكَةُ بَيْنَهُمْ
فِي الرِّبْحِ
Syirkah wujuh adalah pembelian yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih dari orang lain tanpa menggunakan modal, dengan berpegang
kepada penampilan mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dengan
ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan.
Dari definisi tersebut dapat diapahami bahwa syirkah
wujuh adalah suatu syirkah atau kerja sama antara dua orang atau
lebih untuk membeli suatu barang tanpa menggunakan modal. Mereka berpegang
kepada penampilan mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka. Dengan
demikian, transaksi yang dilakukan adalah dengan cara berutang dengan
perjanjian tanpa pekerjaan dan tanpa harta (modal).
Menurut Hanafiah, dan Hanabilah, syirkah wujuh
hukumnya boleh, karena bentuknya berupa satu jenis pekerjaan. Kepemilikan
terhadap barang yang dibeli boleh berbeda anatara para peserta dengan peserta
yang lainnya. Sedangkan
keuntungan dibagi di antara para
peserta, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing-masing dalam kepemilikan
atas barang yang dibeli. Akan tetapi, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat
bahwa syirkah wujuh hukumnya batal, alasannya karena syirkah
selalu berkaitan dengan harta dan pekerjaan. Sedangkan dalam syirkah wujuh,
keduanya (harta dan pekerjaan) tidak ada, yang ada hanya penampilan para
anggota serikat, yang diandalkan untuk mendapatkan kepercayaan dari para
pedagang.
d.
Syirkah Abdan
Syirkah abdan didefinisikan oleh Sayid Sabiq sebagai berikut.
هِيَ اَنْ يَتَّفِقَ
اِثْنَانِ عَلَي اَنْ يَتَقَبَّلَا عَمَلًا مِنَ الْاَعَمَالِ عَلَي اَنْ تَكُوْنَ
اُجْرَةُ هَذَا الْعَمَلِ بَيْنَهُمَا حَسْبَ الْاِتِّفَاقِ
Syirkah abdan adalah kesepakatan antara dua orang (atau lebih) untuk
menerima suatu pekerjaan dengan ketentuan upah kerjanya dibagi di antara mereka
sesuai dengan kesepakatan.
Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa syirkah abdan atau disebut juga syirkah a’mal
adalah suatu bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan
suatu pekerjaan bersama-sama, dan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai
dengan persyaratan yang disepakati bersama. Contohnya, tukang batu dengan
beberapa temannya berserikat (bekerja sama) dalam mengerjakan pembangunan
sebuah gedung sekolah. Kerja sama tersebut bisa dalam satu jenis pekerjaan yang
sama, seperti tukang batu dengan tukang batu, dan bisa juga dalam jenis-jenis
pekerjaan yang berbeda. Misalnya kerja sama antara tukang batu dan tukang kayu
dalam mengerjakan pembangunan sebuah gedung kantor. Syirkah ini bisa
disebut syirkah abdan, syirkah a’mal. Syirkah ash-shanai, atau syirkah
taqabbul.
Menurut Malikiyah,
Hanafiah, Hanabilah, syirkah abdan hukumnya boleh. Karena tujuan
utamanya adalah memperoleh keuntungan. Dalil dibolehkannya syirkah abdan adalah
hadis Ibnu Mas’ud:
وَعَنْ عَبْدِ الله
بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: اِشْتَرَكْتُ اَنَا وَعَمَّارُ وَسَعْدٌ فِيْمَا نُصِيْبُ
يَوْمَ بَدْرٍ, فَجَاءَ سَعْدٌ بِاَسِيْرَيْنِ وَلَمْ اَجِئْ اَنَا وَعَمَّارُ
بِشَيْءٍ
Dari Abdullah ibnu Mas’ud ia berkata: “Saya, Ammar, dan Sa’ad bersekutu dalam
hasil yang diperoleh pada Perang Badar. Maka Sa’ad datang dengan membawa dua
orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar tidak memperoleh apa-apa.” (HR. An-Nasai)
Hadis ini
menggambarkan tentang kerja sama antara para sahabat dalam hasil rampasan perang.
Kerja sama tersebut dilakukan dengan menggunakan tenaga, tidak menggunakan uang
(modal). Ini menunjukkan bahwa syirkah abdan itu dibolehkan. Hanya saja
Malikiyah mengajukan beberapa syarat untuk keabsahan syirkah abdan ini,
yaitu
1)
Pekerjaan atau
profesi antara para peserta harus sama. Apabila profesinya berbeda maka
hukumnya tidak boleh, kecuali garapan pekerjaannya saling mengikat. Misalnya
tukang kayu dan tukang batu mengerjakan sebuah rumah. Dalam contoh ini hukum syirkah-nya
dibolehkan karena pekerjaan yang satu bergantung kepada pekerjaan yang lainnya.
2)
Tempat pekerjaannya
juga harus satu lokasi. Apabila lokasi keduanya berbeda, maka syirkah-nya
tidak sah.
3)
Pembagian upah
harus sesuai dengan kadar pekerjaan yang disyaratkan bagi setiap anggota
seikat.
Menurut Syafi’iyah,
dan Hanafiah, syirkah abdan hukumnya batal, karena menurut mereka syirkah
itu hanya khusus dalam mobil saja, bukan dalam pekerjaan.
1.
Rukun Syirkah
a)
Ucapan (Sighah)
penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul).
b)
Pihak yang
berkontrak.
c)
Objek kesepakatan
berupa modal dan kerja.
2.
Syarat Syirkah
a)
Syarat-Syarat Umum Syirkah
‘Uqud
1)
Tasarruf yang menjadi objek akad syirkah harus
bisa diwakilkan
Dalam syirkah
‘uqud keuntungan yang diperoleh merupakan milik bersama yang harus dibagi
sesuai dengan kesepakatan. Kepemilikan bersama dalam keuntungan tersebut
menghendaki agar setiap anggota serikat menjadi wakil dari anggota serikat
lainnya dalam pengelolaan harta (modal), di samping bertindak atas namanya
sendiri. Atas dasar itu maka setiap anggota serikat memberikan kewenangan
kepada anggota seikat lainnya untuk melakukan tasarruf, baik dalam hal
penjualan, pembelian maupun penerimaan kontrak kerja. Dengan demikian, masing-masing
peserta menjadi wakil bagi peserta lainnya.
2)
Pembagian
keuntungan harus jelas
Bagian keuntungan
untuk masing-masing anggita serikat nisbahnya harus ditentukan dengan jelas,
misalnya 20%, 10%, 30%, atau 40%. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas,
maka syirkah menjadi fasid, karena keuntungan merupakan salah
satu ma’uqud ‘alaih.
3)
Keuntungan harus
merupakan bagian yang dimiliki bersama secara keseluruhan; tidak ditentukan
untuk A 100, B 200 misalnya. Apabila keuntungan telah ditentukan, maka akad syirkah
menjadi fasid. Hal itu karena syirkah mengharuskan adanya
oenyertaan dalam keuntungan, sedangkan penentuan kepada orang tertentu akan
menghilangkan hakikat perkongsian.
b)
Syarat Khusus untuk
Syirkah Amwal
Untuk keabsahan syirkah amwal, baik syirkah
‘inan maupun syirkah mufawadhah, harus memenuhi beberapa syarat
berikut.
1)
Modal syirkah
harus berupa barang yang ada
Menurut jumhur fuqaha
modal syirkah harus berupa barang yang ada, baik pada waktu akad maupun
pada saat jual beli. Dengan demikian, modal ridak boleh berupa utang, atau
harta yang tidak ada di tempat akad. Hal ini oleh karena tujuan syirkah
adalah memperoleh keuntungan yang didapatkan melalui tasarruf tidak bisa
dengan utang atau barang yang tidak ada di tempat akad.
Menurut Hanafiah,
Malikiyah, dan Hanabilah, modal dari para peserta tidak harus dicampur menjadi
satu, karen amenurut mereka dalam syirkah yang penting akadnya, bukan
hartanya. Akan tetapi, emenurut Syafi’iyah, modal dari peserta harus dicampur
menjadi satu, sehingga tidak bisa dibedakan antara modal yang satu dengan modal
lainnya. Hal terebut dikarenakan arti syirkah adalah ikhtilath (campur),
dan percampuran tidak akan terwujud apabila harta masih bisa dibedakan antara
yang satu dengan yang lain.
2)
Modal syirkah
harus berharga secara mutlak
Ulama mazhab empat
sepakat bahwa modal syirkah harus berupa sesuatu yang bernilai secara
mutlak, seperti uang. Oleh karena itu, tidak sah modal syirkah dengan
barang-barang, baik berupa benda tetap maupun benda bergerak. Hal ini karena syirkah
dengan modal barang, bukan uang menyebabkan ketidakjelasan dalam pembagian
keuntungan, dan hal itu memicu terjadinya perselisihan dan pertentangan di
antara para peserta. Menurut Imam Malik, modal syirkah tidak mesti
berupa uang, melainkan boleh juga dengan barang dengan memperkirrakan nilainya,
baik jenisnya sama atau berbeda. Alasannya adalah bahwa syirkah
dilakukan dengan modal yang jelas, sehingga mirip dengan uang.
c)
Syarat Khusus untuk
Syirkah Mufawadhah
Ulama Hanafiah
mengemukakan syarat-syarat khusus sebagai berikut.
1)
Masing-masing
anggota sertikat memiliki kecapakan (ahliyah) utnuk melakukan wakalah
dan kafalah, yaitu harus merdeka, baligh, berakal, dan cerdas (rusyd).
2)
Persamaan dalam
modal, baik ukuran maupun harganya.
3)
Segala sesuatu yang
layak menjadi modal dari salah seorang anggota serikat harus dimasukkan ke
dalam syirkah.
4)
Pembagian
keuntungan harus sama. Apabila pembagian keuntungan tidak sama, maka syirkah-nya
bukan mufawadhah.
5)
Persamaan dalam
kegiatan perdagangan. Atas dasar syarat ini, Abu Hanifah mensyaratkan syirkah
mufawadhah antara sesama muslim, dan tidak boleh dengan orang kafir.
6)
Dalam melakukan
transaksi (akad) harus menggunakan kata mufawadhah.
Apabila salah satu
sghn yarat tidak ada, maka syirkah akan berubah menjadi syirkah
‘inan, karena syarat-syarat tersebut tidak diperlukan dalam syirkah
‘inan. Dengan demikian, dalam syirkah ‘inan tidak disyaratkan
kecapakan dalam wakalah, persamaan dalam modal dana keuntungan, dan
persamaan dalam kegiatan perdagangan, sebagaimana yang disyaratkan dalam syirkah
mufawadhah.
d)
Syarat-Syarat Syirkah
A’mal (Abdan)
Apabila bentuk syirkah a’mal ini mufawadhah
maka berlakulah syarat-syarat syirkah mufawadhah, sebagaimana yang telah
disebutkan di atas. Apabila bentuknya syirkah ‘inan maka tidak ada
persyaratan syirkah mufawadhah terse-but, kecuali kecapakan (ahliyah)
dalam wakalah. Oleh karena itu, Imama Abu Hanifah mengatakan, “Setiap
akad yang di dalamnya dibolehkan kafalah diboleh-kan pula syirkah,
dan apa yang tidak boleh wakalah, tidak boleh para syirkah.
Apabila pekerjaan memerlukan alat, sedangkan
alat itu dipakai oleh salah seorang anggita serikat maka hal itu tidak
mempengaruhi syirkah, dengan ketentuan alat itu tidak disewakan untuk
orang lain. Apabila alat itu disewakan untuk menggarap pekerjaan lain maka
upahnya untuk orang yang memiliki alat, dan syirkah menjadi fasid.
e)
Syarat-Syarat Syirkah
Wujuh
Apabila bentuk syirkah wujuh ini mufawadhah maka berlakulah
syarat-syarat syirkah mufawadhah, sebagaimana disebutkan di atas, yang
intinya persamaan dalam berbagai hal. Akan tetapi, apabila bentuknya syirkah
‘inan maka tidak ada persyaratan syirkah mufawadhah, seperti
persamaan dalam tasarruf, pembagian keuntungan, dan sebagainya.
1.
Dua orang bekerja sama secara sukarela untuk mengelola sebuah
warung makan, dengan perhitungan laba dibagi dua setelah dikurangi modal.
(Syirkah Ikhtiar)
2.
Dua orang bekerja sama namun salah satu tidak memiliki modal, dia
menawarkan jasa untuk menjaga saja warung makan tersebut, sehingga dia hanya
memperoleh laba hanya sebagian dari keuntungan. (Syirkah Jabr)
3.
Dua orang sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan
mengelola warung makan. Masing-masing memberikan kontribusi modal sebesar Rp 5
juta dan keduanya sama-sama bekerja. (Syirkah al-Inan)
4.
A dan B adalah tokoh terpercaya dalam berdagang. Lalu mereka
bekerja sama dengan membeli barang dari C dan menjualkan barang tersebut dengan
kesepakatan 50% dari barang yang dijualkan mereka, sedangkan harga pokok
dikembalikan pada C. (Syirkah al-Wujuh)
5.
A sebagai pemodal memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B
sebagai pengelola modal dalam usaha warung makan. Atau pihak A dan B memberikan modal, pihak C hanya
kontribusi kerja sama. (Syirkah al-Mudarabah)
6.
A sebagai pedagang jus buah, dan B sebagai pedagang cireng bekerja
sama, maka hasilnya akan dibagi dengan ketentuan tertentu. (Syirkah Abdan
7.
A sebagai pemodal, memberikan modal pada B dan C sebagai insiyur
warung makan, dengan kesekapatan saling kontribusi kerja. Kemudian B dan C juga
sepakat berkontribusi modal untuk membeli suatu barang atas dasar kepercayaan
pihak D kepada A dan B. (Syirkah Al-Mufawadah)
8.
Modal di serahkan kepada pengelola modal (nasabah) secara tunai
atau bertahap sesuai kesepakatan berupa uang atau nilai satuan uang. Hasil dari
usaha dibagi dengan persetujuan dalam akad. Dan pihak bank berhak mengawasi
pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan nasabah. (Bank Syariah)
1.
Cara Membagi Keuntungan dalam Syirkah
Keuntungan harus dikuantifikasi atau
dinilai jumlahnya.tersebut untuk mempertegas dasar kontrak musyarakah pada
perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan dan penghentian musyarakah.
Jika para mitra mengatakan bahwa “keuntungan akan dibagi di antara kita”
maka dalam hal ini, keuntungan akan dialokasikan menurut saham masing-masing
dalam modal.
Setiap keuntungan mitra harus
merupakan bagian proporsional dari seluruh keuntungan musyarakah.
Seorang mitra tidak dibenarkan untuk menentukn bagian keuntungannya sendiri
pada awal kontrak, karena hal itu melemahkan musyarakah dan melanggar
prinsip keadilan. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan
melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau persentase itu diberikan kepadanya.
Contohnya, bila seorang dari mereka (mitra) mengatakan “Saya akan mendapat
sepuluh jika kita mendapatkan lebih dari itu”, dan mitra lainnya menyepakati,
kontrak tersebut sah. Syarat-syarat tersebut pun bersifat mengikat.
2.
Cara Membagi Kerugian dalam Syirkah
Para ulama sepakat bahwa kerugian
harus dibagi diantara para mitra secara proporsional terhadap saham
masing-masing dalam modal. Mereka mendukung pendapat ini dengan perkataan Ali
bin Abi Thalib r.a., “Keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan,
sedangkan kerugian harus proporsional denagn modal mereka”. Dalam hal musyarakah
berkelanjutan (going concern) dibolehkan untuk menunda alokasi kerugian
supaya bisa dikompensasikan untuk menunda alokasi kerugian supaya bisa
dikompensasikan denagn keuntungan pada masa-masa berikutnya.
Dalam sebuah usaha bisnis secara
mandiri atau secara kerja sama tidak selamanya dapat mencapai keberhasilan,
tapi kadang mengalami kebangkrutan.
1.
Konsep Dasar
Pailit (at-taflis)
ialah seseorang yang mempunya utang, sedangkan seluruh kekayaannya habis
sehingga tidak tersisa sedikit pun untuk membayar utangnya.
2.
Hukum-Hukum At-Taflis
a.
Orang yang mengalami bangkrut (at-taflis) dikenakan al-hajru
jika para kreditur menghendakinya.
b.
Seluruh aset orang yang mengalami at-taflis (bangkrut)
dijual, kecuali pakaiannya dan sesuatu yang harus dimilikinya, seperti makanan,
kemudian hasil penjualannya dibagi secara rata di antara para kreditur.
c.
Jika di antara salah satu kreditur menemukan barangnya dalam
keadaan utuh tanpa perubahan sedikit pun pada orang yang mengalami bangkrut (at-taflis),
ia lebih berhak mengambilnya dari pada kreditur lainnya, karena Rasulullah Saw.
Bersabda: :Barang siapa menemukan barang pada orang yang telah bangkrut, ia
lebih berhak terhadapnya”. (HR. Muttafaq Alaih). lainnya Ini dengan syarat,
ia tidak pernah mengambil sedikit pun dari uang hasil penjualan barang
tersebut. Jika ia pernah mengambilnya, ia mempunya hak yang sama dengan para
kreditor.
d.
Barang siapa terbukti mengalami kesulitan keuangan, dalam arti
tidak mempunyai kekayaan yang bisa dijual untuk melunasi utangnya, ia tidak
boleh ditagih.
e.
Jika harta orang yang mengalami kebangkrutan (at-taflis)
telah dibagi-bagi, kemudian datanglah seorang kreditur yang tidak pernah
mengetahui pemberlakuan al-hajru terhadapnya dan juga tidak mengetahui
penjualan asetnya, maka ia menemui para kreditur dan meminta hak yang sama
dengan mereka.
f.
Siapa saja yang mengetahui pemberlakuan al-hajru pada salah
seorang debitur (orang yangbangkrut), kemudian ia melakukan transaksi bisnis
dengannya, ia tidak mempunyai hak yang sama seperti para kreditur lainnya dan
utangnya tetap menjadi tanggungan debitur tersebut (orang yang bangkrut) hingga
ia bisa membayarnya.
Hal-hal yang membatalkan syirkah
ada yang sifatnya umum dan berlaku untuk semua syirkah, dan ada yang
khusus untuk syirkah tertentu, tidak untuk syirkah yang lain.
1.
Hal-Hal yang Membatalkan Syirkah Secara Umum
Sebab-sebab
yang membatalkan syirkah secara umum adalah sebagai berikut :
a.
Pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut
dikarenakan akad syirkah merupakan akad yang jaiz dan ghair
lazim, sehingga memungkinkan untuk fasakh.
b.
Meninggalnya salah seorang anggota serikat.
Apabila salah seorang anggota serikat meninggal dunia, maka syirkah
menjadi batal atau fasakh karena batalnya hak milik, dan hilangnya
kecakapan untuk melakukan tasarruf karena meninggal, baik anggota
serikat yang lain mengetahuinya atau tidak.
c.
Murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya
ke Darul Harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
d.
Gilanya peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan
status wakil dari wakalah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakalah.
2.
Hal-Hal yang Membatalkan Syirkah Secara Khusus
Adapun hal-hal yang menyebabkan batalnya syirkah secara
khusus adalah :
a.
Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang
anggota serikat sebelum digunakan untuk membeli barang dalam syirkah amwal.
b.
Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufawadhah ketika
akad akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan
akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.
Syirkah adalah akad kerja sama atau usaha dua atau lebih pemilik modal
atau keahlian untuk melakukan jenis usaha yang halal dan produktif. Sedangkan Mudharabah
adalah seseorang menyerahkan modal tertentu kepada orang lain untuk dikelola
dalam usaha perdagangan, dimana keuntungannya dibagi di antara keduanya menurut
persyaratan yang telah ditentukan. Adapun kerugian hanya ditanggung pemodal,
karena pelaksana telah menanggung kerugian tenaganya, maka tidak perlu dibebani
oleh kerugian lainnya.
Jadi perbedaan nya dalam hal pembagian untung rugi dan keterlibatan
peserta dalam usaha yang sedang dikerjakan.
Hikmah
melaksanakan Syirkah dalam kehidupan diantaranya :
1. Terkumpulnya modal dengan jumlah yang
besar, sehingga dapat digunakan untuk mengadakan pekerjaan-pekerjaan besar
pula.
2. Dapat memperlancar laju ekonomi makro.
3. Terciptanya lapangan pekerjaan yang lebih
luas dan memadai.
4. Terjalinya rasa persaudaraan diantara
sesama pemegang modal dan mitra kerja yang lain.
5. Pemikiran untuk memajukan perusahaan menjadi
lebih banyak karena berasal dari banyak orang pula.
BAB 3
Syirkah
adalah suatu perjanjian antara dua orang / lebih yang menghendaki tetapnya
kerjasama dalam suatu usaha atau perdagangan. Secara garis besar perkongsian
terbagi menjadi dua yaitu amlak (perkongsian ikhtiar dan ijbar) dan uqud yang
terbagi menjadi beberapa macam menurut ulama seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Ulama fiqih sepakat bahwa perkongsian ‘Inan dibolehkan sedangkan
bentuk-bentuk lainnya masih diperselisihkan.
Syirkah sebagai sarana sarana muslim untuk bisa bermualah dengan muslim
lainnya dengan ketentuan sesuai syariat.
Nawawi, I. (2012). Fikih Muamalah Klasik dan
Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia.
Aini, Musthofa dkk. (2006). Konsep ideal
dalam Islam. Terjemahan Minhajul Muslim. Jakarta: Darul Haq
Muslich, A. W. (2015). Fiqh Muamalah.
Amzah
http://yoyoprayogo.blogspot.co.id/2010/10/syirkah-dan-hikmahnya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar