PENDIDIKAN NILAI KESABARAN DALAM KISAH NABI ŻULKIFLI
Muhammad Satria Ramadhan
Abstrak
Seseorang yang telah ditetapkan oleh Allahﷻ
untuk menjadi nabi dan rasul tentunya merupakan hamba yang terbaik, sabar dan
saleh. Nabi Żulkifli merupakan nabi yang telah diutus Allahﷻ
karena kesabaran yang dimilikinya. Disaat Beliau
mendapatkan cobaan yang diberikan Allahﷻ, tidak pernah sedikitpun ia mengeluh. Nabi Żulkifli malah lebih
mendekatkan dirinya dengan penuh keimanan dan ketakwaan kepada Allahﷻ. Kisah kesabaran yang dimiliki Nabi Żulkifli telah diabadikan
dalam Alquran pada surat Al-Anbiya’ ayat 85-86 dan surat Ṣad ayat 48. Kesabaran yang dimiliki Nabi Żulkifli
disuatu saat membuatnya menjadi seorang raja. Seperti apa yang diucapkan Nabi
Ibrahim dan Nabi Ishaq bahwa semua keturunannya akan menjadi pemimpin serta panutan bagi
semua kaumnya. Allahﷻ telah mengangkat Nabi
Żulkifli sebagai Nabi dan Rasul setelah beberapa hari menjadi raja menggantikan raja Ilyasa. Ia memenuhi segala
janjinya sebagai raja, dan Allahﷻ memberikannya ujian,
melalui setan yang berkeinginan untuk menggoyahkan iman dan ketakwaannya. Hikmah dari sifat sabar
tersebut adalah agar manusia dapat mengenal Allahﷻ
lebih dekat, tidak kufur dengan nikmat Allahﷻ,
sifat sabar dapat membersihkan hati,sabar sebagai obat dan sikap sabar juga
mendapatkan pahala yang besar dari Allahﷻ.
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka sifat sabar sangat penting
karena sikap sabar merupakan pengokoh segala urusan di dunia dan mengajak
manusia agar menanamkan kesabaran tersebut dalam pribadi masing-masing.
Kata Kunci : Pendidikan, nilai, kesabaran
BAB I
PENDAHULUAN
Tidak diragukan lagi hidup ini laksana gelombang, turun-naik,
lapang-sempit, mudah-susah, dan sebagainya. Dua warna hidup ini datang silih
berganti. Bagi orang-orang yang tidak beriman, datangnya nikmat membuat mereka
sombong, dan datangnya kesusahan membuat mereka frustasi. Berbeda dengan
orang-orang mukmin, dengan senjata syukur dan sabar, mereka selalu ada dalam
kebaikan. Syukur dan sabar selalu menyertai hidup seorang mukmin. Ketika
seseorang selalu mensyukuri nikmat Allahﷻ,
dia akan diberi tambahan nikmat oleh Allahﷻ.
Setiap orang di dunia ini mempunyai masalah yang berbeda-beda.
Tapi masalah apapun itu merupakan pemberian Allahﷻ
untuk semua makhluknya. Allahﷻ memberikan ujian
kepada manusia dalam bentuk yang berbeda-beda. Ujian yang diberikan kepada
manusia ada yang menganggap sebagai masalah tetapi ada juga yang menganggap
ujian tersebut sebagai suatu nikmat dari Allahﷻ
SWT. Dalam menyikapi masalah tersebut,ada yang justru bertambah ketaqwaannya
kepada Allahﷻ,ada juga yang semakin jauh kepada Allahﷻ. Mereka yang menganggap masalah tersebut
sebagai rahmat dari Allahﷻ, akan senantiasa
mendekatkan diri kepada Allahﷻ karena menganggap
ujian tersebut merupakan bukti kasih sayang Allahﷻ
kepada hambanya. Tetapi mereka yang menganggap masalah tersebut sebagai ujian
dari Allahﷻ sering kali berfikir pendek karena tidak
sanggup melewatinya. Padahal setiap Allahﷻ
memberikan ujian kepada hambanya, Allahﷻ
telah mengukur kemampuan hambanya masing-masing.
Satu sikap yang penting dalam menjaga iman adalah sabar.
Kesabaran merupakan pengokoh segala urusan di dunia. Abdullah bin Alawy
Al-Haddad Al-Husaini menyatakan dalam bukunya yang berjudul Sentuhan-Sentuhan
Sufistik Penuntun Jalan Akhirat bahwasanya kesabaran merupakan pengokoh
segala urusan di dunia ini, kesabaran merupakan suatu akhlaq yang mulia (Anwar,
1999:185).
Gambaran ideal tentang sabar dapat diperoleh dari kisah Nabi Żulkifli, yang tertulis namanya dalam
kitab suci Alquran. AlQuran menyebut nama itu dua kali; dalam surat al-Anbiya dan Ṣad.
Di antaranya ia disebut bersama-sama dengan Nabi Idris dan Nabi Ismail. Hal ini menunjukkan bahwa
seperti kedua nabi tersebut, Żulkifli adalah seorang yang berpengaruh dan berkelimpahan. Dan seperti
mereka, Żulkifli pun mengalami berbagai cobaan dan kemalangan yang harus
dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketabahan.
Nabi Żulkifli mendapat ujian dari Allahﷻ
yang bertubi-tubi. Nabi Żulkifli selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan
kepada beliau. Ketika Nabi Żulkifli dalam keadaan yang berkecukupan, beliau
senantiasa bersyukur kepada Allahﷻ
dan ketika beliau mendapat ujian dari Allahﷻ,
ujian tersebut dianggap sebagai nikmat dari Allahﷻ.
Karena sebagai hamba yang taat kepada Allahﷻ,
Nabi Żulkifli mengenali Rab-Nya dengan baik dan benar dengan cara selalu
mensyukuri nikmat yang senantiasa Allahﷻ
berikan kepada hamba-hambanya.
BAB II
KAJIAB TEORI
A.
Pendidikan
1. Pengertian
Pendidikan
Menurut Noeng Muhajir sebagaimana dikutip
oleh Suwarno (2006: 19), pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani,
Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak pergi dan pulang sekolah diantar
seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate
yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris,
pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih
intelektual.
Dalam pengertian yang sederhana dan umum,
pendidikan merupakan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai yang
ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Atau dengan katalain bahwa pendidikan
dapat diartikan sebagai suatu hasil peradaban
bangsa yang dikembangkan atasa dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (Indar, 1994: 16).
Di dalam
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian
pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinyasehingga memiliki kkekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan oleh
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Suwarno, 2006: 21).
2.
Aliran-aliran pendidikan
Terdapat empat aliran pendidikan
yang mana keempat aliran tersebut mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang
pendidikan:
a.
Aliran empirisme
Kata empirisme berasal dari kata
‘empiris’ yang berarti pengalaman. Tokoh aliran ini adalah John Locke, seorang
filsuf bangsa Inggris yang berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini sebagai
kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin (Tabula Rasa) yang belum ada
tulisan diatasnya. Jadi John Locke berpendapat bahwa anak dilahirkan ke dunia
ini tanpa pembawaan. Menurut teori empirisme, pendidikan adalah maha kuasa
dalam membentuk anak didik menjadi apa yang diinginkannya (Jumali dkk, 2008:
126).
Teori empirisme ini menganggap
bahwa pendidikan hanya dapat diperolah dari lingkungan yang ada disekitar. Yang
dimaksud dengan lingkungan yaitu lingkungan hidup maupun lingkungan tak hidup
yang berpengaruh besar terhadap pendidikan dan perkembangan anak.
b.
Aliran nativisme
Aliran ini berpendapat bahwa
perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa
manusia sejak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah
yang menentukan hasil perkembangannya (Purwanto, 2006: 59).
Dalam hubungannya dengan
pendidikan, aliran ini berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan
perkembangan ditetntukan oleh pembawaan yang diperolehnya sejak kelahirannya.
Lingkungan tidak berpengaruh sama sekali terhadap pendidikan dan perkembangan
anak itu. Aliran ini juga berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat menghasilkan
tujuan yang diharapkan dengan perkembangan anak didik. Dengan kata lain aliran
nativisme merupakan aliran pesimisme dalam pendidikan. Berhasil tidaknya
perkembangan anak tergantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang
dimiliki oleh anak didik (Jumali dkk, 2008: 126).
c.
Aliran naturalisme
Aliran ini hampir sama dengan
nativisme yang berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak sejak dilahirkan
adalah baik. Teori yang dikemukakan oleh J. J Rousseau berpendapat bahwa semua
anak yang baru lahir mempunyai pembawaan yang baik, tidak ada seorangpun anak
yang lahir dengan pembawaan buruk (Jumali dkk, 2008: 127).
d.
Aliran konvergensi
Hukum ini berasal dari ahli ilmu
jiwa Jerman, bernama William Stern. Ia berpendapat bahwa faktor pembawaan dan
lingkungan kedua-duanya menentukan perkembangan manusia (Purwanto, 2006: 60). Menurutnya,
teori empirisme dan nativisme masing-masing terlalu berat sebelah. Kedua-duanya
mendukung kebenaran dan juga ketidakbenaran. Menurut teori konvergensi baik
pembawaan maupun lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil
perkembangan anak didik. Hasil perkembangan dan pendidikan bergabung pada
kecilnya pembawaan serta situasi lingkungan (Jumali dkk, 2008: 128).
Jadi, menurut teori konvergensi
perkembangan manusia bukan karena hasil dari pembawaan saja melainkan juga
lingkungan yang menentukan hasil pendidikan tersebut. Selain itu kemampuan atau
aktivitas seseorang itu sendiri juga menentukan hasil dari pendidikan dan
perkembangan manusia. Dengan begitu teori konvergensi menggabungkan antara
pembawaan dan lingkungan serta aktivitas manusia itu sendiri.
B. Nilai
1.
Pengertian Nilai
Nilai adalah
patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara
cara-cara tindakan alternatif (Kuperman, 1983). Penekanan utama definisi ini
pada faktor eksternal yang mempengaruhi prilaku manusia. Pendekatan yang
melandasi definisi ini adalah pendekatan sosiolgis. Penegakan norma sebagai
tekanan utama dan terpenting dalam kehidupan sosial akan membuat seseorang
menjadi tenang dan membebaskan dirinya dari tuduhan yang tidak baik (Sauri, Pd,
& Dewey, 1992).
Dalam Ensyclopedia of
Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value dan valuation
dengan tiga bentuk:
a.
Nilai digunakan sebagai kata
benda abstrak. Dalam pengertian yang sempit seperti baik, menarik dan bagus.
Dalam pengertian yang luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban,
kebenaran dan kesucian.
b.
Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya
ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk
merujuk kepada sesuatu yang bernilai, sebagaimana berlawanan dengan apa-apa
yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.
Nilai digunakan sebagai kata kerja dalam
ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan
evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan.
Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
(Bachtiar, 2013: 164).
2.
Teori tentang nilai
a.
Etika
Makna etika dipakai dalam dua
bentuk arti, pertama etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai
penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu
predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau
manusia-manusia yang lain (Bakhtiar, 2013: 165).
b.
Estetika
Secara etimologi estetika berasal
dari bahasa Yunani, yaitu: aistheta, yang diturunkan dari aisthe
(hal-hal yang dapat ditanggapi dengan indra). Pada umumnya aisthe
dioposisikan dengan noeta, dari akar kata noein, nous,
yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan pikiran. Estetika menurut Kattsoff
dalam buku Element of Philosophy, adalah segala sesuatu dan kajian
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni, sedangkan menurut William
Haverson dalam buku Estetika Terapan, estetika adalah segala hal yang
berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral suatu karya seni.
Estetika berkaitan dengan nilai
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya. Estetika membahas tentang indah atau tidaknya
sesuatu. Dalam dunia pendidikan nilai estetika menjadi patokan penting dalam
proses pengembangan pendidikan.
C. Kesabaran
1.
Pengertian sabar
Quraish
Shihab, dalam Tafsir Al-Mishbah, menjelaskan bahwa sabar artinya menahan diri
dari sesuatu yang tidak berkenan di hati. Ia juga berarti ketabahan. Selain
itu, ia menjelaskan bahwa kesabaran secara umum dibagi menjadi dua. Pertama,
sabar jasmani yaitu kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah
keagamaan yang melibatkan anggota tubuh seperti sabar dalam menunaikan ibadah
haji yang menyebabkan keletihan. Termasuk pula, sabar dalam menerima cobaan
jasmaniyah seperti penyakit, penganiayaan dan sebagainya. Kedua, sabar rohani
menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar kepada
kejelekan semisal sabar dalam menahan amarah, atau menahan nafsu seksual yang
bukan pada tempatnya (Yusuf,
Kahfi, & Ibala, 2018).
2.
Keutamaan sabar
Allahﷻ
menyebutkan orang-orang yang sabar dengan berbagai sifat dan menyebutkan
kesabaran di dalam Al Qur‟an lebih dari sembilan puluh tempat. Bahkan Allahﷻ menambahkan keterangan tentang sejumlah
derajat yang tinggi dan kebaikan, dan menjadikannya sebagai buah dari
kesabaran. Firman Allahﷻ dalam surat An-Nahl
ayat 96 yang berbunyi:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ ۖ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ ۗ وَلَنَجْزِيَنَّ
الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allahﷻ adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan
memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.
Dari ayat di atas dijelaskan
bahwa Allahﷻ akan memberikan balasan kepada orang-orang
yang selalu bersikap sabar dalam menghadapi semua yang diberikan oleh-Nya
dengan pahala yang yang melebihi dari apa yang mereka perbuat dan mereka
kerjakan di dunia.
3.
Macam-macam kesabaran
Sabar mempunyai peran penting
dalam kehidupan manusia. Sifat sabar yang dimiliki manusia akan menahan mereka
dari segala hal yang buruk, karena sifat sabar mempunyai keterkaitan dengan
sifat baik lainnya. Menurut Anwar (1999: 187) terdapat empat macam kesabaran di
antaranya:
a.
Sabar dalam menjalani ketaatan
Kesabaran semacam ini dapat
diperoleh manusia secara lahir dan batin. Secara lahiriah, seseorang harus
selalu mengerjakan ketaatan dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan ketentuan
syara‟. Sedangkan secara batiniah, ia harus ikhlas dan menghadirkan hati ketika
sedang mengerjakan ketaatan. Kesabaran ini akan mengingatkan seseorang akan
janji-janji Allahﷻ, berupa pahala yang
disiapkan bagi hamba-hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat yang
mengerjakan ketaatan. Siapa saja selalu menjalani kesabaran seperti ini akan
sampai pada derajat kedekatan dengan Allahﷻ. Di sanalah ia akan merasakan nikmatnya ketaatan. Jadi
dalam kaitannya dengan hal ini, sabar berkaitan dengan sifat ikhlas. Ikhlas
dalam menjalankan perintah dari Allahﷻ
dan juga ikhlas dalam menjauhi larangan Allahﷻ.
b.
Kesabaran dalam menjauhi kemaksiatan
Sebagaimana kesabaran jenis pertama, kesabaran
ini pun dapat diperoleh melalui lahir batin seseorang. Melalui lahirnya,
seseorang harus senantiasa meninggalkan dan menjauhi kemaksiatan. Sedangkan
melalui batinnya, ia tidak boleh memberikan kesempatan kepada jiwanya untuk
memikirkan dan cenderung kepada kemaksiatan. Sebab, dosa awalnya adalah bisikan
jiwa.
c.
Kesabaran dalam mengingat
dosa-dosa terdahulu
Bila kesabaran ini dapat
melahirkan perasaan takut dan menyesal, maka kerjakanlah, namun bila tidak
sebaiknya tinggalkanlah. Kesabaran ini akan mengingatkan seseorang akan
ancaman-ancaman Allahﷻ yang dipersiapkan
bagi hamba-hamba-Nya yang mengerjakan kemaksiatan, yakni siksaan, baik di dunia
dan di akhirat. Siapa saja selalu menjalani kesabaran maka Allahﷻ akan memuliakannya.
d.
Kesabaran menghadapi hal-hal yang
tidak diinginkan
Kesabaran jenis ini terbagi dalam dua macam. Pertama,
hal-hal yang tidak diinginkannya itu langsung datang dari Allahﷻ tanpa perantara lagi, seperti sakit,
hilangnya harta benda, dan kematian keluarga. Seperti halnya kesabaran di atas,
kesabaran ini dapat diperoleh melalui lahir batin seseorang. Melalui lahirnya
seseorang harus meninggalkan kebiasan mengeluh atas penderitaan yang
diterimanya, sedangkan melalui batinnya ia tidak boleh mengadu kepada sesama
makhluk Allahﷻ dan melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan syara’. Kedua, hal-hal yang
diinginkannya itu datang dari makhluk seperti meyakiti badan, menyinggung
perasaan dan merampas harta benda
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kisah nabi Żulkifli
Allahﷻ
berfirman “Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Żulkifli. Semua mereka
termasuk orang-orang yang sabar. Kami telah memasukkan mereka ke dalam rahmat
Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang salih.” (QS. al-Anbiya’: 85-86)
Diriwayatkan dalam Qaṣaṣ
al-Anbiya’, karya ar-Rawandi, dengan sanad sampai kepada Nabi ﷺ, beliau bersabda “Sesungguhnya Żulkifli adalah seorang laki-laki dari Haḍramaut,
dan namanya adalah ‘Uwaidiya bin Idrim.”
Tatkala
Ilyasa’ as telah lanjut usia, dia berkata, “Sesungguhnya aku akan menunjuk
seorang laki-laki sebagai penggantiku yang bekerja untuk orang-orang pada masa
hidupku, maka perhatikanlah bagaimana dia bekerja.” Kemudian dia mengumpulkan
orang-orang seraya berkata kepada mereka, “Siapakah yang mau menerima dariku
tiga syarat, niscaya aku akan menunjuknya sebagai penggantiku sepeninggalku? Yaitu: terus-menerus berpuasa pada siang hari, terus-menerus
mengerjakan qiyamul lail (ṣalat tahajud), dan tidak pernah marah.”
Maka berdirilah seorang laki-laki
(Żulkifli) yang dipandang rendah oleh orang banyak, dia berkata, “Aku,” dan dia
adalah seorang nabi yang biasa memecahkan perkara orang banyak pada awal siang.
Iblis berkata kepada para
pengikutnya, “Siapakah yang akan menggodanya?” Maka salah seorang dari mereka
yang bernama ‘Abyaḍ’ berdiri seraya berkata, “Aku.” Iblis berkata, “Kalau
begitu, pergilah kamu kepadanya barangkali kamu dapat membuatnya marah.”
Kemudian pada tengah hari, Abyaḍ
datang kepada Żulkifli, sementara Żulkifli telah berbaring di tempat tidurnya,
Abyaḍ berteriak, “Sesungguhnya aku adalah orang yang dizalimi.” Żulkifli
berkata, “Katakanlah kepadanya agar dia (lawanmu) datang kemari.” Abyaḍ
berkata, “Aku tidak akan pergi.” Maka Żulkifli memberikan cincinnya seraya
berkata kepadanya, “Pergilah dan bawalah cincin ini kepada lawan perkaramu!”
Maka Abyaḍ pergi. Akan tetapi, pada keesokan harinya, dia datang pada waktu
yang sama (tengah hari) dan Żulkifli telah berbaring di tempat tidurnya, dia
berteriak, “Sesungguhnya aku adalah orang yang dizalimi, sedangkan lawanku itu
tidak mau menoleh kepada cincinmu.”
Maka penjaga pintu rumah Żulkifli
berkata kepadanya, “Celakalah kamu, tinggalkanlah dia (Żulkifli) karena sesungguhnya
dia belum tidur sejak semalam dan tidak pula pada sore harinya.”
Abyaḍ menjawab, “Aku tidak akan
membiarkannya tidur karena aku adalah orang yang dizalimi.” Maka penjaga pintu
rumah Żulkifli masuk dan memberitahukan hal itu kepada Żulkifli. Kemudian Żulkifli
menuliskan untuknya sebuah surat dan menstempelnya, lalu dia menyerahkan surat
itu kepada orang tersebut (Abyaḍ).
Akan tetapi, pada keesokan
harinya, Abyaḍ kembali mendatangi Żulkifli, sementara Żulkifli telah berbaring
di tempat tidurnya, lalu dia berteriak sambil berkata, “Dia (lawanku) tidak mau
mengindahkan sedikit pun suratmu.” Abyaḍ terus-menerus berteriak sampai
kemudian Żulkifli bangun dan menggandeng tangannya pada hari yang sangat panas;
yang seandainya sepotong daging diletakkan di bawah terik matahari itu, niscaya
ia akan matang. Tatkala Abyaḍ melihat hal itu, maka dia melepaskan tangannya
dari tangan Żulkifli karena berputus asa untuk dapat membuatnya marah.
Kemudian Allahﷻ menurunkan kisahnya itu kepada Nabi-Nya agar dia bersabar,
sebagaimana para nabi yang lainnya ṣalawatullahi ‘alaihim bersabar terhadap
cobaan.
Diriwayatkan dari Abdul Aẓim
al-Hasani, dia berkata, “Aku pernah mengirim surat kepada Abu Ja’far aṡ-Ṡani as
tentang Żulkifli, siapakah namanya dan apakah dia itu termasuk dari kalangan
para rasul? Maka Abu Ja’far aṡ-Ṡani as menuliskan dalam jawaban suratnya itu,
“Sesungguhnya Allahﷻ mengutus seratus dua
puluh empat ribu orang nabi, diantara mereka tiga ratus tiga belas pria menjadi
rasul. Sedangkan Żulkifli ṣalawatullahi ‘alaih termasuk salah seorang di antara
mereka. Żulkifli diutus setelah Sulaiman, dan dia menyelesaikan masalah-masalah
masyarakat sebagaimana Daud as. Dia tidak pernah marah kecuali karena Allahﷻ, sedangkan namanya adalah ‘Uwaidiya.”
Syaikh aṭ-Ṭabarsi berkata,
“Adapun Żulkifli, maka terdapat perselisihan pendapat berkenaan dengannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwasanya dia seorang laki-laki yang salih dan
bukan seorang nabi. Akan tetapi, dia menjamin (berjanji) kepada seorang nabi
untuk terus-menerus berpuasa pada siang hari dan mengerjakan qiyamul lail
(salat tahajud), tidak akan pernah marah, dan bekerja dengan kebenaran, lalu
dia pun memenuhi janjinya itu. Maka Allahﷻ rela terhadapnya, dan jadilah dia
seorang nabi. Dia dinamakan “Żulkifli yang berarti: orang yang lemah. Dia
mendapatkan pahala orang lain yang berada di masanya karena kemuliaan amalnya.”
Aṡ-Ṡa’labi dalam al-’Ara’is menyebutkan:
Sebagian ulama mengatakan bahwa Żulkifli
adalah Basyar bin Ayyub aṣ-Ṣabir (seorang yang amat penyabar) ‘alaihimas salam
(semoga Allahﷻ melimpahkan salam
kesejahteraan kepada keduanya), Allahﷻ
mengutusnya sepeninggal ayahnya sebagai seorang rasul kepada bangsa Romawi,
lalu mereka beriman kepadanya. Kemudian Allahﷻ
memerintahkan mereka untuk berjihad, tetapi mereka enggan.
Mereka berkata, “Wahai Basyar,
sesungguhnya kami mencintai kehidupan dan membenci kematian, tetapi meskipun
demikian kami tidak suka untuk durhaka kepada Allahﷻ
dan rasul-Nya. Oleh karena itu, hendaklah kamu memohon kepada Allahﷻ agar Dia memanjangkan umur kami dan tidak
mematikan kami kecuali jika kami menghendakinya. Sehingga, kami dapat beribadah
kepada-Nya dan memerangi musuh-musuh-Nya.”
Basyar (Żulkifli) berkata kepada
mereka, “Sungguh, kalian telah meminta kepadaku sesuatu yang besar.”
Namun Basyar berdiri dan
mengerjakan salat, kemudian dia berdoa, “Wahai Tuhanku, Engkau telah
memerintahkanku untuk memerangi musuh-musuh-Mu, dan Engkau tahu bahwasanya aku
tidak dapat menguasai kecuali diriku, dan sesungguhnya kaumku telah meminta
kepadaku apa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Oleh karena itu,
janganlah Engkau menghukumku karena kesalahan orang lain selain diriku.”
Allahﷻ
mewahyukan kepadanya, “Sesungguhnya Aku telah mendengar perkataan kaummu, dan
sesungguhnya Aku telah memberikan kepada mereka apa yang telah mereka minta
dari-Ku. Oleh karena itu, mereka tidak akan mati kecuali jika mereka
menghendakinya, maka jadilah kamu penjamin (kafil) mereka dari-Ku.” Kemudian
Basyar menyampaikan kepada mereka risalah Allahﷻ
itu, maka karena itulah dia dinamai “Żulkifli (yakni orang yang menjamin).
Kemudian mereka beranak-pinak dan
jumlah mereka menjadi sangat banyak. Jumlah mereka terus berkembang sehingga
negeri mereka menjadi sempit karena banyaknya jumlah mereka, kehidupan mereka
pun menjadi terganggu, dan mereka sudah tidak lagi nyaman karena banyaknya
jumlah mereka itu. Maka mereka meminta kepada Basyar agar berdoa kepada Allahﷻ supaya mengembalikan mereka kepada ajal
mereka (yang telah ditentukan). Allahﷻ
mewahyukan kepada Basyar, “Apakah kaummu itu tidak mengetahui bahwa pilihan-Ku
untuk mereka itu adalah lebih baik daripada pilihan mereka untuk diri mereka
sendiri?”
Kemudian Allahﷻ mengembalikan mereka kepada ajal mereka (yang telah ditentukan
bagi mereka), maka mereka pun meninggal dunia sesuai dengan ajalnya
masing-masing.
Oleh karena itu, bangsa Romawi
itu sangat banyak jumlahnya sehingga dikatakan bahwa lima dari setiap enam
penduduk penduduk dunia itu adalah bangsa Romawi. Mereka dinamakan “Rum’
(Romawi) karena dinisbatkan kepada kakek mereka, yaitu Rum bin Aiṣ bin Iṣaq bin
Ibrahîm, dan Basyar bin Ayyub tinggal di Syam sampai meninggal dunia, sedangkan
umurnya adalah sembilan puluh lima tahun.”
As-Sayid Ibn Ṭawus berkata di
dalam Sa’d as-Sa’ud:
Diriwayatkan bahwasanya Żulkifli
telah menjamin kepada Allahﷻ bahwasanya dia tidak
akan marah kepada kaumnya, maka dia dinamai “Żulkifli (orang yang memberi
jaminan). Dalam riwayat yang disebutkan bahwasanya dia menjamin kepada seorang
nabi di antara nabi-nabi bahwasanya dia tidak akan marah. Maka Iblis
mengerahkan segala usahanya untuk membuatnya marah, tetapi dia tidak berhasil.
Oleh karena itu, dia dinamai Żulkifli’ karena dia mampu memenuhi janjinya
kepada nabi pada zamannya itu untuk tidak marah.”
B.
Pendidikan Nilai Kesabaran dalam Kisah Nabi Żulkifli
Kesabaran yang benar adalah
kesabaran tanpa batas. Sabar memang sebuah kondisi yang sering kali sulit untuk
dijangkau dengan sifat manusia yang dinamis. Saat keimanan sedang menggumpal
tebal di dada, kesabaran akan lebih mudah dijangkau, namun sebaliknya saat
keimanan sedang berada dalam kondisi yang sedikit goyah, maka kesabaran pun
bisa menjadi sesuatu yang berat untuk diupayakan. Oleh sebab itu kiranya sikap
sabar mesti senantiasa kita latihkan pada diri sendiri di setiap saat dalam
segala hal.
Allahﷻ
akan menguji hambanya dengan perintah jihad dan beban agama yang lain supaya
diketahui mana yang sabar dan mana yang tidak sabar. Orang yang bersabar dalam
menghadapi kezaliman sehingga tidak melakukan pembalasan dan memaafkan orang
yang menganiaya, maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang luhur.
Sifat
sabar merupakan sifat yang sangat mulia, karena dari sifat sabar tersebut, Allahﷻ memberikan pahala yang sangat besar bagi
orang-orang yang mempunyai sifat sabar tersebut. Dan Allahﷻ akan menolong hambanya yang senantiasa bersabar dalam segala
hal. Selain itu Allahﷻ akan memasukkan
orang-orang yang sabar ke dalam golongan orang-orang yang saleh.
Manusia merupakan makhluk Allahﷻ yang paling sempurna, karena Allahﷻ telah melengkapi manusia dengan akal
pikiran. Namun dengan akalnya yang terbatas manusia senantiasa berselisih,
mendengki, bermusuhan, dan bertikai sehingga tidak mampu membuat pedoman hidup
yang dapat membawa mereka bahagia di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya Allahﷻ mengutus para Rasul untuk memperbaiki
kehidupan umat manusia dan membimbing hamba-Nya yang lain menuju jalan yang
diriḍoi-Nya. Tugas mereka sangat berat dan hanya hamba-hamba Allahﷻ terpilih saja yang sanggup melakukan hal
tersebut atas izin-Nya. Kesabaran dan ketabahan sangat dibutuhkan dalam
menyampaikan risalah tauhid. Nabi Żulkifli telah dianugerahi kesabaran yang
luar biasa oleh Allahﷻ, kesabarannya
tersebut bahkan membuat Iblis putus asa.
Nilai kesabaran yang telah nabi Żulkifli
ajarkan kepada kita merupakan sebuah cerminan ciri orang yang bertaqwa kepada Allahﷻ. Kesabaran yang baik adalah kesabaran yang
bersih dari sikap marah-marah, keluh kesah, dan mengadu kepada makhluk, serta
menjadikan dirinya mengadu kepada Allahﷻ,
memohon pertolongan kepada-Nya terhadap hal itu, dan tidak bersandar kepada
kemampuannya. Hal ini serupa dengan kesabaran nabi Żulkifli yang tidak mengadu
kepada makhluk, melainkan hanya kepada Allahﷻ. Dalam
kisah tersebut terkandung beberapa pesan yang berhubungan dengan pendidikan
nilai kesabaran, diantaranya yaitu:
a.
Penanaman sikap menghamba kepada Allahﷻ
Dalam Alquran surat Ad-Żariyat ayat 56
dijelaskan bahwa Allahﷻ menciptakan manusia
dan jin untuk beribadah dan bukan untuk menyembah kepada selain-Nya. Karena
Tuhan yang berhak disembah hanyalah Allahﷻ.
Wujud menghamba kepada Allahﷻ adalah melakukan
semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, seperti melaksanakan ṣolat,
zakat, puasa, dan haji.
b.
Sikap ketergantungan kepada Allahﷻ bukan kepada makhluk
Allahﷻ
merupakan tempat bergantung semua makhluk. Tidak ada yang dapat menandingi
kekuasaan-Nya dalam memperoleh apapun. Allahﷻ
sendiri mensifati diri-Nya sebagai tempat bergantung segala sesuatu. Bergantung
kepada Allahﷻ dalam semua perkara,
seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon petunjuk, menaruh harapan,
menyerahkan urusan, bertaubat, sampai dalam perkara-perkara yang remeh. Hal ini
serupa dengan yang dialami oleh nabi Zulkifili ketika beliau diminta oleh
kaumnya untuk memohon kepada Allahﷻ
atas kemenangan kaumnya dalam berperang. Nabi Żulkifli hanya meminta dan
memohon kepada Allahﷻ bukan kepada makhluk
lain.
Dalam kehidupan, manusia merupakan makhluk
sosial yang yang tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang
lain. Allahﷻ adalah tempat bergantung segala sesuatu,
maka kita harus bergantung sepenuhnya hanya pada Allahﷻ.
Dan apabila kita telah benar-benar hanya bergantung kepada Allahﷻ, maka berarti kita tidak akan pernah
meminta sedikit pun kepada selain Allahﷻ.
Karena hanya Allahﷻ yang Maha Mengetahui
semua kebutuhan kita.
Saat ini masih banyak masyarakat yang
membutuhkan pertolongan dan menyandarkan penyelesaiannya melalui seorang dukun
atau orang pintar lainnya yang dipercaya dapat membantu menyelesaikan masalah.
Perbuatan tersebut berpotensi syirik dalam artian mempersekutukan Allahﷻ dengan makhluk lain. Padahal Allahﷻ adalah jalan keluar dari setiap permasalahan.
Tidak ada jalan pintas di dunia ini untuk
mencapai kesuksesan. Mengharapkan bantuan kepada selain Allahﷻ adalah perbuatan keliru. Karena pada hahikatnya satu-satunya
penolong adalah Allahﷻ, meskipun
pertolongan-Nya bisa melalui tangan atau perantara makhluk-Nya. Karena itu
cukuplah Allahﷻ yang menjadi penolong
kita dalam semua masalah, tempat mengadu dan memohon pertolongan (Zainudin,
2012: 113).
c.
Sikap selalu berusaha terhadap pencapaian
keinginan
Kehidupan manusia tidak lepas dari
kesulitan-kesuliatan yang merupakan cobaan dan ujian dari Allahﷻ. Menghindari cobaan tersebut manusia harus
sabar dengan cara menerima cobaan tersebut tanpa keluh kesah dan kemudian tetap
berusaha menghadapi kesulitan tersebut tanpa putus asa. Seperti dalam kisah
Nabi Żulkifli ketika beliau mendapat musibah yakni godaan Iblis yang
mengganggunya berulang kali, beliau tetap berusaha sabar dalam menghadapi
godaan tersebut.
Kesabaran bukanlah kepasrahan terhadap segala
sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan atau diinginkan, kesabaran juga tidak
pernah menutup manusia untuk berusaha mengeluarkan segala kemampuan yang dia
miliki, melainkan kesabaran adalah sifat yang membuat manusia agar mempunyai
jiwa yang giat berusaha dan tidak mengenal putus asa.
Allahﷻ
menyuruh kita untuk berusaha terlebih dahulu dalam menginginkan apa-apa yang
kita inginkan. Tanpa usaha dan ikhtiar tidak akan membuahkan hasil yang
memuaskan. Allahﷻ bisa saja
menyembuhkan segala macam penyakit yang diderita Nabi Ayyub, Allahﷻ bisa saja memusnahkan Fir’aun dan
tentaranya tanpa peringatan nabi Musa, semua hanya dengan mengucap kun fayakun,
tetapi Allahﷻ mengajarkan kepada
kita untuk berusaha semaksimal mungkin yang kita bisa dan perlunya usaha
manusia untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nilai kesabaran yang telah nabi Żulkifli ajarkan kepada kita
merupakan sebuah cerminan ciri orang yang bertaqwa kepada Allahﷻ. Kesabaran yang baik adalah kesabaran yang
bersih dari sikap marah-marah, keluh kesah, dan mengadu kepada makhluk, serta
menjadikan dirinya mengadu kepada Allahﷻ,
memohon pertolongan kepada-Nya terhadap hal itu, dan tidak bersandar kepada
kemampuannya. Hal ini serupa dengan kesabaran nabi Żulkifli yang tidak mengadu
kepada makhluk, melainkan hanya kepada Allahﷻ.
Tidak
ada jalan pintas di dunia ini untuk mencapai kesuksesan. Mengharapkan bantuan
kepada selain Allahﷻ adalah perbuatan
keliru. Karena pada hahikatnya satu-satunya penolong adalah Allahﷻ, meskipun pertolongan-Nya bisa melalui
tangan atau perantara makhluk-Nya. Karena itu cukuplah Allahﷻ yang menjadi penolong kita dalam semua masalah, tempat mengadu
dan memohon pertolongan.
B.
Saran
Jurnal ini merupakan suatu ajakan
kepada para pembaca khususnya penulis untuk menanamkan sikap sabar dalam diri
masing-masing. Bagi seseorang yang sedang ditimpa musibah, sikap sabar sangat
dibutuhkan karena Allahﷻ akan memberikan nikmat
yang tidak terduga pada hambanya yang mampu bersabar dalam menghadapi cobaan
tersebut. Bagi seseorang yang sedang berjuang menuntut ilmu, sikap sabar juga
sangat diperlukan karena ilmu yang diperoleh dengan kesabaran akan membuahkan
hasil yang tidak terkira nikmatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Jazairi, Ni’matullah. 2007. Dari Adam AS Hingga Isa AS.
Jakarta: Lentera.
Anwar, Rosihan. 1999. Sentuhan-Sentuhan Sufistik Penuntun Jalan
Akhirat. Bandung: Pustaka Setia.
Bachtiar, Amsal. 2014.Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali
Press.
Indar, Djumberansyah. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya:
Karya Abditam.
Jumali dan Surtikanti. 2008. Landasan Pendidikan.
Surakarta: Muhammadiyah Univercity Press.
Purwanto, Ngalim. 2006. Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta:
Ar ruzz.
Sauri, O. H. S., Pd, M., & Dewey, M. J.
(1992). Nilai dalam Perspektif Islam, 2–3.
Yusuf, M., Kahfi, D., & Ibala, M. A. (2018). Sabar
dalam Perspektif Islam dan Barat, 1(2).
Zainudin, Akbar. 2012. Hasanah Dunia Akhirat
Rahasia Sukses Berdasarkan Energi Do'a Sapu Jagat. Bandung: Mizan Media Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar