Fenomema Gerakan Sempalan Islam di Indonesia
ABSTRAK
Perubahan setiap lini kehidupan
merupakan ciri dari adanya perkembangan zaman yang semakin lama semakin pesat,
dibalik perubahan yang ada dan tersebar terdapat beberapa instrumen yang gagal
mengikuti perubahan ada juga sukses menggenggam dunia lewat perjuangan
mengikuti zaman. Dalam hal yang sama, bidang keagamaan terutama islam pun akan
terus berkembang sejak mulai adanya penyempurnaan yang diemban oleh Nabi
Muhammad, hingga sekarang kita semua mendapat banyak perkembangan yang
berbeda-beda dalam memahami suatu dalil atau sunah. Tak dapat dihindarkan bahwa
perkembangan jalan memahami agama ini menyulut terbentuknya sempalan dengan
pemahamannya masing-masing, dan hal yang perlu diperhatikan akan banyaknya
perpecahan sempalan dari kelompok besar yang tidak sepemahaman, sehingga
banyaknya perpecahan sempalan ini perlu adanya kontrol oleh kelompok besar
bahkan pengkategorisasian baik sempalan yang sesuai nilai pokok kelompok besar
atau sempalan sesat.
Kata kunci : perubahan, kelompok besar, sempalan.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pada
akhir-akhir ini dinamika umat Islam di Indonesia diramaikan dengan
berkembangnya berbagai komunitas religius yang mengembangkan seperangkat ajaran
yang berbeda dengan ajaran Islam yang telah dipraktikkan oleh umat Islam selama
ini. Berbagai pernyataan pemuka agama dan institusi keagamaan yang muncul
sebagai respon terhadap komunitas tersebut, hingga lahirnya pernyataan sikap
yang mencap aliran-aliran keagamaan atau komunitas religius tersebut sebagai
aliran sesat atau komunitas sesat.
Apabila
dirunut ke belakang, jauh sebelumnya sudah sejumlah aliran keagamaan sempalan
di Indonesia, yang mungkin karena struktur masyarakat muslim Indonesia yang
heterogen dan sikap akomodatif masyarakat muslim menyebabkan aliran-aliran
keagamaan sempalan tersebut mudah diterima hingga tumbuh subur dan berkembang.
Satu yang sangat disayangkan untuk tidak menyebutnya disesalkan adalah meskipun
disinyalir bahwa aliran-aliran keagamaan yang muncul dan berkembang di
Indonesia cukup banyak, namun tidak ada satu pun institusi keagamaan yang
memiliki data konkrit tentang aliran-aliran tersebut, baik menyangkut nama-nama
aliran keagamaan apa saja yang berkembang, tokoh-tokohnya, aspek-aspek
ajarannya, maupun inventarisasi jumlah pengikutnya.
Oleh
karena itu kajian ini akan membahas fenomena gerakan sempalan Islam di
Indonesia. Dalam penyusunan materi dalam makalah ini menggunakan metode
kepustakaan, yang artinya mengumpulkan seluruh sumber (studi pustaka) menjadi
satu. Harapan makalah ini bisa menjadi referensi
bagi pembaca dan memiliki banyak manfaat.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai
berikut.
1.
Apa itu gerakan sempalan Islam?
2.
Apa penyebab lahirnya gerakan
sempalan Islam di Indonesia?
3.
Bagaimana fenomena gerakan
sempalan Islam di Indonesia saat ini?
TUJUAN
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.
1.
Menganalisis apa itu gerakan
sempalan Islam.
2.
Menganalisis bagaimana fenomena
gerakan sempalan Islam di Indonesia sekarang
3.
Menganalisis apa penyebab
lahirnya gerakan sempalan Islam di Indonesia.
4.
Untuk menginformasikan kepada
khalayak tentang fenomena gerakan Islam di Indonesia.
PEMBAHASAN
Pengertian Gerakan
Sempalan
Istilah ini konon pertama kali
dipakai oleh Abdurrahman Wahid sebagai pengganti kata "splinter group",
kata yang tidak mempunyai konotasi khusus aliran agama, tetapi dipakai untuk sempalan
kecil yang memisahkan diri (menyempal) dari partai atau organisasi sosial dan
politik. Untuk "splinter group" yang merupakan aliran agama,
kata "sekte" lazim dipakai.[1]
Berbicara tentang gerakan sempalan
selalu bertolak dari suatu pengertian tentang ortodoksi atau mainstream (aliran
induk). Artinya, tanpa ortodoksi maka takkan ada sempalan. Oleh karena itu,
gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari
ortodoksi. Karena menyempal, maka dihinakan sebagai aliran sesat dan dengan
demikian ajarannya juga dianggap menyimpang.
Untuk menentukan yang sempalan,
pertama-tama harus didefinisikan mainstream yang ortodoks. Menurut
Martin Van Bruinessen, untuk kasus umat Islam di Indonesia, barangkali
ortodoksi adalah aliran induk yang diwakili oleh badan-badan ulama seperti
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU).(Bruinessen,
1992) MUI sebagai lembaga ulama bentukan pemerintah sangat
mendominasi ortodoksi ini, sehingga apa yang dinyatakan sesat oleh MUI akan
dijadikan rujukan oleh pemerintah, meski Muhammadiyah atau NU berbeda pendapat.
Jadi, ortodoksi merupakan paham yang dianut mayoritas ulama dan terkadang
didukung oleh penguasa.
Sementara itu penilaian sesat atau
tidak sesat sangat tergantung pada apa kata ajaran induk yang menjadi
mainstream. lni tentunya menimbulkan kesulitan dalam bersikap. Padahal lahirnya
aliran baru selalu dipandang sebagai kompetitor bagi aliran lama apalagi yang
mayoritas. Suasana persaingan dan keterancaman terkadang menyertai perjalanan
sejarah aliran-aliran itu. Masing-masing mengukuhkan dirinya sebagai 'yang
benar' seraya menyatakan sesat bagi aliran yang lain.
Jika yang dimaksud dengan aliran
induk atau ortodoksi adalah ahl al-sunnah wa al-jama'ah, maka yang
menyimpang dari ahl al-sunnah wa al-Jamaah merupakan sempalan dan sesat. Ketika
terjadi konflik antara lslam tradisionalis dan modernis awal abad ke-20, maka
yang sempalan dan sesat adalah lslam modernis, karena Islam tradisionalis
selalu mengklaim diri sebagai penganut ahl al-sunnah wa al-jama'ah (pengikut
Rasulullah dan teman-teman setianya).
Di Indonesia, ketika Islam modernis
berubah wujud menjadi Muhammadiyah dan Islam tradisionalis bermetamorfosis
menjadi Nahdlatul Ulama (NU) justru keduanya menjadi aliran induk dan keduanya
berhak menggunakan stempel sesat bagi aliran yang lain. Kesimpulannya, yang
sesat bisa berubah menjadi tidak sesat, bila pengikutnya makin banyak atau
pemerintah rnengakuinya sebagai aliran resmi penguasa, seperti kasus aliran
Mu'tazilah di era Islam klasik.
Menurut Van
Bruinessen, asumsi tentang relasi gerakan sempalan dengan ortodoksi bukan tanpa
kendala, sebab istilah ortodoksi‖ sendiri seringkali berubah-ubah. Adakalanya
sesuatu itu bisa berubah menurut zaman dan tempat, dan yang
"sempalan" pun berubah menjadi bersifat kontekstual sesuai dengan
zaman yang melingkupnya. Sebagai ilustrasi aliran keagamaan Ahlus Sunnah wal
Jama'ah merupakan "mainstream" Islam yang ortodoks, dan yang
menyimpang darinya adalah sempalan. Lalu, ketika terjadi konflik besar antara
kalangan Islam modernis dan kalangan "tradisionalis", kaum modernis
merupakan sempalan dan sesat, dan sebaliknya para modernis menuduh lawannya
menyimpang dari jalan yang lurus. Itulah sebabnya, kriteria yang tepat untuk
mengukur gerakan sempalan, kata Bruinessen, adalah kriteria sosiologis, bukan
teologis. Artinya, gerakan sempalan yang dimaksud adalah sempalan atau gerakan
yang sengaja memisahkan diri dari "mainstream" umat, mereka
yang cenderung eksklusif dan seringkali kritis terhadap para ulama
yang mapan.(Bruinessen, 1992)
Penyebab
Lahirnya Gerakan Sempalan
Ada beberapa sebab yang
melatarbelakangi lahirnya berbagai gerakan sempalan, yaitu:
Pertama, Peran ortodoksi yang tidak
akomodatif. Secara sosiologi, "ortodoksi" dan "sempalan"
bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Sebagaimana
diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam
faham dominan yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal,
ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak
disetujui dicap sesat; dan demikian gerakan sempalan seringkali merupakan
penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik.
Sebagai contoh, faham aqidah Asy'ari, yang sekarang merupakan ortodoksi, pada
masa 'Abbasiyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili (yang waktu itu
didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan.
Jadi, faham yang sekarang dipandang
sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis "gerakan sempalan".
Bahwa akhirnya faham Asy'ari-lah yang menang, juga tidak lepas dari faktor
politik. Kasus ini mungkin bukan contoh yang terbaik -- golongan Asy'ari tidak
dengan sengaja memisahkan diri dari sebuah "mainstream" yang sudah
mapan; faham yang mereka anut berkembang dalam dialog terus-menerus dengan para
lawannya. Contoh yang lebih tepat adalah gerakan Islam reformis Indonesia pada
awal abad ini (seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah)
Kedua, Dalam beberapa kasus terkait
gerakan sempalan, latar belakang pendidikan dan pengetahuan agama para
anggotanya relatif rendah dan bahkan sama sekali tidak mengerti dasar-dasar
agama yang dianutnya, tetapi demikian kebutaan terhadap dasar-dasar agama ini
diimbangi semangat keagamaan yang tinggi. Sebagian besar mereka sangat idealis
dan sangat ingin mengabdi kepada agama dan masyarakat, meski mereka kecewa
melihat bahwa kebanyakan tokoh-tokoh dan figur senantiasa siap berkompromi
dalam menghadapi masalah politik dan sosial. Dalam pada ini para ulama tidak
memberi penjelasan yang memuaskan tentang sebab-sebab semua penyakit sosial
tadi, apalagi memberikan jalan keluar yang konkrit dan jelas. Ketidakpuasan
inilah yang kemudian menjerumuskan mereka untuk mencari ajaran atau aliran baru
yang dipandang memuaskan.
Ketiga, Terdapat jurang komunikasi antara
tokoh-tokoh agama (baca: ulama dan kalangan cendekiawan Muslim) dan
kalangan muda yang frustrasi tetapi idealis, sehingga kalangan yang disebut
terakhir cenderung terhambat untuk menyalurkan aspirasi dan idealisme mereka ke
dalam saluran yang lebih moderat dan produktif. Mereka kemudian menjadi radikal
karena masih dangkalnya pengetahuan agama. Tidak mengherankan kalau kritik dan
serangan sempalan sempalan terhadap ulama "orto-doks" terkadang lebih
keras daripada terhadap koruptor dan penguasa zalim sekalipun.(Bruinessen,
1992)
Keempat, Sebagai akibat urbanisasi dan
monetarisasi ekonomi, banyak ikatan sosial yang tradisional semakin longgar
atau terputus. Dalam desa tradisional, setiap orang adalah anggota sebuah komunitas
yang cukup intim, dengan kontrol sosial yang ketat tetapi juga dengan
sistem perlindungan dan jaminan sosial. Jaringan keluarga yang luas melibatkan
setiap individu dalam sebuah sistem hak dan kewajiban yang -- sampai batas
tertentu -- menjamin kesejahteraannya. Dalam masyarakat kota modern,
sebaliknya, setiap orang berhubungan dengan jauh lebih banyak orang lain,
tetapi hubungan ini sangat dangkal dan tidak mengandung tanggungjawab yang
berarti. Komunitas, seperti di desa atau di keluarga besar, sudah tidak ada
lagi, dan kehidupan telah menjadi lebih individualis. Itu berarti bahwa dari
satu segi setiap orang lebih bebas; tetapi dari segi lain, tidak ada lagi
perlindungan yang betul-betul memberikan jaminan. Dalam keadaan seperti ini
banyak orang merasa terisolir, dan merasa bahwa tak ada orang yang betul-betul
bisa mereka percayai --- karena sistem kontrol sosial dengan segala sanksinya
sudah tidak ada lagi, dan karena orang lain juga lebih mengutamakan kepentingan
individual masing-masing.
Akibatnya dalam situasi seperti ini
aliran agama sering dipandang bisa memenuhi kekosongan yang telah terjadi
karena menghilangnya komunitas keluarga besar dan desa. Namun untuk dapat berfungsi
sebagai komunitas, aliran ini mestinya cukup kecil jumlah anggotanya, sehingga
mereka bisa saling mengenal. Aspek komunitas dan solidaritas antara sesama
anggota diperkuat lagi kalau aliran ini membedakan diri dengan tajam dari dunia
sekitarnya.
Dari beberapa alasan yang menyeret lahirnya gerakan sempalan di atas,
agaknya daya tarik aliran yang bersifat eksklusif (yaitu menghindar dari
hubungan dengan umat lainnya) menjadi penyebab utama yang memicu tumbuh
suburnya gerakan sempalan di kalangan umat Islam di Indonesia. Eksklusifitas ini kemudian diperparah dengan minimnya
pengetahuan dan dasar-dasar keagamaan, sehingga mereka mudah terjebak dan
terpedaya oleh aliran sesat atau gerakan sempalan tersebut.
Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam di Indonesia
Untuk
mengurai fenomena gerakan sempalan di kalangan umat Islam di Indonesia penulis
terlebih dahulu mengelaborasi pandangan Bryan Wilson,
Ketujuh
tipe sekte atau gerakan sempalan ini adalah sebagai berikut. Pertama, Conversionist,
yakni gerakan sempalan yang mengarahkan perhatiannya kepada perbaikan moral
individu dengan kegiatan utamanya men-tobat-kan orang luar. Di Indonesia
gerakan yang mirip tipe ini adalah gerakan dakwah seperti jemaah Tabligh. Kedua,
Revolusioner, suatu gerakan sempalan yang mengharapkan perubahan
masyarakat secara radikal, misalnya gerakan messianistik. Ketiga, Introversionis,
sempalan yang mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat
luas. Keempat, Manipulationist atau gnostic ("ber-ma'rifat"),
yakni suatu gerakan sempalan yang cenderung tidak peduli terhadap keselamatan
dunia sekitar, akan tetapi mereka mengklaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus
yang biasanya dirahasiakan dari orang luar, seperti aliran kebatinan dengan
amalan-amalan khusus dan sistem bai'at. Kelima, Thaumaturgical, yakni
gerakan sekte yang mengembangkan sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam
atau penguasaan alam gaib. Keenam, tipe reformis, yakni gerakan yang
melihat usaha reformasi sosial sebagai kewajiban esensial agama, dan ketujuh
tipe utopian, yakni suatu gerakan sekte yang berusaha menciptakan suatu
komunitas ideal sebagai teladan untuk masyarakat luas.
Tipologi
yang dibuat Wilson di atas cukup memberi gambaran secara umum tentang berbagai
gerakan sempalan atau sekte yang berkembang di dunia Barat terutama dalam
kaitannya dengan sikap sekte-sekte tersebut terhadap ortodoksi (baca:
Gereja) yang menjadi mainstream di Eropa. Dalam pada ini meski gerakan sempalan
di kalangan umat Islam di Indonesia cukup berbeda dengan yang terjadi di dunia
Barat-Eropa lantaran perbedaan latar belakang sosiologis, tetapi beberapa
gerakan sempalan yang muncul di Nusantara memiliki kesamaan dalam sikap dan
perilaku mereka ketika berhubungan dengan ortodoksi (baca: agama Islam) sebagai
sebuah mainstream di Nusantara.
Beberapa
gerakan sempalan yang muncul dan berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia
tersebut di antaranya gerakan sempalan radikal, gerakan messianistik, conver-sionist, introversionis, gnostic, thaumaturgical, dan lain-lain. Adapun gerakan islam yang bersifat
radikalis. Sempalan Islam yang tumbuh pasca Orde Baru dan mengembangkan corak
gerakannya legal-formal, doktriner dan militant termasuk misalnya Majelis
Mujahidin, Hizbut Tahrir, Komite Persiapan Penegakan syariat Islam (KPPSI)
Sulawesi Selatan, Front Pembela Islam (FPI), dan partai-partai Islam (PKS, PBB,
PPP). (Bruinessen, 1992)
Dalam
merespon munculnya sempalan-sempalan tersebut di atas, seharusnya menggunakan
analisis yang cermat dan obyektif. Adapun yang penulis maksud cermat di sini merupakan
lebih agar tidak salah kaprah di dalam menilai aksi sempalan-sempalan tersebut.
Sedangkan obyektif, dimaksudkan supaya dapat betul-betul memahami maksud dari
gerakan sempalan-sempalan dimaksud. Maksudnya adalah tumbuhnya gerakan yang
melakukan pemberantasan terhadap warung remang-remang dan minuman keras harus
pula dilihat secara obyektif, bahwa keberadaan warung tersebut adalah
sangat-sangat berbahaya bagi masyarakat, sebab akan menimbulkan penyakit pada
masyarakat terutama untuk berbuat maksiat dan meminum minuman keras yang
akibatnya sebagaimana yang sering dilihat dapat merugikan masyarakat itu
sendiri. Oleh karena itu keberadaan warung tersebut hendaknya selalu diawasi
dan kontrol secara sungguh-sungguh oleh pihak yang berwenang sehingga tidak
menyebar dan meruntuhkan moral dan akhlak masyarakat.
Dalam
tipologi sekte di atas ini, Wilson sudah menggambarkan suatu spektrum aliran
agama yang lebih luas daripada spekrum gerakan sempalan Indonesia yang disebut
di atas. Meski demikian, beberapa gerakan di Indonesia agak sulit diletakkan
dalam tipologi ini. Kriteria yang dipakai Wilson adalah sikap sekte terhadap
dunia sekitar, namun terdapat berbagai gerakan di Indonesia yang tidak
mempunyai sikap sosial tertentu dan hanya membedakan diri dari
"ortodoksi" dengan ajaran atau amalan yang lain. Satu tipe terdiri
dari aliran-aliran kebatinan atau tarekat dengan ajaran yang "aneh",
yang masih sering muncul di hampir setiap daerah. Sebagian aliran ini memang
mirip sekte gnostic, dengan sistem bai'at, hierarki internal dan
inisiasi bertahap dalam "ilmu" rahasia, sebagian juga memiliki aspek thaumaturgical,
dengan menekankan pengobatan dan kesaktian, tetapi aspek thaumaturgical jarang
menjadi intisari aliran tersebut seperti dalam gerakan pengobatan ruhani di
Amerika Serikat.(Bruinessen, 1992) Sebagian
besar tidak mempunyai ciri sosial yang menonjol, tidak ada penolakan terhadap
norma-norma masyarakat luas. Mereka tidak mementingkan aspek sosial dan politik
dari ajaran agama, melainkan kesejahteraan ruhani, ketentraman
dan/atau kekuatan gaib individu. Penganutnya bisa berasal dari hampir semua lapisan masyarakat, tetapi yang banyak
adalah orang yang termarginalisir oleh
perubahan sosial dan ekonomi.
Suatu jenis lain
terdiri dari gerakan pemurni, yang sangat menonjol dalam sejarah Islam:
gerakan yang mencari inti yang paling asli dari agamanya, dan melawan segala
hal (ajaran maupun amalan) yang dianggap tidak asli. Beberapa gerakan pemurni
sekaligus adalah gerakan reform sosial, seperti Muhammadiyah, tetapi tidak
semuanya berusaha mengubah masyarakat. Gerakan pemurni yang paling tegas di
Indonesia, agaknya, Persatuan Islam (Persis). Dalam konteks ini
perlu kita sebut sempalan yang dikenal dengan nama Inkarus Sunnah,
karena mereka juga mengklaim ingin mempertahankan hanya sumber Islam yang
paling asli saja. Seperti diketahui, mereka kurang yakin akan keasliannya
hadits, dan menganggap hanya Qur'an saja sebagai sumber asli. Oleh karena itu,
nama yang mereka sendiri pakai adalah Islam Qur'ani. Namun dalam kasus
terakhir ini, saya tidak yakin apakah mereka layak disebut gerakan sempalan;
mereka tidak cenderung untuk memisahkan diri dari ummat lainnya, dan saya belum
jelas apakah mereka merupakan gerakan terorganisir.
Gerakan Islam
Jama'ah alias Darul Hadits juga merupakan suatu kasus yang tidak
begitu mudah digolongkan. Dengan penekanannya kepada hadits (walaupun yang
dipakai, konon, hadits-hadits terpilih saja), gerakan ini mengingatkan kepada
gerakan pemurni (ini mungkin menjelaskan daya tariknya bagi orang berpendidikan
modern). Namun beberapa ciri jelas membedakannya dari gerakan pemurni atau
pembaharu dan membuatnya mirip sekte manipulationist
/ gnostic. Dari segi organisasi internal, Islam Jama'ah mirip tarekat
atau malahan gerakan militer, dengan bai'at dan pola kepemimpinan yang otoriter dan sentralistis (amir).
Tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai
masyarakat pada umumnya, dan tidak ada cita-cita politik atau sosial tertentu. Unsur protes tidak terlihat dalam gerakan
ini; mereka hanya sangat eksklusif dan
menghindar dari berhubungan dengan orang luar.
Faktor yang juga perlu disebut adalah kepemimpinan karismatik.(Bruinessen, 1992) Pendiri
dan amir pertama, Nur Hasan Ubaidah, dikenal sebagai ahli ilmu kanuragan dan kadigdayan
yang hebat, dan dalam pandangan orang banyak,
itulah yang membuat penganutnya tertarik dan terikat pada gerakan ini. Penganutnya pada umumnya tidak berasal dari kalangan
bawah tetapi dari kalangan menengah; namun banyak diantara mereka, agaknya,
pernah mengalami krisis moral sebelum masuk gerakan ini.
Dari segi
kepemimpinan, gerakan Darul Arqam di Malaysia (yang Dari segi kepemimpinan, gerakan Darul Arqam di
Malaysia (yang sekarang juga sudah mempunyai cabang di Indonesia) sedikit mirip
Islam Jama'ah; gerakan ini sangat tergantung kepada pemimpin karismatik, Ustaz
Ashaari Muhammad. Tetapi sikap Darul Arqam terhadap dunia sekitar sangat
berbeda: mereka ingin mengubah masyarakat dan menawarkan model alternatif, yang
dicontohkan dalam "Islamic Village" mereka. Dengan kata lain, inilah
suatu gerakan utopian; melalui dakwah aktif mereka terus
mempropagandakan alternatif mereka. Kegiatan sosialnya terbatas pada kalangan
mereka sendiri; selain usaha konversi (dakwah: memasukkan penganut
baru), mereka tidak banyak berhubungan dengan masyarakat sekitar walaupun dalam
praktek mereka masih tergantung pada masyarakat luar untuk pendapatan mereka.
Hubungan di dalam sempalan, antara sesama anggota,
hangat dan intensif; kontrol sosial dinatara mereka juga tinggi. Namun, mereka menjauhkan diri dari ummat
lainnya, sehingga sering dituduh terlalu
eksklusif. Di samping sikap utopian ini, Darul Arqam juga merupakan gerakan messianis; mereka meyakini
kedatangan Mahdi dalam waktu sangat
dekat, dan mempersiapkan diri untuk peranan di bawah kepemimpinan Mahdi nanti. (Conference & Studies, 2010)
Beberapa
tahun terakhir ini aspek messianis ini telah menjadi semakin menonjol; gerakan ini lambat laun
bergeser dari utopian menjadi revolusioner.
Gerakan yang lebih murni aspek utopiannya
adalah yang disebut gerakan Usroh di Indonesia. Saya tidak yakin apakah ini memang suatu
gerakan terorganisir, dengan kepemimpinan dan
strategi tertentu. Kesan saya, gerakan ini
adalah suatu trend, suatu pola perkumpulan yang cepat tersebar, tanpa banyak koordinasi antara sesama usroh. Ini
memang suatu gerakan protes politik (walaupun
perhatiannya terutama kepada urusan agama dalam arti
sempit, tidak kepada isu- isu politik umum). Namun mereka tidak berharap mengubah tatanan masyarakat atau sistem politik
secara langsung; para usroh ("keluarga")
merupakan komunitas yang menganggap diri mereka
sebagai alternatif yang lebih Islami. Ahmadiyah (Qadian), Baha'i
dan Syi'ah tidak lahir dari rahim kalangan umat Islam Indonesia
sendiri, tetapi "diimport" dari luar negeri ketika sudah mapan.
Ketiganya merupakan faham agama yang sudah lama berdiri di negara lain sebelum
masuknya ke Indonesia. Pada masa awalnya, ketiganya mempunyai aspek messianis,
namun kemudian berubah menjadi introversionis, tanpa sama sekali menghilangkan
semangat awalnya.
Pemimpin
karismatik aslinya (Ghulam Ahmad, Baha'ullah, Duabelas Imam) tetap merupakan
titik fokus penghormatan dan cinta yang luar biasa. Dalam Syi'ah,
semangat revolusioner kadang-kadang tumbuh lagi (seperti terakhir terlihat di
Iran sejak 1977), dan itulah agaknya yang merupakan daya tarik utama faham Syi'ah
bagi para pengagumnya di Indonesia. Sedangkan Ahmadiyah telah
menampilkan diri (di India- Pakistan dan juga di Indonesia) terutama sebagai
sekte reformis,(Conference & Studies, 2010) yang
belakangan menjadi sangat introversionis dan menghindar dari kegiatan di luar
kalangan mereka sendiri. Walaupun sekte Baha'i juga mempunyai beberapa penganut
di Indonesia, mereka rupanya tidak berasal dari kalangan Islam, sehingga Baha'i
di sini tidak dapat dianggap sebagai gerakan sempalan Islam (seperti halnya di
negara aslinya, Iran). Tiga gerakan ini memain peranan sangat berlainan di
Indonesia, dan meraih penganut dari kalangan yang berbeda.
Gerakan
Syi'ah adalah yang paling dinamis. Ia mulai sebagai gerakan protes, baik
terhadap situasi politik maupun kepemimpinan ulama Sunni; pelopornya adalah
pengagum revolusi Islam Iran. Kepedulian sosial (perhatian terhadap mustadl'afin)
dan politik ditekankan. Dalam perkembangan berikut, penekanan kepada dimensi
politik Syi'ah semakin dikurangi, dan minat kepada tradisi intelektual Syi'ah
Iran ditingkatkan.(Joebagio, n.d.)
Dengan
kata lain, gerakan Syi'ah Indonesia sudah bukan gerakan sempalan revolusioner
lagi dan cenderung untuk menjadi introversionis. Tetapi gerakan ini tetap
berdialog dan berdebat dengan golongan Sunni, mereka tidak terisolir. Di antara
semua gerakan sempalan masa kini, hanya gerakan Syi'ah yang agaknya mempunyai
potensi berkembang menjadi suatu denominasi, di samping gerakan pemurni
dan pembaharu yang Sunni.
PENUTUP
Kesimpulan
Aliran
sesat atau di Indonesia juga di kenal dengan istilah aliran sempalan merupakan
fenomena yang dapat di temukan di sepanjang zaman, mulai dari masa Rasulullah
saw sampai pada saat sekarang ini. Sebenarnya fenomena aliran sesat tidak hanya
terjadi di kalangan umat Islam, tetapi juga terjadi pada agama lainnya, seperti
Kristiani, Buddha dan Hindu. Hanya saja di Indonesia umat Islam adalah
mayoritas, maka persoalan ini menjadi lebih mengemuka dibandingkan dengan agama
lainnya.
Banyak
hal dapat di ambil hikmahnya dengan munculnya aliran ini dan mengharuskan kita
terutama elite agama untuk menyadari kembali fungsi dan tugas kita dalam
kehidupan beragama. Munculnya aliran ini juga dapat di pahami sebagai rasa
ketidak puasan terhadap pelaksanaan keagamaan yang sudah ada. Dengan demikian,
para elite agama harus memberikan perhatian dan pembinaan yang cukup terhadap
mereka yang masih “lemah imannya”, sehingga tidak mudah di pengaruhi oleh
paham-paham tertentu yang bertentangan dengan pemahaman keagamaan secara umum
(mainstream). Lembaga-lembaga keagamaan jangan teramat diasyikan dengan urusan
perpolitikan, ekonomi dan lain sebagainnya sehingga mengabaikan tanggung jawab
utamanya, yaitu pembinaan umat.
Saran
Kami selaku penyusun sangat
menyadari masih jauh dari sempurna dan tentunnya banyak sekali kekurangan dalam
pembuatan makalah ini. Hal ini di sebabkan karena masih terbatasnya kemampuan
kami.
Oleh karena itu, kami
selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami
khususnya bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Bruinessen, M. Van. (1992). Gerakan Sempalan di Kalangan
Ummat Islam Indonesia : Latar Belakang Sosial-Budaya, III(1), 16–27.
Conference, A., & Studies, I. (2010).
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10 Banjarmasin, 1 – 4 November
2010, (November), 1–4.
Joebagio, B. H. (n.d.). RELIGIOUS SPLINTER
MOVEMENT FROM, 1–14.
Bruinessen, M. V. (1988). Masyarakat
Indonesia. Remark on cultural change among poor migrants to Bandung,
55-60.
Pasya, M. K.
(2000). Muhammadiyyah Sebagai Gerakan Islam, Perspektif Historis dan
Ideologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robertson, R. (1988). Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. In Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (pp. 430-462). Jakarta: Rajawali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar