Iklan

Minggu, 02 Juni 2024

Jurnal Artikel Fenomema Gerakan Sempalan Islam di Indonesia

 Fenomema Gerakan Sempalan Islam di Indonesia


ABSTRAK

Perubahan setiap lini kehidupan merupakan ciri dari adanya perkembangan zaman yang semakin lama semakin pesat, dibalik perubahan yang ada dan tersebar terdapat beberapa instrumen yang gagal mengikuti perubahan ada juga sukses menggenggam dunia lewat perjuangan mengikuti zaman. Dalam hal yang sama, bidang keagamaan terutama islam pun akan terus berkembang sejak mulai adanya penyempurnaan yang diemban oleh Nabi Muhammad, hingga sekarang kita semua mendapat banyak perkembangan yang berbeda-beda dalam memahami suatu dalil atau sunah. Tak dapat dihindarkan bahwa perkembangan jalan memahami agama ini menyulut terbentuknya sempalan dengan pemahamannya masing-masing, dan hal yang perlu diperhatikan akan banyaknya perpecahan sempalan dari kelompok besar yang tidak sepemahaman, sehingga banyaknya perpecahan sempalan ini perlu adanya kontrol oleh kelompok besar bahkan pengkategorisasian baik sempalan yang sesuai nilai pokok kelompok besar atau sempalan sesat.

Kata kunci      : perubahan, kelompok besar, sempalan.

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pada akhir-akhir ini dinamika umat Islam di Indonesia diramaikan dengan berkembangnya berbagai komunitas religius yang mengembangkan seperangkat ajaran yang berbeda dengan ajaran Islam yang telah dipraktikkan oleh umat Islam selama ini. Berbagai pernyataan pemuka agama dan institusi keagamaan yang muncul sebagai respon terhadap komunitas tersebut, hingga lahirnya pernyataan sikap yang mencap aliran-aliran keagamaan atau komunitas religius tersebut sebagai aliran sesat atau komunitas sesat.

Apabila dirunut ke belakang, jauh sebelumnya sudah sejumlah aliran keagamaan sempalan di Indonesia, yang mungkin karena struktur masyarakat muslim Indonesia yang heterogen dan sikap akomodatif masyarakat muslim menyebabkan aliran-aliran keagamaan sempalan tersebut mudah diterima hingga tumbuh subur dan berkembang. Satu yang sangat disayangkan untuk tidak menyebutnya disesalkan adalah meskipun disinyalir bahwa aliran-aliran keagamaan yang muncul dan berkembang di Indonesia cukup banyak, namun tidak ada satu pun institusi keagamaan yang memiliki data konkrit tentang aliran-aliran tersebut, baik menyangkut nama-nama aliran keagamaan apa saja yang berkembang, tokoh-tokohnya, aspek-aspek ajarannya, maupun inventarisasi jumlah pengikutnya.  

Oleh karena itu kajian ini akan membahas fenomena gerakan sempalan Islam di Indonesia. Dalam penyusunan materi dalam makalah ini menggunakan metode kepustakaan, yang artinya mengumpulkan seluruh sumber (studi pustaka) menjadi satu. Harapan makalah ini bisa menjadi referensi bagi pembaca dan memiliki banyak manfaat.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.

1.     Apa itu gerakan sempalan Islam?

2.     Apa penyebab lahirnya gerakan sempalan Islam di Indonesia?

3.     Bagaimana fenomena gerakan sempalan Islam di Indonesia saat ini?

TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.

1.     Menganalisis apa itu gerakan sempalan Islam.

2.     Menganalisis bagaimana fenomena gerakan sempalan Islam di Indonesia sekarang

3.     Menganalisis apa penyebab lahirnya gerakan sempalan Islam di Indonesia.

4.     Untuk menginformasikan kepada khalayak tentang fenomena gerakan Islam di Indonesia.

PEMBAHASAN

Pengertian Gerakan Sempalan

Istilah ini konon pertama kali dipakai oleh Abdurrahman Wahid sebagai pengganti kata "splinter group", kata yang tidak mempunyai konotasi khusus aliran agama, tetapi dipakai untuk sempalan kecil yang memisahkan diri (menyempal) dari partai atau organisasi sosial dan politik. Untuk "splinter group" yang merupakan aliran agama, kata "sekte" lazim dipakai.[1]

Berbicara tentang gerakan sempalan selalu bertolak dari suatu pengertian tentang ortodoksi atau mainstream (aliran induk). Artinya, tanpa ortodoksi maka takkan ada sempalan. Oleh karena itu, gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi. Karena menyempal, maka dihinakan sebagai aliran sesat dan dengan demikian ajarannya juga dianggap menyimpang.

Untuk menentukan yang sempalan, pertama-tama harus didefinisikan mainstream yang ortodoks. Menurut Martin Van Bruinessen, untuk kasus umat Islam di Indonesia, barangkali ortodoksi adalah aliran induk yang diwakili oleh badan-badan ulama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU).(Bruinessen, 1992) MUI sebagai lembaga ulama bentukan pemerintah sangat mendominasi ortodoksi ini, sehingga apa yang dinyatakan sesat oleh MUI akan dijadikan rujukan oleh pemerintah, meski Muhammadiyah atau NU berbeda pendapat. Jadi, ortodoksi merupakan paham yang dianut mayoritas ulama dan terkadang didukung oleh penguasa.

Sementara itu penilaian sesat atau tidak sesat sangat tergantung pada apa kata ajaran induk yang menjadi mainstream. lni tentunya menimbulkan kesulitan dalam bersikap. Padahal lahirnya aliran baru selalu dipandang sebagai kompetitor bagi aliran lama apalagi yang mayoritas. Suasana persaingan dan keterancaman terkadang menyertai perjalanan sejarah aliran-aliran itu. Masing-masing mengukuhkan dirinya sebagai 'yang benar' seraya menyatakan sesat bagi aliran yang lain.

Jika yang dimaksud dengan aliran induk atau ortodoksi adalah ahl al-sunnah wa al-jama'ah, maka yang menyimpang dari ahl al-sunnah wa al-Jamaah merupakan sempalan dan sesat. Ketika terjadi konflik antara lslam tradisionalis dan modernis awal abad ke-20, maka yang sempalan dan sesat adalah lslam modernis, karena Islam tradisionalis selalu mengklaim diri sebagai penganut ahl al-sunnah wa al-jama'ah (pengikut Rasulullah dan teman-teman setianya).


Di Indonesia, ketika Islam modernis berubah wujud menjadi Muhammadiyah dan Islam tradisionalis bermetamorfosis menjadi Nahdlatul Ulama (NU) justru keduanya menjadi aliran induk dan keduanya berhak menggunakan stempel sesat bagi aliran yang lain. Kesimpulannya, yang sesat bisa berubah menjadi tidak sesat, bila pengikutnya makin banyak atau pemerintah rnengakuinya sebagai aliran resmi penguasa, seperti kasus aliran Mu'tazilah di era Islam klasik.

Menurut Van Bruinessen, asumsi tentang relasi gerakan sempalan dengan ortodoksi bukan tanpa kendala, sebab istilah ortodoksi‖ sendiri seringkali berubah-ubah. Adakalanya sesuatu itu bisa berubah menurut zaman dan tempat, dan yang "sempalan" pun berubah menjadi bersifat kontekstual sesuai dengan zaman yang melingkupnya. Sebagai ilustrasi aliran keagamaan Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan "mainstream" Islam yang ortodoks, dan yang menyimpang darinya adalah sempalan. Lalu, ketika terjadi konflik besar antara kalangan Islam modernis dan kalangan "tradisionalis", kaum modernis merupakan sempalan dan sesat, dan sebaliknya para modernis menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus. Itulah sebabnya, kriteria yang tepat untuk mengukur gerakan sempalan, kata Bruinessen, adalah kriteria sosiologis, bukan teologis. Artinya, gerakan sempalan yang dimaksud adalah sempalan atau gerakan yang sengaja memisahkan diri dari "mainstream" umat, mereka yang cenderung eksklusif dan seringkali kritis terhadap para ulama yang mapan.(Bruinessen, 1992)

 

Penyebab Lahirnya Gerakan Sempalan

Ada beberapa sebab yang melatarbelakangi lahirnya berbagai gerakan sempalan, yaitu:

Pertama, Peran ortodoksi yang tidak akomodatif. Secara sosiologi, "ortodoksi" dan "sempalan" bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat; dan demikian gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik. Sebagai contoh, faham aqidah Asy'ari, yang sekarang merupakan ortodoksi, pada masa 'Abbasiyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan.

Jadi, faham yang sekarang dipandang sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis "gerakan sempalan". Bahwa akhirnya faham Asy'ari-lah yang menang, juga tidak lepas dari faktor politik. Kasus ini mungkin bukan contoh yang terbaik -- golongan Asy'ari tidak dengan sengaja memisahkan diri dari sebuah "mainstream" yang sudah mapan; faham yang mereka anut berkembang dalam dialog terus-menerus dengan para lawannya. Contoh yang lebih tepat adalah gerakan Islam reformis Indonesia pada awal abad ini (seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah) (Pasya, 2000) yang dengan tegas menentang "ortodoksi" tradisional yang dianut mayoritas ulama, dan dari sudut itu merupakan gerakan sempalan.

Kedua, Dalam beberapa kasus terkait gerakan sempalan, latar belakang pendidikan dan pengetahuan agama para anggotanya relatif rendah dan bahkan sama sekali tidak mengerti dasar-dasar agama yang dianutnya, tetapi demikian kebutaan terhadap dasar-dasar agama ini diimbangi semangat keagamaan yang tinggi. Sebagian besar mereka sangat idealis dan sangat ingin mengabdi kepada agama dan masyarakat, meski mereka kecewa melihat bahwa kebanyakan tokoh-tokoh dan figur senantiasa siap berkompromi dalam menghadapi masalah politik dan sosial. Dalam pada ini para ulama tidak memberi penjelasan yang memuaskan tentang sebab-sebab semua penyakit sosial tadi, apalagi memberikan jalan keluar yang konkrit dan jelas. Ketidakpuasan inilah yang kemudian menjerumuskan mereka untuk mencari ajaran atau aliran baru yang dipandang memuaskan.

Ketiga, Terdapat jurang komunikasi antara tokoh-tokoh agama (baca: ulama dan kalangan cendekiawan Muslim) dan kalangan muda yang frustrasi tetapi idealis, sehingga kalangan yang disebut terakhir cenderung terhambat untuk menyalurkan aspirasi dan idealisme mereka ke dalam saluran yang lebih moderat dan produktif. Mereka kemudian menjadi radikal karena masih dangkalnya pengetahuan agama. Tidak mengherankan kalau kritik dan serangan sempalan sempalan terhadap ulama "orto-doks" terkadang lebih keras daripada terhadap koruptor dan penguasa zalim sekalipun.(Bruinessen, 1992)

Keempat, Sebagai akibat urbanisasi dan monetarisasi ekonomi, banyak ikatan sosial yang tradisional semakin longgar atau terputus. Dalam desa tradisional, setiap orang adalah anggota sebuah komunitas yang cukup intim, dengan kontrol sosial yang ketat tetapi juga dengan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Jaringan keluarga yang luas melibatkan setiap individu dalam sebuah sistem hak dan kewajiban yang -- sampai batas tertentu -- menjamin kesejahteraannya. Dalam masyarakat kota modern, sebaliknya, setiap orang berhubungan dengan jauh lebih banyak orang lain, tetapi hubungan ini sangat dangkal dan tidak mengandung tanggungjawab yang berarti. Komunitas, seperti di desa atau di keluarga besar, sudah tidak ada lagi, dan kehidupan telah menjadi lebih individualis. Itu berarti bahwa dari satu segi setiap orang lebih bebas; tetapi dari segi lain, tidak ada lagi perlindungan yang betul-betul memberikan jaminan. Dalam keadaan seperti ini banyak orang merasa terisolir, dan merasa bahwa tak ada orang yang betul-betul bisa mereka percayai --- karena sistem kontrol sosial dengan segala sanksinya sudah tidak ada lagi, dan karena orang lain juga lebih mengutamakan kepentingan individual masing-masing. (Bruinessen, 1988)

Akibatnya dalam situasi seperti ini aliran agama sering dipandang bisa memenuhi kekosongan yang telah terjadi karena menghilangnya komunitas keluarga besar dan desa. Namun untuk dapat berfungsi sebagai komunitas, aliran ini mestinya cukup kecil jumlah anggotanya, sehingga mereka bisa saling mengenal. Aspek komunitas dan solidaritas antara sesama anggota diperkuat lagi kalau aliran ini membedakan diri dengan tajam dari dunia sekitarnya. (Bruinessen, 1988)

Dari beberapa alasan yang menyeret lahirnya gerakan sempalan di atas, agaknya daya tarik aliran yang bersifat eksklusif (yaitu menghindar dari hubungan dengan umat lainnya) menjadi penyebab utama yang memicu tumbuh suburnya gerakan sempalan di kalangan umat Islam di Indonesia. Eksklusifitas ini kemudian diperparah dengan minimnya pengetahuan dan dasar-dasar keagamaan, sehingga mereka mudah terjebak dan terpedaya oleh aliran sesat atau gerakan sempalan tersebut.

 

Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam di Indonesia

Untuk mengurai fenomena gerakan sempalan di kalangan umat Islam di Indonesia penulis terlebih dahulu mengelaborasi pandangan Bryan Wilson, (Robertson, 1988) seorang sosiolog asal Inggris, yang menyebutkan tujuh tipe sekte atau gerakan sempalan. Tipologi ini disusun Wilson berdasarkan sikap sekte-sekte terhadap dunia sekitar yang kesemuanya hampir secara nyata terwakili dan berkembang di Indonesia.

Ketujuh tipe sekte atau gerakan sempalan ini adalah sebagai berikut. Pertama, Conversionist, yakni gerakan sempalan yang mengarahkan perhatiannya kepada perbaikan moral individu dengan kegiatan utamanya men-tobat-kan orang luar. Di Indonesia gerakan yang mirip tipe ini adalah gerakan dakwah seperti jemaah Tabligh. Kedua, Revolusioner, suatu gerakan sempalan yang mengharapkan perubahan masyarakat secara radikal, misalnya gerakan messianistik. Ketiga, Introversionis, sempalan yang mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat luas. Keempat, Manipulationist atau gnostic ("ber-ma'rifat"), yakni suatu gerakan sempalan yang cenderung tidak peduli terhadap keselamatan dunia sekitar, akan tetapi mereka mengklaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus yang biasanya dirahasiakan dari orang luar, seperti aliran kebatinan dengan amalan-amalan khusus dan sistem bai'at. Kelima, Thaumaturgical, yakni gerakan sekte yang mengembangkan sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau penguasaan alam gaib. Keenam, tipe reformis, yakni gerakan yang melihat usaha reformasi sosial sebagai kewajiban esensial agama, dan ketujuh tipe utopian, yakni suatu gerakan sekte yang berusaha menciptakan suatu komunitas ideal sebagai teladan untuk masyarakat luas. (Robertson, 1988)

Tipologi yang dibuat Wilson di atas cukup memberi gambaran secara umum tentang berbagai gerakan sempalan atau sekte yang berkembang di dunia Barat terutama dalam kaitannya dengan sikap sekte-sekte tersebut terhadap ortodoksi (baca: Gereja) yang menjadi mainstream di Eropa. Dalam pada ini meski gerakan sempalan di kalangan umat Islam di Indonesia cukup berbeda dengan yang terjadi di dunia Barat-Eropa lantaran perbedaan latar belakang sosiologis, tetapi beberapa gerakan sempalan yang muncul di Nusantara memiliki kesamaan dalam sikap dan perilaku mereka ketika berhubungan dengan ortodoksi (baca: agama Islam) sebagai sebuah mainstream di Nusantara.

Beberapa gerakan sempalan yang muncul dan berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia tersebut di antaranya gerakan sempalan radikal, gerakan messianistik, conver-sionist, introversionis, gnostic, thaumaturgical, dan lain-lain. Adapun gerakan islam yang bersifat radikalis. Sempalan Islam yang tumbuh pasca Orde Baru dan mengembangkan corak gerakannya legal-formal, doktriner dan militant termasuk misalnya Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir, Komite Persiapan Penegakan syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, Front Pembela Islam (FPI), dan partai-partai Islam (PKS, PBB, PPP). (Bruinessen, 1992)

Dalam merespon munculnya sempalan-sempalan tersebut di atas, seharusnya menggunakan analisis yang cermat dan obyektif. Adapun yang penulis maksud cermat di sini merupakan lebih agar tidak salah kaprah di dalam menilai aksi sempalan-sempalan tersebut. Sedangkan obyektif, dimaksudkan supaya dapat betul-betul memahami maksud dari gerakan sempalan-sempalan dimaksud. Maksudnya adalah tumbuhnya gerakan yang melakukan pemberantasan terhadap warung remang-remang dan minuman keras harus pula dilihat secara obyektif, bahwa keberadaan warung tersebut adalah sangat-sangat berbahaya bagi masyarakat, sebab akan menimbulkan penyakit pada masyarakat terutama untuk berbuat maksiat dan meminum minuman keras yang akibatnya sebagaimana yang sering dilihat dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu keberadaan warung tersebut hendaknya selalu diawasi dan kontrol secara sungguh-sungguh oleh pihak yang berwenang sehingga tidak menyebar dan meruntuhkan moral dan akhlak masyarakat.

Dalam tipologi sekte di atas ini, Wilson sudah menggambarkan suatu spektrum aliran agama yang lebih luas daripada spekrum gerakan sempalan Indonesia yang disebut di atas. Meski demikian, beberapa gerakan di Indonesia agak sulit diletakkan dalam tipologi ini. Kriteria yang dipakai Wilson adalah sikap sekte terhadap dunia sekitar, namun terdapat berbagai gerakan di Indonesia yang tidak mempunyai sikap sosial tertentu dan hanya membedakan diri dari "ortodoksi" dengan ajaran atau amalan yang lain. Satu tipe terdiri dari aliran-aliran kebatinan atau tarekat dengan ajaran yang "aneh", yang masih sering muncul di hampir setiap daerah. Sebagian aliran ini memang mirip sekte gnostic, dengan sistem bai'at, hierarki internal dan inisiasi bertahap dalam "ilmu" rahasia, sebagian juga memiliki aspek thaumaturgical, dengan menekankan pengobatan dan kesaktian, tetapi aspek thaumaturgical jarang menjadi intisari aliran tersebut seperti dalam gerakan pengobatan ruhani di Amerika Serikat.(Bruinessen, 1992) Sebagian besar tidak mempunyai ciri sosial yang menonjol, tidak ada penolakan terhadap norma-norma masyarakat luas. Mereka tidak mementingkan aspek sosial dan politik dari ajaran agama, melainkan kesejahteraan ruhani, ketentraman dan/atau kekuatan gaib individu. Penganutnya bisa berasal dari hampir semua lapisan masyarakat, tetapi yang banyak adalah orang yang termarginalisir oleh perubahan sosial dan ekonomi.

Suatu jenis lain terdiri dari gerakan pemurni, yang sangat menonjol dalam sejarah Islam: gerakan yang mencari inti yang paling asli dari agamanya, dan melawan segala hal (ajaran maupun amalan) yang dianggap tidak asli. Beberapa gerakan pemurni sekaligus adalah gerakan reform sosial, seperti Muhammadiyah, tetapi tidak semuanya berusaha mengubah masyarakat. Gerakan pemurni yang paling tegas di Indonesia, agaknya, Persatuan Islam (Persis). Dalam konteks ini perlu kita sebut sempalan yang dikenal dengan nama Inkarus Sunnah, karena mereka juga mengklaim ingin mempertahankan hanya sumber Islam yang paling asli saja. Seperti diketahui, mereka kurang yakin akan keasliannya hadits, dan menganggap hanya Qur'an saja sebagai sumber asli. Oleh karena itu, nama yang mereka sendiri pakai adalah Islam Qur'ani. Namun dalam kasus terakhir ini, saya tidak yakin apakah mereka layak disebut gerakan sempalan; mereka tidak cenderung untuk memisahkan diri dari ummat lainnya, dan saya belum jelas apakah mereka merupakan gerakan terorganisir.

Gerakan Islam Jama'ah alias Darul Hadits juga merupakan suatu kasus yang tidak begitu mudah digolongkan. Dengan penekanannya kepada hadits (walaupun yang dipakai, konon, hadits-hadits terpilih saja), gerakan ini mengingatkan kepada gerakan pemurni (ini mungkin menjelaskan daya tariknya bagi orang berpendidikan modern). Namun beberapa ciri jelas membedakannya dari gerakan pemurni atau pembaharu dan membuatnya mirip sekte manipulationist / gnostic. Dari segi organisasi internal, Islam Jama'ah mirip tarekat atau malahan gerakan militer, dengan bai'at dan pola kepemimpinan yang otoriter dan sentralistis (amir). Tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai masyarakat pada umumnya, dan tidak ada cita-cita politik atau sosial tertentu. Unsur protes tidak terlihat dalam gerakan ini; mereka hanya sangat eksklusif dan menghindar dari berhubungan dengan orang luar. Faktor yang juga perlu disebut adalah kepemimpinan karismatik.(Bruinessen, 1992) Pendiri dan amir pertama, Nur Hasan Ubaidah, dikenal sebagai ahli ilmu kanuragan dan kadigdayan yang hebat, dan dalam pandangan orang banyak, itulah yang membuat penganutnya tertarik dan terikat pada gerakan ini. Penganutnya pada umumnya tidak berasal dari kalangan bawah tetapi dari kalangan menengah; namun banyak diantara mereka, agaknya, pernah mengalami krisis moral sebelum masuk gerakan ini.

Dari segi kepemimpinan, gerakan Darul Arqam di Malaysia (yang Dari segi kepemimpinan, gerakan Darul Arqam di Malaysia (yang sekarang juga sudah mempunyai cabang di Indonesia) sedikit mirip Islam Jama'ah; gerakan ini sangat tergantung kepada pemimpin karismatik, Ustaz Ashaari Muhammad. Tetapi sikap Darul Arqam terhadap dunia sekitar sangat berbeda: mereka ingin mengubah masyarakat dan menawarkan model alternatif, yang dicontohkan dalam "Islamic Village" mereka. Dengan kata lain, inilah suatu gerakan utopian; melalui dakwah aktif mereka terus mempropagandakan alternatif mereka. Kegiatan sosialnya terbatas pada kalangan mereka sendiri; selain usaha konversi (dakwah: memasukkan penganut baru), mereka tidak banyak berhubungan dengan masyarakat sekitar walaupun dalam praktek mereka masih tergantung pada masyarakat luar untuk pendapatan mereka. Hubungan di dalam sempalan, antara sesama anggota, hangat dan intensif; kontrol sosial dinatara mereka juga tinggi. Namun, mereka menjauhkan diri dari ummat lainnya, sehingga sering dituduh terlalu eksklusif. Di samping sikap utopian ini, Darul Arqam juga merupakan gerakan messianis; mereka meyakini kedatangan Mahdi dalam waktu sangat dekat, dan mempersiapkan diri untuk peranan di bawah kepemimpinan Mahdi nanti. (Conference & Studies, 2010)

Beberapa tahun terakhir ini aspek messianis ini telah menjadi semakin menonjol; gerakan ini lambat laun bergeser dari utopian menjadi revolusioner. Gerakan yang lebih murni aspek utopiannya adalah yang disebut gerakan Usroh di Indonesia. Saya tidak yakin apakah ini memang suatu gerakan terorganisir, dengan kepemimpinan dan strategi tertentu. Kesan saya, gerakan ini adalah suatu trend, suatu pola perkumpulan yang cepat tersebar, tanpa banyak koordinasi antara sesama usroh. Ini memang suatu gerakan protes politik (walaupun perhatiannya terutama kepada urusan agama dalam arti sempit, tidak kepada isu- isu politik umum). Namun mereka tidak berharap mengubah tatanan masyarakat atau sistem politik secara langsung; para usroh ("keluarga") merupakan komunitas yang menganggap diri mereka sebagai alternatif yang lebih Islami. Ahmadiyah (Qadian), Baha'i dan Syi'ah tidak lahir dari rahim kalangan umat Islam Indonesia sendiri, tetapi "diimport" dari luar negeri ketika sudah mapan. Ketiganya merupakan faham agama yang sudah lama berdiri di negara lain sebelum masuknya ke Indonesia. Pada masa awalnya, ketiganya mempunyai aspek messianis, namun kemudian berubah menjadi introversionis, tanpa sama sekali menghilangkan semangat awalnya.

Pemimpin karismatik aslinya (Ghulam Ahmad, Baha'ullah, Duabelas Imam) tetap merupakan titik fokus penghormatan dan cinta yang luar biasa. Dalam Syi'ah, semangat revolusioner kadang-kadang tumbuh lagi (seperti terakhir terlihat di Iran sejak 1977), dan itulah agaknya yang merupakan daya tarik utama faham Syi'ah bagi para pengagumnya di Indonesia. Sedangkan Ahmadiyah telah menampilkan diri (di India- Pakistan dan juga di Indonesia) terutama sebagai sekte reformis,(Conference & Studies, 2010) yang belakangan menjadi sangat introversionis dan menghindar dari kegiatan di luar kalangan mereka sendiri. Walaupun sekte Baha'i juga mempunyai beberapa penganut di Indonesia, mereka rupanya tidak berasal dari kalangan Islam, sehingga Baha'i di sini tidak dapat dianggap sebagai gerakan sempalan Islam (seperti halnya di negara aslinya, Iran). Tiga gerakan ini memain peranan sangat berlainan di Indonesia, dan meraih penganut dari kalangan yang berbeda.

Gerakan Syi'ah adalah yang paling dinamis. Ia mulai sebagai gerakan protes, baik terhadap situasi politik maupun kepemimpinan ulama Sunni; pelopornya adalah pengagum revolusi Islam Iran. Kepedulian sosial (perhatian terhadap mustadl'afin) dan politik ditekankan. Dalam perkembangan berikut, penekanan kepada dimensi politik Syi'ah semakin dikurangi, dan minat kepada tradisi intelektual Syi'ah Iran ditingkatkan.(Joebagio, n.d.)

Dengan kata lain, gerakan Syi'ah Indonesia sudah bukan gerakan sempalan revolusioner lagi dan cenderung untuk menjadi introversionis. Tetapi gerakan ini tetap berdialog dan berdebat dengan golongan Sunni, mereka tidak terisolir. Di antara semua gerakan sempalan masa kini, hanya gerakan Syi'ah yang agaknya mempunyai potensi berkembang menjadi suatu denominasi, di samping gerakan pemurni dan pembaharu yang Sunni.

 

 

 

 

 

 

PENUTUP

Kesimpulan

            Aliran sesat atau di Indonesia juga di kenal dengan istilah aliran sempalan merupakan fenomena yang dapat di temukan di sepanjang zaman, mulai dari masa Rasulullah saw sampai pada saat sekarang ini. Sebenarnya fenomena aliran sesat tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam, tetapi juga terjadi pada agama lainnya, seperti Kristiani, Buddha dan Hindu. Hanya saja di Indonesia umat Islam adalah mayoritas, maka persoalan ini menjadi lebih mengemuka dibandingkan dengan agama lainnya.

            Banyak hal dapat di ambil hikmahnya dengan munculnya aliran ini dan mengharuskan kita terutama elite agama untuk menyadari kembali fungsi dan tugas kita dalam kehidupan beragama. Munculnya aliran ini juga dapat di pahami sebagai rasa ketidak puasan terhadap pelaksanaan keagamaan yang sudah ada. Dengan demikian, para elite agama harus memberikan perhatian dan pembinaan yang cukup terhadap mereka yang masih “lemah imannya”, sehingga tidak mudah di pengaruhi oleh paham-paham tertentu yang bertentangan dengan pemahaman keagamaan secara umum (mainstream). Lembaga-lembaga keagamaan jangan teramat diasyikan dengan urusan perpolitikan, ekonomi dan lain sebagainnya sehingga mengabaikan tanggung jawab utamanya, yaitu pembinaan umat.

Saran

Kami selaku penyusun sangat menyadari masih jauh dari sempurna dan tentunnya banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal ini di sebabkan karena masih terbatasnya kemampuan kami.

Oleh karena itu, kami selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya bagi pembaca.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Bruinessen, M. Van. (1992). Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia : Latar Belakang Sosial-Budaya, III(1), 16–27.

Conference, A., & Studies, I. (2010). Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10 Banjarmasin, 1 – 4 November 2010, (November), 1–4.

Joebagio, B. H. (n.d.). RELIGIOUS SPLINTER MOVEMENT FROM, 1–14.

Bruinessen, M. V. (1988). Masyarakat Indonesia. Remark on cultural change among poor migrants to Bandung, 55-60.

Pasya, M. K. (2000). Muhammadiyyah Sebagai Gerakan Islam, Perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Robertson, R. (1988). Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. In Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (pp. 430-462). Jakarta: Rajawali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...