Iklan

Sabtu, 15 Juni 2024

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad menjadi Rasul



Ketika usia Rasulullah telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan diri. Itu beliau lakukan setelah melalui perenungan yang lama dan telah menjadi jurang pemisah antara pemikiran beliau dan kaumnya. Dengan membawa roti dari gandum dan air, beliau pergi ke gua Hira di Jabal Nur, yang jaraknya kira-kira 2 mil dari kota Makkah, suatu gua yang tidak terlalu besar, yang panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran Zira Al-Hadid (hasta ukuran besi).

Keluarga beliau kadang-kadang menyertai ke sana. Selama bulan Ramadhan beliau berada di gua ini, dan tidak lupa memberikan makanan kepada setiap orang miskin yang juga datang ke sana. Beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah, memikirkan keagungan alam di sekitarnya dan kekuatan tidak terhingga dibalik alam. Beliau tidak pernah merasa puas melihat keyakinan umatnya yang penuh dengan kemusyrikan dan segala persepsi mereka yang tidak pernah lepas dari takhayul. Sementara itu, di hadapan beliau juga tidak ada jalan yang jelas dan mempunyai batasan-batasan tertentu, yang bisa menghantarkan kepada keridhaan dan kepuasan hati beliau.

Pilihan beliau untuk mengasingkan diri ini termasuk satu sisi dari ketentuan Allah atas diri beliau, sebagai langkah persiapan untuk menerima urusan besar yang sedang ditunggunya. Ruh manusia manapun yang realitas kehidupannya akan disusupi suatu pengaruh dan dibawa ke arah lain, maka ruh itu harus dibuat kosong dan mengasingkan diri untuk beberapa saat, dipisahkan dari berbagai kesibukan duniawi dan gejolak kehidupan serta kebisingan manusia yang membuatnya sibuk pada urusan kehidupan.

Begitulah Allah mengatur dan mempersiapkan kehidupan Rasulullah untuk mengemban amanat yang besar, mengubah wajah dunia dan meluruskan garis sejarah. Allah telah mengatur pengasingan ini selama tiga tahun bagi Rasulullah sebelum membebaninya dengan risalah. Beliau pergi untuk mengasingkan diri ini selama jangka waktu sebulan, dengan disertai ruh yang suci sambil mengamati kegaiban yang tersembunyi dibalik alam nyata, hingga tiba saatnya untuk berhubungan dengan keajaiban itu tatkala Allah telah mengizinkannya.

 

Kedatangan Jibril Membawa Wahyu

Tatkala usia beliau genap 40 tahun—yang merupakan awal usia kematangan, dan ada riwayat yang menyatakan bahwa pada usia inilah para Rasul di utus—tanda-tanda Nubuwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka. Di antaranya, ada sebuah batu di Makkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar subuh yang menyingsing. Tanda ini berlangsung hingga enam bulan—masa kenabian berlangsung selama 23 tahun—dan ru’ya shadiqah ini merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki tahun ketiga dari pengasingan dirinya di gua Hira, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmatnya dilimpahkan kepada penduduk bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai nabi dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat Al-Qur’an.

Setelah melalui pengamatan dan perenungan terhadap beberapa bukti-bukti dan tanda-tanda akurat, dapat ditentukan persisnya pengangkatan tersebut, itu hari Senin, tanggal 17 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan 6 Agustus tahun 610 M. Tepatnya usia beliau saat itu 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut penanggalan Qamariyah dan sekitar 39 tahun 3 bulan 16 hari menurut penanggalan Syamsiyah.

Dalam sebuah hadis, Aisyah r.a menuturkan kisahnya kepada kita mengenai peristiwa yang merupakan permulaan Nubuwah tersebut dan yang mulai membuka tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan, sehingga dapat mengubah alur kehidupan dan meluruskan garis sejarah.

Aisyah berkata: “Wahyu yang mula pertama dialami oleh Rasulullah adalah berupa ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) dalam tidur dan mimpi itu hanya berbentuk fajar subuh yang menyingsing, kemudian beliau lebih menyenangi penyendirian dan melakukannya di Gua Hira. Beliau beribadah di dalamnya beberapa malam sebelum kembali ke rumah keluarganya. Dalam melakukan itu, beliau mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah untuk mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di Gua Hira tersebut, seorang malaikat datang menghampiri sembari berkata, “Bacalah!”

Rasulullah menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”

Kemudian Jibril memegang dan merengkuhnya hingga beliau kehabisan tenaga, lalu setelah itu melepaskannya sembari berkata lagi, “Bacalah!”

Beliau tetap menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”

Jibril memegang dan merangkul sampai ketiga kalinya hingga beliau merasa sesak, kemudian melepaskannya, lalu berkata:

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, Tuhanmulah yang maha mulia. yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-‘Alaq: 1-5).

Setelah itu Rasulullah pulang dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid sembari berucap, “Selimutilah aku, selimutilah aku!” Maka beliau diselimuti hingga badan beliau tidak lagi menggigil layaknya terkena demam.

“Apa yang terjadi padaku?” Beliau bertanya kepada Khadijah. Lalu memberitahukan apa yang baru saja terjadi, kemudian bersabda, “Aku kuatir terhadap keadaan diriku sendiri.”

Khadijah berkata, “Tidak demi Tuhan, Tuhan tidak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau suka menyambung tali persaudaraan, membantu meringankan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.”

Selanjutnya Khadijah binti Khuwailid membawa beliau pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani semasa Jahiliyah. Dia menulis buku dalam bahasa Ibrani dan juga menulis Injil dalam bahasa Ibrani seperti yang dikehendaki Allah. Dia sudah tua dan buta. Khadijah binti Khuwailid berkata kepada Waraqah, “Wahai putra pamanku, dengarkanlah kisah dari anak saudara mu (Rasulullah).”

Waraqah berkata kepada beliau, “ Apa yang pernah engkau lihat, wahai putra saudaraku?” Kemudian Rasulullah mengabarkan apa saja yang pernah dilihat dan dialaminya. Akhirnya Waraqah berkata, “Ini adalah Namus yang diturunkan Allah kepada Musa. Andaikan saja aku masih muda pada saat itu. Andaikan saja aku masih hidup tatkala kaummu mengusirmu.”

Beliau bertanya, “Benarkah mereka akan mengusirku?”

“Benar. Tidak seorang pun yang membawa seperti yang kau bawa melainkan akan dimusuhi. Andaikan aku masih hidup pada masanya nanti, tentu aku akan membantumu dengan sungguh-sungguh,” jawab Waraqah. Waraqah meninggal dunia pada masa-masa awal turun Wahyu.

At-Thabari dan Ibnu Hisyam meriwayatkan, yang intinya menjelaskan bahwa beliau pergi meninggalkan Gua Hira setelah mendapat wahyu, lalu menemui istri beliau dan pulang ke Makkah. Adapun riwayat At-Thabari menyebutkan secara sekilas sebab keluarnya beliau dari gua Hira. Inilah riwayatnya:

Rasulullah bersabda, “Tidak ada makhluk Allah yang paling kubenci selain dari penyair atau orang yang tidak waras. Aku tidak kuat untuk memandang keduanya.”

Beliau juga bersabda, “Yang paling ingin aku jauhi adalah penyair atau orang yang tidak waras. Sebab, orang-orang Quraisy senantiasa berbicara tentang diriku dengan syair itu. Rasanya ingin aku mendaki gunung yang tinggi, lalu menerjunkan diri dari sana agar aku mati saja, sehingga aku bisa istirahat dengan tenang.”

Beliau bersabda lagi, “Aku pun pergi dan hendak melakukan hal itu. Namun, di tengah gunung, tiba-tiba aku mendengar suara yang datangnya dari langit, berkata, Wahai Muhammad, engkau adalah rasul Allah dan aku Jibril.”Aku berdiam diri sambil memandang nya, bingung apa yang hendak aku kerjakan, tidak berani melangkah maju atau mundur. Aku memalingkan wajah dari arah yang ditempati Jibril di ufuk langit. Tetapi, setiap kali aku memandang arah langit yang lain, di sana tetap ada Jibril yang kulihat. Aku tetap diam, tidak selangkah kaki pun maju ke depan atau surut ke belakang, hingga akhirnya Khadijah binti Khuwailid mengirim beberapa orang untuk mencariku. Bahkan, mereka sampai ke Makkah dan kembali lagi menemui Khadijah tanpa hasil, padahal aku tetap berdiri seperti semula di tempatku berdiri. Kemudian Jibril pergi dariku dan aku pun pulang kembali menemui keluargaku.

Sesampainya di rumah aku langsung duduk di atas paha Khadijah sambil bersandar kepadanya. Khadijah berkata, “Wahai Abul Qasim, ke mana saja kau tadi? Demi Tuhan, aku telah mengirim beberapa orang untuk mencarimu hingga mereka kembali lagi ke Makkah, namun kembali tanpa hasil.” Kemudian aku memberitahukan apa yang telah kulihat.

Dia berkata, “Bergembiralah, wahai anak pamanku, dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang ada di Tangan-Nya, aku benar benar sangat berharap engkau menjadi nabi umat ini.”

Setelah itu Khadijah beranjak pergi untuk menemui Waraqah dan mengabarkan kepadanya. Waraqah berkata, “Mahasuci, Mahasuci. Demi diri Waraqah ya ada di Tangan-Nya, Namus yang besar, yang pernah datang kepada Musa, kini telah datang kepadanya. Dia adalah benar-benar nabi umat ini. Katakanlah kepadanya agar dia berteguh hati.

Khadijah pulang lalu mengabarkan apa yang dikatakan Waraqah kepadanya. Tatkala Rasulullah meninggalkan istrinya dan pergi ke Makkah, beliau bertemu Waraqah. Setelah mendengar penuturan langsung dari beliau, Waraqah berkata, “Demi diriku yang ada di Tangan-Nya engkau adalah benar-benar nabi umat ini. Namus yang besar telah datang kepadamu, seperti yang pernah datang kepada Musa.”

 

Masa Terputusnya Wahyu

Diriwayatkan oleh Ibnu Saad dari Ibnu Abbas yang intinya menyatakan bahwa masa terputusnya wahyu berlangsung selama beberapa hari. Pendapat inilah yang lebih kuat bahkan setelah melalui penelitian dari segala aspeknya secara terfokus harus menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal itu berlangsung selama 3 tahun atau 2,5 tahun tidaklah shahih sama sekali, namun di sini bukan pada tempatnya untuk membantah hal itu secara detail.

Pada masa-masa terputusnya wahyu itu, Rasulullah hanya diam dalam keadaan termenung sedih. Kegelisahan melingkupi diri beliau. Dalam kitab At-Ta’bir, Imam Al-Bukhari meriwayatkan naskah sebagai berikut:

Menurut berita yang sampai kepada kami, wahyu berhenti turun hingga membuat nabi sedih dan berkali-kali berlari ke gunung dan ingin menjatuhkan diri dari jurang, namun setiap beliau mencapai puncak gunung untuk mencampakan dirinya, malaikat Jibril menampakkan wujudnya sembari berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau benar benar utusan Allah!” Motivasi ini dapat menenangkan dan memantapkan kembali jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah, namun ketika wahyu tidak kunjung turun, beliau pun mengulangi tindakan sebagaimana sebelumnya dan ketika dia mencapai puncak gunung, malaikat Jibril menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti sebelumnya.

Ibu Hajar menuturkan, “Selama wahyu terputus untuk beberapa hari lamanya, beliau ingin ketakutan dan kedukaannya segera sirna dan kembali seperti sebelumnya. Tatkala bayang-bayang kebingungan mulai surut, dan beliau kembali menunggu-nunggu turunnya wahyu, Allah muliakan beliau dengan wahyu untuk kedua kalinya.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa dia pernah mendengar Rasulullah menuturkan masa turunnya wahyu. Beliau bersabda, “Tatkala aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang berasal dari langit. Aku mendongakkan pandangan ke arah langit. Ternyata di sana ada malaikat yang mendatangiku di gua Hira, sedang duduk di sebuah kursi, menggantung di antara langit dan bumi. Aku mendekatinya hingga tiba tiba aku terjerembab ke atas tanah. Kemudian aku menemui keluarga aku dan kukatakan, “selimutilah aku, selimutilah aku!” Lalu Allah menurunkan surat al Muddassir ayat 1-5. Setelah turunnya ayat tersebut, maka wahyu datang secara berturut-turut.

 

Kamis, 13 Juni 2024

Makalah SKI Kelas 10 MA/MAN [Peradaban Bangsa Arab Sebelum Islam]

MAKALAH

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (SKI)

PERADABAN BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM

 

 

 

 

 

 

 

 

Logo Sekolah

 

 

 

Oleh

Joko Subianto

Kelas X-1

 

 

 

 

 

 

Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota New York

2024


KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji serta rasa syukur yang menjadi penolak kesombongan dan sebagai kerendahan diri seorang hamba, marilah kita haturkan kehadirah Allah yang telah memberikan segala macam kenikmatan kepada kita semua termasuk kepada penulis, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurah limpahkan kepada Rasulullah Muhammad; keluarganya; para sahabat; seluruh umatnya hingga akhir zaman. Makalah yang berjudul “Peradaban Bangsa Arab Sebelum Islam,” bertujuan untuk menemukan penjelasan sejarah, informasi, dan hikmah dari peradaban masyarakat Arab khususnya Mekkah sebelum kedatangan agama Islam.

Makalah in disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada guru fiqih MAN 1 New York yaitu Bapak Stephen Einstein yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara menyusun karya tulis ilmiah yang baik dan sesuai kaidah.

Pada makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan segala kerendahan hati membuka kritik dan saran agar penelitian ini dapat bermanfaat untuk semua pihak.

 

 

New York, 30 Februari 2024

Penulis,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

B.    Rumusan Masalah

C.    Tujuan Penulisan

D.    Manfaat Penulisan

E.    Sistematika Penulisan

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Letak Geografis Jazirah Arab

B.    Asal-Usul Bangsa Arab

C.    Kondisi Politik Bangsa Arab Sebelum Islam

D.    Keadaan Sosial, Ekonomi, dan Moral Bangsa Arab Sebelum Islam

E.    Agama dan Kepercayaan Bangsa Arab Sebelum Islam

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

B.    Kritik dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Peradaban kehidupan manusia senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini dapat dilacak melalui histori atau sejarah peradaban manusia itu sendiri. Sejarah merupakan peristiwa masa lalu yang tejadi dan dapat di ketahui melalui peninggalan-peninggalan dari peristiwa tersebut. Sejarah senantiasa berkaitan dengan waktu dan peristiwa.

Perkembangan zaman menjadi faktor penting terhadap perubahan pola pokir dan cara pandang manusia terhadap kehidupan. Maka seiring dengan perkembangan zaman itu pulalah peradaban manusia mengalami perubahan, baik menuju kemajuan ataupun kemunduranya.

Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis membuat Islam yang diturunkan di Makkah menjadi cepat disebarluaskan ke berbagai wilayah. Di samping juga didorong oleh faktor cepatnya laju perluasan wilayah yang dilakukan umat Islam dan bahkan bangsa Arab telah dapat mendirikan kerajaan di antaranya Saba’, Ma’in, dan Qutban serta Himyar yang semuanya berada di wilayah Yaman.

Di sisi lain, masyarakat Arab pada saat itu sangat identik dengan sebutan masyarakat jahiliyah. Sebutan jahiliyah diberikan kepada masyarakat Arab dikarenakan pola kehidupan mereka yang bersifat keterbelakangan moral. Dalam Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam kehidupan beragama. Pada saat itu masarakat Arab jahiliyah mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk seperti menyembah berhala, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, berperang, berjudi, bermabuk-mabukan, dan segala bentuk dari kemaksiatan dan kejahatan manusia.

Kenyataan bahwa al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhammad dan diturunkan dalam konteks geografis Arab, mengimplikasikan sebuah asumsi bahwa suatu pemahaman yang komprehensif terhadap al-Qur’an hanya mungkin dilakukan dengan sekaligus melacak pemaknaan dan pemahaman pribadi, masyarakat dan lingkungan mereka yang menjadi audiens pertama al-Qur’an, yaitu Muhammad dan masyarakat Arab saat itu dengan segala kultur dan tradisinya. Dan untuk memiliki pengertian yang sebenar-benarnya tentang asal mula Islam, maka satu hal yang perlu diketahui adalah bagaimana keadaan Arab sebelum adanya Islam, Muhammad, dan sejarah Islam terdahulu.

B.    Rumusan Masalah

1.     Bagaimana letak geografis jazirah Arab?

2.     Bagaimana asal-usul bangsa Arab?

3.     Bagaimana kondisi politik bangsa Arab sebelum Islam?

4.     Bagaimana keadaan sosial, ekonomi, dan moral bangsa Arab sebelum Islam?

5.     Bagaimana agama dan kepercayaan bangsa Arab sebelum Islam?

C.    Tujuan Penulisan

Secara umum tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana peradaban bangsa Arab sebelum Islam.

Tujuan khusus:

1.     Untuk mengetahui letak geografis jazirah Arab

2.     Untuk mengetahui asal-usul bangsa Arab

3.     Untuk mengetahui kondisi politik bangsa Arab sebelum Islam

4.     Untuk mengetahui keadaan sosial, ekonomi, dan moral bangsa Arab sebelum Islam

5.     Untuk mengetahui agama dan kepercayaan bangsa Arab sebelum Islam

D.    Manfaat Penulisan

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini mencakup manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1.     Secara teoritis hasil penulisan ini dapat menambah wawasan dalam rangka memperkaya literatur bacaan dan khasanah, tekhusus sejarah pradaban bangsa Arab sebelum Islam.

2.     Secara praktis, penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman terkait sejarah tentang kondisi masyarakat Arab sebelum Islam.

E.    Sistematika Penulisan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang

B.        Rumusan Masalah

C.        Tujuan Penulisan

D.        Manfaat Penulisan

E.         Sistematika Penulisan

BAB II

PEMBAHASAN

A.        Letak Geografis Jazirah Arab

B.        Asal-Usul Bangsa Arab

C.        Kondisi Politik Bangsa Arab Sebelum Islam

D.        Keadaan Sosial-Moral, Ekonomi, dan Sisi Positif Bangsa Arab Sebelum Islam

E.         Agama dan Kepercayaan Bangsa Arab Sebelum Islam

BAB III

PENUTUP

A.        Kesimpulan

B.        Kritik dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Letak Geografis Jazirah Arab

Dari segi bahasa, Arab artinya padang pasir, tanah yang gundul, dan gersang tidak memiliki tanaman dan air. Penyebutan ini telah lama disematkan dari dulu untuk jazirah Arab. Seperti sebutannya yang diberi untuk kaumnya yang disesuaikan kepada suatu daerah, setelahnya mereka menjadikan itu sebagai tempat mereka tinggal. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis membuat Islam yang diturunkan di Makkah menjadi cepat menyebar ke berbagai wilayah. Di samping juga didorong oleh faktor cepatnya laju perluasan wilayah yang dilakukan umat Islam, dan bahkan bangsa Arab dapat mendirikan kerajaan di antaranya Saba’, Ma’in dan Qutban serta Himyar yang semuanya berada di wilayah Yaman.

Di sisi lain, kenyataan bahwa al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan dalam konteks geografis Arab, mengimplikasikan sebuah asumsi bahwa suatu pemahaman yang komprehensif terhadap al-Qur‟an hanya mungkin dilakukan dengan melacak pemaknaan. Bangsa Arab bertempat tinggal dan mendiami semenanjung terbesar di dunia, yaitu Semenanjung Arabia. Terletak di Asia Barat Daya, luasnya 1.027.000 mil persegi, sebagian besar ditutupi padang pasir dan merupakan salah satu tempat terpanas di dunia. Tidak terdapat sungai yang dapat dilayari atau airnya yang terus menerus mengalir ke laut, yang ada hanya lembah- lembah yang digenangi air di waktu musim hujan. (Bakar, 2022)

Jazirah Arab memiliki peranan yang sangat besar karena kondisi alam dan letak geografisnya. Sedangkan jika dilihat dari kondisi internalnya, Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala sudutnya. Karena kondisi seperti inilah yang membuta Jazirah Arab seperti benteng pertahanan alami yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah, mencaplok, dan menguasai bangsa Arab. Oleh karena itu, kita dapat melihat penduduk Jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dalam segala urusan sejak zaman dahulu. Padahal, pada waktu itu mereka hidup bertetangga dengan dua imperium besar saat itu (Romawi dan Persia), yang serangannya tidak mungkin bisa diadang andaikan tidak ada benteng pertahanan yang seperti itu.

Hubungannya dengan dunia luar, Jazirah Arab terletak di benua yang sudah dikenal sejak dahulu kala, yang mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat laut merupakan pintu masuk ke Benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke Benua Eropa dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab, Timur Tengah dan Timur Dekat, terus membentang ke India dan Cina. Setiap benua mempertemukan lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut yang berlayar pasti akan bersandar di pinggiran wilayahnya. Karena letak geografisnya yang demikian, sebelah utara dan selatan Jazirah Arab menjadi tempat berlabuh berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama, dan seni serta budaya. (Al-Mubarakfuri, 2011)

B.    Asal-Usul Bangsa Arab

Merujuk kepada silsilah dan asal-usulnya, para sejarawan membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu:

1.     Arab Ba’idah

Arab Ba’idah adalah kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti kaum Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq, Umain, Jurhum, Hadhur, Wabar, Abis, Jasim, Hadramaut, dan lain-lainnya.

2.     Arab Aribah

Bangsa Arab Aribah berasal dari keturunan Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Suku bangsa Arab ini dikenal dengan sebutan Arab Qahthaniyah. Tempat asal-usulnya adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku. Terdapat dua kabilah yang terkenal yaitu:

a.     Kabilah Himyar

Terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid al-Jumhur, Qudha’ah, dan Sakasik

b.     Kabilah Kahlan

Terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Hamadan, Anmar, Thayyi’, Madzhaj, Kindah, Judzam, Azad, Aus, Khazraj, dan anak keturunan Jafnah, Raja Syam. Suku-suku Kahlan banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke penjuru Jazirah Arab menjelang terjadinya banjir besar saat mereka mengalami kegagalan dalam perdagangan. Hal ini sebagai akibat dari tekanan bangsa Romawi dan tindakan mereka menguasai jalur perdagangan laut dan setelah mereka menghancurkan jalur darat serta berhasil menguasai Mesir dan Syam.

Suku-suku Kahlan yang berhijrah dapat dibagi menjadi empat golongan:

1)    Azad

Perpindahan mereka dipimpin oleh pemuka sekaligus pemimpin mereka, Imran bin Amru Muzaiqiya. Mereka berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim para pemandu lalu berjalan ke arah utara dan timur. Saudaranya, Tsa’labah bin Amru pindah dari Azad menuju Hijaz, lalu menetap di antara Tsa’labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia pindah ke Yatsrib (Madinah) dan menetap di sana. Di antara keturunan Tsa’labah ini adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa’labah.

Di antara keturunan mereka yang bernama Haritsah bin Amru (atau yang dikenal dengan Khuza’ah) dan anak keturunannya berpindah ke Hijaz, hingga mereka singgah di Murr Azh Zhahran yang selanjutnya membuka Tanah Suci dan mendiami Mekkah serta mengusir penduduk aslinya, Al-Jarahimah. Sedangkan Imran bin Amru singgah di Oman lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang disebut Azad Oman, sedangkan kabilah-kabilah Nashr bin Al-Azad menetap di Tihamah, yang disebut Azad Syanuah. Jafnah bin Amru pergi ke Syyam dan menetap di sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Bapak para Raja al-Ghassasinah, yang dinisbatkan kepada mata air di Hijaz, yang dikenal dengan nama Ghassan, yang telah mereka singgahi sebelum akhirnya pindah ke Syam.

2)    Lakham dan Judzam

Mereka pindah ke timur dan utara. Tokoh di kalangan mereka adalah Nashr bin Rabi’ah, pemimpin raja-raja Al-Mundzir di Hirah.

3)    Thayyi’

Setelah Azad berpindah, mereka berpindah ke arah utara hingga singgah di antara dua gunung, ‘Aja dan Salma. Mereka menetap di sana, hingga mereka dikenal dengan sebutan Al-Jabalani (dua gunung) di Gunung Thayyi’.

4)    Kindah

Mereka singgah di Bahrain, lalu terpaksa meninggalkannya dan singgah di Hadramaut. Namun, nasib mereka tidak jauh berbeda saat berada di Bahrain, hingga mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan pemerintahan yang besar dan kuat, tetapi secepat itu pula mereka punah dan tidak meninggalkan jejak. Di sana masih ada satu kabilah dari Himyar yang diperselisihkan asal keturunannya, yaitu Qudha’ah. Mereka hijrah meninggalkan Yaman dan menetap di pinggiran Irak.

3.     Arab Musta’ribah

Adapun Arab Musta’ribah adalah kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Nabi Ismail, yang disebut juga Arab Adnaniyah. Moyang mereka yang tertua adalah Nabi Ibrahim yang berasal dari negeri Irak, dari sebuah daerah yang disebut Ur. Kota ini berada di pinggir barat sungai Eufrat, berdekatan dengan Kuffah. Cukup banyak penelusuran dan penelitian yang luas mengenai negeri ini, selain tentang keluarga Ibrahim, kondisi keagamaan dan sosial di negeri tersebut (Rama, 2024).

C.    Kondisi Politik Bangsa Arab Sebelum Islam

Kondisi politik di Jazirah Arab merupakan politik yang lemah dan menurun, tidak ada lebihnya. Manusia bisa dibedakan antara tuan dan budak, pemimpin dan rakyat. Pada tuan, terutama tuan yang terhormat, berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan, sedangkan bawahan mereka dikenai segala macam upeti. Dengan istilah lain yang lebih jelas, rakyat bisa diumpamakan ladang yang harus mendatangkan hasil lalu diserahkan kepada pemerintah. Selanjutnya, para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya dan mengumbar syahwat. Sedangkan rakyat dengan kebutaannya semakin terpuruk dan mendapatkan kezaliman dari segala sisi. Mereka hanya bisa merintih dan mengeluh. Tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan mereka masih harus menahan rasa lapar, ditekan dan mendapat berbagai macam penyiksaan dengan sikap diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.

Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak yang hilang dan terabaikan. Sementara itu, Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan wilayah-wilayah ini tak pernah merasa tentram, karena mereka juga menjadi mangsa nafsu dan berbagai kepentingan. Karena itu, mereka kadang kan harus masuk wilayah Irak dan Syam. Kabilah-kabilah di Jazirah Arab tidak pernah rukun. Mereka lebih sering diwarnai permusuhan antar kabilah, perselisihan rasial dan agama. (Al-Mubarakfuri, 2011)

Kabilah atau suku sebagai ikatan darah (keturunan) atau ikatan kesukuan, berkewajiban melindungi warganya dan orang orang yang menggabungkan diri atau meminta perlindungan. Sebuah kabilah dipimpin oleh seorang Syaikh al-Qabilah, yang biasanya dipilih dari salah seorang anggota yang usianya paling tua. Apabila salah seorang warga atau pengikutnya dianiaya atau dilanggar haknya maka kewajiban kabilah adalah menuntut bela. Karenanya sering terjadi peperangan antar suku yang kadang-kadang berkelanjutan sampai beberapa turunan.

Di Yaman, yang berada di sebelah selatan Jazirah Arab berdiri beberapa kerajaan seperti kerajaan Ma’in (berdiri tahun 1200 SM), kerajaan Qutban (berdiri tahun 1000 SM), Kerajaan Saba’ (berdiri tahun 950 sampai 115 SM), Kerajaan Himyar (berdiri tahun 115 SM - 5 M).

Hirah dan Ghassan, dua kerajaan yang berada di sebelah utara Jazirah Arab, Merupakan kerajaan Protektorat yang didirikan untuk kepentingan kerajaan Romawi dan Persia. Hal ini disebabkan karena kafilah-kafilah Romawi dan Persia sering diganggu oleh suku-suku Arab yang memeras dan merampoknya. Kerajaan Hirah berada di bawah perlindungan Persia dan kerajaan Ghassan di bawah perlindungan Romawi. Apabila kerajaan Persia dan kerajaan Romawi berperang, kerajaan Hirah memihak kerajaan Persia dan kerajaan Ghassan memihak kerajaan Romawi. Raja-raja kedua kerajaan itu berasal dari keturunan Arab Yaman. (Suntiah & Maslani, 2017)

Adapun kekuasaan di Hijaz (Makkah, Yastrib-, Thaif, dan lain-lain) di mata bangsa Arab memiliki kehormatan tersendiri. Mereka melihat kekuasaan di Hijaz sebagai pusat kekuasaan agama. Sebenarnya, kekuasaan itu merupakan campuran antara unsur keduniaan, pemerintahan dan agama, yang berlaku di kalangan bangsa, dengan istilah kepemimpinan agama. Mereka berkuasa di tanah suci dengan sifat sebagai kekuasaan yang mengurus para peziarah Ka’bah dan pelaksanaan syariat nabi Ibrahim. Mereka mempunyai aturan tentang masa jabatan dan bentuk-bentuk pemerintahan yang menyerupai sistem parlemen pada zaman sekarang, kekuasaan ini sangat lemah dan tidak mampu mengemban beban, sebagaimana yang terjadi saat peperangan melawan orang-orang Habasyah.

D.    Keadaan Sosial-Moral, Ekonomi, dan Sisi Positif Bangsa Arab Sebelum Islam

1.     Keadaan Sosial dan Moral

Terdapat beragam klasifikasi dalam tatanan masyarakta Arab, di mana antara sattu dengan yang lainnya, kondisinya berbeda-beda. Hubungan seorang laki-laki dengan keluarganya di lapisan kaum bangsawan mendapat kedudukan yang amat terpandang dan tinggi, kemerdekaan berkehendak dan pendapat yang mesti didengar mendapatkan porsi terbesar. Hubungan ini selalu dihormati dan dijaga sekalipun dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah.

Jika seorang laki-laki yang ingin dipuji karena kemurahan hati dan keberaniannya di mata orang Arab, hendaklah waktunya yang banyak hanya dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Jika seorang wanita menghendaki, dia dapat mengumpulkan suku-suku untuk kepentingan perdamaian, namun juga dapat menyulut api peperangan di antara mereka. Meskipun demikian, tak dapat disangkal lagi bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga dan yang menentukan sikap di dalamnnya. Hubungan antara laki-laki dan wanita yang berlangsung melalui akad nikah dan diawasi oleh para walinya (wanita). Seorang wanita tidak memiliki hak untuk menggurui mereka.

Sementara kondisi kaum bangsawan demikian, kondisi yang dialami oleh lapisan masyarakat lainnya amat berbeda. Terdapat beragam gaya hidup yang bercampar baur antara kaum laki-laki dan wanita. Kami hanya bisa mengatakan bahwa semuanya adalah berupa pelacuran, gila-gilaan, pertumpahan darah, dan perbuatan keji.

Imam Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa pernikahan pada masa Jahiliyah terdiri dari empat macam:

a.     Pernikahan seperti pernikahan orang sekarang; yaitu seorang laki-laki mendatangi laki-laki yang lain dan melamar wanita yang di bawah perwaliannya atau anank perempuannya, kemudian dia menentukan maharnya dan menikahkannya.

b.     Seorang laki-laki berkata kepada istrinya ketika ia sudah suci dari haidnya, "Pergilah kepada si fulan dan bersenggamalah dengannya", kemudian setelah itu, istrinya ini ia tinggalkan dan tidak ia sentuh selamanya hingga tampak tanda kehamilannya dari laki-laki tersebut. Dan bila tampak tanda kehamilannya, bila si suaminya masih berselera kepadanya, maka dia akan menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin mendapatkan anak yang pintar. Pernikahan ini dinamakan dengan nikah istibdha.'

c.     Sekelompok orang dalam jumlah yang kurang dari sepuluh berkumpul, kemudian mendatangi seorang wanita dan masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan melahirkan, kemudian setelah berlalu beberapa malam dari melahirkan, dia mengutus kepada mereka (sekelompok orang tadi), maka ketika itu tak seorang pun dari mereka yang dapat mengelak hingga semuanya berkumpul kembali dengannya, lalu si wanita ini berkata kepada mereka, "Kalian telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan, dan dia ini adalah anakmu, wahai si fulan!" Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi dari mereka, maka anaknya dinasabkan kepadanya.

d.     Banyak laki-laki mendatangi seorang wanita sedangkan si wanitia ini tidak menolak sedikit pun kepada siapapun yang mendatanginya. Mereka ini adalah para pelacur. Di pintu-pintu rumah mereka ditancapkan bendera yang menjadi simbol mereka dan siapapun yang menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan, laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut lalu mengundang ahli pelacak (Al-Qafah) kemudian si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut kepada siapa yang mereka cocokkan ada kemiripannya dengan si anak lantas dipanggillah si anak tersebut sebagai anaknya. Dalam hal ini, si laki-laki yang ditunjuk ini tidak boleh menyangkal.

Ketika Allah Mengutus Nabi Muhammad, beliau menghapus semua bentuk pernikahan kaum Jahiliyah tersebut dan menggantikannya dengan pernikahan cara Islam yang berlaku saat ini. Dalam tradisi mereka, antara laki-laki dan wanita harus selalu berkumpul bersama dan diadakan di bawah kilauan ketajaman mata pedang dan hulu-hulu tombak. Pemenang dalam perang antarsuku berhak menyandera wanita-wanita suku yang kalah dan menghalalkannya. Anak-anak yang ibunya mendapat perlakuan semacam ini akan mendapatkan kehinaan semasa hidupnya.

Kaum Jahiliyah terkenal dengan kehidupan dengan banyak istri tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara, mereka juga mengawini istri bapak-bapak mereka bila telah ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka. Hak menalak ada pada kaum laki-laki dan tidak ada batasan tertentu serta diperbolehkan rujuk meski istri telah ditalak lebih dari tiga kali.

Perbuatan zina merata pada setiap lapisan masyarakat. Tidak dapat kita mengkhususkan hal itu kepada satu lapisan tanpa menyentuh lapisan yang lainnya. Ada sekelompok laki-laki dan wanita yang terkecuali dari hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa besar dan menolak keterjurumusan dalam lumpur kehinaan. Wanita-wanita merdeka kondisinya lebih bagus dari kondisi para budak wanita. Kondisi mereka (budak wanita) sangat parah.

Mayoritas kaum Jahiliyah sepertinya tidak merasakan keteerjerumusan dalam perbuatan keji semacam itu menjadi suatu aib bagi mereka.

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Amru bin Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: Seorang laki-laki berdiri sembari berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan anakku dari hasil perzinaankku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyah. Rasulullah saw, kemudian bersabda:

"Tidak ada dakwaan dalam islam (yang berkaitan dengan masa Jahiliyah). Urusan yang terkait dengan masa Jahiliyah telah lenyap. Seorang anak adalah dari hasil ranjang (dinasabkan kepada orang yang menidurinya), sedangkan kehinaan adalah hanya bagi wanita pezina."

Tentang hal ini ada kisah yang amat terkenal yang terjadi antara Sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdu bin Zam'ah dalam mempersoalkan nasab anak dari budak wanita Zam'ah, yaitu 'Abdur Rahman bin Zam'ah.

Adapun hubungan antara seorang bapak dan anak-anaknya, amat berbeda-beda; di antara mereka ada yang menguraikan rangkaian bait:

Sungguh kehadiran anak-anak di tengah kami

Merupakan jantung-jantung kami yang berjalan di atas bumi

Di antara mereka, ada yang mengubur hidup-hidup anak-anak wanita mereka karena takut malu dan enggan menafkahinya. Anak laki-laki dibunuh lantaran takut menjadi fakir dan melarat. (Lihat: Al-An'am: 151, An-Nahl: 58-59, Al-Isra': 31, dan At-Takwir: 8).

Namun kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang termaktub dalam ayat-ayat di atas telah mencerminkan moral yang berlaku umum di masyarakat. Di sisi lain, mereka justru sangat mengharapkan anak laki-laki untuk dapat membentengi diri mereka dari serangan musuh.

Adapun pergaulan antara seorang laki-laki dengan saudaranya, anak-anak paman dan kerabatnya sangat kental dan kuat. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kesukuan. Semangat untuk bersatu begitu menbudaya antar sesama suku yang menambah rasa fanatisme tersebut. Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem sosial adalah fanatisme rasial dan hubungan tali rahim. Mereka hidup di bawah semboyan yang bertutur, "Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zalim ataupun dizalimi."

Mereka menerapkan semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti arti yang sudah diralat oleh Islam yaitu menolong orang yang berbuat zalim maksdunya mencegahnya melakukan perbuatan itu. Meskipun begitu, perseteruan dan persaingan dalam memperebutkan martabat dan kepemimpinan sering kali mengakibatkan perang antar suku yang masih memiliki hubungan sebapak. Kita dapat melihat fenomena tersebut pada apa yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj, 'Abs dan Dzibyam, Bakar dan Taghlib, dan lain-lain.

Di sisi lain, hubungan yang terjadi antar suku yang berbeda-beda benar-benar berantakan. Kekuatan yang ada mereka gunakan untuk berjibaku dalam peperangan. Hanya saja, adakalanya rasa sungkan serta rasa takut mereka terhadap sebagian tradisi dan kebiasaan bersama yang sudah ada dan berlaku antara ajaran agama dan khurafat sedikit mengurangi deras dan kerasnya genderang perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi tertentu, loyalitas, persekutuan, dan subordinasi yang terjalin menyebabkan antar suku yang berbeda berangkul dan bersatu. Dan satu-satunya yang merupakan rahmat dan penolong bagi mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang, sehingga mereka dapat menghirup kehidupan dan mencari rezeki guna kebutuhan sehari-hari.

Ringkasnya, kondisi sosial yang berlaku di masyarakat Jahiliyah benar-benar rapuh dan dalam kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela di mana-mana. Orang-orang hidup layaknya binatang ternak. Wanita diperjual-belikan bahkan kadang-kadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar umat sangat lemah, sementara setiap ada pemerintahan maka ujung-ujungnya hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.

2.     Kondisi Ekonomi

Kondisi sosial di atas berimbas kepada kondisi ekonomi. Hal ini diperjelas dengan melihat cara dan gaya hidup bagsa Arab. Berniaga merupakan sarana terbesar mereka dalam menggapai kebutuhan hidup, namu begitu, roda perniagaan tidak akan setabil kecuali jika keamanaan dan kedamaian membarenginya. Tetapi, kedua situasi tersebut lenyap dari Jazirah Arab kecuali pada bulan-bulan haram saja. Dalam bulan-bulan inilah pasar-pasar Arab terkenal seperti Ukazh, Dzul Majaz, Majinnah, dan lainnya beroperasi.

Dalam kegiatan industri, mereka termasuk bangsa yang amat jauh jangkauannya dalam hal itu. Sebagian besar hasil perindustrian yang ada di kalangan bangsa Arab hanyalah berupa tenunan, samak kulit binatang, dan lainnya. Kegiatan ini ada pada masyarakat Yaman, Hirah, dan pinggiran kota Syam. Benar, di kawasan domestik Jazirah ada sedikit industri bercocok tanam, menbajak sawah, dan beternak kambing, sapi serta unta. Kaum wanita rata-rata menekuni seni memintal. Namun, barang-barang tersebut sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran peperangan. Kemiskinan, kelaparan, serta kehidupan papa menyelimuti masyarakat.

3.     Sisi Positif Masyarakat Arab Sebelum Islam

Kita tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat Jahiliyah identik dengan kehidupan nista, pelacuran, dan hal-hal lain yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan ditolak oleh perasaan. Namun, mereka juga mempunyai akhlak mulia dan terpuji yang amat menawan siapa saja dan membuatnya terkesima dan takjub. Di antara akhlak tersebut adalah :

a.     Kemurahan hati

Mereka berlomba-berlomba dalam sifat ini dan membangga-banggakannya. Setengah dari bait-bait syair mereka penuuh denagn ungkapan tentang sifat ini antara pujian kepada diri sendiri dan kepada orang lain yang memiliki sifat yang sama. Seseorang terkadang kedatangan tamu di musim dingin yang membeku, kelaparan yang menggelayut serta dalam kondisi tidak memiliki harta apa-apa selain unta betina yang merupakan satu-satunya sumber hidupnya dan keluarganya, tetapi getaran kemurahan hati yang menggema di dada membuat mereka tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan suguhan istimewa buat tamunya, lantas disembelihlah unta satu-satunya tersebut. Diantara pengaruh sifat murah hati tersebut; mereka sampai-sampai rela menanggung denda yang berlipat dan beban-beban berat demi upaya mencegah pertumpahan darah san lenyapnya jiwa. Mereka berbangga dengan hal itu dan memuji-muji diri dihadapan para tokoh dan pemuka.

Pengaruh lain dari sifat tersebut, mereka memuji-muji diri karena minuman khamar. Hal ini sebenarnya bukanlah lantaran bangga dengan esensi minum-minum itu, tetapi lantaran hal itu merupakan sarana menuju tertanamnyasifat murah hati tersebut, dan juga sarana yang memudahkan tumbuhnya jiwa yang boros. Lantaran itu pula, mereka menamakan pohon anggur dengan Al-Karam, sedangkan arak yang terbuat dari anggur itu mereka namakan Bintul Karam.

Pengaruh lainnya dari sifat Al-Karam adalah mereka menyibukkan diri dalam bermain judi. Mereka menganggap hal itu sebagai sarana menuju sifat tersebut karena dari keuntunngan  byang diraih dalam berjudi tersebut, mereka persembahkan untuk memberi makan fakir miskin. Oleh karena itu, Anda lihat dalam Al-Quran tidak menyetujui manfaat khamar dan judi itu, akan tetapi sebaliknya menyatakan, "Dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." (Al-Baqarah:219).

b.     Menepati janji

Janji dalam tradisi mereka adalah laksana agama yang harus dipegang teguh meskipun untuk mendapatkannya mereka menganggap enteng membunuh anak-anak mereka dan menghancurkan tempat tinggal mereka sendiri. Untuk mengetahui hal itu, cukup dengan membaca kisah Hani' bin Mas'ud Asy-Syaibani, As-Samu'al bin Adiya dan Hajib bin Zurarah At-Tamimi.

c.     Kebanggaan pada diri sendiri dan sifat pantang menerima pelecehan dan kezaliman

Implikasi dari sifat ini, tumbuhnya pada diri mereka keberanian yang amat berlebihan, cemburu buta dan cepatnya emosi meluap. Mereka adalah orang-orang yang tidak akan pernah mau mendengar ucapan yang mereka rasa berbau penghinaan dan pelecehan.Dan apabila hal itu sampai terjadi, mereka tak segan-segan menghunus pedang dan mengacungkan tombak, dan mengobarkan peperangan yang panjang . Mereka juga tidak peduli bila nyawa mereka menjadi taruhannya demi mempertahankan sifat tersebut.

d.     Tekad yang tak pernah pudar

Bila mereka telah bertekad untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap suatu kemuliaan dan kebanggaan, maka tak ada satupun yang dapat menyurutkan tekad mereka tersebut, bahkan mereka akan nekat menerjang bahaya demi hal itu.

e.     Lemah lembut, tenang, dan waspada

Mereka menyanjung sifat-sifat semacam ini. Hanya saja keberadaannya seakan terhalangi oleh amat berlebihannya sifat pemberani dan ketergesaan mereka dalam mengambil sikap untuk berperang.

E.    Agama dan Kepercayaan Bangsa Arab Sebelum Islam

1.     Awal Munculnya Penyembahan Berhala

Mayoritas bangsa Arab mengikuti dakwah Ismail, yaitu tatkala beliau menyeru kepada agama bapaknya, Ibrahim. Inti ajarannya menyembah kepada Allah, mengesakan-Nya dan memeluk agama-Nya. Waktu bergulir sekian lama, hingga banyak di antara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Meskipun demikian, masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amru bin Luhay, pemimpin Bani Khuza’ah. Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal suka berbuat kebajikan, mengeluarkan sedekah dan peka terhadap urusan urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir menganggapnya sebagai salah seorang pemuka agama dan wali yang disegani.

Suatu saat dia mengadakan perjalanan ke Syam. Di sana dia melihat penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik serta benar. Sebab, menurutnya Syam adalah tempat para rasul dan kitab. Karena itulah, dia pulang sambil membawa berhala Hubal dan meletakannya di dalam Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Makkah untuk membuat kesyirikan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pada akhirnya banyak yang mengikuti penduduk Makkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci.

Berhala mereka yang tertua adalah Manat, yang ditempatkan di Musyallal di tepi laut merah di dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Latta di Tha’if dan Uzza di Wadi Nakhlah. Inilah tiga berhala yang paling besar. Setelah itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran di setiap tempat di Hijaz. Dikisahkan bahwa Amru bin Luhay mempunyai pembantu dari jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Nuh (Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) terpendam di Jeddah. Maka dia datang ke sana dan mengangkatnya, lalu membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah.

Akhirnya berhala-berhala itu kembali ke tempat asalnya masing masing. Dengan demikian, di setiap kabilah dan di setiap rumah hampir bisa dipastikan ada berhala lainnya. Selain itu, mereka memenuhi Al-Masjid Al-Haram dengan berbagai macam berhala dan patung. Ketika Rasulullah menaklukkan mereka, di sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala. Rasulullah menghancurkan berhala-berhala itu hingga runtuh semua. Selanjutnya beliau memerintahkan agar berhala-berhala tersebut dikeluarkan dari masjid dan dibakar.

Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala yang menjadi fenomena terbesar dari agama orang-orang Jahiliyah, yang menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim. Mereka juga mempunyai beberapa tradisi dan upacara penyembahan berhala, yang mayoritas diciptakan oleh Amru bin Luhay. Orang orang mengira apa yang diciptakan Amru itu merupakan sesuatu yang baru dan baik, serta tidak mengubah agama Ibrahim. Diantar upacara penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah:

a.     Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya sambil berkomat-kamit dihadapannya. Mereka meminta pertolongan kepadanya tatkala menghadapi kesulitan, berdoa untuk memenuhi kebutuhan, dan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan Syafa’at di sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.

b.     Mereka menunaikan haji dan thawaf di sekeliling berhala, merunduk dan sujud dihadapannya.

c.     Mereka mengadakan penyembahan dengan menyajikan berbagai macam korban, menyembelih hewan piaraan dan hewan kurban demi berhala dan menyebut namanya. Dua jenis penyembelihan ini telah disebutkan Allah di dalam firman-Nya surat Al-Maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 121.

d.     Bentuk peribadatan yang lain, mereka mengkhususkan sebagian dari makanan minuman yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan binatang piaraan mereka. Ada juga orang orang tertentu yang mengkhususkan sebagian lain bagi Allah. Yang pasti, mereka mempunyai banyak sebab untuk memberikan sesaji kepada berhala yang tidak akan sampai kepada Allah. Apa yang mereka sajikan kepada Allah hanya sampai kepada berhala-berhala mereka. Lihat surat Al-An’am ayat 136.

e.     Di antara jenis peribadatan yang mereka lakukan ialah dengan bernazar menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak untuk berhala-berhala itu. Lihat surat Al-An’am ayat 138.

f.      Beberapa jenis unta yang dijuluki Bahirah, Sa’ibah, Washilah, dan Hami juga diperlakukan sedemikian rupa. Ibnu Ishaq mengisahkan,“Bahirah ialah anak Sa’ibah, unta betina yang telah beranak 10, yang semuanya betina dan sama sekali tidak mempunyai anak jantan. Unta ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, dan susu nya tidak boleh diminum kecuali oleh tamu. Jika kemudian melahirkan lagi anak betina, maka telinganya harus dibelah. Setelah itu ia harus dilepaskan secara bebas bersama induknya, dan harus mendapat perlakuan seperti induknya. Washilah adalah domba betina yang selalu melahirkan anak kembar betina selama lima kali secara berturut-turut, tidak diselingi kelahiran anak jantan sama sekali. Domba ini dijadikan sebagai perantara untuk peribadatan. Oleh karena itu mereka berkata, “Aku mendekatkan diri dengan domba ini”.  Tetapi, bila setelah itu domba tersebut melahirkan anak jantan dan tidak ada yang mati, maka domba ini boleh disembelih dan dagingnya dimakan. Hami adalah unta jantan yang sudah membuntingi 10 betina yang melahirkan 10 anak betina secara berturut-turut tanpa ada jantannya. Unta seperti ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, harus dibiarkan lepas, dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan apapun. Karena hal ini Allah menurunkan surat al Maidah ayat 103.

Sa’id bin al-Musayyab telah menegaskan bahwa binatang-binatang ternak dipersembahkan untuk thagut-thagut mereka. Di dalam Ash-Shahih disebutkan secara Marfu’ bahwa Amru bin Luhay adalah orang pertama yang persembahkan unta untuk berhala.

Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya serta memberikan manfaat disisi-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surah Az-Zumar ayat 3 dan surah Yunus ayat 18.

2.     Kepercayaan Mengundi Nasib

Orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan menggunakan anak panah yang tidak ada bulunya. Anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib tersebut diberi tiga tanda: anak panah pertama diberi tanda “Ya”, dan anak panah kedua diberi tanda “Tidak”, dan anak panah ketiga tidak diberi tanda apa-apa. Mereka mengundi nasib untuk memastikan pelaksanaan suatu keinginan atau rencana, seperti berpergian atau lain-lainnya dengan menggunakan anak panah itu. Jika yang keluar panah bertanda “Ya”, mereka melaksanakan nya, dan jika yang keluar tanda panah “Tidak”, mereka menangguhkannya hingga tahun depan dan berbuat hal serupa sekali lagi. Bila yang keluar anak panah yang tidak diberi tanda, mereka mengulanginya lagi.

Selain tiga anak panah bertanda seperti itu, ada jenis lain lagi yang diberi tanda air dan tembusan. Ada juga anak panah bertanda “dari golongan kalian” atau “bukan dari golongan kalian” atau “anak angkat”. Jika mereka memerkarakan nasab seseorang, mereka membawa orang itu ke hadapan Hubal, sambil membawa 100 hewan Kurban dan diserahkan kepada pengundi anak panah.

Jika yang keluar tanda “Dari golongan kalian”, maka orang tersebut merupakan golongan mereka, dan jika yang keluar tanda “Bukan dari golongan kalian”, maka orang tersebut hanya sebagai rekan persekutuan, dan jika yang keluar tanda “anak angkat”, maka orang tersebut tak ubahnya anak angkat, bukan termasuk dari golongan mereka dan juga tidak bisa didudukan sebagai rekan persekutuan.

Perjudian dan undian tidak berbeda jauh dengan hal tersebut. Mereka membagi daging Kurban yang telah disembelih berdasarkan undian itu.

3.     Kepercayaan terhadap Peramal dan Ahli Nujum

Mereka juga percaya kepada perkataan peramal, orang pintar dan ahli nujum. Peramal adalah orang yang mengabarkan sesuatu yang bakal terjadi di kemudian hari. Ia mengaku bisa mengetahui rahasia gaib pada masa mendatang. Di antara peramal ini ada yang mengaku memiliki pengikut dari golongan jin yang memberinya suatu pengabaran. Di antara mereka yang mengaku bisa mengetahui hal-hal gaib lewat suatu pemahaman yang dimilikinya. Di antara mereka mengaku bisa mengetahui berbagai masalah lewat isyarat atau sebab yang memberinya petunjuk, dari perkataan, perbuatan atau keadaan orang yang bertanya kepadanya. Orang semacam ini disebut paranormal atau orang pintar. Ada pula yang mengaku bisa mengetahui orang yang kecurian dan tempat di mana mereka kecurian serta orang tersesat dan lain-lain.

Selain peramal, ada ahli nujum. Mereka adalah orang yang memperhatikan keadaan bintang dan planet, lalu dia menghitung perjalanan dan waktu peredaran nya, agar dengan begitu dia bisa mengetahui berbagai keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Pembenaran terhadap pengabaran ahli nujum pada hakikatnya merupakan keyakinan terhadap bintang-bintang. Sedangkan keyakinan mereka terhadap bintang-bintang merupakan keyakinan terhadap hujan. Maka mereka berkata, “hujan yang turun kepada kami berdasarkan bintang ini dan itu.”

Di kalangan mereka juga ada tradisi thiyarah, yakni pesimis terhadap sesuatu. Pada mulanya mereka mendatangkan seekor burung atau biri-biri, lalu melepasnya. Jika burung atau biri-biri itu pergi ke arah kanan, mereka jadi berpergian ke tempat yang hendak dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda baik. Jika burung atau biri-biri tersebut berjalan ke kiri, mereka mengurungkan niatnya untuk berpergian dan menganggapnya sebagai tanda kesialan. Mereka juga meramal di tengah perjalanan bila bertemu burung atau hewan tertentu.

Tidak berbeda jauh dengan hal tersebut adalah kebiasaan mereka menggantungkan ruas tulang kelinci. Mereka juga meramal kesialan dengan sebagian hari, bulan, hewan atau wanita. Mereka percaya bahwa bila ada orang mati terbunuh, jiwanya tidak tentram bila dendamnya tidak dibalas kan. Ruhnya bisa menjadi burung hantu yang berterbangan di padang pasir seraya berkata, “Berilah aku minum, berilah aku minum!” Jika dendamnya sudah dibalas kan, maka ruhnya menjadi tentram.

4.     Agama Ibrahim yang Direvisi

Sekalipun masyarakat Arab sangat bodoh seperti itu, sisa sisa agama Ibrahim tetap ada di kalangan mereka dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya. Seperti pengagungan terhadap Ka’bah, tawaf, haji, umrah, wukuf di Arafah dan Musdalifah. Meskipun ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya.

Di antara orang-orang Quraisy, tetap ada yang mengatakan,”Kami adalah anak keturunan Ibrahim dan penduduk Tanah Suci, Penguasa Ka’bah dan penghuni Makkah. Tidak ada seorang pun dari bangsa Arab yang mempunyai hak dan kedudukan seperti kami. Maka tidak layak bagi kami keluar dari tanah suci ini ke tempat lain.” Karena itu, mereka tidak melaksanakan wukuf di Arafah dan tidak ifadhah dah dari sana, tetapi ifadhah dari Musdalifah.

Hal-hal baru lainnya, mereka berkata, “Tidak selayaknya bagi orang-orang Quraisy untuk memberi makan keju dan meminta minyak samin ketika mereka sedang ihram. Mereka tidak boleh masuk Baitul Haram dengan mengenakan kain wol dan tidak boleh bertedu. Jika ingin berteduh kecuali di rumah-rumah pemimpin selama mereka sedang ihram.” Mereka juga berkata, “Penduduk di luar Tanah Suci tidak boleh memakan makanan yang mereka bawa dari luar Tanah Suci ke Tanah Suci bila kedatangan mereka untuk haji atau Umrah.”

Mereka juga menyuruh penduduk di luar tanah suci untuk tetap mengenakan ciri pakaiannya sebagai penduduk bukan tanah suci pada awal kedatangan mereka untuk melakukan tawaf awal. Jika tidak memiliki ciri pakaiannya sebagai penduduk luar tanah suci, mereka harus thawaf dalam keadaan telanjang. Ini berlaku untuk kaum laki-laki, sedangkan untuk wanita harus melepaskan semua pakaiannya, kecuali baju rumahnya yang longgar. Saat itu mereka berkata:

Hari ini tampak sebagian atau semuanya

Apa yang tiada tampak tiada diperkenankan nya.

Pakaian yang dikenakan penduduk luar tanah suci harus dibuang setelah melakukan tawaf awal, dan tak seorang pun boleh mengambil nya lagi, begitu pula orang yang bersangkutan. Hal baru lainnya, mereka tidak memasuki rumah dari pintunya selama dalam keadaan ihram. Mereka membuat lubang di bagian belakang rumah, dan dari lubang itulah mereka keluar masuk rumahnya. Mereka menganggap hal itu sebagai perbuatan yang baik. Namun, Al-Qur’an melarangnya dalam surat Al-Baqarah ayat 189.

5.     Agama Yahudi

Orang-orang Yahudi mempunyai dua latar belakang, sehingga mereka berada di Jazirah Arab, yang tidak-tidaknya digambarkan dalam dua hal berikut ini:

a.     Kepindahan mereka pada masa penaklukan bangsa Babilon dan Asyur di Palestina, yang mengakibatkan tekanan terhadap orang-orang Yahudi, penghancuran negeri mereka dan pemusnahan mereka di tangan Nebukadnezar pada tahun 887 SM. Di antara mereka banyak yang ditawan dan dibawa ke Babilonia. Sebagian di antara mereka juga ada yang meninggalkan Palestina dan pindah ke Hijaz. Mereka menempati Hijaz bagian utara.

b.     Dimulai dari pencaplokan bangsa Romawi terhadap Palestina pada tahun 70 M, yang disertai dengan tekanan terhadap orang-orang Yahudi dan penghancuran Haikal Haikal (kuil kuil) mereka, sehingga kabilah-kabilah mereka berpindah ke Hijaz, lalu menetap di Yatsrib, Khaibar dan Taima’. Di sana mereka mendirikan perkampungan Yahudi dan benteng pertahanan. Maka agama Yahudi menyebar di sebagian masyarakat Arab melalui para imigran Yahudi tersebut. Mereka selanjutnya memiliki beberapa peran yang bisa dicatat dari beberapa peristiwa yang bersifat politis, sebelum munculnya Islam. Saat Islam datang, Kabila-kabilah Yahudi yang terkenal adalah Yahudi Khaibar, Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa. As-Samhudi menyebutkan di dalam Wafaul Wafa halaman 116 bahwa jumlah kabilah Yahudi saat itu lebih dari 20.

Agama Yahudi masuk ke Yaman karena dibawa oleh penjual jerami yang bernama As’ad Abu Karb. Awal mulanya dia pergi untuk berperang ke Yastrib dan memeluk agama Yahudi di sana. Sepulangnya dari Yastrib ke Yaman dia membawa dua pembuka Yahudi dari Bani Quraizhah, sehingga agama Yahudi menyebar di sana. Setelah As’ad meninggal dunia dan digantikan anaknya, Yusuf Dzu Nuwas, dia memerangi orang orang Kristen dari penduduk Najran dan memaksa mereka untuk masuk agama Yahudi. Karena mereka menolak nya, maka dia menggali parit dan membakar mereka di dalam parit itu. Tak seorang pun yang tersisa, laki-laki maupun wanita, tua maupun muda. Ada yang mengisahkan bahwa korban yang dibunuhnya mencapai 20-40 ribu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Oktober 523 M. Al-Qur’an telah membuat sebagian kisah ini di dalam surat Al-Buruj.

6.     Agama Nasrani

Sementara itu, agama Nasrani masuk ke Jazirah Arab melalui pendudukan orang orang Habasyah dan Romawi. Pendudukan orang-orang Habasyah yang pertama kali diaman pada tahun 340 M dan terus berlanjut hingga tahun 378 M. Pada masa itu misionaris Nasrani menyusup ke berbagai tempat di Yaman. Tidak lama kemudian, ada seseorang yang Zuhud, yang doanya senantiasa dikabulkan dan memiliki Karomah, datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk agama Nasrani. Mereka melihat garis garis kejujuran dirinya dan kebenaran agamanya. Oleh karena itu, mereka memenuhi ajakan nya untuk memeluk agama tersebut.

Setelah orang-orang Habasyah menduduki Yaman untuk mengembalikan kondisi karena tindakan Dzu Nuwas dan Abrahah memegang kekuasaan di sana, maka agama Nasrani berkembang pesat dan sangat maju. Karena semangatnya dalam menyebarkan agama ini, Abrahah membangun sebuah gereja di Yaman, yang dinamakan Ka’bah Yaman. Dia menginginkan agar semua bangsa Arab ‘berhaji’ ke gereja ini dan hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Namun, Allah membinasakan nya.

Bangsa Arab yang memeluk agama Nasrani adalah dari suku suku Ghassan, Kabila-kabilah Taghlib, Thayyi’, dan yang berdekatan dengan orang-orang Romawi. Bahkan sebagian raja Hirah juga memeluk agama Nasrani.

7.     Agama Majusi dan Shabi’ah

Adapun agama Majusi, lebih banyak berkembang di kalangan bangsa Arab yang berdekatan dengan orang-orang Persia. Agama ini juga pernah berkembang di kalangan orang-orang Arab Irak, Bahrain, dan wilayah-wilayah di pesisir teluk Arab. Ada pula penduduk Yaman yang memeluk agama Majusi ketiga bangsa Arab menduduki aman.

Sementara itu, agama Shabiah menurut beberapa kisah dan catatan berkembang di Irak dan lainnya, yang dianggap sebagai agama kaum Ibrahim Chaldean. Banyak penduduk Syam dan Yaman pada masa dahulu yang memeluk agama ini. Setelah kedatangan beberapa agama baru, seperti agama Yahudi dan Nasrani, agama Shabiah mulai kehilangan eksistensi nya dan surut. Namun, sisa-sisa penganutnya tetap ada dan bercampur dengan penganut agama Majusi, atau yang berdampingan dengan mereka di pemukiman masyarakat Arab di Irak dan di pinggiran teluk Arab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas kesimpulan yang diperoleh diantaranya adalah bahwa masa sebelum masuknya Islam di jazirah Arab, masyarakat Arab dikenal dengan nama masyarakat jahiliyah. Yang berarti bodoh dan terbelakang. Sesuai dengan makna kata dari “Jazirah Arab”, yang berarti kering dan tandus, jazirah Arab adalah daerah yang kering dan tandus, dengan hamparan padang pasir yang luas dan bebatuan serta di kelilingi gugusan pegunungan. Merujuk kepada silsilah dan asal-usulnya, para sejarawan membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu Arab Ba’idah, Aribah, dan Musta’ribah. Masyarakat Arab sebagian hidup secara nomaden, yaitu mereka yang hidup di daerah pedalaman. Mereka yang hidup didaerah pedalaman menggantungkan kehidupanya dengan berternak. Sedangkan sebagian lagi mereka hidup di daerah kota menggantungkan hidup dengan berdagang. Sebelum agama Islam diturunkan di jazirah Arab, penduduk Arab menyembah berhala. Di samping itu ada beberapa agama yang menjadi anutan bangsa Arab, yaitu Yahudi, Nasrani, Majusi dan Shabi’ah. Masyarakat Arab hidup berkelompok-lompok sesuai keturunannya (kabilah). Hal ini seringkali menimbulkan persaingan yang tak sehat sampai menimbulkan peperangan dikalangan bangsa Arab. Masyarakat Jahiliyah identik dengan kehidupan nista, pelacuran, dan hal-hal lain yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan ditolak oleh perasaan. Namun, mereka juga mempunyai akhlak mulia dan terpuji yang amat menawan siapa saja dan membuatnya terkesima dan takjub.

B.    Saran

Demikian makalah Sejarah Kebudayaan Islam tentang peradaban bangsa Arab sebelum Islam yang kami buat, mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan ini, meskipun penulisan ini masih jauh dari kata sempurna, minimal kita dapat menambah pemahaman mengenai sejarah. Selain itu, masih banyak kesalahan dari penulisan kelompok kami, karena kami manusia yang adalah tempat dan dosa.

Semoga makalah tentang peradaban bangsa Arab sebelum Islam yang telah kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca. Kedepannya kami akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah tersebut dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggung jawabkan.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mubarakfuri, S. (2011). Sirah Nabawiyah: Sejarah Hidup Nabi Muhammad. Jakarta: Ummul Qura.

Bakar, A. (2022). Peradaban Masyarakat Sebelum Islam. Al-Bahru Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 1 No.1.

Rama. (2024, Juni 3). Siapa Bangsa Arab Sebenarnya? Sejarah dan Asal-Usul Bangsa Arab. Retrieved from Catatan Pelajar: https://satriasaep.blogspot.com/2024/06/siapa-bangsa-arab-sebenarnya-sejarah.html

Suntiah, R., & Maslani. (2017). Sejarah Pradaban Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammadﷺ menjadi Rasul

Peristiwa Diangkatnya Nabi Muhammad ﷺ menjadi Rasul Ketika usia Rasulullah ﷺ telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan ...