BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk
dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syari'at
Islam. Allah telah menurunkan rezeki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh
manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala
perbuatan yang mengandung riba. Pembahasan mengenai riba dapat dikatakan telah
"klasik" baik dalam perkembangan pemikiran Islam maupun dalam
peradaban Islam karena riba merupakan permasalahan yang pelik dan sering
terjadi pada masyarakat, hal ini disebabkan perbuatan riba sangat erat
kaitannya dengan transaksi-transaksi dibidang perekonomian (dalam Islam disebut
kegiatan muamalah) yang sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya
sehari-hari. Pada dasarnya transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang
piutang.
Ada
anggapan-anggapan negatif yang muncul di tengah masyarakat berkaitan dengan
transaksi yang dianggap ribawi dan terkait masalah bunga bank atau bunga dari
pinjaman uang di koperasi atau lembaga keuangan lainnya yang masih
mengesampingkan soal ribawi karena riba telah berkembang sejak zaman jahiliyah hingga sekarang ini. Sejak itu
banyaknya masalah-masalah ekonomi yang terjadi di masyarakat dan telah menjadi
tradisi bangsa arab terhadap jual beli maupun pinjam-meminjam barang dan jasa
sehingga riba sudah mendarah daging.Bangsa arab memberikan pinjaman kepada
seseorang dan memungut biaya jauh di atas dari pinjaman awal yang di berikan
kepada peminjam akibatnya banyaknya orang lupa akan larangan riba.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas,rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai
berikut.
1.
Apa
definisi dan dasar hukum riba ?
2. Apa saja jenis-jenis riba ?
3. Apa penyebab riba ?
4. Apa saja dampak riba pada bidang ekonomi
?
5. Bagaimana contoh praktik ribawi di masyarakat ?
6. Apa perbedaan antara riba dan jual beli ?
7. Cara menghindari
riba ?
8. Hikmah dari
pelarangan riba ?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas,tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.
1.
Untuk
mengetahui pengertian riba dasar hukum riba
2. Untuk mengetahui jenis-jenis riba
3. Untuk mengetahui penyebab riba
4. Untuk mengetahui dampak riba pada bidang
ekonomi
5. Untuk mengetahui contoh praktik ribawi di masyarakat
6. Untuk mengetahui perbedaan antara riba dan
jual beli
7. Untuk mengetahui cara menghindari riba
8.
Untuk
mengetahui hikmah pelarangan riba
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Dasar Hukum Riba
1.
Definisi Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab,
secara etimologis berarti tambahan (azziyadah),[1]berkembang
(an-numuw), membesar (al-'uluw)[2],
dan meningkat (al-irtifa'). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa
tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut; arba fulan
'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika
di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min
syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan
dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).[3]
Akar kata riba adalah rangkaian huruf
-ب-ر dan huruf illat (ي Menurut bahasa,
riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur, tambahan) (al-Anshary, 2002: 151). Dalam
Al-Qur’an terdapat beberapa kata yang seakar dengan kata riba, meskipun
masing-masing kata mempunyai pengertian teknis yang berbeda tetapi terdapat
unsur kesamaan, yaitu tambah/lebih. Kata rabiyan dalam surah al-Ra’d (13):17 artinya mengapung di atas.
Mengapung menggambarkan lebih tingginya sesuatu di atas permukaan air. Kata rabiyah
dalam surah al-Haqqah (69):10 artinya siksaan yang amat berat.Siksaan menggambarkan
bertambahnya derita yang tidak dikehendaki. Kata rabwah dalam surah al-Baqarah
(2):265 artinya dataran yang tinggi. Dataran tinggi menggambarkan lebih
tingginya tanah dimaksud dari permukaan tanah. Kata arba dalam surah al-Nahl
(16):92 artinya lebih banyak. Berdasarkan pengertian
dari beberapa kata, yang
memiliki persamaan arti yaitu tambahan atau lebih, maka pengertian riba yang
dimaksud adalah riba sebagai kegiatan ekonomi yang mengandung eksploitasi.
Riba adalah
tambahan tanpa imbangan yang disyaratkan kepada salah satu diantara dua pihak
yang melakukan hutang-piutang atau tukar-menukar barang. Dalam riba ada salah
satu pihak yang diuntungkan sedangkan pihak yang lain dirugikan karena ia
diharuskan memberikan tambahan tanpa mendapatkan suatu hal yang berimbang
dengan apa yang ia keluarkan tersebut.
Imam Sarkhasi (bermazhab Hanafi)
mendefinisikan riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi jual beli
tanpa adanya iwadh (padanan).[4]
Al-Askalani menyatakan bahwa riba pada esensinya adalah kelebihan, apakah itu
berupa barang ataupun uang. Kemudian
menurut Afzalurrahman, pada dasarnya, riba adalah pembayaran yang
dikenakan terhadap pinjaman pokok sebagai imbalan terhadap pinjaman pokok
sebagai imbalan terhadap masa pinjaman itu berlaku.[5]
AlMaududi dan para Sarjana Muslim Arab menyatakan, riba adalah tambahan yang
melebihi dari pokok pinjaman walaupun tambahan tersebut sedikit.[6]
Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi
al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai
imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk konsumsi atau eksploitasi,
artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna keperluan
pribadinya, tanpa tujuan untuk mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya
atau pinjaman itu untuk di kembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash
itu bersifat umum.[7]
Sedangkan secara terminologis, riba
secara umum didefinisikan sebagai melebihkan keuntungan (harta) dari salah satu
pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual beli atau pertukaran barang yang
sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan tersebut (Al-Jaziri,
1972: 221). Dalam ungkapan yang lain, riba dipahami sebagai pembayaran hutang
yang harus dilunasi oleh orang yang berhutang lebih besar daripada jumlah
pinjamannya sebagai imbalan terhadap tenggang waktu yang telah lewat waktu
(Muslim, 2005: 128).
Riba sering juga diterjemahkan dalam
bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas modal
yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah
tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.
2. Definisi riba
menurut pendapat ulama
Jumhur ulama dari berbagai mazhahib
fiqhiyyah memberikan pengertian riba sebagai berikut:
a.
Badr
Ad-Din Al-Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari “Prinsip utama
dalam ribâ adalah penambahan”.
Menurut syariah ribâ berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi
bisnis riel.
b.
Raghib
Al Asfahani: “Ribâ adalah penambahan atas harta pokok”.
c.
Imam
An-Nawawi dari mazhab Syafi’i: Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas
bahwa salah satu bentuk ribâ yang dilarang al-Qur’an dan As Sunnah adalah
penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal
tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
d.
Qatadah:
Ribâ jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga
waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu
membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.
e.
Zaid
bin Aslam: “Yang dimaksud dengan ribâ jahiliyyah yang berimplikasi
pelipat-gandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang
atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata: ‘bayar sekarang atau tambah”.
f.
Mujahid:
Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak
mampu bayar) si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.
g.
Ja’far
Ash-Shadiq dari kalangan Syiah: Ja’far Ash-Shadiq berkata ketika ditanya
mengapa Allah Swt. mengharamkan ribâ “Supaya orang tidak berhenti berbuat
kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman,
maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan
sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan
kebajikan antarmanusia”.
h.
Imam
Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali: “Imam Ahmad bin Hanbal ketika
ditanya tentang ribâ beliau menjawab: Sesungguhnya ribâ itu adalah seseorang
memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar
lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga
pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan”.[8]
i.
Asy-Syaikh
Abdurrahman Taj mengata-kan bahwa, ribâ adalah setiap tambahan yang berlangsung
pada salah satu pihak (dalam) aqad Mu’wwadhah tanpa mendapat imbalan, atau tambahan itu
diperoleh karena penangguhan.[9]
3.
Dasar Hukum Riba
Sudah jelas
diketahui bahwa Islam melarang riba danmemasukkannya dalam dosa besar.Tetapi
Allah SWT dalammengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step by
step).Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah
biasamelakukan perbuatan riba dengan maksud membimbing manusia secaramudah dan
lemah lembut untuk mengalihkan kebiasaan mereka yangtelah mengakar, mendarah
daging yang melekat dalam kehidupanperekonomian jahiliyah.Ayat yang diturunkan
pertama dilakukan secaratemporer yang pada akhirnya ditetapkan secara permanen
dan tuntasmelalui empat tahapan.
a.
Tahap pertama dengan
mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta.
Dalam Al-Qur’an, ayat pertama kali (tahap awal) yang berbicara
riba adalah:
Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah
dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya). [QS. Ar-Rum:39]
Dalam suratAr-Rum
ayat 39Allah menyatakan secara nasihat bahwa Allah tidak menyenangi orang
yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan
menjauhkan riba. Di sini, Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan
memberikan barakah-Nya dan melipat gandakan pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah
menyatakan larangan dan belum mengharamkannya.
b.
Tahap kedua:Memberitahukan
bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu.
Tahap
kedua dari penetapan status hukum riba adalah dengan turunnyaayat :
Karena kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan
bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena
mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah, [QS. An-Nisa’ : 160]
Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka
telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak
sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab
yang pedih.
[QS. An-Nisa’ : 161]
Pada tahap kedua, Allah menurunkan suratAn-Nisa' ayat
160-161. riba digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam
ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya.Ayat
ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang
Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang Islam.Tetapi
ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan
riba.Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam
agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya yang akan
menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.
c.
Tahap ketiga:Gambaran bahwa
riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda.
Tahap ketiga, adalah pelarangan umat Islam untuk
memungut riba yang berlipat ganda sebagaimana terdapat dalam ayat :
Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah
agar kamu beruntung. [QS. Ali-Imran :130]
Dalam suratAli-Imran
ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi melarang dalam
bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang
sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman
jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah
biasa melakukan riba siap menerimanya.
d.
Tahap
keempat :Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. [QS. Al-Baqarah : 278]
iJika kamu tidak melaksanakannya,
maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat,
maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zhalim (merugikan) dan
tidak dizhalimi (dirugikan).[QS.Al-Baqarah :279]
Ayat di atas merupakan kelompok ayat terakhir yang
berbicara tentang riba.Ayat tersebut merupakan ketegasan atas praktek riba yang
dilakukan oleh penduduk Makkah dengan penduduk Tha’if.Surat Al-Baqarah ayat 278-279 yang isinya tentang pelarangan riba
secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak pengharamannya dalam berbagai
bentuknya, dan tidak dibedakan besar kecilnya.Bagi yang melakukan riba telah
melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan
diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ayat-ayat di atas secara bertahap memberikan status hukum
yang jelas tentang riba. Ayat-ayat yang terakhir turun yang membahas tentang
riba telah menegaskan bahwa riba adalah haram, karena nya harus ditinggalkan
dan menggantinya dengan zakat, sedekah, dan infaq serta transaksi lain yang
bernilai kebaikan di hadapan Allah.
Dan di antara hadits yang terkait dengan riba
adalah :
Dari Jabir ra., “Rasulullah saw.,
mengutuk pemakan riba, wakilnya, dan penulisnya, serta dua orang saksinya.
Mereka itu semuanya sama-sama dikutuk.” (H.R. Muslim dan Al-Bukhari
meriwayatkan hadits seperti itu dari Abu Juhaifah).
Kajian kebahasaan hadits ini diantaranya:
1.
yakni beliau mendoakan orang-orang yang
disebutkan dalam hadits di atas (yakni pemakan riba, wakil dan penulisnya,
serta dua orang saksinya) agar dijauhkan dari rahmat Allah.
2.
di sini kata “makan” disebutkan secara khusus karena
pemanfaatan yang biasa dilakukan terhadap barang riba itu adalah memakannya,
tetapi tidak menutup kemuningkinan pemanfaatan barang riba melalui tindakan
lain.
3.
yakni orang yang memberi barang riba sebab riba tidak
mungkin terjadi kecuali melalui pemberiannya. Oleh karena itu, dia termasuk
orang yang berdosa pula.
4.
penulis dan saksi mendapatkan dosa karena
keikutsertaannya dalam menolong terjadinya riba. Hal ini terjadi apabila mereka
sengaja melakukannya dan mengetahui riba.
B.
Penyebab Haramnya Riba
Diantara sebab-sebab keharaman
riba adalah Allah Swt. dalam firmannya dan sabda Rasululah saw.melarang atau
mengaharamkan riba. Berdasarkan dampak-dampak akibat yang ditimbulkan dari riba
tersebut dan juga berdasarkan keterangan dalam sumber hukum islam (Al-Qur’an
dan al-Hadits), pengharaman riba adalah masuk akal demi manjaga kehidupan
manusia agar terhindar dari jerat-jerat riba yang membawa kepada keburukan-keburukan,
oleh karena itu praktek-praktek riba harus dilarang dan dihindari.Diantara
penyebab haramnya riba adalah sebagai berikut.
1.
Merugikan
orang lain
Riba
menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya.
2.
Sama
dengan mengambil hak orang lain
Riba
menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia, dalam
utang-piutang riba menghilangkan faedah utang-piutang sehingga riba lebih
cenderung memeras orang miskin daripada menolong orang miskin.
3. Mendapat laknat dari Allah Swt.
Karena riba termasuk kedalam dosa besar(kaba,ir),maka Allah Swt. mengancam setiap pelakunya sesuai dengan
Q.S Al-Baqarah ayat 279
Jika kamu tidak
melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika
kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zhalim
(merugikan) dan tidak dizhalimi (dirugikan).[QS.Al-Baqarah :279]
Ayat ini merupakan penegasan yang terakhir dari Allah Swt. kepada pelaku riba.Nadanya pun bersifat ancamana keras dan dihadapkan kepada oprang yang telah mengetahui hukum riba,tetapi mereka masih terus melakukannya.Ini berarti mereka orang yang tidak mengindahkan perintah-perintah Allah Swt. karena itu Allah Swt. menyamakan mereka dengan orang yang memerangi agama Allah Swt.Orang yang memerangi agama Allah Swt. akan diperangi Allah Swt. dan Rasul-Nya.
4. Termasuk perbuatan tidak terpuji
karena memperoleh harta dengan cara yang tidak baik
Riba dapat menimbulkan perilaku
sosial yang malas bekerja keras karena pemilik modal akan cenderung mencari
keuntungan melalui praktik riba tanpa perlu bersuah payah, hal ini akan
menimbulkan bahaya sosial yang kritis.
C.
Jenis – Jenis Riba
Riba
dalam Al-Qur’an dan hadits dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Riba Buyu’
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah tambahan pada salah
satu dua ganti kepada yang lain ketika terjadi tukar menukar sesuatu yang sama
secara tunai. Islam telah mengaharamkan jenis riba ini dalam transaksi karena
khawatir pada akhirnya orang akan jatuh kepada riba yang hakiki yaitu riba
an-nasi’ah yang sudah menyebar dalam tradisi masyarakat arab.
لاَتَبِيْعُوا الدِّرْ هَمَ بِدِرْهَمَيْنِ فَإِنِّي
أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرِّمَا، الرِّمَا مَعْنَاهُ الرِّبَا
Janganlah kalian
menjual satu dirham dengan dua dirham sesungguhnya saya takut terhadap kalian
dengan rima, dan rima artinya riba.
Karena perbuatan ini bisa mendorong
seseorang untuk melakukan riba yang hakiki, maka menjadi hikmah Allah Swt. dengan mengharamkannya
sebab ia bisa menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan haram, dan siapa yang
membiarkan kambingnya berada di sekitar kawasan larangan hampir saja ia masuk
ke dalamnya sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.
Termasuk dalam bagian ini adalah riba
qardh, yaitu seseorang memberi
pinjaman uang kepada orang lain dan ia memberi syarat supaya si pengutang
memberinya manfaat seperti menikahi anknya, atau membeli barang darinya, atau
jumlah bayaran dari utang pokok. Rasulullah SAW bersabda: Setiap utang yang membawa manfaat, maka ia adalah haram.
Mengenai Hukum Riba Al-Fadhl
sebenarnya tidak ada perbedaan antara empat imam mazhab.
Diantara contohnya yaitu transaksi
forward,swap,dan option dalam transaksi valuta asing,karena transaksi antara
mata uang berbeda dengan penyerahan tidak tunai itu termasuk riba buyu, atau
riba fadhl.Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam fatwa DSN
Nomor:28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (al-sharf),bahwa
bentuk-bentuk jual beli valas yang diharamkan adalah :
1. Transaksi forward,yaitu transaksi
pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan
diberlakukan untuk waktu yang akan datang antara 2x24 jam sampai dengan 1
tahun.Sebab harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah)
dan penyerahannya dikemudian hari,padahal harga pada waktu penyerahan tersebut
belum tentu sama dengan nilai yang disepakati.
2. Transaksi Swap,yaitu suatu kontrak
pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian
antara penjualan valas yang sama dengan harga forward.Hukumnya haram,karena
mengandung unsur maysir (spekulasi)
3. Transaksi Option,yaitu kontrak untuk
memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus
dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau
tanggal akhir tertentu.Hukumnya haram,karena mengandung unsur maysir(spekulasi).[10]
b.
Riba
an-nasi’ah.
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman; Maka
jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan
Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu
tidak berbuat zhalim (merugikan) dan tidak dizhalimi (dirugikan). [QS.Al-Baqarah : 278 -
279].
Dalam ayat
ini Allah Swt. mengungkap apa yang ada dalam transaksi riba berupa keburukan
dan kekejian, kekeringan hati dan kejahatan yang akan terjadi di masyarakat,
kerusakan di muka bumi dan hancurnya manusia.Contohnya seperti seseorang yang
memberi tenggang pembayaran utang akan tetapi ia menambah utang tersebut dan
setiap kali ia mengakhirkan pembayaran maka bertambah pulalah yang akan dibayar
sehingga utang yang hanya bernilai seratus bisa jadi mencapai ribuan.Contoh
lainnya pada perbankan konvensional dalam pembayaran bunga kredit dan
pembayaran bunga deposito,tabungan,giro,dan lain-lain.
2. Riba Qardh
Riba
qardh adalah riba yang terjadi pada transaksi utang-piutang yang tidak memenuhi
kriteria untung muncul bersama risiko dan hasil usaha muncul bersama biaya.
Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban,hanya
karena berjalannya waktu. [11]
Riba
qardh bia disebut juga riba jahiliyyah yaituutang, yang dibayar melebihi
dari pokok pinjaman. Karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman
pada waktu yang telah ditetapkan. Riba ini dilarang karena melanggar kaidah ‘kullu qhardin jarra manfa’atan fahua riba’ (setiap
pinjaman yang memberikan manfaat (kepada kreditor) adalah riba).
Memberi
pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru’),sedangakan
meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (mu’awadhah).
Jadi,transaksi yang semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh
diubah menjadi transaksi bermotif bisnis.Contohnya seperti meminjam uang pada
seseorang dengan pengembaliannya ditentukan,namun pada waktu yang telah
ditentukan tidak bia membayar, si pemilik uang menambahkan bunga atau denda per
sekian persen setiap harinya sampai lunas pembayaran beserta bunga atau
dendanya.
D.
Dampak Riba pada Ekonomi
Riba
(bunga) menahan pertumbuhan ekonomi dan membahayakan kemakmuran nasional serta
kesejahteraan individual dengan cara menyebabkan banyak terjadinya dampak
negatif terhadap perekonomian nasional seperti inflasi, pengangguran,
distribusi kekayaan yang tidak merata.
Pelanggaran riba (prohibition of riba) dalam islam secara
tegas dinyatakan baik dalam Al-Qur’an maupun hadits yang diwahyukan secara
berangsur-angsur seperti halnya pengharaman khamr. Dalam perspektif ekonomi,
pengharaman riba setidaknya disebabkan empat faktor, yaitu :
Pertama, sistem
ekonomi ribawi menimbulkan ketidakadilan. Karena pemilik modal secara pasti akan
mendapat keuntungan tanpa mempertimbangkan hasil usaha yang dijalankan oleh
peminjam. Jika peminjam dana tidak memperoleh keuntungan atau bangkrut
usahanya, dia tetap membayar kembali modal yang dipinjamnya plus bunganya.
Dalam kondisi seperti ini, peminjam sudah bangkrut ibarat sudah jath tertimpa
tangga lagi dan tidak jarang penerapan bunga bukannya membantu usaha kreditor,
justru menambah persoalan baginya.Disinilah muncul sisi ketidakadilan.
Kedua, sistem
ekonomi ribawi merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara
pemodal dan peminjam.Keuntungan besar yang diperoleh peminjam yang biasanya
terdiri dari golongan industry raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan
membayar pinjaman modal plus bunganya daam jumlah yang relatif kecil dibandingkan
dengan keuntungan yang mereka peroleh. Sementara bagi penabung di bank-bank
umum terdiridari rakyat golongan menengah ke bawah tidak memperoleh keuntungan
yang seimbang dari dana yang mereka simpan di bank.
Ketiga, sistem
ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tinggi tingkat bunga
maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi di sector riil.
Masyarakat lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank karena keuntungannya
yang lebih besar disebabkan tingginya tingkat suku bunga.
Investasi modal terhalang dari perusahaan-perusahaan yang tidak mampu
menghasilkan laba yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang
berjalan, sekalipun proyek yang ditangani oleh perusahaan itu amat penting bagi
negara dan bangsa. Semua aliran sumber-sumber finansial di dalam negara
berbelok ke arah perusahaan-perusahaan yang memiliki prospek laba yang sama
atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan, sekaliun perusahaan
tersebut tidak atau sedikit saja memiliki nilai sosial.
Keempat, bunga
dianggap sebagai tambahan biaya produksi. Biaya produksi yang tinggi akan
menyebabkan naiknya harga barang-barang produksi (produk). Naiknya tingkat
harga, pada gilirannya akan mengundang terjadinya inflasi sebagai akibat
lemahnya daya beli masyarakat. Bunga menyebabkan
timbulnya kejahatan ekonomi. Ia mendorong orang melakukan penimbunan (hoarding)
uang, sehingga memengaruhi peredaranya diantara sebagian besar anggota
masyarakat. Ia juga menyebabkan timbulnya monopoli, kertel serta konsentrasi
kekayaan di tangan sedikit orang. Dengan demikian, distribusi kekayaan di dalam
masyarakat menjadi tidak merata dan celah antara si miskin dengan si kaya pun
melebar. Masyarakat pun dengan tajam terbagi menjadi dua kelompok kaya dan
miskin yang pertentangankepentingan mereka memengaruhi kedamaian dan harmoni di
dalam masyarakat. Lebih lagi karna bunga pula maka distorsi ekonomi seperti
resesi, depresi, inflasi dan pengangguran terjadi.
Kelima, terjadinya Inflasi.
Inflasi adalah bertambahnya
nilai mata uang tetapi tidak diikuti oleh peningkatan harga barang dan jasa.
Praktek riba merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi
ini
Keenam, kolapsnya
perusahaan-perusahaan kecil yang didanai dari uang riba.Sebagian besar penyebab
kebangkrutan (kolaps) suatu perusahaan adalah bunganya semakin melejit.Kondisi
inilah yang menyebabkan perusahaan-perusahaan besar seenaknya dalam menetapkan
harga pasar.
Ketujuh, penumpukan kekayaan pada segelintir orang.Mereka
adalah orang-orang yang memiliki modal-modal yang besar dalam memberikan dana
riba. Mereka hidup senang dengan memonopoli kehidupan orang lain, terutama
mereka yang lemah dan membutuhkan dana riba namun kemampuan untuk mengembalikan
utang tersebut sangat minim. Akhirnya, mereka terpaksa harus menjual property
dan barang-barang tertentu milik mereka dengan harga sangat murah.Inilah yang
menyebabkan kesenjangan sosial yang sangat tajam diantara mereka.Dengan
demikian indeks ekonomi semakin memburuk dikalangan masyarakat tersebut.
Kedelapan, riba
(bunga) yang dipungut pada utang internasional akan menjadi lebih buruk lagi
karena memperparah DSR (debt-service ratio) negara-negara debitur. Riba (bunga)
itu tidak hanya menghalangi pembangunan ekonomi negara-negara miskin, melainkan
juga menimbulkan transfer sumber daya dari negara miskin ke negara kaya. Lebih
dari itu, ia juga memengaruhi hubungan antara negara miskin dan kaya sehingga
membahayakan keamanan dan perdamaian internasional.
E.
Praktik Riba dalam Masyarakat
1. Praktik riba dalam
bertransaksi
Praktik
Riba dalam hal mu’amalah, Islam telah menawarkan panduan yang jelas dalam
setiap transaksi. Semua ketentuan yang ada itu tidak lain bertujuan untuk
menghasilkan transaksi yang halal dan tayyib. Islam juga telah menggariskan
jenis-jenis transaksi yang dilarang seperti
membuat dan menjual barang-barang yang najis, seperti bangkai, babi,
anjing, tahi, arak, kencing, dll. Barang-barang tersebut adalah haram li
zatihi, karena Rasulullah saw.
bersabda : ”Sesungguhnya Allah Swt
jika mengharamkan sesuatu barang, maka harganya pun haram juga”. Membuat
barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam (membawa kepada mafsadat dan
maksiat) atau yang mendatangkan kelalaian hingga menyebabkan seseorang individu
itu lupa untuk beribadah kepada Allah juga tidak dibenarkan. Transaksi yang
mengandung unsur riba, gharar, perjudian bai’ ma’dum, melakukan penipuan dalam
transaksi, membeli di atas belian orang lain, melakukan penimbulan (ihtikar),
dan lain-lain. Alasan dan landasan normatif yang digunakan ahli fiqih dalam hal
ini merupakan dasar yang telah ada sejak awal Islam muncul ke permukaan (yaitu
pada zaman Rasulullah hidup), sehingga setiap dalil memiliki konteks dengan
masyarakat yang hidup disekitar Nabi pada saat itu.
Inilah
kemudian yang sering menjadi bahan perdebatan para ahli yang hidup saat ini.
Pendeknya, sesuatu yang menjadi ideal (sesuai dengan konsep) pada saat itu
tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada realita (yang sering bergantung pada
kebutuhan) masyarakat yang hidup saat ini. Dan termasuk di dalamnya adalah
permasalahan mu’amalah. Salah satu yang diharamkan Islam secara normatif dalam
bertransaksi adalah praktek riba. Ayat yang didukung hadist Nabi telah jelas
mengharamkannya. Namun, apakah kemudian jika dalil yang menjadi dasar
pengharamannya tidak sesuai dengan konteks masyarakat saat ini dapat
menggugurkan hukum asalnya itu,lalu perkara itu ditilik dengan kebutuhan dan
kepentingan satu komunitas masyarakat.
Penentuan
tambahan itu berkaitan dengan unsur pertimbangan jangka waktu.Tawar menawar
atau persetujuan terhadap syarat tambahan ditentukan terlebih dahulu yaitu
ketika pinjaman kontrak dilakukan.
Secara
ringkasnya, bahwa unsur-unsur riba adalah sebagai berikut:
a. Adanya tambahan dari jumlah pokok
pinjaman
b. Penentuan tambahan itu berkaitan
dengan unsur pertimbangan jangka waktu
c. Tawar menawar atau persetujuan
terhadap syarat tambahan ditentukan terlebih dahulu yaitu ketika pinjaman
kontrak dilakukan
Dalam mu’amalah (transaksi), riba biasanya mempunyai tiga bentuk yaitu:
a. Bayaran balik yang melebihi jumlah
uang pokok (harta asal) yang dipersyaratkan
b. Terlebih dahulu ketika kontrak
dilakukan
c. Kontrak ke atas pertukaran barang
tertentu yang tidak diketahui dengan pasti persamaannya pada timbangan atau
takaran yang diakui oleh syara’
d. Penangguhan penyerahan salah satu
barang yang ditukarkan atau yang diperdagangkan (khususnya untuk pertukaran
mata uang dan barang ribawi).[Abd. Mumin Ab. Gani (1999). Sistem
Kewenangan Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia. Kuala Lumpur: Jabatan Kemajuan
Islam Malaysia.]
Umat Islam dilarang
mengambil riba apapun jenisnya, karena Al Qur’an dan hadits Rasulullah SAW yang
merupakan sumber utama hukum Islam, secara jelas melarangnya.Ulama pun telah
bersepakat (ijma’) bahwa riba adalah haram.
a.
Larangan
riba dalam Al Qur’an
Turunnya ayat mengenai riba dalam Al Qur’an
secara bertahap yakni ada empat tahap, yang terdiri dari 8 ayat dalam 4 surat,
yaitu Al-Baqarah sebanyak 5 ayat, Ali-Imran sebanyak 1 ayat, dan Ar-Rum ada 1
ayat. Satu ayat diturunkan di Mekah dan selebihnya di Madinah. Gaya pengharaman
riba dalam Al-Qur’an
sangat mirip dengan bentuk pengharaman khamr dalam Al-Qur’an. Yaitu tidak
mengharamkan sekaligus tetapi berangsur-angsur. Bahkan dalam hadist pun juga
terdapat kesamaan dalam hal dosa dari dua perbuatan dosa tersebut yaitu
mendapat laknat dari Allah Swt.
Apabila ditinjau dari kontek sejarah, hal itu wajar terjadi. Karena masyarakat
pada saat itu terbiasa praktek seperti ini.Tentang riba ini ada yang mengatakan
sama saja dengan jual beli yang diperbolehkan Islam. Bahwa tidak semua perkara yang diharamkan
oleh Allah Swt. Tidak ada manfaat nya sama sekali atau hanya mendatangkan
madharat saja. Hal ini terbukti dari ungkapan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah:219 tentang keharaman khamr, yang
mana khamr itu mengandung manfaat tetapi madharatnya lebih besar dan
berbahaya daripada manfaat yang mungkin
diperoleh. Demikian juga riba, mungkin ia mengandung manfaat tertentu pada
sekelompok orang tertentu, tetapi ternyata bahaya riba lebih besar daripada
manfaat yang ditimbulkannya.
b. Larangan riba dalam Al Hadist
Fungsi utama hadist adalah untuk
menjelaskan lebih lanjut ketentuan-ketentuan hukum yang telah digariskan oleh
Al-Qur’an dan juga terkadang menjelaskan hukum tersendiri.Dalam hal pelarangan
riba dalam hadist yang bersifat umum dan Ada yang merupakan penjelasan lebih
terperinci dari ketentuan Al-Qur’an. Dalam amanat terakhirnya ketika khutbah
haji wada’, Rasulullah menegaskan sikap Islam yang melarang keras terhadap
riba, Rasul bersabda : ”Ingatlah bahwa semua riba yang diamalkan pada zaman
jahiliyyah dihapuskan dari amalan kamu. Kamu berhak mengambil modal (uang
pokok) yang kamu berikan, niscaya kamu tidak menzalimi dan tidak dilazimi”.
Selain itu, masih banyak hadist Rasulullah saw. yang menjelaskan tentang
larangan riba, diantaranya (artinya) :
1.
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw. mengutuk orang yang menerima riba, orang
yang membayarnya, orang yang mencatatnya, dan 2 orang saksinya, kemudian beliau
bersabda, ”Mereka itu semuanya sama’.
2. Dari Abu Hurairah r.a., Nabi
bersabda, “Pada malam mi’raj saya telah bertemu dengan orang yang perutnya
besar seperti rumah, didalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari
luar, lalu saya bertanya kepada Jibril, siapakah mereka? Jibril menjawab,
mereka adalah orang-orang yang memakan riba”.
c. Ijma’ ulama
Para ulama salaf maupun khalaf telah
bersepakat (ijma’) bahwa riba adalah haram, baik sedikit atau banyak.
Dinyatakan bahwa riba merupakan salah satu dari tujuh dosa besar yang harus
dihindari. Adapun pengharaman itu jikasalah satu masyarakat berada dalam
kondisi yang normal, tidak dalam keadaan yang terpaksa (dharurah). Nah, sebagai
episode selanjutnya, para ulama kembali berbeda pendapat dalam menetapkan kadar
kondisi yang darurat itu, sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian, jelaslah bahwa secara tegas
Al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijma’ ulama mengharamkan riba dalam bentuk apapun
juga. Hanyasaja, dalam realitas kehidupan, wujud riba seringkali mengkaburkan
dan menyamarkan orang, disamping pemahaman ulama juga terkadang berbeda-beda
dalam memahami maksud nas dalam memberikan hukum terhadap realitas yang terjadi
di lapangan kehidupan. Khususnya dalam hal apakah bunga dalam dunia perbankan,
asuransi dan lain-lain lembaga keuangan konvesional termasuk riba yang
diharamkan.Ini dijelaskan fatwa-fatwa ulama tentangnya:
1. Fatwa MUI
Pada tanggal 16 Desember 2003, Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) se-Indonesia menetapkan fatwa bahwa bank, asuransi, pasar
modal, pengadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun individu yang
melakukan praktek bunga adalah haram. Ini artinya umat Islam tidak dibolehkan
melakukan transaksi dengan lembaga keuangan konvesional tersebut. Pada awalnya
Fatwa larangan untuk bermuamalah dengan lembaga keuangan konvesional yang
berasaskan riba ini tidak berlaku mutlak untuk seluruh wilayah Indonesia. Untuk
wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syri’ah dibolehkan
melakukan kegiatan transaksi berdasarkan prinsip darurat atau hajat
(keperluan). Akan tetapi dengan adanya kartu Shar-E yang diterbitkan oleh Bank
Muamalat Indonesia (BMI) yang dapat dimanfaatkan dan diakses dimana jua pun di
wilayah Indonesia, maka mulai saat diluncurkannya kartu Shar-E ini, bunga bank
adalah haram secara mutlak.
2.
Sidang
Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Semua
peserta Sidang OKI kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970,
telah menyepakati dua hal utama yaitu:
a. Praktek
bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariat Islam
b. Perlu
segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. Hasil kesepakatan inilah yang melatarbelakangi
didirikannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
3. Muktamar Majma’al-Buhuth al-Islamiyyah. Ulama-ulama besar dunia
yang terhimpun dalam Majma’ Al Buhuth Al Islamiyyah telah memutuskan hukum yang
tegas terhadap bunga bank. Dalam konfrensi keduanya yang diselenggarakan di
Kairo, pada bulan Mei 1965 ditetapkan bahwa praktek pembungaan uang seperti
yang dilakukan bank-bank konvensional adalah riba yang diharamkan. Selain itu
masih terdapat hasil muktamar para ulama mengenai perkara ini yang berbeda satu
sama lain.
2. Kendala
Bank Islam dan Konvensional
Kecenderungan masyarakat kepada riba
di dalam pandangan ekonomi konvensional uang telah dijadikan sebagai komoditas
yang diperdagangkan bukan untuk kebutuhan sektor riil, padahal dalam konsep
ekonomi Islam uang tidak boleh dijadikan sebagai komoditas.
Berarti masyarakat dapat mendapatkan
keuntungan cukup dengan memanfaatkan uang-uangnya tanpa perlu bersusah payah
untuk bekerja. Di samping itu, uang yang dimanfaatkan tersebut kebanyakan
berporos pada lembaga-lembaga keuangan konvensional. Lebih jauh lagi uang juga
dapat diperjualbelikan dengan kelebihan, baik secara on the spot maupun secara
tangguh. Menjual uang dengan uang yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
termasuk di dalam riba yang dilarang. Hal ini akan menghambat perkembangan
perekonomian pada sektor riil karena keuntungan yang didapat berdasarkan
selisih harga uang yang ditransaksikan dan sifatnya non-riil.
Penumpukkan uang atau harta dapat
mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus
dan malas beramal. Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak
baik terhadap kelangsungan perekonomian. Masyarakat akan cenderung bersifat
individualistik dan materialistik. Sifat individualistik mengesampingkan
rasa-rasa kepedulian, apapun akan dilakukan tanpa memperdulikan orang lain
untuk mencapai semua tujuan-tujuannya bahkan terkadang sampai merugikan orang
lain pun hal tersebut tetap dilakukan. Sedangkan materialistik menjadikan
pandangan masyarakat bahwa segala sesuatu yang dilakukan haruslah membawa
keuntungan. Jiwa-jiwa sosial masyarakat lambat laun akan terkikis sedikit demi
sedikit. Kecenderungan masyarakat terhadap sistem konvensional merupakan
masalah umum yang dihadapi ekonomi Islam di dalam masyarakat yang disebabkan
oleh beberapa hal. Pertama, dominasi literatur ekonomi konvensional yang
mempengaruhi anggapan masyarakat bahwa tidak ada ilmu ekonomi yang mampu
menjawab masalah-masalah aktual kecuali ekonomi konvensional. Kebanyakan ilmu
ekonomi yang dikenal masyarakat sejak awal adalah ekonomi konvensional.
Literatur-literatur yang dapat dengan mudah
ditemui serta dirasa sangat mencukupi untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang
timbul menyebabkan kecenderungan masyarakat terhadap ekonomi konvensional
semakin dekat. Kedua, praktek ekonomi konvensional lebih dahulu dikenal.
Masyarakat bersentuhan langsung dengan sistem ekonomi.
Konvensional diberbagai bidang
(produksi, konsumsi dan sebagainya) sehingga pemahaman baru sulit diterima oleh
masyarakat. Selama ini masyarakat merasa bahwa perilakunya yang mengandung riba
secara langsung tidak merugikan mereka karena riba berhubungan dengan
kepentingan-kepentingan ekonominya. Sistem ekonomi konvensioal digunakan setiap
hari oleh masyarakat dan menjadi suatu hal yang biasa dilakukan. Terlepas
apakah keuntungan yang didapat mengandung riba atau tidak, selama itu
berdasarkan kesepakatan maka dianggap sah-sah saja oleh masyarakat.
Kekhawatiran akan tidak mendapatkan keuntungan atau kekhawatiran akan mengalami
kerugian mengakibatkan masyarakat cenderung sulit untuk menerima pemahaman baru
dan memilih pemahaman lama yang menurut masyarakat jelas-jelas mendatangkan
keuntungan meskipun didapatkan dari hasil transaksi riba. Ketiga, pengetahuan
tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam masih kurang padahal sejarah pemikiran
konvensional lahir dari pemikiran ekonomi Islam. Masyarakat lebih memilih menggunakan
sistem ekonomi konvensional tanpa harus mengetahui sejarahnya. Padahal jika
masyarakat dapat merunut sejarah sistem ekonomi Islam tentunya akan banyak
mengetahui kelebihankelebihan dari sistem ekonomi Islam dalam lintasan sejarah.
Sayangnya sejarah itu terkesan terkubur dalam dan sulit untuk dijangkau, di
sisi lain masyarakat menganggap bahwa sistem ekonomi konvensional yang ada saat
ini adalah sistem ekonomi yang tetap bertahan dan tetap eksis dalam lintasan
sejarah. Keempat, ekonomi konvensional terlanjur mendominasi sistem
perekonomian dunia bahkan banyak negara yang mayoritas berpenduduk Islam
cenderung menggunakan sistem ekonomi konvensional walaupun dalam penerapannya
terdapat modifikasi. Sistem ekonomi konvensional mengalami perkembangan di berbagai
negara mengikuti kebutuhan dan realitas yang terjadi. Walaupun masing-masing
negara berbeda dalam perkembangannya namun memiliki ciri khas dan corak yang
sama. Sistem ekonomi konvensional telah mengakar di setiap negara sehingga
untuk menggantinya adalah suatu hal yang dinilai sangat sulit.
Semakin lama ekonomi konvensional
mendominasi maka akan semakin kompleks risiko-risiko yang mungkin dihadapi
ketika suatu negara akan melepaskan diri dari sistem ini. Pilihan akan
cenderung untuk menggunakan sistem ekonomi konvensional yang ada dan selalu
mengikuti perkembangan-perkembangannya. Kelima, secara ekonomi dan politik
tidak ada negara Islam yang dipandang kuat sehingga sulit untuk membuktikan
bahwa sistem ekonomi Islam lebih unggul daripada sistem ekonomi konvensional.
Negara-negara yang maju serta kuat dalam hal ekonomi dan politik kebanyakan
adalah negara yang menggunakan sistem ekonomi konvensional sedangkan negara
yang menggunakan sistem ekonomi Islam jumlahnya masih belum sebanding dengan
negara yang menggunakan sistem ekonomi konvensional. Negara lain tentunya akan
termotivasi untuk meniru sistem tersebut untuk kemajuan negaranya. Semakin
kuatnya cengkeraman ekonomi konvensional pada negara-negara di dunia
mengakibatkan sulitnya ekonomi Islam saat ini untuk menghadapinya. Ini artinya
masyarakat akan terus menerus cenderung kepada riba yang diusung oleh ekonomi
konvensional.
Di sisi lain melihat dampak buruk
riba yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi konvensional ini lambat laun
masyarakat akan beralih sedikit demi sedikit kepada sistem ekonomi Islam.
Selama sistem ekonomi Islam tetap berpijak pada dasar-dasarnya maka peluang
untuk dapat menggantikan sistem ekonomi konvensional masih tetap terbuka lebar.
Persoalan yang mungkin membuat sistem finasial Islam termarginalisasikan
bukanlah karena kurangnya jumlah produk melainkan karena ketidakmampuannya
merefleksikan fundamental yang sehat, mengimplementasikan rationale (dasar
pemikiran) di belakangnya dan menjadi benar-benar sehat, secara kompetitif
menguntungkan, dan berkembang dengan baik.29 Oleh karena itu sistem ekonomi
Islam saat ini sudah mulai harus mengalami pembersihan-pembersihan dari
beberapa sistem ekonomi konvensional yang sedikit demi sedikit mulai tercampur
di dalamnya.
F.
Perbedaan Antara Riba Dan Jual Beli
Terdapat
sebab-sebab mengapa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba,diantaranya :
Pertama,
dalam jual beli ada i’wadh(ganti),sedangkan riba ada tambahan(bunga) dan ‘iwadh
lain. Dalam jual beli, si pembeli dapat memanfaatkan barang yang dibelinya
dengan satu pemanfaataan yang hakiki, seperti pembeli gandum bisa memanfaatkan
gandumnya untuk dimakan,serta transaksi yang dilakukan antara penjual dan
pembeli sama sama ridha tidak ada paksaan sedikitpun dan sukarela.Adapun riba
adalah memberikan beberapa dirham atau yang senilai dan mengambilnya dengan
beberapa kali ganda dalam waktu yang lain dan bunga yang diambil sebagai
tambahan dari modal tidak ada ganti atau padanannya berupa barang atau kerja.Bunga
diberikan tanpa rasa ridha dan justru karena terpaksa dan terdesak karena
keadaan.
Kedua,
Allah mengharamkan riba dalam emas dan perak sebab keduanya ditetapkan sebagai
alat ukur dari menilai harga sesuatu yang bisa dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupannya.
Ketiga,
tidak layak bagi seorang manusia yang hanya berfikir tentanag materi belaka
tanpa ada perasaan ingin berbuat baik untuk saudaranya,lalu dia memanfaatkan
hajat saudaranya,lalu ia menjatuhkannya kedalam jurang riba dan menghabisi hidup
saudaranya dengan ulah perbutannya padahal Allah telah berpesan kepada
orng-orang kaya agar memperhatikan nasib orang miskin dana memberi mereka dari
harta orang kaya.Utang piutang disyariatkan untuk menyelamatkan oarang-orang
yang terhimpit dana membantu oraang-orang yang terdesak sehingga manusia tidak
menjadi seperti serigala dalam muamalah mereka tdaik kenal belas kasihan,dan
bekerjasama dalam kesulitan.Karena ini dan yang lainnya Allah telah
mengharamkan riba.
G.
Cara menghindari Riba
Supaya dapat
terhindar dari riba anda dapat menerapkan tips-tips yang berikut ini:
1.
Kenali bahaya riba
Sudah jelas
jika di dalam Islam riba merupakan hal yang haram. Riba membuat seseorang
banyak dililit hutang akibat tingkat bunga yang tinggi. Keberadaan riba membuat
hidup kurang nyaman dan tidak tentram akibat banyaknya hutang yang menumpuk dan
harus di bayar.
Uang bulanan
atau gajian yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli kebutuhan malah habis
digunakan untuk menutupi bunga yang ada. Dengan beragam bahaya riba tersebut
tidak heran jika seseorang akan merasa gelisah dan banyak pikiran setiap saat.
2.
Cara yang halal bertransaksi
Langkah
menghindari riba dapat anda lakukan dengan cara menggunakan cara yang halal
ketika melakukan transaksi. Dalam hal ini tentu anda diharuskan mengerti betul
bagaimana transaksi jual beli yang haram ataupun yang halal dalam Islam.Berikut
merupakan jual beli yang diperbolehkan dalam Islam yaituketika kedua belah
pihak menyetujui aturan yang ditetapkan oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini
tentu tidak boleh ada paksaan sehingga salah satu pihak merasa dirugikan dan
tertekan.
3.
Lakukan transaksi yang diperbolehkan
Transaksi
yang diperbolehkan dalam Islam ada beberapa jenis transaksi, dimana salah
satunya adalah transaksi mudharabah. Transaksi yang satu ini
diperbolehkan untuk menghindari datangnya riba. Transaksi satu ini dapat
dilakukan dengan cara kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Salah stau
pihak sebagai pemodal dan pihak lainnya sebagai orang yang menjalankan usaha.
Transaksi ini dapat dilakukan dengan cara membagi hasil sesuai dengan yang
disepakati. Ketika terjadi kerugian maka pihak pemodalah yang harus menanggung
biaya kerugian sementara pihak lain tidak menanggungnya karena usaha dan tenaga
yang dia kerahkan menjadi bagian dari kerugiannya.
Ada beberapa
jenis transaksi lain yang dapat dilakukan untuk menghindari riba yaitu dengan
cara salam dan muajjal. Transaksi salam adalah ketika jual beli
dilakukan dengan cara melakukan pembayaran terlebih dahulu sementara barang
yang diinginkan akan diberikan belakangan. Untuk transaksi muajjal,
transaksi jenis ini dapat dilakukan dengan cara menaikan harga saat
berlangsungnya transaksi.
4.
Berhutang pada lembaga khusus
Sekarang
telah ada beberapa lembaga khusus yang menangani utang piutang tanpa riba. Hal
ini dilakukan dalam rangka mewujudkan solidaritas antar umat. Selain masalah
hutang piutang, maka bagi anda yang ingin menyimpan uang sebaiknya tidak
menggunakan bank yang memberi bunga di dalamnya. Carilah bank syariah yang
dijalankan dengan cara islami.
5.
Saling membantu
Saling bantu
merupakan hal baik yang dapat dilakukan untuk menghindari riba. Ketika
masyarakat saling bantu tentu taraf kehidupan dengan sendirinya akan terangkat
sehingga kebutuhan ekonomi serta kesulitannya dapat teratasi.
Perbanyak sedekah dan membantu orang fakir merupakan hal baik yang tidak menyebabkan uang atau harta kita berkurang dan malah kebalikannya.
Perbanyak sedekah dan membantu orang fakir merupakan hal baik yang tidak menyebabkan uang atau harta kita berkurang dan malah kebalikannya.
6.
Menanamkan sifat qonaah pada diri sendiri
Memiliki
sifat qonaah dapat menghindarkan kita dari bahaya riba. Sifat qonaah dapat
dilakukan dengan senantiasa bersukur atas apapun yang diberikan kepada anda.
Sifat bersukur membantu anda agar terhindar dari perasaan serba kekurangan dan
ingin hidup dalam kemewahan. Rasa ingin memiliki sesuatu dan mudah iri dengan apa
yang dimiliki oleh orang membuat kita dengan mudah membeli barang walau dengan
cara berhutang.
Berhenti
menatap keatas dan mulailah melihat kebawah. Hal ini menghindarkan anda dari
rasa kurang dan akan mulai bersukur anda tidak berada pada kondisi yang sangat
kekurangan. Perlu diingat jika diluar sana ada banyak sekali orang yang
kekurangan bahkan lebih dari kita.
H.
Hikmah dari pelarangan Riba
Beberapa hikmah yang dapat siambil dari pelarangan
riba diantaranya sebagai berikut.
1.
Allah Swt. tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat
bagi manusia, tetapi hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat membawa
kerusakan baik individu maupun masyarakat.
2.
Cara riba
merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang di peroleh si pemilik
dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya. Keuntungannya
diperoleh dengan cara memeras tenaga orang lain yang pada dasarnya lebih lemah
dari padanya.
3.
Riba dapat
menyebabkan krisis akhlak dan rohani. Orang yang meribakan uang atau barang
akan kehilangan rasa sosialnya, egois.
4.
Riba dapat
menimbulkan kemalasan bekerja, hidup dari mengambil harta orang lain yang
lemah. Cukup duduk di atas meja, orang lain yang memeras keringatnya.
5.
Riba dapat
mengakibatkan kehancuran, banyak orang-orang yang kehilangan harta benda dan
akhirnya menjadi fakir miskin
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Riba berarti
menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu
dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa
bermakna: ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Macam-macam riba yaitu riba buyu’ yang terbagi
menjadi riba fadhl dan riba an-nasi’ah, serta riba qardh.
Di masa sekarang ini
riba banyak di temukan di bank konvensional. Faktor-faktor yang melatarbelakangi
perbuatan memakan hasil riba yaitunafsu dunia kepada harta benda, serakah
harta, tidak pernah merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah Swt. berikan, imannya
lemah, serta selalu ingin menambah harta dengan berbagai cara termasuk riba.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Al Haq Humaisy dan Al Husein
Syawat (2001). Fiqh Al ‘Uqud Al-Maliyyah.
Amman (Jordan): Dar Al Bayariq.
Abdurrahman, Asmuni (1992). Tanya
Jawab Agama II. Suara Muhammadiyah.
AB. Gani, Abd. Mumin (1999). Sistem Keuangan dan Pelaksanaannya di
Malaysia.
L.Sulaemang
(2015).Hukum Riba Dalam Perspektif Hadis Jabir ra.
Kuala Kumpur: Jabatan Kemajuan Islam Malaysia.
Al Asqalani, Ibn Hajar (1994). Bulugul Al Maram Min Adillat Al Ahkam.
Bandung: Gema Risalah Press
Alma, Buchari (1993). Ajaran Islam Dalam Bisnis. Bandung: CV.
Alfabeta.
Al Mushlih, Abdullah (2004). Fiqh Ekonomi Keuangan Islam.
Yogyakarta: Darul Haq.
Keputusan
Tarjih Muhammadiyah (1989), Malang.
Mannan, Muhammad Abdul (1993). Ekonomi Islam Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.
Republika
(2007).
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al
Qur’an, Al Qur’an Al Karim dan
Terjemahannya (1995)Semarang: PT. Karya Toha Putra. Departemen Agama RI.
Zuhaili, Wahbah (1997). Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuluh, juz 3, cet.4. Beirit: Dar Al
Fitr.
AB.Zaid,Abd.
Azhrin Zalal (2011).fiqh ar-riba :Dirasat
muqaranah wa syamilah li at-tathbiaat al-mu’ashirah Jakarta : Senayan
publishing.
Sahroni.Oni,Adiwarman
Karim (2015),riba,gharar dan
kaidah-kaidah Ekonomi Syariah Analisis fiqih & Ekobomi Jakarta:
RajaGrafindo Persada,2015.
[1]Abu Sura’i Abdul Hadi,
Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993),
hal. 125. menurutnya riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang
merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi.
[2]Menurut
Syaikh Abul A'la al-Maududi An-Numuw adalah pertumbuhan dan Al-'Uluw adalah
tinggi, lihat, Bicara Tentang Bunga Bank dan Riba, hal. 110.
[3]Khoiruddin
Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet.
I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACAdeMIA, 1996), hal. 37.
[4] As-Sarkhasi, Al-Mabsut,
(Mauqi al-Islam, tanpa tahun), Vol 14, Hal 461
[5] Habib Nazir dan Muhammad
Hasanuddin, InsiklopediEkonomi dan Perbankan Syariah, hal. 562
[6] Habib Nazir dan Muhammad
Hasanuddin, InsiklopediEkonomi dan Perbankan Syariah, cet. II, (Bandung: Kafa
Publishing, 2008). hal. 562 dan juga lihat dalam Heri Sudarsono, Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Ilustrasi, edisi ke-3, (Yogyakarta: EKONISIA,
2008), hlm. 10 dan lihat Muslim, Fiqih Ekonomi di Indonesia, (Mataram: LKIM
IAIN Mataram, 2005), hal. 128.
[7] Muhammad Abū Zahrah,
Buhūsu fi al-Ribā, cet.1, (Bairut: Dār al-Buhus al-Ilmīyah, 1399 H/ 1980 M),
hlm. 38-39.
[8] Lihat, Asy-Syaikh
Abdurrahman. Taj. Dalam Majallah Alliwa Al-Islam. Edisi II/1952.
[11]Adiwarman
Karim, Bank Islam; Analisis Fikih dan
keuangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2014), edisi ke-3, hlm.37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar